Kamis, 29 September 2016

KETIKA IMAM GHAZALI BERCERITA TENTANG IMAM SYAFI’I




Ihya Ulumuddin, sebuah karya Magnum Opus[1] dari ulama terkenal Mazhab Syafi’i, dialah Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H), terkenal dengan sebutan Imam Al Ghazali, sang Hujjatul Islam (Pembela Islam). 

Kitab yang agung mengupas sisi-sisi unik kehidupan, meski tak sedikit kalangan yang mencibir tentang kitab al Ihya, namun sungguh bagi orang yang berakal sehat, tentu ia akan berfikir bahwa titik noda hitam kecil dalam selembar kain putih, tentu tak sontak merubah warna kain tersebut menjadi hitam.

Lihatlah betapa keluhuran ilmu akhlak seorang ulama,Imam Asy Syafi’I, bukan dirinya yang menceritakan namun seorang ulama besar setelahnya, menceritakan dengan runut dalam kitabnya Ihya Ulumuddin.

Al Ghazali berkata,”Kami menceritakan ulama Islam, kalian tahu bahwa apa yang kami sebutkan ini bukanlah untuk membuat noda bagi mereka, namun  pada ulama-ulama seperti Imam Malik,  Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Sufyan Tasuri terkumpul pada diri mereka sifat-sifat mulia; abid ( ahli ibadah) Zahid (zuhud terhadap dunia) ‘Alim ( berilmu), ikhlas karena Allah  dan Faqih (paham).[2]
Imam Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.

Berkata Ar Rabi’,” Imam Syafi’i khatam Al Qur’an sebanyak 60 kali pada bulan Ramadhan, semuanya dikhatamkan di dalam shalat.

Imam Syafi’i berkata,” Aku tak pernah kenyang sejak enam belas tahun lalu, karena kekenyangan dapat  menambah berat badan, mengurangi kecerdasan,  membuat hati keras dan malas beribadah.
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang suatu permasalahan, namun ia diam tak menjawab, lalu seseorang berkata,” Wahai Imam, mengapa anda tidak menjawab?”. Lalu ia berkata,” Hinga aku tahu keutamaan itu dalam jawaban, atau diamku.”

Imam Syafi’i berkata,” Seorang ahli hikmah menasehati ahli hikmah lainnya,” Engaku telah diberikan ilmu, jangan engkau kotori ilmumu dengan gelapnya dosa, dan engkau tetap dalam kegelapan itu, saat ahli ilmu sedang berjalan dengan cahaya ilmunya”.

Sedangkan sifat zuhudnya terlihat saat Imam Syafi’I berkata,” Barang siapa yang terkumpul dalam dirinya cinta dunia dan cinta sang Pencipta, sungguh ia pendusta”.  Suatu hari Imam Syafi’I menuju Yaman dengan beberapa tokoh, lalu ia kembali menuju Mekkah dengan membawa sepuluh ribu dirham yang dibagi-gabikan kepada manusia, hingga tak tersisa sama sekali. Pernah suatu kali, cemeti yang ada ditangannya terjatuh. Lalu seseorang mengambilkannya dan ia memberikan lima puluh dinar atas perbuatan orang tersebut. karena menurut beliau zuhud adalah, barangsiapa yang mencintai sesuatu ia akan menahannya,taka da orang yang enggan berpisah dengan harta melainkan orang yang merasakan dunia itu kecil dihatinya.   

Telah meriwayatkan Abdullah bin Muhammad al Balwi, ia berkata,”Aku bersama Umar bin Nabatah sedang duduk mengingat seorang hamba ahli ibadah lagi zuhud. Lalu Umar bin Nabarah berkata,”AKu tak melihat orang yang lebih wara’ dan fasih selain Muhammad bin Idris  Asy Syafi’i”.
Suatu hari  Al Harits bin Labid pergi ke Shafa, ia adalah murid Shalih al Mari, ia dikaruniai suara yang indah, saat sedang shalat ia membaca ayat Al Qur’an:

هَذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُونَ (35) وَلَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ (36)

Inilah hari saat mereka tidak bisa berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan”. (QS. Al Mursalat: 35-36)

Aku melihat Imam Syafi’I setelah mendengar ayat itu, memucat warna kulitnya, bergetar hebat dan akhirnya terjatuh pingsan. Saat terjaga ia berdoa:

“Aku berlindung dari termasuk golongan pendusta dan pembangkang”. Ya Allah Engkaulah tempat tunduknya hati-hati orang-orang yang arif dan merindukan-Mu, ya Allah berikanlah kemurahanmu dan pengampunanmu untuk mengampuni kelemahan dan kekurangan ku dengan kemuliaan wajah-Mu ya Allah”.

Obat dari Riya

Imam Syaf’i pernah ditanya tentang sifat riya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau bangga dengan amalmu , lihatlah keridhaan Allah, pahala apa yang kau harapkan, azab apa yang kau takuti, nikmat apa yang kau syukuri, ujian apa yang kau ingat, jika engkau berfikir satu saja dari sifat tersebut, maka amalmu akan terasa kecil.

Imam Syafi’I berkata

من لم يصن نفسه لم ينفع علمه, من أطاع الله تعالى بالعلم نفعه سره ,ما من أحد إلا له محب ومبغض ,فإذا ان كذالك فكن مع أهل طاعة الله عز وجل

Barangsiapa yang tidak bisa menjaga dirinya, maka ilmunya sia-sia, barangsiapa yang menaati Allah dengan ilmunya, Allah akan memberi manfaat secara diam-diam, taka da seorangpun melainkan ia memiliki yang dicinta dan dibenci, hendaklah kalian bersama ahli taat kepada Allah.[3]

 Imam Ahmad berkata,”Aku shalat selama 40 tahun lalu, aku selalu mendoakan Imam Syafi’I . lihatlah betapa akhlaq para ulama terdahulu keluhuran budi pekertinya. Itulah sekelumit yang diceritakan Al Ghazali. Ia berkata,”Aku menukilkan kisah tersebut dari kitab Manaqib As Syafi’i Syaikh Nasr bin Ibrahim Al Maqdisi, semoga Allah merahmati beliau semuanya.


[1] Fenomenal, karya besar
[2] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1971) j. 1h. 41
[3] Ihya Ulumuddin hal. 44
 

BAGAIMANAKAH HUKUM DOA AWAL TAHUN BARU ISLAM?




Tanya:
Assalamualaikum
Ustadz adakah dalil dan syariat dari doa awal tahun atau doa akhir tahun, mohon penjelasannya, terimakasih ustaz.

 Widodo (Depok)
Wassalamualaikum
Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim Bapak Widodo di Depok, semoga selalu dalam lindungan Allah. 

Fenomena awal tahun baru masehi yang sarat dengan hingar bingar pemborosan dan hura-hura, bahkan maksiat, membuat sebagian orang untuk membuat "perimbangan" dengan memperingati tahun baru Islam dengan doa dan amalan-amalan khusus. Kemudian berkembang di tengah masyarakat ritual-ritual tambahan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam terutama terkait dengan tahun Baru Islam di Bulan Muharram.

Sejarah Penanggalan Hijriyah
 
Penanggalan hijriyah dalam sejarah dikenal pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Pada tahun ketiga beliau memerintah, mendapat sepucuk surat dari  Abu Musa Al Asy’ari yang isinya kerancuan tanggal dari perintah Umar bin Khatab saat Umar menulis bulan Sya’ban. Namun Abu Musa Al Asy’ari sebagai gubernur Bashrah ragu untuk menindak lanjuti surat tersebut,  apakah bulan Sya’ban tahun ini atau tahun depan.

Lalu Umar mengumpulkan sahabat dan meminta pendapat. Ada diantara mereka yang mengusulkan menggunakan penanggalan Romawi. Sampai kepada Ali bin Abi Thalib yang mengusulkan penanggalan islam yang diawali dengan hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Lalu Umar bin Khattab menerima usul tersebut dan menetapkan sebagai tahun pertama Hijriyah di Bulan Muharram.[1]

Sedangkan Ibnu Hajar Al Atsqalani menyebutkan dalam Al Fath:

أَنَّ أَبَا مُوسَى كَتَبَ إِلَى عُمَرَ إِنَّهُ يَأْتِينَا مِنْكَ كُتُبٌ لَيْسَ لَهَا تَارِيخٌ فَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْمَبْعَثِ وَبَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْهِجْرَةِ فَقَالَ عُمَرُ الْهِجْرَةُ فَرَّقَتْ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ فَأَرِّخُوا بِهَا وَذَلِكَ سَنَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ

 Abu Musa menulis kepada Umar,”Telah datang kepada kami surat darimu tanpa tanggal. Lalu Umar mengumpulkan sahabat, dan sebagian mereka berkata,”Tulis tanggal dengan  pedoman diutusnya Nabi”. Dan sebagian  berkata,” Tuis dengan pedoman hijrah. Lalu Umar berkata,” Tulislah dengan pedoman hijrah untuk membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dan akhirnya dituliskan pada tahun ke 17 Hijriyah.[2]

Adakah Amalan Khusus Malam Tahun Baru Muharram?

Tidak ditemukan dalil khusus tentang amalan-amalan khusus pada malam tahun baru (Muharram). Sebagian dalil baik doa maupun ibadah memiliki kelemahan dari sisi periwayatan.

Misal:

Dalil yang digunakan adalah berikut ini.


مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
  1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
  2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perawi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
  3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits

 Namun secara umum ada dalil yang menyatakan tentang keutamaan bulan Muharram, yaitu sebagai bagian dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan haram).

Firman Allah:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9]: 36)

Menurut As Sa’di dalam tafsirnya bahwa pelarangan kezaliman khusus pada empat bulan haram yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab. 

ويحتمل أن الضمير يعود إلى الأربعة الحرم، وأن هذا نهي لهم عن الظلم فيها، خصوصا مع النهي عن الظلم كل وقت، لزيادة تحريمها، وكون الظلم فيها أشد منه في غيرها

“Kata ganti pada ayat tersebut mengacu pada empat bulan haram, begitu pula pelarangan kezaliman, namun secara khusus pelarangan tersebut berlaku setiap saat. Namun kezaliman pada empat bulan tersebut lebih besar, dan keharaman pada empat bulan tersebut lebih besar dibanding bulan-bulan lain.[3]

Keharaman tersebut terbagi menjadi dua, keharaman melakukan qital (peperangan, pembunuhan). Dan keharaman berbuat dosa.

Adapun keutamaan puasa muharram seperti disebutkan dalam hadits:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. HR. Muslim no. 2812


Kesimpulannya: 


  1. Dalil-dalil amalan khusus pada awal tahun baru Islam ( Doa awal dan akhir tahun, zikir khusus, puasa khusus), tidak memiliki dasar yang kuat. Sehingga dikembalikan kepada ibadah-ibadah umum yang nilai keutamaannya mengikuti kemuliaan bulan Muharram. Demikian seperti disebutkan Oleh Muhammad Jamaluddin al Qashimi,”Bahwa amalan pada malam tahun baru secara khusus tidak ada ketentuan dari Nabi atau sahabat maupun Tabiin.[4]
  2. Tidak dilarang ibadah-ibadah umum seperti shalat tahajud, membaca Al Qur'an, zikir, doa dan sejenisnya menurut keumuman dalil ibadah, tanpa ada pengkhususan.


Wallahu A’lam













[1] Muhammad as Shalabi, Fashlul Khitab Fi Sirah Umar Bin Khattab, 1/150
[2] Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fath al Bari, (Beirut: Dar Ma’rifah, 1379) J.7/268
[3]  Abdurrahman Nashir As Sa’di, Taisir al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam al Mannan, (Muassasah Ar Risalah, 1420H) J.1/336.
[4] Muhammad Jamaluddin Al Qashimi, Ishlahul Masajid, (Beirut, al Maktab Al Islami, 1399H)  h. 10

Selasa, 27 September 2016

SETIAP MUSLIM BERSAUDARA, BERDAMAILAH




إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujurat [49]:10)

Tinjauan Bahasa


إِخْوَةٌ

Bersaudara

فَأَصْلِحُوا

damaikanlah (perbaikilah hubungan)

Kandungan Ayat

Ayat ini memiliki korelasi dengan ayat sebelumnya, yaitu saat dua golongan kaum muslimin berselisih pendapat bahkan terbawa dalam peperangan seperti kisah dalam perang Shiffin dan Perang Jamal. Al Qurthubi dalam Tafsirnya menyebutkan bahwa Ahlul Bagy (Pihak yang melawan pemerintahan yang sah) mereka masih sama-sama beriman kepada Allah. Buktinya adalah Allah masih menyebut mereka sebagai  ikhwatan mukminin (saudara seiman) meski mereka membelot Al Harits bin Al A’war berkata,” Ali bin Abi Thalib menceritakan, saat ditanya apakah Ahlul Baghy musyrik? Ali bin Abi Thalib menjawa,” Tidak”. Mereka bertanya kembali,” Apakah mereka munafiq?’. Ali bin Abi Thalib menjawab,”Tidak, karena kaum munafik tidak mengingat dan menyebut nama Allah melainkan hanya sedikit. Mereka bertanya kembali,” Lalu bagaimana keadaan mereka?”. Lalu Ali bin Abi Thalib menjawab:[1]
إخواننا بغوا علينا.
Mereka adalah saudara kami yang membelot dari kami

Seorang muslim itu bersaudara, dalam agama dan kehormatan, bukan hanya dalam nasab. Karena ikatan persaudaraan secara agama lebih kokoh dibanding ikatan persaudaraan karena nasab. Buktinya, ikatan persaudaraan karena nasab bisa terputus karena murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga tidak memiliki hak-hak semestinya dalam agama, misal, hak waris. Salah satu yang menyebabkan terputusnya hak waris adalah jika ahli waris berbeda agama dengan si mayit.
 Syekh Wahbah Zuhaili mengungkapkan bahwa setiap muslim harus mewaspadai terjadinya sengketa yang terjadi antara dua orang muslim. Karena akibat sengketa tersebut bisa meluas sehingga menyebar menjadi perselisihan dua golongan besar dari kaum muslimin. Dan persaudaraan yang sebenarnya adalah persaudaraan dua orang mukmin.

كلمة إِنَّمَا للحصر تفيد أنه لا أخوة إلا بين المؤمنين، ولا أخوة بين المؤمن والكافر، لأن الإسلام هو الرباط الجامع بين أتباعه، وتفيد أيضا أن أمر الإصلاح ووجوبه إنما هو عند وجود الأخوة في الإسلام، لا بين الكفار

Kalimat “Innama” fungsinya sebagai pembatas ( lil hashr) maksudnya adalah tiada persaudaraan kecuali antara sesama mukmin. Tidak ada persaudaraan antara mukmin dan kafir. Karena Islam merupakan pemersatu diantara pengikutnya. Ayat ini juga memiliki maksud bahwa wajibnya perdamaian (islah) jika terdapat persaudaraan seagama islam, bukan dengan orang kafir.[2]

Hadits-Hadits Tentang Persaudaraan Muslim

1.      Sesama muslim ibarat satu tubuh


عَن النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوادِّهم وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالحُمَّى والسَّهَر

“Dari Nu’man bin Basyir berkata,” Telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,” Perumpamaan mukmin dalam berkasih sayang dan interaksinya, seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan dengan panas dan terjaga.”(HR. Bukhari No. 6011, Muslim No.  2586)

2.      Dilarang berbuat zalim dan membiarkan saudara

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَخْبَرَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, telah bercerita kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab bahwasanya Salim mengabarkan kepadanya, bahwasanya Abdullah bin Umar Radhiyallahuanhuma mengabarkannya,” bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,” Seorang muslim adalah bersaudara, tidak boleh berbuat zalim, dan tidak boleh membiarkannya (cuek). Barangsiapa yang menolong keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya, barangsiapa yang menolong kesulitan saudaranya maka Allah akan menolong kesulitannya pada hari kiamat, barang siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”[3] ( HR. Bukhari)


3.      Allah akan menolong hamba, selama ia menolong saudaranya


وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Allah akan menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya ( HR. Muslim, No. 2699)


4.      Doa saudara Muslim terkabul

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم "إِذَا دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلِهِ

Dari Abu Darda berkata,”Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda,”Jika seorang muslim mendoakan saudaranya diam-diam, malaikat berkata,”Amiin” bagimu demikian”. (HR. Muslim No. 2732)

 
5.      Tidak boleh merendahkan dan meremehkan

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ اَلتَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
.
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa adalah di sini. – Beliau menunjuk dadanya tiga kali-. (kemudian beliau bersabda),”Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR. Muslim No.2564 dari Hadits Abu Hurairah)

6.      Larangan tidak bertegur sapa melebihi tiga hari

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ»

“Telah berkata bercerita kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata,” Aku membaca atas Malik dari Ibnu Syihab dari Atha bin Yazid Al  Laitsi dari Abu Ayub Al Anshari, bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak dihalalkan bagi seorang muslim berpaling dari saudaranya melebihi tiga hari, mereka bertemu namun saling menghindari, yang paling baik diantara mereka adalah yang terdahulu memulai salam.” (HR. Muslim No. 2650)


7.      Sesama muslim saling menguatkan

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan. [Muttafaq ‘Alaihi].

Menurut As Sa’di persaudaraan sesama muslim tidaklah terpisah dengan batas-batas wilayah, artinya dimanapun muslim berada, selama beriman kepada Allah, para rasul, Malaikat, Kitab-kitab, hari akhir dan takdir maka mereka adalah saudara seiman yang memiliki ukhuwah imaniyah.[4]

Sayid Qutub mengatakan,” 

ومما يترتب على هذه الأخوة أن يكون الحب والسلام والتعاون والوحدة هي الأصل في الجماعة المسلمة

Sudah semestinya ukhuwah menjadi landasan bagi Jamaah kaum muslimin dengan  pondasinya cinta, salam (damai), kerjasama, dan persatuan.[5]

فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu

Kewajiban mendamaikan saudara seiman yang bertikai hendaklah dengan prinsip-prinsip keadilan, agar tujuan utama perdamaian tercapai.[6]

Kesimpulan

1.      Setiap muslim adalah bersaudara yaitu ikatan persaudaraan Islam merupakan ikatan akidah, lebih kokoh dari sekedar ikatan nasab, karena ikatan nasab bisa terputus jika berubah agamanya.

2.      Setiap muslim memiliki hak-hak dan keutamaan, ibarat satu tubuh yang memiliki peran dan kesatuan gerak.

3.      Hendaklah mendamaikan saudara muslim yang bertikai dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.

والله أعلم


[1] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, ( Kairo: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1384H) j. 16 h. 324
[2] Wahbah Az Zuhaily, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1418H), J. 26 h. 239
[3]  Imam Al Bukhari Shahih al Bukhari,  ( Dar Tuq An Najah, 1422H) j. 3 h. 128 No. 2442, Sahih Muslim No.  2580
[4] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Taisir al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan, (Muasasah Ar Risalah, 1420H) j 1. H. 800
[5]  Sayid Qutub, Fi Zilalil Qur’an, ( Beirut: Dar As Syuruq,  1412H) J. 6 h. 3343
[6] Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, (Tunis, Dar Tunis Lin Nasyr, 1984) J. 26 h. 246