Selasa, 28 Mei 2013

Maqashid Syariah


Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang semakin pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah umatnya – dalam tataran konsep maupun praktik – sedikit demi sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok  umat Islam yang secara gigih mengupayakan pemberlakuan syari’at Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung menjurus ke arah penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang dibarengi dengan aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan ini, jelas tidak simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang Islam sekalipun. Bagaimanapun, upaya pemahaman dan penegakan syari’at Islam adalah sebuah keharusan. Dan tentunya, dalam mensosialisasikannya, haruslah secara arif. Kendati mengharuskan umatnya untuk tunduk pada segala aturannya, namun melalui tata aturan syari’at, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam terminologi syari’at, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal dengan istilah maqashid al syariah. Melalui pendekatan semacam inilah, pemahaman syari’at Islam lebih menemukan ruh dan substansinya.
Maqashid al Syariah memiliki sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya. Pengetahuan terhadap Maqashid al Syariah ini, selamanya merupakan kebutuhan bagi semua kalangan. Bagi mujtahid, maqashid al syariah tentu saja dibutuhkan dalam memahami teks-teks syari’at, dalam melakukan istimbat, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan awam, pengetahuan terhadap maqashid syariah tak kalah pentingnya. Karena, dengan memahami hikmah di balik pensyari’atan hukum, seseorang akan lebih mantap dalham menerima dan melaksanakan tata aturan syari’at tersebut. Banyak sekali nash Al-Qur’an maupun sunnah yang menegaskan bahwa Allah menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya – termasuk tata aturan syari’at – tidak secara sia-sia, namun dengan tujuan dan sasaran tertentu. Allah swt. berfirman:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”[1]

BAB II
 PEMBAHASAN

1.      Pengertian Maqashid al Syari’ah
a.      Secara Bahasa ( لغة )
Secara bahasa maqashid berasal dari  gabungan (idhafah) kata majemuk antara :
Maqashid dan al syariah    

المقاصدُ لغة: جمع مَقْصَدٍ، والمقْصدُ : مصدر ميمي مأخوذ من الفعل  قصد  "   يقال: قَصَدَ يقْصِد قصْدً ا وَمقْصَدً ا ,  فالقصْدُ والمقْصَدُ بمعنىٰ واحد. والقصْد يأتي في اللغة لمعان , المعنىٰ الأول: الاعتماد، والأَمُّ، وإتيان الشيء، والتوجّهُ[2] .

-          Maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegah teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
-          Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti: tempat menuju ke sumber  air
 (مَوْرِدُ الشَّارِبة الماء)[3]

b.      Secara Istilah   ( اصطلاحا)
Secara istilah terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam literature mereka diantaranya adalah:
1.      Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah
Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.[4]
2.      Al Izz bin Abdul Salam
Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan menolak kejahatan atau menarik kebaikan [5]

3.      Al Khadimi
Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[6]

4.      Ibnu Asyur
Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-hukum  yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan maqashid khusus.maqashid umum dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh syariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.[7]

5.      Ibnul Arabi dan Al Qadhi ‘Iyadh
Menyebutkan berhukum untuk menghidarkan kemudharatan adalah wajib, dengan tidak membebani seseorang. [8]


6.      As Syatibi
Beliau tidak  mengemukakan definisisecara spesifik tentang maqashid syariah disebabkan karena masyarakat umum sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung. [9]

7.      Dr. Wahbah Zuhaily
menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya. [10]

Definisi terakhir inilah yang menurut pemakalah lebih dekat kepada yang diharapkan, karena mendekati pengertian yang  jami’mani’

2.      Urgensi Maqashid al Syari’ah
Maqashid syariah memiliki peranan yang penting dalam proses terjadinya hukum, oleh karena itulah Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az Zuhaili, menyebutkan dalam kitabnya maqashid syariah,  ada beberapa faidah maqashid al syariah yang bisa dipetik diantaranya:
a.       Maqashid syariah dapat membantu mengetahui hukum-hukum yang bersifat  umum ( kulliyah) maupun parsial ( juz’iyyah )
b.      Membantu memahami nushsus syar’i secara benar dalam tataran praktek.
c.       Membatasi makna lafadz yang dimaksud ( madlul al alfadz ) secara benar, karena nash-nash yang berkaitan dengan hukum sangat variatif baik lafadz maupun maknanya. Maqashid al syari’ah berperan dalam membatasi makna yang dimaksud.
d.      Kembali ke maqashid al syari’ah ketika tidak terdapat dalil yang pasti dalam Al qur’an dan sunnah pada masalah-masalah yang baru ( kontemporer ), sehingga para mujtahid merujuk ke maqashid al syari’ah dalam istimbath hukum setelah mengkombinasikan dengan qiyas, ijtihan, istihsan, istislah dll.
e.       Maqashid al syari’ah membantu mujtahid untuk mentarjih sebuah hukum yang terkait dengan ( perbuatan manusia) af’al mukallafin sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat.[11]

3.      Istilah – istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah
a.     Al-Hikmah ( الحكمة )
Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah dari pensyariatan hukum.  Al-hikmah memiliki arti yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap digunakan oleh fuqaha.Contohnya Ibn Farhun berkata:"Dan adapun hikmah qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala bencana, mencegah orang zalim, membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran".[12]
b.      Al-'illat  العلة))
Sebagian  ulama yang menganggap bahwa maqasid itu ialah 'illat-''illat yang terkandung di dalam pensyariatan hukum. Al-Ilat ialah sifat zahir yang ada pada hukum syara.[13]
Sifat yang ada pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan maqasid syara.Ini menjadikan al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata lain, maqasid sesuatu hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah ini lebih banyak digunakan di dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum syara' [14]

c.       Al-ma'na  ( المعنى)

Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid kecuali al-ma'na lebih popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.

4.      Metode Penetapan Maqashid al Syari’ah (طرق اثبات مقاصد الشريعة )
Ibnu Asyûr berpendapat bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari syari’at melalui tiga cara penetapan yaitu:[15]

 Pertama, penelusuran (istiqra’) terhadap hukum-hukum syari’at yang telah diketahui ‘illat-nya secara tekstual, atau melalui penggalian ‘illat melalui penalaran.

 Kedua, dalil-dalil Al-Qur’an yang lugas sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas menentukan tujuan tertentu di balik pensyari’atan sebuah kasus hukum. Ketiga, sunnah mutawatirah.

Menurut Asy-Syathibi, ada tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan dari syari’at (maqashid syari’ah)
Pertama, bahwa maqashid syari’ah tidak bisa diketahui kecuali dukungan nash sharih yang menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah mengarahkan nash atas sisi dhahir-nya saja. Ini adalah metode Madzhab Dhahiriyah yang hanya memandang makna dhahir dari nash untuk menentukan maqashid syari’ah.
Kedua: klaim bahwa maqashid syari’ah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash, namun hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syari’at, hingga tak tersisa sedikitpun sisi dhahir dari nash yang dapat dijadikan pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah pembatalan syari’at, sebagaimana yang dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
Ketiga, maqashid syari’ah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas secara moderat dan sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir tanpa mengesampingkan makna atau hikmah tersembunyi di balik itu, atau sebaliknya, dengan menggali makna atau hikmah di balik pensyari’atan sebuah hukum tanpa bertentangan dengan sisi dhahir nash. Dan, inilah yang dijadikan pijakan oleh manyoritas ulama’.

Karenanya, Asy-Syathibi memberikan kesimpulan bahwa maqashid syari’ah bisa diketahui dengan tiga cara yaitu:
Pertama, cukup mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan.
 Kedua; dengan memandang ‘illat-’illat dari perintah atau larangan, seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara keturunan.
 Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum syari’at, Syari’ memiliki tujuan pokok (maqashid ashliyyah) dan tujuan pelengkap (maqashid tabi’ah), adakalanya tertera secara eksplisit, tersirat secara implisit, ataupun didapatkan dari hasil penelusuran (istiqra’) terhadap nash. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap maqashid yang tidak tertera dalam nash namun tidak bertentangan dengan ketentuan di atas, adalah termasuk dalam maqashid al syariah.[16]

5.     Syarat - syarat  berhujjah dengan Maqashid al Syari’ah ( ( شروط حجية
مقاصد الشريعة
Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-syarî’ah haruslah memenuhi empat macam kriteria [17]:
Pertama, maqashid syari’ah haruslah tsabit, (ثابت )
Maksudnya bahwa sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum bisa direkomendasikan sebagai tujuan syari’at apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni (asumsi) yang mendekati kepastian.

Kedua, maqashid syari’ah haruslah zhahir ( ظاهر )
 Dalam artian bahwa para ulama’ tidak mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan syari’at (‘illat). Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan, tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama’.
Ketiga, maqashid syari’ah haruslah mundlabith ( منضبط )
 Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar yang jelas (jami’ mani’), seperti perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannya khamr.
Keempat, maqashid syar’ah haruslah muththarid ( منطرد )
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau berubah karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan kemampuan atas nafkah yang menjadi persyaratan dari kafa’ah dalam nikah. Dengan demikian setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria di atas, bisa dinyatakan sebagai maqashid syari’ah. Sedangkan hal-hal yang hanya berdasarkan wahm (kemungkinan tanpa dasar) atau takhayyul (imajinasi) dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-syari’ah.[18]


6.      Klasifikasi Maqashid al Syariah
a.      Maqasid al Syariah berdasarkan tujuannya terbagi dua :[19]

A.    Maqasid Syari'
Yaitu maqasid yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah ( jalbil masholih wa daf’il madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di dunia dan di akhirat. Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian [20]:
1.      Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat .
2.      Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat untuk difahami.
3.      Tujuan Syari' (Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan. T
4.      Tujuan Syari' (Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum Syarak.

a.      Tujuan Allah menciptakan syariat.
Pada pandangan As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan (maslahah) kepada mereka dan menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka. Menururtnya segala apa yang disyariatkan tidak terlepas dari maqasid al syariah.  Tujuan syariat dibagi menjadi  tiga kategori yaitu[21] :



1.      Kepentingan Asas (al-Dharuriyyat) :
Yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia,  bagi tujuan kebaikan agama dan kehidupan di dunia dan akherat karena  kehidupan manusia akan rusak di dunia atau di akhirat jika kepentingan asas ini tidak ada atau tidak dipenuhi.


Sehingga dalam syariat dikenal dengan al dharuriyaat al khamsah ( lima hal yang sangat penting ) diantaranya adalah :
a.       Agama (        ( الدين
b.      Jiwa ( النفس (
c.       Akal ( العقل (
d.      Keturunan ( النسل   (
e.       Harta ( المال )
Kelima hal diatas merupakan maslahah yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu:
-          Mewujudkan dan melahirkan hukum (al  ijaad )
-          Menjagan kesinambungannya ( al hifd ) [22]

a.    Agama (        ( الدين
Syariat mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan segala konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dll. Dasar – dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi mungkar.[23]
b.      Jiwa ( النفس  )
Syariat mewujudkannya dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak keturunan dan generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula ketika Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa manusia.[24]

c.     Akal ( العقل )
Merupakan karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar,
d.    Keturunan ( النسل     (
Disyariatkan menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan menjauhi hal-hal yang dapat menjeerumuskan ke zina. Begitupula dengan diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan zina. [25]
e.    Harta ( المال )
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta tersebut.

2.          Kebutuhan Biasa (al-Hajiyat) :
Ia merupakan keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya kehidupan manusia akan menjadi tidak sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat adalah:
-       Syariat membolehkan rukhsah dalah ibadah untuk memudahkan kesulitan yang terjadi dalam melaksanakan perintah.
-       Dalam muamalah, syariat membolehkan jaul beli yang merupakan pengecualian dari kaodah umum jual beli, seperti salam, ijarah, dan muzaraah.
-            Dalam masalah Uqubah ( hukuman), syariat membolehkan kaidah dar’ul huduud bi al syubuhaat ( menunda hudud karena tuduhan ) atau diyat atas keluarga terpidana sebagai keringanan banginya.[26]

3.      Keperluan Mewah (al-Tahsiniyat)
Kondisi ini merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan kenyaman hidup.
Seperti:
-       Menutup aurat, mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus ketika memasuki masjid dan bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah, shadaqah, shalat sunnah dll.
-       Dalam muamalah, dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian orang lain dll.
-       Dalam ‘adat, diajarkan cara makan dan minum yang baik
-       Dalam uqubah, dilarang mutilasi dalam qishas dll.[27]

Yang menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan kepentingan biasa ( al hajiyat ), sebagai pendukung saja.
Sementara keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu diprioritaskan dalam menentukan hukum.


Berdasarkan pertimbangan itulah al-Syatibi membentuk beberapa kaidah berikut  :
-          Kepentingan asas primer ( al dharuriyat) sebagai dasar dari kebutuhan biasa/sekunder al hajiyat dan (kebutuhan tertier) al tahsiniyat.
-          Kerusakan kepentingan asas menyebabkan kerusakan pada kepentingan yang lain.
-          Tidak semestinya kerusakan keperluan lain boleh merusakkan kepentingan asas.
-          Wajib menjaga keperluan biasa dan keperluan mewah bagi tujuan menjaga keperluan asas.

B.     Maqashid al Mukallaf (hamba)
                        Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam melakukan sesuatu perbuatan. Maqasid mukallaf berperanan menentukan sah atau batal sesuatu amalan.  kaidah berperan dalam maqashid mukallaf adalah:[28]
Maqashid mukallaf hendaklah selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada yang ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyariatannya, sesuatu itu dianggap telah menyalahi syariat.[29]

Kategori maqasid berdasarkan korelasinya dengan hukum terbagi dua yaitu:
1.      Maqasid umum (maqasid ammah)
Yaitu makashid  yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan semua atau sebagian besar hukum-hukumnya.
Contohnya menegakkan keadilan, menghasilkan kebaikan, menolak keburukan dan kemudharatan diantara manusia.[30]

2.      Maqasid khusus (maqasid khassah)
Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariah dalam menentukan hukum-hukum tertentu. Contohnya hukum-hukum muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya.
7.      Kaidah – kaidah Umum yang merupakan turunan dari Maqashid al Syariah
Berdasarkan asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath sehingga menghasilkan turunan  kaidah – kaidah ushuliyah, diantaranya:[31]
a.       الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat dapat membolehkan perkara yang dilarang
Contohnya: memakan sesuatu yang haram karena dharurat

b.      الضرر يزال
Kemudharatan harus dihilangkan
Contoh: khiyar ( pilihan ) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena ada kekurangan dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.

c.       الضرورات تقدر بقدرها
Kondisi darurat memiliki batasan tertentu.
Contoh: mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan dijadikan kebutuhan pokok.

d.      المشقة تجلب التيسير
Kesulitan mendatangkan kemudahan
Contoh: shalat jamak dan qashar dalam perjalanan.

e.       يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Kemudharatan yang sifatnya lebih kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Contoh: Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia tidak minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.

f.        درء المفاسد أو لى من جلب المصالح.
Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Contoh: larangan ekspor barang keluar negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang tersebut pada kondisi sulit.


PENUTUP

KESIMPULAN
Setelah meneliti dan menelaah sumber-sumber yang terkait dengan maqashid syariah maka penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
1.      Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia baik yang berkaitan dengan individu maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas dengan meletakkan dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan syariat.
2.      Maqashid syariah menaungi keseluruhan hukum yang bersandar kepada tujuan-tujuan umum syariat.
3.      Maqashid syariah mencakup aspek-aspek, dharuriyat, hajiat dan tahsiniyat.
4.      Maqashid syariah berperan dalam mewujudkan hukum ( Iijad) dan menjaga kesinambungannya ( hifdz ).
5.      Maqashid syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatan.
6.      Ulama meletakkan kaidah-kaidah umum yang bertujuan menjaga syariat dan melindungi hak-hak manusia secara pribadi maupun secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Al Qur’an Al Karim
2.      Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasati al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1990M.
3.      Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl, Beirut, Dâr al-Fikr, tt.
4.      Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot, Penerbit Dar        Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H
5.      Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid I'nda al-Imam al-Syatibi, Beirut tt.
6.      Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt.
7.      Fairuz Abadi,Qamus Al Muhith 2/327,Muasasah Ar Risaalah, Beirut tt.
8.      Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun 1996
9.      Ibnu Faris, Mu’jam Maqayiis Al Lughaat, Iitihad al Kitab Al Arabiyyah, tahun 2002
10.  Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Mesir, tahun 1301H.
11.  Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is,Tahun 2001
12.  Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is, tahun 2001
13.  Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah al Haditsah, 1991
14.  Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi, Qatar , tahun 1998
15.  Wahbah al-Zuhaylî,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998


[1]  Al Qur’an Surat Al Mukminun: 115
[2]  Lihat Qamus Al Muhith 2/327, Mu’jam Maqayiis Al Lughaat 5/95, Al Mishbah al Munir 2/692, Muhtarus sihhah  hal. 536, Tahdziib Asmaa Al Lughaat 2/92
[3]  Lihat kitab As shihah karangan Az Zuhri 3/1236
[4]  Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun 1996 jilid 3 hal 37
[5]  Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt. Jil 1 Hal .9
[6]  Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , tahun 1998  hal.50  
[7]  Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is, tahun 2001,    hlm. 190-194.
[8]  Ibid 5
[9]  Ibid 5
[10]  Wahbah al-Zuhaylî,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998., juz II hlm. 1045.

[11]  Lihat kitab Maqashid al Syariah al islamiyah, Prof.Dr. Muhammad Musthafa Az Zyhaily 1/9 maktabah syamilah
[12]   Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah al-Ilmiyyah, Mesir, 1301H hal.8 tt

[13]  Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Dimasyq, 1986, jil.1, hal 646

[14]  al-Raisuni, opcit,
[15]  Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is, 2001, hlm.         190-194.

[16]  Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot, Penerbit Dar        Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H
[17]  Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit.., juz II hlm. 1047; Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit., hlm. 252-253
[18]  Ibid 16
[19]   As Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut ,Dar al-Ma'rifah, 1416H/1996M, jil: 2/321.

[20]  Ibid 18
[21]  Ibid 18
[22]     DR. Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit Muasasah Ar Risaalah, Beirut 1427H/2006M      cetakan ke 15
[23]  ibid
[24]  Lihat Kitab al Mustashfa Karya Abu Hamid Al Ghazali kitab Al Mustashfa 1/287
[25]  Ibid 21

[26]  Lihat Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, Abdul Karim Zaidan hal 380.
[27]  ibid
[28]  As Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut ,Dar al-Ma'rifah, tahun 1416H/1996M

[29]  Ibid op cit
[30] Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah al-Haditsah, 1991,hal.112

[31] Lihat Kitab Al Wajiz fi Ushulil fiqh ,DR. Abdul Karim Zaidan halaman 383

Asbabul Wurud Al Hadits



Setelah Al Qur’anul Karim, hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat penting, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq[1]
Seperti yang disebutkan didalam Al Qur’an:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kapada umat manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya mereka memikirkan.”. [2]
Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kepada umat manusia mengenai Al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap apa- apa yang tidak dijelaskan didalam     Al-Qur’an.
Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, hadits sendiri sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-Qur’an. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu hadits dengan “baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat metodologi dalam memahami hadist.
Ketika kita mencoba memahami suatu hadits, tidak cukup hanya melihat teks haditsnya saja, khususnya ketika hadits itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu hadits, perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa hadits itu disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks historisitasnya ( asbabul wurud) seseorang akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadits, bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapa asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu hadits, seperti pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud. Sebagian hadits mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadits. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami hadits. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.

Pengertian Asbabul Wurud
a.     Secara bahasa (etimologis)
Asbabul wurud  merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata ( أسباب) “asbab” adalah bentuk jamak dari kata  (  سبب  ) “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan  (  ( الحبل “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah [3] :
كل شيء يتوصل به الى غا ية
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada  pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
            الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “ [4]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadits.



b.     Secara Istilah
Asbabul wurud  merupakan susunan idhafah ( kata majemuk )  yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا يته[5]
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada  pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[6]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadits.
Menurut as-Suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits.[7]
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-hadits, yakni untuk menentukan takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut [8] :
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang  terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah)untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadits [9]



C.  Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut Imam  as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu [10]:
1)      Sebab yang berupa ayat al-Qur’an
2)     Sebab yang berupa Hadis itu sendiri
3)     Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” [11]
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata ( الظلم (“azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan  dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” [12]
2.     Sebab yang berupa Hadits.
Artinya pada waktu  itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” [13]
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat”sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
3.     Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Siniyakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nyaseandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”.[14]
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadisSebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, kultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan perananasbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut Imam as-Suyuthi antara lain untuk [15]:
1.       Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2.      Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3.       Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4.      Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
5.      Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6.      Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)

Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم[16]
“Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda: ” Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadits tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi :
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا[17]
“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
من سن سنة حسنة  … الحديث
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum padamatan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.[18]
E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbabul wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah:
1.       Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2.      Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
3.      Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
4.      Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi (w.1110 H.)

BaB III: PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.       Asbabul warud al-hadits merupakan konteks historisitas yang melatar belakangi munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadits itu di sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya suatu hadis.
2.      Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadits, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
3.      Dari beberapa definisi asbabul wurud yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian asbabul wurud tersebut lebih mengacu pada asbabul wurud khas (asbabul wurud mikro). Di antara fungsi dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan ada tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci yang masih global, menentukan ada tidaknya nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hukum, dan menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).
4.      Tampaknya perlu dikembangkan asbabul wurud ‘am (asbabul wurud makro), yaitu situasi sosio-historis yang lebih bersifat umum di mana dan kapan Nabi SAW menyampaikan sabdanya dan hal ini memerlukan kajin sejarah yang sangat detail.
Daftar pustaka

1.       Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
2.      Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim,  Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1
3.      Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo, 2008, Cet ke 5
4.      Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2
5.      Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
6.      Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar 
7.      Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , dalam muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
8.      Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits  Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
9.      Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997).




[1] Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim,  Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1

[2]  QS. An-Nahl :44
[3] Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , Ktab muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif. Hlm 32
[4]  Munzier Suparta, Ilmu Hadits  Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, tahun 2008 , hlm. 38-.39

[5] Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25

[6] Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , Kitab Muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
[7] Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
[8]  Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

[9]  Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar tt  Hlm.05

[10]   Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin as Suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M juz I
[11]Al Qur’an: Al-An’am: 82
[12]  Q.S:  al-Luqman: 13)
[13]  HR. Hakim
[14]  H.R. Abdurrazzaq dalam Kitab Al-Mushannafnya.

[15]   Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin as suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M juz I

[16]  HR. Ahmad
[17]  HR. Muslim
[18]   Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin as suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M