Ada pemahaman yang keliru sebagian
orang dalam memahami ayat ini dengan melontarkan pertanyaan yang paling
mendasar; mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon hidayah dalam setiap
shalat dan diulang-ulang dalam setiap raka’at, juga di luar shalat dan dalam keadaan lainnya,
padahal dia sendiri berpredikat sebagai orang yang telah mendapat
petunjuk? Dia sesungguhnya sudah
mendapat hidayah sebelum dia meminta hidayah sekalipun, (dianggap tahshil al-hasil; meraih apa
yang sudah diraih). Kekeliruan ini dapat dijawab; ketika seorang mukmin meminta
kepada Tuhannya petunjuk ke jalan yang lurus, yang dipinta adalah agar Allah
meneguhkan dirinya tetap pada jalan yang lurus itu, ditambah-tambah dan
dilanggengkan.
Seorang mukmin tidak memiliki
kekuasaan apapun, tidak memiliki mudarat dan manfaat kecuali atas kehendak
Allah, karenanya, Allah menunjukinya dan diperintahkan untuk meminta hidayah
setiap saat dan sekaligus minta diteguhkan dalam posisi dirinya ada dalam
hidayah Allah. Dengan demikian, orang yang bahagia adalah orang yang memperoleh
pertolongan yang mendorong dirinya untuk memohon hidayah Allah, dan Dia telah
menjamin akan mengabulkan orang yang meminta kepada-Nya. Terlebih bagi orang
yang dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap
waktunya. Mukmin yang telah mendapat hidayah tatkala meminta hidayah itu semata
untuk menambah kekuatan hidayah yang telah diterimanya. Karenanya, Allah tetap
menyuruh orang yang beriman untuk terus beriman, sebagaimana Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ
مِنْ قَبْلُ ۚ
“Wahai orang-orang
yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada Kitab
yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kepada kitab yang Allah turunkan
sebelumnya.” (al-Nisa’ [4]: 136)
Allah menyuruh orang-orang mukmin
untuk beriman. Secara sepintas akan mengarah pada tahshil al-hashil (meraih
sesuatu yang sudah ter-raih), padahal yang dimaksud adalah tetap dan kontinyu
untuk melakukan perbuatan yang baik.
Hal sama Allah juga memerintahkan
orang beriman untuk meminta terus beriman dan tidak menyimpang darinya,
sebagaimana firman Allah;
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ
إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ
الْوَهَّابُ
“Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberii
petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau
karena sesungguhnya Engkau lah Maha Pemberi (Karunia), (Ali Imran
[3]: 8).
Abu Bakar al-Shiddiq senantiasa
membiasakan membaca ayat ini pada setiap
rakaat ketiga dalam shalat magrib secara lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar