Seorang
 raja Damaskus di tahun 676 Hijriyah pernah mengalami kesulitan 
menghadapi ketegaran seorang ulama. Bayangkan, seluruh ahli fikih di 
negerinya sudah sepakat dengan gagasannya memobilisasi dana rakyat untuk
 jihad melawan kerajaan Tartar di Syiria. Tapi, seorang ulama itu tidak.
 Ia menolak dengan tegas.
Sang raja yang bernama Zhahir Baibras itu pun menanyakan siapa ulama 
tersebut. Dan tahulah ia kalau ulama yang agak beda itu bernama Yahya 
bin Syaraf, dengan panggilan akrab Abu Zakaria.
Zhahir ingin tahu lebih banyak siapa Abu Zakaria itu. Seberapa 
besarkah pengaruh ketidaksetujuannya jika kebijakan mobilisasi dana itu 
dilakukan? Seorang pejabat istana menjelaskan kalau Abu Zakaria sangat 
dihormati dan disegani para ulama di Damaskus.
Zhahir pun memanggil Abu Zakaria ke istananya. Ia ingin mendengar 
langsung argumen ketidaksetujuan sang ulama. “Kenapa Anda tidak setuju 
kebijakan saya sementara para ulama di negeri ini sudah menyetujui?” 
tanya Zhahir ke ulama yang masih tergolong muda jika dibanding dengan 
pengaruhnya yang begitu besar terhadap ulama lain.
Abu Zakaria mengatakan, “Aku akan setuju kebijakan Anda untuk menarik dana dari rakyat jika Anda telah melakukan satu hal.”
Zhahir pun penasaran. “Apa itu?” ucap Zhahir.
”Bukankah Anda mempunyai seratus budak pria dan dua ratus budak 
wanita. Dan setiap budak Anda itu menyimpan emas anda melalui perhiasan 
yang mereka pakai. Kalau semua perhiasan yang mereka pakai itu sudah 
anda tarik untuk biaya perang, maka baru aku akan setuju Anda menarik 
dana dari rakyat!” jelas Abu Zakaria tanpa rasa takut dan sungkan.
Mendengar itu sang raja langsung melotot. Ia marah besar dengan 
pernyataan sang ulama muda itu. Ia pun membentak sang ulama, ”Berani 
benar kau mengatakan itu. Silakan pergi dari negeriku!”
Sang ulama pun pergi meninggalkan negeri kelahirannya menuju sebuah 
kota yang bernama Nawa. Sebulan kemudian, di usianya yang baru 45 tahun,
 ulama yang dikenal sangat zuhud ini pun meninggalkan dunia untuk 
selamanya. Beliaulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Imam Nawawi.
Tak ada kesan yang bisa ditangkap dari seorang Imam Nawawi dari para 
murid dan ulama di zamannya, kecuali sebuah ketakjuban. Imam Nawawi 
dikenal begitu tekun dalam mencari ilmu, begitu kuat dalam menunaikan 
ibadah, teramat dekat dengan Alquran, dan selalu menjauh dengan syahwat 
duniawiyah.
Kesibukan ilmiah dan ibadahnya telah membuatnya teramat asing dengan 
perhiasan dunia. Ulama sezamannya mengakui bahwa Imam Nawawi tidak 
memiliki dunia. Dan, dunia pun tidak mampu memilikinya.
Ketika menilai sosok Imam Nawawi, para ulama di zamannya selalu 
teringatkan dengan sebuah hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh 
Imam Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud.
”Antara aku dan dunia adalah seperti seorang pengendara yang 
beristirahat di bawah sebuah pohon yang teduh, kemudian pergi 
meninggalkannya.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar