Bab I : Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah
penduduk yang paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat
Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan
sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti: Seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum
muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-,
dapat di jawab dengan mempelajari sejarah hukum hukum Islam di Indonesia dan
proses penerapannya.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia
juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus-
untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan
“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang
diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah
penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses
Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Sejalan dengan hal itu, masalah pernikahan, perceraian dan rujuk
pun sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah paradigma yang menyeluruh, karena
kalau kita pahami segala masalah dalam hukum yang berkaitan dengan pernikahan,
perceraian dan rujuk tentu bersumber dari literatur klasik baik yang bersumber
dari para ulama terdahulu maupun dari undang-undang Belanda yang sudah ada
sejak zaman dahulu namun kemudian diadopsi dan diberlakukan dalam dalam sebuah undang-undang negara.
Bab II: Pembahasan
Pembahasan
yang terkait dalam hal ini ada tiga hal yaitu: perkawinan, talaq dan rujuk.
Perkawinan
Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hidup
berumah tangga adalah salah satu tujuan yang
sangat di harapkan oleh Islam. Ikatan perkawinan pada dasarnya adalah
ikatan abadi dan berkesinambungan, hingga maut menjemput [1]. Sehingga rumah tangga merupakan tempat suami
istri untuk menyempurnakan kebahagiaan
bersama dalam beragama, saling tolong menolong dan membantu dalam
menunaikan kewajiban dan saling ( itsar ) mendahulukan dalam memperoleh
hak. Sehingga ikatan ini di abadikan
oleh Al Qur’ an seperti dalam firman Allah:
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Bila
ikatan tersebut sangatlah kuat, maka
seharusnya ikatan yang telah di bina itu tidak dirusak dengan mudah dan semaunya. Sehingga Rasulullah mencela perbuatan ini
dalam haditsnya bersumber dari Umar bin
Khattab Radhiyallohu anhu:
أبغض الحلال إلى الله عز وجل الطلاق
“
Perbuatan halal yang di benci oleh Allah adalah talaq “ [3]
Talaq ( Perceraian )
Pengertian Perceraian
a. Tinjauan Hukum Islam
Perceraian adalah terlepasnya ikatan
pernikahan atau bubarnya hubungan pernikahan.[4]
Dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq yang berarti membuka ikatan,
membatalkan perjanjian atau furqah yang berarti bercerai. Ada dua macam
pengertian talak yang sering dipakai oleh ulama[5]:
a. Arti umum adalah segala bentuk
perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, ditetapkan hakim maupun karena
meninggalnya salah satu pihak.
b. Arti khusus adalah perceraian yang
dijatuhkan oleh suami kepada istrinya.
Pandangan Madzahib Tentang Talaq
1. Syafiiyyah
هو لغة
حل القيد وشرعا حل عقد النكاح بلفظ الطلاق ونحوه
“
Talaq secara bahasa adalah lepasnya ikatan, sedangkan secara istilah adalah
lepasnya ikatan perkawinan dengan lafadz talaq atau yang serupa.[6] Lafadz talaq ada dua macam : Sorihah ( jelas
menunjukkan arti talaq seperti ( أنتِ طالق ) dan Kinayah ( samar dalam arti bisa
berarti talaq dan tidak seperti (
أمرُكِ بِيِدِكِ ).
Syafi’iyah
berpendapat kata-kata talak yang
terang-terangan ada tiga, pertama talak, kedua firaq [7],
hal berdasarkan firman Allah dalam Al Qur’an
yang berbunyi :
وَإِنْ يَتَفَرَّقَا
يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
“ Dan Jika
keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya
dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Bijaksana. [8]
Kemudian
ketiga kata shirah, sebagaimana firman Allah:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ [9]
Artinya:
"Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati
akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau
ceraikanlah
mereka degan cara yang ma'ruf (pula)…
sedangkan lafadz kinayah menurut
Syafiiyah sangat banyak diantaranya:
أنت خلية, برية, بتة ,بتلة,
بائن ,حرام ,حرة ,واحدة ,اعتدي ,استبرئي, رحمك الحقي بأهلك ,حبلك على غاربك ,
اخرجي, اذهبي ,سافري.....[10]
2. Malikiyah
وقال ابن عرفة : الطلاق صفة حكمية ترفع حلية متعة الزوج بزوجته
Berkata
Ibnu Arfah, ia berpendapat bahwa talaq adalah: Suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri [11]
عند
المالكية : " الصريح الذي تنحل به العصمة ولو لم ينو حلها متى قصد اللفظ (طلَّقتِ
وأنا طالقٌ) منكِ (أو أنتِ) طالقٌ (أو مطلقة) بتشديد اللام المفتوحة (أو الطلاق
لي) أو علي أو مني أو لك أو عليك أو منك ونحو ذلك (لازم) ونحوه (لا منطلقة)
ومطلوقة ومطلقة بسكون الطاء وفتح اللام مخففة حيث لم ينو به الطلاق لان العرف لم
ينل ذلك لحل العصمة فهو من الكناية الخفية. (وتلزم) في لفظ من الألفاظ الأربعة
المذكورة طلقة (واحدة إلا لنية أكثر) فيلزمه ما نواه."[12]
“ Menurut Malikiyah, Shorih adalah yang dapat melepaskan ikatan
meskipun belum diniatkan ketika diucapkannya lafadz. Misalnya adalah:
(طلَّقتِ وأنا طالقٌ) منكِ
(أو أنتِ) طالقٌ (أو مطلقة) ( أو الطلاق لي)
Pada empat lafadz di atas terkandung makna talak satu terkecuali
bila diniatkan lebih.”
3. Hanafiyah
رفع
الحل الذي به صارت المرأة محلا للنكاح إذا تم العدد ثلاثا كما قال الله تعالى {
فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره }
“ Terangkatnya ikatan yang sebelumnya
wanita adalah menjadi istri, bila jumlahnya
telah sampai tiga kali [13]
عند
الأحناف : " الطَّلَاقُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : صَرِيحٌ، وَكِنَايَةٌ،
فَالصَّرِيحُ قَوْلُهُ : أَنْتِ طَالِقٌ وَمُطَلَّقَةٌ وَطَلَّقْتُك فَهَذَا
يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ الرَّجْعِيُّ [14]
“ Menurut Hanafiyah, talaq ada dua macam shorih
dan kinayah, sharih seperti ucapan: “ Anti Tholiq atau Muthalaqah, atau
Thalaqtuki dan lafadz ini bermuatan talaq raj’I “
4. Hanabilah
Menurut Madzhab ini talaq adalah :
حل قيد النكاح ، أو بعضه
بوقوع ما يملكه من عدد الطلقات ، أو بعضها .
“ Lepasnya ikatan nikah atau sebagian dengan
jatuhnya separuh bilangan talaq’[15]
Lafadz
talaq menurut Hanabilah:
عند الحنابلة : " الصريح لفظ الطلاق وما تصرف منه
كالسراح والفراق لأنهما يستعملان في غير الطلاق كثيرا فلم يكونا صريحين، فيه كسائر
كناياته [16]
Menurut Hanabilah: Lafadz sharih dalam talaq
adalah apa saja yang diucapkan seperti Sirah,
firaq, karena keduanya banyak
digunakan istilah diluar talaq, dan keduanya pun tidak shorih seperti kinayah
yang lain.”
Kesimpulanya: lafadz yang sharih jelas
hukumnya jatuh menjadi talaq bila diucapkan karena maknanya sudah jelas,
meskipun tidak diniatkan dan disyaratkan lafadznya ditujukkan kepada istri
seperti (أنت طالق
) . Sedangkan lafadz kinayah,
tidak akan jatuh kepada talaq bila tidak diniatkan, inila pendapat yang
dipilih oleh Imam Malik dan Imam Syafi’I.[17]
Hal ini berdasarkan kepada hadits nabi
bersumber dari Aisyah RA:
أن ابنة
الجون لما أدخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ودنا منها، قالت: أعوذ بالله
منك، فقال لها: " عذت بعظيم، الحقي بأهلك "
Artinya: “Dari Aisyah Radhiyalllahu Anha
Sesungguhnya anak perempuan Jaun ketika dimasukkan kerumah Rasulullah dan
Rasulullah mendekatinya, berkatalah perempuan itu: aku berlindung kepada Allah
dari gangguanmu, maka nabi berkata Engkau berlindung dengan menyebut nama yang
Maha Agung. Karena itu pulanglah kerumah keluargamu”. ( HR . Bukhari )
Hadist ini menunjukkan bahwa tidaklah dianggap
talak bila tidak disertai dengan niat.
