Selasa, 27 September 2016

SETIAP MUSLIM BERSAUDARA, BERDAMAILAH




إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujurat [49]:10)

Tinjauan Bahasa


إِخْوَةٌ

Bersaudara

فَأَصْلِحُوا

damaikanlah (perbaikilah hubungan)

Kandungan Ayat

Ayat ini memiliki korelasi dengan ayat sebelumnya, yaitu saat dua golongan kaum muslimin berselisih pendapat bahkan terbawa dalam peperangan seperti kisah dalam perang Shiffin dan Perang Jamal. Al Qurthubi dalam Tafsirnya menyebutkan bahwa Ahlul Bagy (Pihak yang melawan pemerintahan yang sah) mereka masih sama-sama beriman kepada Allah. Buktinya adalah Allah masih menyebut mereka sebagai  ikhwatan mukminin (saudara seiman) meski mereka membelot Al Harits bin Al A’war berkata,” Ali bin Abi Thalib menceritakan, saat ditanya apakah Ahlul Baghy musyrik? Ali bin Abi Thalib menjawa,” Tidak”. Mereka bertanya kembali,” Apakah mereka munafiq?’. Ali bin Abi Thalib menjawab,”Tidak, karena kaum munafik tidak mengingat dan menyebut nama Allah melainkan hanya sedikit. Mereka bertanya kembali,” Lalu bagaimana keadaan mereka?”. Lalu Ali bin Abi Thalib menjawab:[1]
إخواننا بغوا علينا.
Mereka adalah saudara kami yang membelot dari kami

Seorang muslim itu bersaudara, dalam agama dan kehormatan, bukan hanya dalam nasab. Karena ikatan persaudaraan secara agama lebih kokoh dibanding ikatan persaudaraan karena nasab. Buktinya, ikatan persaudaraan karena nasab bisa terputus karena murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga tidak memiliki hak-hak semestinya dalam agama, misal, hak waris. Salah satu yang menyebabkan terputusnya hak waris adalah jika ahli waris berbeda agama dengan si mayit.
 Syekh Wahbah Zuhaili mengungkapkan bahwa setiap muslim harus mewaspadai terjadinya sengketa yang terjadi antara dua orang muslim. Karena akibat sengketa tersebut bisa meluas sehingga menyebar menjadi perselisihan dua golongan besar dari kaum muslimin. Dan persaudaraan yang sebenarnya adalah persaudaraan dua orang mukmin.

كلمة إِنَّمَا للحصر تفيد أنه لا أخوة إلا بين المؤمنين، ولا أخوة بين المؤمن والكافر، لأن الإسلام هو الرباط الجامع بين أتباعه، وتفيد أيضا أن أمر الإصلاح ووجوبه إنما هو عند وجود الأخوة في الإسلام، لا بين الكفار

Kalimat “Innama” fungsinya sebagai pembatas ( lil hashr) maksudnya adalah tiada persaudaraan kecuali antara sesama mukmin. Tidak ada persaudaraan antara mukmin dan kafir. Karena Islam merupakan pemersatu diantara pengikutnya. Ayat ini juga memiliki maksud bahwa wajibnya perdamaian (islah) jika terdapat persaudaraan seagama islam, bukan dengan orang kafir.[2]

Hadits-Hadits Tentang Persaudaraan Muslim

1.      Sesama muslim ibarat satu tubuh


عَن النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوادِّهم وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالحُمَّى والسَّهَر

“Dari Nu’man bin Basyir berkata,” Telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,” Perumpamaan mukmin dalam berkasih sayang dan interaksinya, seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan dengan panas dan terjaga.”(HR. Bukhari No. 6011, Muslim No.  2586)

2.      Dilarang berbuat zalim dan membiarkan saudara

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَخْبَرَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, telah bercerita kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab bahwasanya Salim mengabarkan kepadanya, bahwasanya Abdullah bin Umar Radhiyallahuanhuma mengabarkannya,” bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,” Seorang muslim adalah bersaudara, tidak boleh berbuat zalim, dan tidak boleh membiarkannya (cuek). Barangsiapa yang menolong keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya, barangsiapa yang menolong kesulitan saudaranya maka Allah akan menolong kesulitannya pada hari kiamat, barang siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”[3] ( HR. Bukhari)


3.      Allah akan menolong hamba, selama ia menolong saudaranya


وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Allah akan menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya ( HR. Muslim, No. 2699)


4.      Doa saudara Muslim terkabul

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم "إِذَا دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلِهِ

Dari Abu Darda berkata,”Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda,”Jika seorang muslim mendoakan saudaranya diam-diam, malaikat berkata,”Amiin” bagimu demikian”. (HR. Muslim No. 2732)

 
5.      Tidak boleh merendahkan dan meremehkan

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ اَلتَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
.
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa adalah di sini. – Beliau menunjuk dadanya tiga kali-. (kemudian beliau bersabda),”Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR. Muslim No.2564 dari Hadits Abu Hurairah)

6.      Larangan tidak bertegur sapa melebihi tiga hari

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ»

“Telah berkata bercerita kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata,” Aku membaca atas Malik dari Ibnu Syihab dari Atha bin Yazid Al  Laitsi dari Abu Ayub Al Anshari, bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak dihalalkan bagi seorang muslim berpaling dari saudaranya melebihi tiga hari, mereka bertemu namun saling menghindari, yang paling baik diantara mereka adalah yang terdahulu memulai salam.” (HR. Muslim No. 2650)


7.      Sesama muslim saling menguatkan

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan. [Muttafaq ‘Alaihi].

Menurut As Sa’di persaudaraan sesama muslim tidaklah terpisah dengan batas-batas wilayah, artinya dimanapun muslim berada, selama beriman kepada Allah, para rasul, Malaikat, Kitab-kitab, hari akhir dan takdir maka mereka adalah saudara seiman yang memiliki ukhuwah imaniyah.[4]

Sayid Qutub mengatakan,” 

ومما يترتب على هذه الأخوة أن يكون الحب والسلام والتعاون والوحدة هي الأصل في الجماعة المسلمة

Sudah semestinya ukhuwah menjadi landasan bagi Jamaah kaum muslimin dengan  pondasinya cinta, salam (damai), kerjasama, dan persatuan.[5]

فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu

Kewajiban mendamaikan saudara seiman yang bertikai hendaklah dengan prinsip-prinsip keadilan, agar tujuan utama perdamaian tercapai.[6]

Kesimpulan

1.      Setiap muslim adalah bersaudara yaitu ikatan persaudaraan Islam merupakan ikatan akidah, lebih kokoh dari sekedar ikatan nasab, karena ikatan nasab bisa terputus jika berubah agamanya.

2.      Setiap muslim memiliki hak-hak dan keutamaan, ibarat satu tubuh yang memiliki peran dan kesatuan gerak.

3.      Hendaklah mendamaikan saudara muslim yang bertikai dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.

والله أعلم


[1] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, ( Kairo: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1384H) j. 16 h. 324
[2] Wahbah Az Zuhaily, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1418H), J. 26 h. 239
[3]  Imam Al Bukhari Shahih al Bukhari,  ( Dar Tuq An Najah, 1422H) j. 3 h. 128 No. 2442, Sahih Muslim No.  2580
[4] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Taisir al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan, (Muasasah Ar Risalah, 1420H) j 1. H. 800
[5]  Sayid Qutub, Fi Zilalil Qur’an, ( Beirut: Dar As Syuruq,  1412H) J. 6 h. 3343
[6] Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, (Tunis, Dar Tunis Lin Nasyr, 1984) J. 26 h. 246

Rabu, 21 September 2016

Mendamaikan Golongan Yang Bertikai




 وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9 (
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. ( QS Al Hujurat [49]: 8-9)

Tinjauan Bahasa

طَائِفَتَانِ
dua golongan
اقْتَتَلُوا
mereka yang beriman itu berperang
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
hendaklah kamu damaikan antara keduanya
بَغَتْ
melanggar perjanjian

 
SEBAB NUZUL AYAT

Ibnu Asyur menyebutkan dalam tafsirnya bahwa:
أَنَّ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي قِصَّةِ مُرُورِ رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ بْنُ سَلُولَ وَرَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ فَوَقَفَ رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَالَ الْحِمَارُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ: خَلِّ سَبِيلَ حِمَارِكَ فَقَدْ آذَانَا نَتَنُهُ. فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ: وَاللَّهِ إِنَّ بَوْلَ حِمَارِهِ لَأَطْيَبُ مِنْ مِسْكِكَ فَاسْتَبَّا وَتَجَالَدَا وَجَاءَ قَوْمَاهُمَا الْأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ، فَتَجَالَدُوا بِالنِّعَالِ وَالسَّعَفِ فَرَجَعَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ ُ

Ayat ini turun pada kisah lewatnya unta Rasulullah Shalallah alaihi wa sallam di sebuah majelis yang ada Abdullah bin Ubay bin Salul,  sedang Rasulullah berada di atas keledainya, lalu beliau berdiri dan keledainya kencing. Abdullah bin Ubay berkata,” Minggir, keledai ini sudah mengganggu kita dengan bau busuknya,”. Lalu Abdullah bin Rawahah berkata,”Demi Allah kencing keledai Nabi lebih harum dari minyak kesturi,”. Lalu mereka bersitegang, berdebat hingga datanglah suku Aus dan Khazraj, merekapun nimbrung lalu saling melempar terompah dan biji-bijian, kemudian Rasulullah kembali lagi dan mendamaikan mereka. [1]

MAKNA BUGAT

a.      Secara bahasa

Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al ‘Arab kata البغات berarti التعدي  artinya melawan.[2]
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar… ( QS. Al-A’raf [7]:33)

Sedangkan menurut Az Zamakhsyari dalam kitab Asas al Balaghah beliau menyebutkan kata:
البغي   adalah طلب الشيء  

Artinya meminta sesuatu

Dalam Kitab Taj al Arusy disebutkan makna bughat:[3]

وقالَ الأصْمَعيُّ: {بَغَى الرجلُ حاجَتَه أَو ضَالَّتَه

Menurut Asma’iy,” Bagha ar rajul hajatahu artinya Seseorang tersesat dalam keperluannya”.

Dalam Mu’jam Matn Al Lughah disebutkan makna kalimat Al Baghy adalah:[4]

الطلب و تجاوز الحد

Permintaan dan melampaui batas

 Dan orang yang dzalim dan melampaui batas disebut Baghi[5]

b.      Secara istilah

Adapun secara istilah, Para ulama berbeda dalam mendefinisikan bughat, kadang mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghyu (pemberontakan).[6]
·         Menurut ulama Hanafiyah al-Baghyu adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa alas an haq.

 هُمْ الْخَارِجُونَ عَنْ الْإِمَامِ الْحَقِّ بِغَيْرِ حَقٍّ

Mereka adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq. [7]
·         Ulama Malikiyah menjelaskan al-Baghyu adalah mencegah diri untuk menaati imam (khalifah) yang sah dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) sekalipun karena alasan ta`wil (penafsiran agama). Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menurunkannya.[8]
 
·         Ulama Syafi’iyah mengartikan bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthâ’) dalam kelompok tersebut.[9]
 
Bughat juga diartikan sebagai orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati (Asna al-Mathalib, IV/111).

Kandungan Ayat

 Ayat diatas mengandung pelajaran berupa langkah-langkah menghadapi golongan yang memberontak, dalam sebuah kepemimpinan (khalifah). Karena golongan yang memberontak pemerintahan bukanlah termasuk golongan Rasulullah, seperti dalam hadits Rasulullah dari Ibnu Umar Radhiyallah anhuma:[10]

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Muttafaqun ‘alaih)

PENDAPAT PARA MUFASSIRIN

·         Menurut imam At Thabari maksud dari ayat 9 diatas adalah:[11]

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا، فأصلحوا أيها المؤمنون بينهما بالدعاء إلى حكم كتاب الله، والرضا بما فيه لهما وعليهما، وذلك هو الإصلاح بينهما بالعدل

Jika ada dua golongan dari ahlul iman, saling berperang, maka damaikanlah keduanya, dengan menyeru mereka kepada berhukum kepada kitabullah, dan ridha atas apa yang terjadi dengan mereka, itulah perdamaian (islah) dengan dasar keadilan.

(فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى) يقول: فإن أبَت إحدى هاتين الطائفتين الإجابة إلى حكم كتاب الله له، وعليه وتعدّت ما جعل الله عدلا بين خلقه، وأجابت الأخرى منهما
(Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain)

Jika salah satu golongan enggan menerima keputusan berhukum dengan kitabullah (perdamaian) hendaklah ia bersiap dengan apa yang telah Allah jadikan adil diantara ciptaan-Nya, dan menerima golongan lain.
 (فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي) يقول: فقاتلوا التي تعتدي، وتأبى الإجابة إلى حكم الله
(حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ) يقول: حتى ترجع إلى حكم الله الذي حكم في كتابه بين خلقه

(Hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah)

Hendaklah golongan yang melawan kalian perangi, hingga kembali kepada hukum Allah

 (فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ) يقول: فإن رجعت الباغية بعد قتالكم إياهم إلى الرضا بحكم الله في كتابه، فأصلحوا بينها وبين الطائفة الأخرى التي قاتلتها بالعدل: يعني بالإنصاف بينهما، وذلك حكم الله في كتابه الذي جعله عدلا بين خلقه.

(Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil)

Jika golongan yang melawan tersebut mereka kembali dan ridha dengan hukum Allah, maka damaikan kembali dengan kelompok yang telah engkau perangi dengan adil, dengan adil diantara kedua kelompok tersebut, itulah hukum Allah yang telah berlaku adil bagi makhluk-Nya.

Ketika kita melakukan hal-hal tersebut diatas untuk mendamaikan kedua belah pihak yang salah satunya memberontak, maka kita sudah menolong mereka dari kezaliman.

 Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قَالَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"

“Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “ Tolonglah saudaramu yang zalim atau terzalimi, lalu aku bertanya,” Wahai Rasulullah, ini jika menolong orang yang terzolimi, bagaimana aku menolong orang zalim?” Rasulullah bersabda,” Engkau melarang ia berlaku zalim, maka itulah pertolonganmu kepadanya”. (HR. Bukhari, No. 2443)

Hikmah 

·         Perintah mendamaikan dua golongan kaum muslimin yang berselisih (bertikai)
·         Bughat adalah pemberontak dalam sebuah system kekhalifahan
·         Hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan menghentikan pembangkangan mereka.
·         Perintah Allah untuk berlaku adil dan menjauhi kezaliman dalam segala bentuknya


والله أعلم



[1] Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir,  (Tunisia: Dar Tunis, 1984) j. 26/238
[2] Ibnu Manzur, Lisan Al ‘Arab J. 1/241
[3] Az Zubaidi, Taj al Arusy, Dar al Hidayah, 37/82
[4]  Mu’jam Matn Al Lughah, 1/320
[5] Amanillah Muhammad Shadiq, Ahkam Bughat fi Syariah Islamiyah, Jamiah Muhammad Ibnu Suud, 1976, h. 37
[6] Abdul Qadir Audah, at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islami, 1996 hal. 673-674
[7] Ibn ‘Abidin, Rad al Mukhtar ‘ala ad Dur al Mukhtar, Beirut: Dar al Fikr, 1412 H, j 4 h. 261
[8] (A-Zarqani, Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
[9] Nihayatul Muhtaj, VIII/382; asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197-198; Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).
[10]  Subulus Salam, III/257. Kitab Qitâl Ahl Al-Baghi,  Imam Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, II/217).
[11] At Thabari, Tafsir At Thabari, Muassasah Ar Risalah, 1420 H, J. 22/ 292