Akhir-akhir ini berkembang fenomena baru dikalangan masyarakat kita yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan alasan tertentu pula, baik perilaku mereka bisa diterima ataupun tidak, yang jelas tren baru ini sudah berkembang ditengah-tengah kita. Muali dari kalangan politisi, pejabat publik, tokoh kondang, ulama, artis, bahkan sampai tukang becak sekalipun. Berbagai statemen dan justifikasi atas perilaku mereka menghiasi berbagai media cetak dan elektronik dan dikonsumsi oleh siapa saja tanpa pandang usia dan latar belakang pendidikannya. Nah, bagaimanakan Islam menyikapi fenomena nikah siri tersebut? Berikut pembahasannya.
Pengertian nikah
siri
Secara bahasa siri
artinya rahasia atau sembunyi-sembunyi.
Secara istilah,
nikah siri mengandung dua pengertian yaitu:
A.
Nikah
tanpa wali dari pihak wanita
Menikah tanpa wali dari pihak wanita, hukumnya tidak sah karena
wali merupakan syarat selain kedua calon mempelai, ijab qabul, mahar dan saksi.
Salah satu syarat bila tidak terpenuhi dengan sesuatu maka tidak sah hukum sesuatu
itu tersebut.
Sehingga Ibnu Qudamah menyatakan:
"ما يلزم من عدمه عدم الحكم،
ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته"
“ Apa apa yang karena
ketiadaanya hukum menjadi tidak ada, namun tidak berarti keberadaanya menjadi
hukum menjadi ada atau tidak ada zatnya”[1]
Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya
tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama. Karena di antara syarat
sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan
haramnya nikah tanpa wali adalah:
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada
nikah (batal), kecuali dengan wali.”[2]
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita
manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu
daud, dan baihaqi)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini. (At-Talkhis Al-Habir, 3:156).
Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali kiyai gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi. Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.
Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.
B.
Nikah
tanpa dicatatkan secara resmi dilembaga pernikahan atau Kantor Urusan Agama (
KUA).
Selanjutnya,
jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan,
dalam arti tidak dilaporkan dan dicatat di lembaga resmi yang mengatur
pernikahan, yaitu KUA maka status hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan
rukun nikah. Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan
adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dan seterusnya.
Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:
Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan
pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59). Sementara kita semua paham, pencatatan
nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.
Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua lah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.
Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua lah pihak. Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.
Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.
Ketiga, pencatatan
surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.
Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1
tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan
bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan
perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: "(1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam)
atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya
terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan .
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan
di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan
tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah"). Sedangkan bagi
mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil,
untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada
Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka
yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA.
Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan
kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9
tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau
tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta
tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan
dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum .
Kesimpulan
A.
Nikah
siri mengandung dua pengertian, yaitu nikah tanpa wali dan nikah yang tidak
dicatatkan di KUA.
B.
Secara
agama nikah siri bila bermakna dibawah tangan ( tidak dicatatkan di KUA )
hukumnya sah asal syarat dan rukun nikah terpenuhi:
-
Calon
mempelai
-
Mahar
-
Ijab
Kabul
-
Wali
dari pihak perempuan
-
Dua orang
saksi
C.
Nikah
siri hanya dilakukan oleh laki-laki pengecut
D.
Wanita
yang mau dinikahi dengan cara siri, dipertanyakan akhlaknya
E.
Wanita
dan anak- anah hasil nikah siri menjadi korban.
F.
Melihat
perkembangan zaman yang terjadi sekarang adalah wali dan saksi bisa dibayar,
dan diakali keberadaannya.
G.
Melihat
fenomena sekarang nikah siri dilakukan hanya untuk melampiaskan nafsu syahwat
terhadap wanita yang diinginkan.
H.
Melihat
fenomena sekarang nikah siri hanya kedok saja, sementara tanggung jawab dan
tujuan pernikahan ( litaskunu ilaiha ) artinya: agar tercipta ketenangan
, malah sebaliknya pertengkaran yang terjadi antara istri yang sah dan istri
siri.
I.
Dari sinilah kaidah fikih berbunyi:
درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح
"Meninggalkan mudharat lebih didahululan dari pada mengambil manfaat"
Wallahu A’lam