Sebelum abad ke-19, pengertian talak oleh para
ahli fiqih lebih diartikan pada pengertiannya secara khusus. Sedangkan pada
masa sekarang, perceraian lebih diartikan pada pengertiannya secara umum. Pada
masa sekarang perceraian dapat terjadi karena adanya permintaan baik dari suami
maupun istri, dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Akan
tetapi hak untuk menjatuhkan talak tetap menjadi hak suami yang harus diucapkan
dimuka pengadilan. Oleh karena itu Islam tidak menyukai adanya perceraian. Akan
tetapi harus disadari bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali untuk dihindarkan
dalam lingkup kehidupan berkeluarga, demi alasan-alasan khusus Islam menerima kemungkinan terjadinya perceraian. [18]
Perceraian juga merupakan sarana untuk
menterapi kondisi rumah tangga yang sudah tidak ada kecocokan, salah satu pihak
melalaikan hak dan kewajiban, tidak memiliki keturunan, menderita sakit
menahun, salah seorang dari suami atau istri pergi tak tau dimana rimbanya dan
lain-lain.
Jenis-Jenis
Talaq
a. Ditinjau dari kondisi istri
1.
Talaq
Sunni/ سني
Talaq
sunni adalah yaitu talaq yang sesuai dengan ketentuan sunnah. Dalam hal talaq Sunni
Rosulullah telah memberi tauladan yaitu:
-
Talaq
yang diucapkan satu kali dan istri digauli ketika suci dari haid. Tidak dalam kondisi hamil, anak kecil
atau wanita menopause.
-
Talak
yang diucapkan berturut-turut sebanyak tiga kali diwaktu berbeda dan istri
dalam keadaan suci dari haid, dua kali dari talaq itu
dapat diruju’, sedangkan yang ketiga kalinya
tidak dapat diruju’ lagi.[19]
2.
Talaq
Bid’i / بدعي
yaitu
talaq yang menyalahi ketentuan agama, atau talaq yang diucapkan tiga kali talaq
pada waktu yang bersamaan atau talaq yang diucapkan dengan talaq tiga, atau
mentalaq istri dalam keadaan haid atau mentalaq istri dalam keadaan satu suci.[20]
b. Ditinjau dari kondisi suami
1. Thalaq Raj’i / رجعي
Para ulama sepakat bahwa yang dinamakan talaq
raj’i ialah talaq dimana suami memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (ruju’).
Syaratnya adalah istri sudah dicampuri (madkhul
biha ) .[21]
Sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa idah, baik istri tersebut bersedia
ruju’ atau pun tidak.Semua jenis talak seperti ini dapat kembali kepada
istrinya dalam masa iddah tanpa melakukan nikah baru, yaitu pada talaq pertama
dan kedua, sebagaimana firman Allah SWT[22]:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya; Talak
yang bisa diruju’ itu dua kali, setelah itu boleh ruju’ lagi dengan cara yang
ma’ruf dan boleh melepas dengan cara yang baik pula. (Q.S. Al Baqarah: 229)
2.
Talaq Bain / بائن adalah talaq yang suami tidak boleh ruju’ kepadanya ( (istri belum di campur ) Suami boleh
melaksanakan akad nikah baru istrinya
itu dengan membayar mahar baru dengan menggunakan rukun dan syarat yang baru
pula. Talaq bain ini terbagi menjadi
dua:
a. Bain Shugro
Talak
bain sugro adalah talak yang menghilangkan hak hak ruju’ dari mantan suaminya,
tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru mantan istrinya . sehingga ketika
masa iddahnya selesai maka harus dengan akad nikah baru dengan mahar yang baru
juga.[23] Pada kasus ini hukum yang berlaku adalah:
-
Hilangnya
kepemilikan kecuali setelah rujuk dengan akad yang baru
-
Berkurangnya
jumlah bilangan talaq setelah rujuk.
-
Tidak
mewarisi kedua belah pihak, bila salah seorang meninggal pada saat iddah,
pendapat ini menurut Syafiiyah, sedangkan menurut Jumhur mewarisi
masing-masing. Adapun menurut malikiyah setelah iddah mewarisi.[24]
b. Bain Kubro
Talak bain kubro adalah talaq yang
menghilangkan hak suami untuk nikah kembali kepada istrinya, kecuali kalau
mantan istrinya itu telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul
sebagai suami istri secara nyata dan sah. Disamping itu istri tersebut telah
menjalankan iddahnya dan iddahnya itu telah habis pula. Allah telah berfirman
dalam Al Qur’an:[25]
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Artinya;
Kemudian jika suami menalaqnya, sesudah talaq yang kedua maka perempuan itu
tidak halal baginya sampai dia kawin dengan suami yang lain.(Q.S. Al
Baqarah: 230)
Hukum
yang terjadi akibat talaq bain kubro adalah[26]:
-
Menghilangkan
kepemilikan seketika
-
Tidak
mewarisi kedua belah pihak
-
Menghilangkan
ikatan suami istri hingga mantan istri menikah dengan laki-laki lain.
c.
Ditinjau dari sighat ( ungkapan )
Talaq terbagi menjadi tiga
a.
Munjiz ( منجز
)
Talaq Munjiz adalah:
هو ما قصد به الحال،
كأن يقول رجل لامرأته: أنت طالق، أو مطلقة، أو طلقتك. وحكمه: وقوعه في الحال وترتب
آثاره عليه بمجرد صدوره[27]
“
Talaq yang bermaksud seketika, seperti seorang laki-laki berkata kepada
istrinya: “ Kamu saya cerai atau aku ceraikan kamu” .
Hukumnya
adalah: jatuh talaq dan hukum yang diakibatkannya ketika diucapkan
b.
Mualaq ( معلق
)
Talaq mualaq adalah:
هو ما
رتب وقوعه على حصول أمر في المستقبل، بأداة من أدوات الشرط أي التعليق، مثل إن،
وإذا ، ومتى، ولو ونحوها، كأن يقول الرجل لزوجته: إن دخلت دار فلان فأنت طالق، أو
إذا سافرت إلى بلدك فأنت طالق، أو إن خرجت من المنزل بغير إذني فأنتي طالق[28]
“ Yaitu talak yang hukumnya terjadi pada saat
kemudian, dengan salah satu dari perangkat-perangkat syarat, seperti jika,
apabila, kapan, atau sejenisnya.seperti perkataan seorang kepada istrinya: “
bila kamu masuk rumah maka kau saya cerai”,. Kalau kamu pulang kampong maka
saya cerai.” Kalau kamu keluar tanpa seizin saya maka kamu saya cerai”.
Hukumnya:
-
Jumhur
berpendapat hukum talaq mualaq adalah sah, bila hal yang disyaratkan terjadi.
Dalam ayat ini talaq secara umum, tidak ada
pemishan munjiz. Mualaq dll jadi hukumnya sah. Juga berdasarkan dengan hadits
Rasulullah SAW: [30]
المسلمون
عند شروطهم
-
Dhohiriyah
dan Syiah berpendapat tidak sah
Dalilnya adalah: bahwa talaq dengan syarat hukumnya adalah
yamin( sumpah ) dan sumpah bila tidak dengan nama Allah hukumnya tidak sah.
Haditsnya:[31]
من كان
حالفاً فلا يحلف إلا بالله
Hal ini di bantah oleh Jumhur bahwa yang
dimaksud sumpah disini hanya majaz kiasan saja, yang intinya adalah bersumpah
dengan makna atas nama Allah sehingga hukumnya adalah sama seperti mualaq yaitu
al hatsu alal fi’li ( menyegerakan perbuatan ) , larangan atau penguatan
kabar ( ta’kidul khabar )
-
Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayyim berpendapat seperti Jumhur akan tetapi mereka
mensyaratkan sumpah yang benar sedangkan bila sumpahnya tidak benar maka
talaqnya tidak sah.
Dalilnya firman Allah SWT:[32]
قد فرض الله لكم تحلة أيمانكم
c.
Mudhaf ( مضاف
)
هو ما
أضيف حصوله إلى وقت في المستقبل، كأن يقول الرجل لزوجته: أنت طالق غداً، أو أول
الشهر الفلاني أو أول سنة كذا.
وحكمه: وقوع الطلاق عند
مجيء أول جزء من أجزاء الزمن الذي أضيف
“Yaitu talaq yang disandarkan kepada waktu
yang akan datang, seperti
seseorangberkata kepada istrinya: “Kamu saya ceraikan besok “. Atau awal bulan
atau tahun, hukumnya: Jatuh talaq padabagian awal dari waktu yang disandarkan”.[33]
Hukum Talaq Dalam Tinjauan Islam
Islam memakruhkan talak pada awal hukumnya,
hal ini bersandar kepada firman Allah:
وأخذن منكم ميثاقا غليظا ".
Sehingga bila ikatan yang seharusnya
di jaga dan dipelihara, kemudian di rusak tanpa ada alasan yang di benarkan
maka hukumnya tercela.[35] Karena kedua belah pihak tidak dapat
mengambil manfaat dari keberadaan masing-masing. Hal ini diperkuat oleh hadits
Rasulullah bersumber dari Tsauban:
عن ثوبان أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما امرأة
سألت زوجها طلاقا من غير بأس، فحرام عليها رائحة الجنة ".[36]
“ Dari Tsauban RA, Bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Tidaklah seorang wanita meminta cerai dari suaminya tanpa alasan
, maka diharamkan surga atasnya” ( HR. Tirmidzi )
Namun para ulama berbeda pandangan dalam hukum
talaq [37]; secara umum terbagi menjadi lima
hukum yaitu:[38]
a.
Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami
isteri lalu tidak ada jalan yang ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim
yang mengurus perkara keduaya. maka kedua orang hakim tersebut memandang bahwa
perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah menjadi wajib, jika sebuah
rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan, pertengkaran,
bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka saat itu talak adalah
wajib baginya.
b.
Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya
tuntutan dan kebutuhan.
c.
Mubah
Yaitu talak yang dilakukan karena ada
kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya
pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan
pernikahan.
d.
Sunnah
Sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat
isteri mengabaikan hak-hak Allah SWT yang telah diwajibkan kepadanya, maisalnya
salat,puasa dan kewajiban lainnya, sedangkan suami sudah tidak sanggup lagi
memaksanya. Atau isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian
dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi, karena memang wanita itu mempunyai kekurangan
dalm hal Agama, sehingga mungkin saja ia berbuat selingkuh dan menghasilkan
anak dari perselingkuhan dengan laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan
bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya. Sebagaimana firman Allah[39]
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, tidak dibolehkan bagi kalian mewarisi
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya kecuali
jika mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”. (QS an-Nisa': 19)
e.
Makruh (terlarang)
yaitu talak yang dilakukan ketika isteri
sedang haid. Talak ini juga dikenal dengan talak bid'i.
Hukum Talak Tiga dalam satu ucapan
Para
ulama berbeda pendapat tentang talak yang diucapkan tiga kali berturut turut
dalam satu kali ucapan, apakah hukumnya talak tiga atau tidak. Secara umum
pendapatnya adalah:
1. Jumhur Ulama berpendapat bahwa talak
itu termasuk talak tiga, dalilnya adalah:
Dalilnya adalah: عن
ابن عباس قال: كان الطلاق على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وسنتين
من خلافة عمر طلاق الثلاث واحدة فأمضاه عليهم عمر
Dari Ibnu Abbas berkata: “ Talaq pada
masa Rasulullah SAW , Abu Bakar dan dua tahun setelah pemerintahan Umar Talaq
tiga dalam satu”[40]
2. Dhzahiriyah dan Syiah
واحتجوا
أيضا بما رواه ابن إسحاق عن عكرمة عن ابن عباس قال " طلق ركانة زوجه ثلاثا في
مجلس واحد فحزن عليها حزنا شديدا فسأله رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف طلقتها؟
قال: طلقتها ثلاثا في مجلس واحد قال: إنما تلك طلقة واحدة فارتجعها"
Mereka berhujah
dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
berkata: “ Rukanah mentalak istrinya tiga kali ddlam satu majelis, lalu ia
sangat bersedih, kemudian ia bertanya kepada Rasulullah, Beliau bersabda: “
Bagaimana engkau cerai dia”? Rukanah Berkata: “ Aku cerai dia tiga kali dalam
satu majelis.” Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya ia adalah talaq satu maka
rujuklah engkau dengan istrimu”[41]
Sebab khilaf
mereka adalah: apakah Talaq itu sama syarat dan hukumnya dengan Sumpah, jual
beli dan nikah?
Jumhur ternyata
terlalu memberatkan dalam hukum, sedangkan sebagian Malikiyah dan Syafiiyah
menghukumi talak tersebut bukan talak tiga, karena talak tiga adalah talak terakhir
yang sebelumnya taak dua dilalui proses rujuk. [42]
Alasan diperbolehkannya Perceraian
a. Tinjauan Hukum Islam
Dalam hukum Islam secara tegas telah
disebutkan, alasan-alasan yang harus terdapat dalam setiap perceraian.
1. Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat diartikan
menentang kehendak suami tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh hukum
syara’.[43]
Tindakan-tindakan itu dapat berupa meninggalkan rumah tanpa ijin, tidak melaksanakan
perintah dan lain-lain.
2. Syiqaq atau perselisihan, jika terjadi perselisihan
antara suami istri hendalah mereka menunjuk hakamain dari masing-masing pihak
untuk mendamaikan keduanya. Jikalau hakamain itu tidak dapat mendamaikan, maka
tidaklah mengapa perceraian itu dilakukan. Karena jika perselisihan itu terus
terjadi tentu akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak.
3. Shighat Ta’lik adalah shighat yang diucapkan oleh suami
dengan digantungkan pada suatu peristiwa atau keadaan yang akan mungkin terjadi
dikemudian hari. Jika keadaan ini benar-benar terjadi maka istri telah tertalaq
satu.[44]
4. Dzihâr adalah kalau seorang suami mengatakan
kepada istrinya, “Anti ‘alaiyya kadzahri ummi”, artinya engkau bagiku
adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah mengdzihar istrinya.
Mendzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk
selama-lamanya.
Firman
Allah : [45]
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar
isterinya di antara kamu,(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal)
tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah
wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun”. (Q.S. Al Mujadalah: 2)
Bentuk kafarat sebagaimana yang disebutkan Al-qur'an
surat Al- Mujadalah ayat 3 adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan
berurutan menurut kesanggupan dari suami yang bersangkutan, yaitu sebagaimana
berikut:
a.
Memerdekakan
seorang budak, jika tidak mampu
b.
Berpuasa
dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu
c.
Memberi
makan 60 orang miskin
5. Riddah adalah perpindahannya seseorang
dari agama Islam keagama lain
6. Khulu’ adalah masdar dari khala’ seperti
khala’a, artinya menanggalkan.
7. Ila menurut bahasa berarti sumpah. Ila adalah
masdar dari ala, yakli, ilaan,
berarti sumpah akan mencampuri isterinya dan menahan diri selama empat bulan
Seperti
dalam firman Allah yang berbunyi:[46]
Artinya; Kepada orang-orang yang meng-ilaa'
isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali
(kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
b. Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974
Undang-undang perkawinan mengartikan
perceraian adalah perceraian yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan No.
1 Th 1974 di awal bab bahwa ketentuan perceraian diawali dengan putusnya
perkawinan, penjelasan ini dapat dibaca pada bab VIII (Putusnya Perkawinan dan
Akibatnya) dalam pasal disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena;
1. Kematian,
2. Perceraian,
3. Atas
keputusan pengadilan
Sedangkan
dalam pasal 39 dijelaskan:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada
cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri. tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diakui
peraturan perundangan sendiri.
c.
Tinjauan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Berkaitan dengan perceraian Inpres No/91
Kompilasi Hukum Islam,secara umum membahas pada Bab XVI yang didalamnya
mencakup tentang definisi perceraian sebagaimana telah dijelaskan pada:
Pasal:
117
"Talak adalah ikrar suami dihadapan
sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan."
Pasal :129
“ Yaitu seorang suami yang akan menjatuhkan
talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Isteri disertai dengan alasan
serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. “
Pasal 130:
“ Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi.”
Pasal131:
“ Pengadilan Agama yang bersangkutan
mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya
tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.”
KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk
bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Begitupula yang tertera dalam UU No.
7/1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang
terdapat pada pasal 66 ayat(1) yang berbunyi:
"Seseorang yang beragama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama untuk
mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.
Dengan demikian talak merupakan ikrar suami
yang harus dilakukan di lembaga Pengadilan Agama, dengan kata lain talak yang
dilakukan diluar sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.[47]
Putusnya Perkawinan Menurut KHI
KHI menjelaskan tentang putusnya perkawinan
yang diatur secara rinci dalam Bab XVI. Pasal 113 di nyatakan: Perkawinan dapat
putus karena
1. Kematian,
2.
Perceraian, dan
3.
Atas putusan Pengadilan.
Jenis
- Jenis perceraian Menurut KHI
Secara
keseluruhan telah diterangkan dalam
Pasal
: 118
"Talak
raj'i adalah talak yang kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri
dalam masa iddah, dan
Pasal
: 119
1. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang
tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana
tersebut pada ayat (1) adalah :
·
talak yang terjadi qabla al dukhul
·
talak dengan tebusan atau khulu’
·
talak
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal : 120
"Talak
ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas[48]
isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da-al dukhul
dan telah habis masa iddahnya,"
Pasal : 121
Menjelaskan
tentang talak di tinjau dari waktu dijatuhkannya,
” Talak sunni adalah talak yang dibolehkan
dengan arti lain talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan
tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”.
Pasal:
122
Kedua, talak bid'i " Talaq bid'i adalah talak yang
dilarang, dengan arti lain talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut."
Alasan-alasan
perceraian menurut KHI
Pasal : 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badab
atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pencatatan Rujuk
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam BAB XVIII berkaitan dengan rujuk.
Bagian kesatu
Pasal 163 :
1. Seorang suami dapat merujuk isterunya
yang dalam masa iddah.
2. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak,
kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
P
b. Putusnya perkawinan berdasarkan
putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Pasal 164:
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 165:
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas
isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166:
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan
Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang
mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
1. Suami yang hendak merujuk isterinya
datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa
penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan
isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk
itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan
dirujuk itu adalah isterinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya
dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksi saksi menandatangani Buku
Pendaftaran Rujuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan,
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami
isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168:
1. Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan
ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksisaksi, sehelai
dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan
yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain
disimpan.
2. Pengiriman lembar pertama dari daftar
rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15
(lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
3. Apabila lembar pertama dari daftar
rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari
daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Penutup
Kesimpulan
Setelah mengungkap materi yang terkit dengan
nikah, talak dan rujuk, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam tinjauan hukum islam klasik, talaq
sudah dibagi sedemikian rupa oleh para ulama melalui kajian yang mendalam dan
berbagai ikhtilafat pendapatnya.
2. Dalam tinjauan hukum Islam di Indonesia talak ( perceraian ) dan
rujuk ( kembalinya
kedua belah pihak ) baru dinyatakan sah setelah melalui pengadilan agama yang
sah dan ditunjuk, meskipun sudah sah secara agama.
3. Menurut hemat penulis, hukum islam di
Indonesia terkait dengan pencatatannikah dan rujuk secara spesifik di dasarkan
kepada maslahah mursala (
kemaslahatan umum ) dan di kaitkan dengan kaidah fiqhiyah :
الخلاف حكم
الحاكم الزام ويرفع
“ Keputusan Hakim ( pemimpin ) sifatnya
mengikat dan meminimalisir pengaruh perbedaan “
Daftar
Pustaka
1. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid,
[1] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang Perkawinan, (Jogjakarta : Liberti, 1999), 103.
[1] Fathul
Wahhab Bisyarhi Minhaji Tullab, Zakarya Bin Muhammad bin Ahmad Bin Zakarya
Al Anshari Abu Yahya, darul Kutub Al Ilmiyah, 1418 H, Beirut Juz 2 hal 124
[1] Lihat
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Penerbit
Sayyid Sabiq, tahun 1988 M/1409 H Jilid 2 hal 206
[1] روضة
الطالبين وعمدة المفتين - (ج 3 / ص 108) . تأليف: النووي، دار النشر: المكتب
الإسلامي - بيروت - 1405، الطبعة: الثانية
[1] QS. An
Nisaa; 130
[1] Q.S.
Al-Baqarah: 231
[1] Al Asybah wan An Nadzaair, Imam Syafi’i
[1] Idris
Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind Hillco, 1986), 105.
[1] Al
Bahjah Fi Syarhi At Tuhfah, Abu Al hasan Ali bin Abdus Salam At tasuli,
Darul Kutub Ilmiyah, Libanon, 1418 H 1/536
[1] الشرح
الكبير للشيخ الدردير - (ج 2 / ص 378) تأليف: سيدي أحمد الدردير أبو البركات، دار
النشر: دار الفكر - بيروت، تحقيق: محمد عليش .
[1] Al
Mabsuth, Imam As Sarakhsi, 7/127
[1] Sulaiman
Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyyah, 1976), 377.
الإنصاف للمرداوي ج8/ص462 ، تأليف: علي بن سليمان المرداوي أبو
الحسن، دار النشر: دار إحياء التراث العربي - بيروت، تحقيق:14 محمد حامد الفقي
[1] Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam,Muhammad
bin Imaill al amir Al Kahlani As Shon’ani 1182 H,Maktabah Musthafa Al bani Al
Halbi,1479 H 1/14
[1] Lihat Fiqh Sunnah,
Sayyid Sabiq, Penerbit Sayyid Sabiq,
tahun 1988 M/1409 H Jilid 2 hal 206
[2] QS. An Nisaa: 21
[3] HR. Abu Daud dan Hakim (
ia mengatakan ini hadits shahih )
[5] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan
Undang-undang Perkawinan, (Jogjakarta : Liberti, 1999), 103.
[6] Fathul Wahhab Bisyarhi
Minhaji Tullab, Zakarya Bin Muhammad bin Ahmad Bin Zakarya Al Anshari Abu
Yahya, darul Kutub Al Ilmiyah, 1418 H, Beirut Juz 2 hal 124
[7] روضة
الطالبين وعمدة المفتين - (ج 3 / ص 108) . تأليف: النووي، دار النشر: المكتب
الإسلامي - بيروت - 1405، الطبعة: الثانية
[8] QS. An Nisaa; 130
[10] Al Asybah wan An Nadzaair, Imam Syafi’i
[11] Al Bahjah Fi Syarhi At
Tuhfah, Abu Al hasan Ali bin Abdus Salam At tasuli, Darul Kutub Ilmiyah,
Libanon, 1418 H 1/536
[12] الشرح
الكبير للشيخ الدردير - (ج 2 / ص 378) تأليف: سيدي أحمد الدردير أبو البركات، دار
النشر: دار الفكر - بيروت، تحقيق: محمد عليش .
[13] Al Mabsuth, Imam
As Sarakhsi, 7/127
[15] Al Inshaf Fi Ma’rifati
Ar Rajih minal Khilaaf, Alauddin Abu Hasan Ali Bin Sulaiman Al
Mardawi,maktabah Syamilah 13/ 318
الإنصاف للمرداوي ج8/ص462
، تأليف: علي بن سليمان المرداوي أبو الحسن، دار النشر: دار إحياء التراث العربي -
بيروت، تحقيق:14 محمد حامد الفقي
[17] Lihat fiqih Sunnah, Sayyid
Sabiq 2/254
[18] Masdar
Mas’udi, Islam dan Hak Reproduksi Perempuan, (Bandung : Mizan, 1999),
162-163.
[19] Al Iqna’ fi hal Al fadz Abi Suja’.
Muhammad Syarbini Al Khatiib. Darul fikr Beirut,thn 1415 H
[20] Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu,
DR. Wahbah Zuhaily, Darul Fikr Damaskus tt 9/402
[21] Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid,
Ibnu Rusyd al Hafiid w 595 H, Maktabah Mustafa Al Bani Al Halby, Mesir th 1495
H jilid 2/ 60
[22] QS Al Baqarah:229
[23] Fiqul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah
Az Zuhaily 9/407
[24] Fiqul Islamy
waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/415
[25] QS. Al Baqarah: 230
[26] Fiqhul Islamy
waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/416
[27] Fiqhul Islamy waadillatuhu,
DR. Wahbah Az Zuhaily 9/416
[28] Fiqul Islamy
waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/418
[29] Qs. Al Baqarah 229
[30] HR. Bukhari
[31] HR. Abu Ubaidah dari Ibnu
Umar
[32] QS. At Tahrim:2
[33] Fiqul Islamy
waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/418
[34] QS. An Nisa:21
[35] Fiqih Sunnah,
Sayyid Sabiq 2/241
[36] HR. Tirmidzi ia berkata
ini hadits Hasan
[37] Fiqih Sunnah,
Sayyid Sabiq 2/243
[38] Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam,Muhammad
bin Imaill al amir Al Kahlani As Shon’ani 1182 H,Maktabah Musthafa Al bani Al Halbi,1479
H 1/14
[40] HR. Bukhari Muslim
[41] HR. Bukhari Muslim
[42] Bidayatul Mujtahid, Ibnu
Rusyd 2/62
[44] Idris
Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind Hillco, 1986), 105.
[45] QS. Al Mujadilah : 2
[47] Hal ini lebih didasarkan kepada maslahah,
padahal secara hukum islam talaq itu telah jatuh bila diucapkan dengan niat
meskipun tidak dihadapan pengadilan (penulis )
[48] Pendapat penulis:
penggunaan kata BEKAS dalam KHI kurang tepat, alasannya: “ Kata
bekas hanya cocok digunakan untuk benda yang tidak berakal seperti benda mati,
mobil, kaleng dll, sementara suami dan istri lebih cocok menggunakan kata MANTAN,
karena itu lebih diterima dengan naluri kemanusiaan.