Rabu, 07 Desember 2016

Tafsir Surat At Tahrim (Pembukaan)




A.    Indentifikasi  Surat

·         Surat ini  termasuk kedalam surat Madaniyah,
·          Jumlah ayatnya ada dua belas ayat,
·          Urutan surat ke enam puluh enam,
·         Berada pada juz 28
·         Turun setelah surat Al Hujurat
·         Nama surat
Imam Asy Syaukani menyebutkan dalam Fath al Qadir, nama surat At Tahrim disebut juga dengan surat An Nabi begitujuga disebutkan oleh Al Qurthubi, sedangkan Ibnu Mardawaih menyebutnya sebagai surat Al Muharram.[1]


B.     Munasabah (korelasi ) dengan Surat At Thalaq


Korelasi antara surat At Thalaq dengan surat At Tahrim adalah keduanya memiliki kedekatan pembahasan terkait hukum-hukum dan permasalahan keluarga, dan persoalan talaq.[2]

C.    Kandungan umum surat at Tahrim


Secara umum surat At Tahrim memberi pelajaran terkait dengan baitu an nubuwah (rumah tangga nabi) sebagai teladan kepada umat manusia, diantara pelajaran yang bisa kita petik dari surat ini diantaranya:[3]
·         Pelajaran bagi para istri agar tidak banyak membuat para suami gundah dengan tuntutan dan permasalahan yang dapat  membuat keretakan rumah tangga  ayat 1-5)
·         Gambaran tentang balasan di akherat bagi orang-orang yang beramal shalih, dan ancaman azab neraka kepada orang-orang yang mengingkari perintah Allah dan Rasul-Nya serta  anjuran bertaubat  atas dosa-dosa ( ayat 8)
·         Mengajarkan kepada setiap manusia untuk mendidik anak dan keluarga, serta menjaga mereka dari siksa neraka, (ayat 6)
·         Gambaran tentang wanita shalilahah dalam kehidupan  keluarga para nabi terdahulu yaitu keluarga nabi Nuh dan  nabi Luth serta kehidupan Maryam dan Asiyah sebagai contoh baik ( ayat 10-12).

D.    Sabab Nuzul Ayat

Ada beberapa riwayat tentang sabab nuzul surat at tahrim diantaranya:
ü  Nabi mengharamkan hamba sahayanya yaitu Mariah Al Qibtiyah

Ibnu Jarir menyebutkan:

كَانَ بَدْءُ الْحَدِيثِ فِي شَأْنِ أَمِّ إِبْرَاهِيمَ الْقِبْطِيَّةِ، أَصَابَهَا النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فِي نَوْبَتِهَا  فَوَجَدت حَفْصَةُ، فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، لَقَدْ جِئْتَ إليَّ شَيْئًا مَا جِئْتَ إِلَى أَحَدٍ مِنْ أَزْوَاجِكَ، فِي يَوْمِي، وَفِي دَوْرِي، وَعَلَى فِرَاشِي. قَالَ: "أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أُحَرِّمَهَا فَلَا أَقْرَبَهَا؟ ". قَالَتْ: بَلَى. فحَرَّمها وَقَالَ: "لَا تَذْكُرِي ذَلِكَ لِأَحَدٍ". فَذَكَرَتْهُ لِعَائِشَةَ، فَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ} الْآيَاتِ  فَبَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كفَّر عَنْ  يَمِينِهِ، وَأَصَابَ جَارِيَتَهُ

Permulaan pembicaraan pada peristiwa Ummu Ibrahim Al Qibtiyah ( Mariah Al Qibtiyah), yang berkumpul bersama nabi, dirumah Hafshah yang pada saat itu giliran Hafsah, lalu Hafsah berkata,” Wahai Nabi, sungguh engkau telah lakukan kepadaku, apa yang  tidak engkau lakukan kepada isteri-isterimu yang lain, pada hariku, giliranku dan tempat tidurku. Lalu nabi bersabda,”Apakah kamu ridha jika aku mengharamkannya (Mariah Qibtiyah) dan aku tak akan mendekatinya. Lalu Hafshah berkata,”Ya, lalu Nabi mengharamkannya, dan bersabda,” Jangan kamu sampaikan kepada siapapun. Namun Hafshah menceritakannya kepada Aisyah, dan Allah memberitahukan hal tersebut, maka turunlah ayat:

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu… (QS. At Tahrim:1)

Namun kemudian Rasulullah  menebus sumpah tersebut dan kembali bercampur dengan hamba sahayanya.[4]

ü  Sikap nabi yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah.
Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitab Sahihnya:
عَنِ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحش، وَيَمْكُثُ عِنْدَهَا، فتواطأتُ أَنَا وحفصةُ عَلَى: أيتُنا دخلَ عَلَيْهَا، فَلْتَقُلْ لَهُ: أكلتَ مَغَافير؟ إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ. قَالَ: "لَا وَلَكِنِّي كُنْتُ أَشْرَبُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحش، فَلَنْ أَعُودَ لَهُ، وَقَدْ حَلَفْتُ لَا تُخْبِرِي بِذَلِكَ أَحَدًا"،

Dari Aisyah ia berkata,” Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, meminum madu, di rumah Zainab binti Jahsy, dan tinggal beberapa lama disana. Lalu aku dan Hafshah kesana, dan masuk ke rumah Zainab, lalu berkata kepada Nabi,”Apakah engkau memakan maghafir (tumbuhan berbau busuk menyengat). Rasululla menjawab,“Tidak, tetapi aku meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy, aku tak kan kembali kesana, dan aku sudah bersumpah agar kau tak memberitahu siapapun. (Shahih Bukhari)[5].
 والله أعلم



[1] Asy Syaukani, Fath Al Qadir, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1414 H)  5/297
[2] Ar Razi, Mafatihul Ghaib, 30/40
[3] Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, (Tunisia: Dar Tunis lin Nasyr, 1984) juz 28/345
[4] Ibnu Katsir  (774H), Tafsir Ibnu Katsir, 8/159
[5] Sahih Bukhari, No. 4912

Rabu, 30 November 2016

AKSI BELAISLAM III

Wakil Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), Zaitun Rasmin, mengklaim sekitar 3 juta orang yang akan mengikuti aksi 'Bela Islam Jilid III' pada Jumat (2/12/2016).

Dia menjelaskan, peserta aksi 'Bela Islam Jilid III' itu mayoritas berasal dari DKI Jakarta.

Selain itu, massa datang dari sejumlah daerah di luar ibu kota, seperti Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi.

"Kami memperkirakan tak kurang tiga juta orang. Tetapi itu tergantung kondisi besok. Itu estimasi," ujar

Zaitun kepada wartawan saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Selasa (29/11/2016).

Selasa, 22 November 2016

GURU; PAHLAWAN TANPA TANDA JASA


Sebentar lagi hari guru nasional, tepatnya 25 November bertepatan dengan hari lahirnya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).
Guru,ustadz atau dosen adalah sinonim untuk orang yg berprofesi mengajar,memberi informasi baru dan memberi pencerahan di masyarakat baik melalui karya karya ilmiahnya maupun dengan keluhuran pribadinya.

Namun, bagaimana nasib guru, ulama dan ustadz sekarang? Anda pasti sudah tahu jawabannya. Memang ada guru yang serius mengajar ikhlas karena Allah,apalagi yg tinggal di daerah terpencil dg transportasi sulit. Harus menyeberangi sungai,bahkan tak jarang yg menginap meninggalkan anak dan istri. Tentu bisa di tebak berapa gaji mereka, mungkin hanya angka nol 4 digit, bahkan kadang tidak digaji, atau kadang telat.

Lain lagi dengan guru di perkotaan, untuk sekolah negeri berbeda dengan sekolah swasta. Guru disekolah negeri relatif lebih makmur dari segi gaji dan tunjangan. Rata rata mereka sdh punya rumah dan kendaraan roda empat. Berbeda dg guru swasta,relatif masih banyak yg 'ngontrak' dan kendaraannya motor 'jadul'. Padahal terkadang guru swasta lebih gigih mengajar dibanding guru negeri.
Belum selesai disitu, guru swasta yang mengajar disebuah yayasan, acap kali menjadi 'kelinci percobaan' dengan hak dan kewajiban yg bertolak belakang,bahkan banyak yayasan yang bersikap " Lu mau ngajar disini,ya harus ikut aturan sini,kalo ngga ya silahkan keluar". Sebuah kata kata bijak itu.

Nasibmu guru...
Digaji kecil untuk tugas yang sangat besar. Seperti amanat UUD 45" Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Cerdas secara akademik dan moral yang terpuji. Bahkan ada orang yg bilang, guru itu digaji main main untuk kerja serius. Kalau artis digaji serius untuk kerja main main.
Tapi ya begitulah...rata rata yayasan swasta hampir punya kisah yang mirip. Kepentingan, tekanan pemodal, hubungan antar karyawan, kesenjangan dan buruknya management.
Belum lagi tantangan guru swasta yg bekerja pada yayasan yg mematok tarif mahal utk uang masuk dan SPP,jelas orang orang kaya saja yg sekolah. Disini muncul permasalahan orang kaya, susah diatur dan sedikit sopan santun. Ya iyalah...

Mereka kan sudah bayar mahal,seolah nasib guru ada ditelunjuk mereka, boro boro salam, yang ada melengos dan acuh..
Namun guru tetap sabar....
Itu lagi menjadi tugas guru, memperbaiki moral murid murid manja itu. Terkadang guru harus mengalahkan keluarga mereka demi perbaikan akhlaq murid murid itu.
Salah satu kesalahan orang tua adalah menyerahkan sepenuhnya tugas perbaikan kepada guru, padahal sekolah,guru dan keluarga merupakan tiga pilar peradaban, tidak bisa hanya diserahkan kepada guru saja.

Belum lagi ancaman hukum dari laporan orang tua yang tak rela anaknya hanya sekedar di cubit, padahal bukan bermaksud melukai, namun karena murid tersebut yang sudah kebangetan banget dah. akhirnya nasib sang guru kebalik jeruji besi. manakah keadilan itu?

Namun ada keyakinan yg patut diacungkan jempol buat guru. Mereka mengajar ikhlas karena Allah,meski kadang beban hidup menghimpit.
Jika kau bertanya kepada guru, apakah yang membuat mereka bahagia? Mereka akan menjawab,"Saat kami melihat kesuksesan pada anak didik kami"
Jika kau bertanya, apa yang mereka inginkan? Mereka hanya menginginkan keberkahan hidup. Biarlah gaji kecil, namun ilmu berkah dan hidup berkah. Biarlah Allah yang menambahkan kekurangan itu.

Jika kau bertanya apa harapan mereka kelak di akherat? Mereka akan menjawab,"Aku berharap bisa masuk syurga bersama murid muridku,mereka yg menuntunku masuk kedalam syurga".
Jika gurumu masih hidup, hampiri dia, cium tangannya, boleh jadi kesuksesanmu adalah buah dari doa doa mereka, saat hanya mereka dan Allah saja yang tahu.

Selamat hari guru
Semoga ikhlas dengan ilmu dan amalmu

Kamis, 13 Oktober 2016

JAUHILAH PRASANGKA




يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang mengunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang ( QS: Al  Hujurat [49]:12


TINJAUAN BAHASA


الظَّنِّ

prasangka


وَلَا تَجَسَّسُوا

janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain

وَلَا يَغْتَبْ

Mengunjing

KANDUNGAN AYAT

Secara umum ayat ini berisi adab-adab berinteraksi dengan sesama manusia, seperti juga ayat-ayat sebelumnya. Diantara etika berinteraksi dengan sesama manusia dalam ayat ini adalah menjauhi prasangka. Hendaklah setiap kita berhati-hati dengan prasangka yang muncul, berfikir terhadap prasangka yang terbetik dalam hati, dari jenis manakah itu. Prasangka yang dibolehkan adalah berprasangka baik kepada Allah (huznuzhan) dan kepada sesama mukmin. Sedangkan prasangka yang diharamkan adalah berprasangka yang mengadung keburukan, baik kepada Allah maupun kepada sesama mukmin.[1]

Pengertian Dzan (الظن) menurut para ulama

·         Secara bahasa kata dzan menurut Ibnu Faris mengandung dua makna, yaitu yakin  (al yaqin)  dan ragu-ragu (as syak).juga bermakna tempat sesuatu (ma’lam syai), dugaan (tuhmah). Dzan merupakan lawan kata dari yakin.

Menurut Fairuz Abadi makna dzan adalah:

التردد الراجح بين طرفي الاعتقاد غير الجازم

Ketidakstabilan antara dua sisi yang paling kuat dengan keyakinan yang tidak kokoh.[2]
·         Sedangkan secara istilah, berikut ini pendapat para ulama:

1.      Menurut Jalaluddin Al Mahally
Makna dzan adalah
تجويز أمرين أحدهما أظهر من الآخر
Kebolehan dua perkara, yang satu lebih jelas dari yang lain.[3]

2.      Menurut Al Amidi

عبارة عن ترجح أحد الاحتمالين في النفس على الآخر من غير قطع
Ungkapan tentang kuatnya salah satu dari dua kemungkinan dalam diri, tanpa kepastian.[4]

3.      Menurut Ibnu Quddamah Al Maqdisi

Setiap jiwa yang memiliki sikap membenarkan sesuatu atau tidak, namun jika tidak maka tidak menafikan untuk diterima hal tersebut.[5]

4.      Menurut Az Zamakhsyari

Keyakinan terkuat dari dari dua sisi, dimana salah satu dari keduanya lebih ia dukung.[6]
Sedangkan menurut para alhi fikih, dhzan merupakan bagian dari keraguan (syak), karena mereka berada dintara dua kondisi, adanya sesuatu dan tidak adanya sesuatu. Meski sama atau menguatkan salah satu dari keduanya. Sehingga jika ada yang berkata,” Aku yakin seribu kali,”. Maka tidak dihukumi apapun karena makna intinya adalah keraguan.[7]

Menurut Syekh Shalih Utsaimin, tingkatan pengetahuan ada enam:[8]

1.      Ilmu (mengetahui sesuatu dengan data yang akurat)
2.      Jahl basith (tidak mengetahui secara umum)
3.      Jahl murakkab (mengetahui sesuatu yang bertolak belakang dengan yang sesungguhnya)
4.      Al Wahm (mengetahui sesuatu namun lawan dari pendapat yang kuat)
5.      Asy Syak (mengetahui sesuatu namun dengan pengetahuan buruk)
6.      Az Dzhan (mengetahui sesuatu namun dengan kemungkinan terburuk)

Dari data di atas ternyata dzan (prasangka) menduduki peringkat paling bawah dalam konteks pengetahuan. Oleh sebab itu menjauhi prasangka lebih berhati-hati dalam mengetahui sesuatu.

Beberapa pendapat Al Mufassirin Terkait Ayat

Imam Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa ayat ini berisi larangan kepada kaum muslimin untuk menjauhi banyak prasangka, yaitu tuduhan kepada sesama yang bukan pada tempatnya. Karena sebagian prasangka tersebut bisa menjadi dosa, jauhilah sebagai bentuk kehati-hatian.[9]

Ibnu Asyur menyebutkan dalam tafsirnya:

فَاعْلَمُوا أَنَّ بَعْضَ الظَّنِّ جُرْمٌ، وَهَذَا كِنَايَةٌ عَنْ وُجُوبِ التَّأَمُّلِ فِي آثَارِ الظُّنُونِ لِيَعْرِضُوا مَا تُفْضِي إِلَيْهِ الظُّنُونُ عَلَى مَا يَعْلَمُونَهُ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ، أَوْ لِيَسْأَلُوا أَهْلَ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ هَذَا الْبَيَانَ الِاسْتِئْنَافِيَّ يَقْتَصِرُ عَلَى التَّخْوِيفِ مِنَ الْوُقُوعِ فِي الْإِثْمِ

 Ketahuilah sebagian prasangka adalah kejahatan, ini ungkapan wajibnya memikirkan afek prasangka, untuk mengungkap prasangka tersebut terkait dengan hukum syariat, atau hendaklah ia bertanya kepada ahli ilmu bahwa penjelasan ini merupakan dampak, khawatir terjerumus terhadap dosa.[10]


 Umar bin Khattab berkata:
وَلَا تَظُنَنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ الْمُسْلِمِ إِلَّا خَيْرًا، وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلًا

“Janganlah kamu berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudara muslim melainkan kebaikan, sedangkan kamu melihatnya secara umum dalam kebaikan”.[11]

عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ  قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ وَيَقُولُ: "مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ. وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ، مَالُهُ وَدَمُهُ، وَأَنْ يُظَنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرٌ

“Dari Abdullah bin Amr berkata, “Aku melihat nabi Shaallahu alaihi wasallam tawaf di ka’bah dan berkata,”Betapa mulia dan semerbak dirimu ka’bah, betapa agung dan mulia kehormatanmu, demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh, kehormatan seorang mukmin disisi Allah, lebih mulia dari kehormatanmu, harta dan darahnya, dan hendaklah berprasangka kepada mukmin dengan sangkaan yang baik.[12]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ  أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا".

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah Shalallah Alaihi wa sallam telah bersabda,”Juhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu sedusta-dustanya perkataan, janganlah kalian memata-matai, jangan mencari-cari dengar, jangan saling bersaing, jangan hasad, jangan iri, jangan saling membelakangi, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari no. 6066,dari Abdullah bin Yusuf, HR. Muslim, 2563, dari Yahya bin Yahya dan HR. Abu Daud dari al ‘Utab)

Dalam hadits lain bersumber dari Anas bin Malik Rasulullah melarang seorang muslim menjauhi saudaranya melebihi tiga hari seperti dalam sabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقَاطَعُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ".
“Dari Anas bin Malik Radhiyallah Anhu Rasulullah bersabda,”Janganlah saling memutuskan silaturahim, jangan saling membelakangi, jangan hasad, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Muslim , 2559 dan At Tirmiz, 1935 dan ia mensahihkannya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah)


Larangan Ghibah
{وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا}
Janganlah menggunjing sebagian kalian dengan lainnya
Menurut Imam Ibnu Katsir juga, ayat ini merupakan larangan terhadap ghibah, yaitu membicarakan orang lain. Seperti termaktub dalam hadits:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ: "ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ". قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: "إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ"

“Dari Abu Hurairah berkata, seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah ghibah itu? Rasulullah menjawab,”Engkau menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak sukai, lalu orang tersebut berkata,”Bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan ada padanya?”. Rasulullah bersabda,” Jika yang engkau bicarakan ada pada dirinya maka engkau sudah melakukan kebathilan.  (Sunan Abu Daud 4874, Sunan Tirmizi, 1935)

{أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ}

“Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik”

“As Sa’di menyebutkan bahwa ayat ini mengumpamakan memakan bangkai, yang tidak disukai oleh siapapun, karena merupakan puncak rasa jijik. Maksudnya seperti kalian tidak suka memakan bangkai, maka kalian juga akan merasa jijik jika memakan daging mentah, itulah hakikat ghibah.[13]

Imam At Thabari menyebutkan dalam tafsirnya:
Jangan kalian mengatakan buruk terhadap sebagian yang lain saat mereka tidak hadir, karena pihak tersebut tidak menyukainya jika dikatakan saat hadir.[14]

Menurut Imam An Nawawi, hukum asal ghibah adalah haram, kecuali dalam enam sebab:[15]
1.      Kezaliman
Dibolehkan kepada orang yang dizalimi mengadukan kepada pemimpin atau hakim atas nasib yang menimpanya untuk melakukan tindakan perbaikan.
2.      Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan kemaksiatan kepada taat
3.      Meminta fatwa, boleh mengadukan kepada mufti dan meminta fatwa atas hal yang menimpanya. Misalnya si Fulan telah menzalimi saya dan seterusnya.
4.      Warning (perhatian) kepada kaum muslimin terkait informasi yang membahayakan, namun harus melalui sumber-sumber yang bisa dipercaya.
5.      Pihak yang dibicarakan sudah jelas dan diketahui umum tentang sifat fasik dan sifat buruknya
6.      Gelar atau panggilan untuk mengenal, misalnya orang tersebut buta atau pincang

Hikmah 

·         Kehormatan seorang muslim lebih mulia harus dijaga, melebihi kehormatan ka’bah.
·         Berhati-hati dalam berprasangka, karena khawatir terjerumus dosa.
·         Menjauhi ghibah dalam segala bentuk, kecuali yang sudah disebutkan diatas

والله أعلم




[1] Muhammad An Nawawi Al Bantani Al Jawi, Marah Labid,  (Beirut: Dar Kutub al Ilmiyah, 1417 H) J. 2/439
[2] Fairuz Abadi, Qamus Al Muhith, 1/1566
[3] Jalaludin Al Mahalli, Syarh Al Waraqat, h.6
[4] Al Amidi, Al Ihkam Fi Suhuli al Ihkam, 1/13
[5] Ibnu Quddamah, Raudhatun Nadzir,1/22
[6] Az Zamakhsyari, Al Bahrul Muhith Fi Ushulil Fikh,1/57
[7] At Thahawi, Hasyiyah Ala Maraqi Al Falah Nurul Idhah,1/446
[8] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, (Dar Tsuraya Lin Nasyr, 1424) 1/18
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 7/377
[10] Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, 26/251
[11] HR Ahmad, 7/565
[12] HR. Ibnu Majah, No.3932
[13]  Abdurrahman Nashir As Sa’di, Tafsir As Sa’di, 1/801
[14] Tafsir At Thabari,  22/305
[15] An Nawawi,  Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/143