Senin, 15 Juli 2013

Mensucikan Jiwa




Allah menciptakan manusia dari tiga unsur penting yaitu: Akal, badan dan ruh
Dari ketiga unsur ini Allah menyebutkan ruh secara eksplisit       ( jelas ) seperti dalam ayat:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (85)

Mereka bertanya kepadamu ( Muhammad ) tentang ruh, katakanlah : "Ruh itu urusan Rabb-ku, dan Aku tidak akan memberikan ilmu kepada kalian tentang ruh itu kecuali sedikit saja" [1]

Imam At Thabari menyebutkan bahwa sebab turun ayat ini adalah ketika seorang Yahudi bertanya  tentang ruh, lalu beliau menjawab: Sungguh tidak diberi pengetahuan semua manusia tentang ruh kecuali hanya sedikit.[2]

Kemudian agama mengakomodasi ketiga unsur tersebut dalam koridor ketaatan kepada Allah, dari iman, islam dan ihsan.

Makna Tazkiyatun Nafs ( Mensucikan Jiwa )

Secara bahasa tazkiyah berasal dari زكى يزكي – تزكية   

Yang berujung pada dua makna, pertama  pensucian dan yang kedua penambahan, itulah kenapa orang yang berzakat akan bertambah keberkahan dalam rezekinya.

Secara istilah, tazkiyah setelah mengambil dua unsur dari makna bahasa maka secara istilah tazkiyah berari, pensucian jiwa dari segala kotoran dan noda kemudian menambahkan didalamnya sifat-sifat terpuji.[3]

Di dalam Al Qur’an Allah memberikan janji keberuntungan bagi mereka yang senantiasa mensucikan dirinya.
Firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)

Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan diri, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”.[4]
Imam Ibnu Katsir mengatakan:

يقول ابن كثير رحمه الله في هذه الآيات : يحتمل أن يكون المعنى : قد أفلح من زكى نفسه أي بطاعة الله كما قال قتادة، وطهرها من الرذائل والأخلاق الدنيئة

Imam Ibnu Katsir berkata dalam ayat ini kemungkinan maknanya adalah: “ Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dengan ketaatan dan membersihkannya dari akhlak rendahan.[5], seperti disebutkan oleh Qatadah, 

Hukum Tazkiyatun Nafs

Imam Al Ghazali berpendapat bahwa hukum melakukan tazkiyatun nafs adalah wajib ain bagi setiap muslim, meskipun ia tidak memiliki akhlak tercela, setiap jiwa hendaklah mengetahui sebab-sebab penyakit hati dan cara mengobatinya.

Dalilnya adalah setiap manusia memiliki penyakit hati. Juga sejarah nabi Muhammad yang mengalami pembelahan dada ketika beliau masih kecil, malaikat mengeluarkan kotoran dari dalam hati Beliau.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya bukanlah fardu ain bagi setiap manusia kecuali yang jelas – jelas mengidap penyakit hati. Mengetahui penyakit hati hukumnya adalah fardu kifayah.

Dalil jumhur ulama adalah: 

Firman Allah dalam surat Ar Rum: 30

  
فطرة الله التي فطر الناس عليها

 Juga Hadits nabi yang mengatakan:

كل مولود يولد على الفطرة


Apa Perlunya Tazkiyatun Nafs

1.      Allah menyebutkan secara eksplisit di surat As Syams tentang keberuntungan bagi orang yang mensucikan dirinya

2.      Hawa nafsu merupakan musuh terbesar manusia, tidak ada jalan lain kecuali dengan membatasi dan mesucikan keinginan buruknya.

3.      Syarat masuk surga adalah menahan hawa nafsu

وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surge adalah tempat kembalinya.[6]

4.      Manusia menyukai kesempurnaan, dan cara untuk mencapai kesempurnaan adalah tazkiyatun nafs
.
 Jenis-jenis Tazkiyatun Nafs

Ada dua jenis:
1.      Takhliyah تخلية     

Adalah mengosongkan dan menghilangkan penyakit-penyakit buruk dalam jiwa manusia sepeti sombong, riya, sum’ah, takabur dan lain-lain.

2.      Tahliyah   تحلية       
Adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Seperti ikhlas, sabar, qanaah wara’ dan lain-lain.

Wasilah untuk mencapai Tazkiyatun  Nafs

Selain melakukan seperti yang tertera dalam dua jenis tazkiyatun nafs  diatas, ada beberapa wasliha yang dapat dilakukan diantaranya:

1.      Menjaga perkara wajib yang di perintahkan
2.      Mejaga perkara sunnah sebagai penyempurna yang wajib
3.      Bertadabur Al Qur’an
4.       Taubat
5.       Istighfar
6.      Sedikit makan, minum dan berbicara
7.       Ingat maut
8.      Banyak berdoa kepada Allah . ( fzn )





[1] (QS., Al Isra:85)
[2] At Thabari w 310 Hamas,Jamiul bayan fi Ta’wilil Qur’an ( Muasasah Ar Risalah 2000M) juz 17 hal 451
[3] Sayid Qutub, Fidzilalil Qur’an 6/3893
[4] Asy Syams:9-10
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al Quranul Adzim ( Darun Tayebah liNasyr Li Tauzi )j 8 h.412
[6] An Naziat:40-41

Minggu, 14 Juli 2013

Awas Bahaya Meninggalkan Al Qur’an


Al  Qur’an memiliki banyak keistimewaan, banyak keutamaan bagi siapa saja yang membaca, mendengarkan dan mengamalkan ajarannya. Namun ada fenomena ditengah masyarakat sebagian diantara mereka yang meninggalkan Al Qur’an seperti yang tergambar dalam firman Allah.
Firman Allah didalam Al Qur’an:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا (30)

“Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan".[1]

Nabi Muhammad mengadu kepada Allah tentang kaumnya yang sudah meninggalkan dan acuh tak acuh kepada Al Qur’an. Bagaimanakah kategorinya?

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah menyebutkan bahwa ada beberapa kategori ‘hajrul Qur’an “ ( meninggalkan Al Qur’an ) diantaranya: [2]

1.      Meninggalkan iman kepada Al Qur’an

2.      Tidak beramal dengan Al Qur’an

3.      Tidak berhukum dengan Al Qur’an

4.      Tidak memahami dan bertadabur

5.      Tidak menggunakan sebagai terapi untuk penyakit hati

Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat diatas  menyebutkan:[3]


وَكَانُوا إِذَا تُلِيَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ أَكْثَرُوا اللَّغَطَ وَالْكَلَامَ فِي غَيْرِهِ، حَتَّى لَا يَسْمَعُوهُ. فَهَذَا مِنْ هُجْرَانِهِ، وَتَرْكُ [عِلْمِهِ وَحِفْظِهِ أَيْضًا مِنْ هُجْرَانِهِ، وَتَرْكُ الْإِيمَانِ بِهِ وَتَصْدِيقِهِ مِنْ هُجْرَانِهِ، وَتَرْكُ تَدَبُّرِهِ وَتَفْهُّمِهِ مِنْ هُجْرَانِهِ، وَتَرْكُ الْعَمَلِ بِهِ وَامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ زَوَاجِرِهِ مِنْ هُجْرَانِهِ، والعدولُ عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ -مَنْ شِعْرٍ أَوْ قَوْلٍ أَوْ غِنَاءٍ أَوْ لَهْوٍ أَوْ كَلَامٍ أَوْ طَرِيقَةٍ مَأْخُوذَةٍ مِنْ غَيْرِه

·         Jika mereka dibacakan Al Qur’an, mereka menandingi dengan pembicaraan dan bahasa lain sehingga tidak mendengar Al Qur’an.

·         Meninggalkan ilmu dan menghafalnya

·         Meninggalkan iman dan membenarkannya

·         Meninggalkan tadabur dan memahaminya

·         Meninggalkan beramal perintah dan larangannya

·         Beralih ke syair,perkataan, lagu, senda gurau dan perkataan lain.


Semoga kita terhidar dari golongan yang meninggalkan Al Qur’an. ( fzn )



[1] Al Furqan:30
[2] Ibnul Qayyim Al Jauziyah w 751, Al Fawaid, ( Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah 1393 H ) j.1  h.82
[3] Ibnu Katsir w 774 H, Tafsir Al Qur’anul Adzim, ( Dar Thayyebah linnasyr Wa Tauzi 1420 H )  juz 6 h 108

Sabtu, 13 Juli 2013

Dosa Jangan Diekspos Terang – Terangan !


Dosa dan maksiat pernah dilakukan oleh siapaun kecuali Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam yang  bersifat maksum ( terjaga dari dosa ). Sebagai manusia biasa, salah, khilaf , maksiat dan dosa pun pernah kita lakukan. Terkadang  manusia cepat sadar dan bertaubat dari dosa dan kesalahan itu, namun terkadang  ia ‘nyaman’ dengan kondisi itu bahkan melakukan secara terang terangan dan disebarluaskan. Tentu ini merupakan perbuatan hina di hadapan Allah Subhanahu wa Taala, seperti firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“ Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. [1]

Imam Ar Razi dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa ayat ini turun pada berita bohong yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha dengan Shafwan bin Mu’athal ( Haditsul Ifki ). Namun fungsi ayat ini bersifat umum, jadi siapa saja yang menyebarkan berita maksiat secara umum ( zina ) akan mendapatkan azab yang pedih dunia dan akherat. [2]

Imam Ibnu Katsir menganjurkan bila kita mendapati berita yang belum jelas kebenarannya untuk melakukan paling tidak tiga hal berikut, yaitu:[3]

·         Menahan perkataan

·         Berbaik sangka

·         Tidak menyebarluaskan

Lalu bagaimanakah dengan orang yang melakukan maksiat lalu menyebar kan secara terang-terangan?

Perbuatan tersebut jelas  dimurkai Allah, berbuat dosa dan maksiat saja sudah di murkai Allah, apalagi melakukan dan menyebarkan dengan terang-terangan.
Firman Allah:[4]

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (148)
“Allah tidak menyukai Ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya,  Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.


Rasulullah bersabda


عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : " كُلُّ أَمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ  أخرجه البخاري 8/24(6069) و\"مسلم\" 8/224 .

Dari Salim bin Abdillah berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:” Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali Al Mujahirun ( terang-terangan ), sungguh kegilaan seseorang adalah ia berbuat dosa pada malam hari, pada pagi sudah ditutupi Allah, lalu ia mengatakan wahai fulan aku tadi malam melakukan ini dan itu. Ia bermalam dengan aib yang tertutup oleh Rabbnya, lalu pagi harinya ia buka penutup itu.[5]

Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa hendaklah ia bertaubat secepatnya dan tidak menyebarkan perbuatan itu kepada khalayak, karena Allah sudah menutupi dosa-dosanya. Namun bila ia menyebarluaskan dengan terang-terangan berarti ia menantang murka Allah.


[1] An Nur:19
[2] Fakhrudin Ar Razi w 606, Mafatihul Ghaib, ( Beirut: Dar Ihyau Turats 1420H) juz 23 h.346
[3]  Ibnu Katsir w 774 H, Tafsir Quranil Adzim,( Dar Thayyibah Lin Nasyr wa Tauzi’) juz  6 h . 29
[4] An Nisa:148
[5] HR. Bukhari  6069