Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (QS. An Nashr [110]:1)
A.
Makna Mufrodat
النصر:
العون أو الإعانة على تحصيل المطلوب وَالْفَتْحُ تحصيل المطلوب الذي كان متعلقا أو موقوفا
An Nashr (pertolongan) atau bantuan untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan, dan Al Fath (kemenangan) adalah terkabulnya keinginann yang
diharapkan yang sebelumnya tertunda atau terhalang. (Wahbah Zuhaily, Tafsir Al
Munir, 30/448)
إِذا
“jika”
Menurut Syekh Yusuf Al Qardhawi, kata إذا adalah keterangan waktu
yang berfungsi kata bersyarat, yang membutuhkan jawaban sari syarat itu (jawabu
asy syart)[1]
B.
Makna ‘Al Fath”
Ibnu Jarir At
Thabari memaknai, Al Fath (kemenangan) dalam ayat ini adalah Fathu Makkah.
Syekh Yusuf Al Qardawi menafsirkan bahwa datangnya
pertolongan Allah pada Fathu Makkah merupakan bentuk kasih sayang Allah yang
berulang-ulang kepada Rasulullah dan kaum muslimin, karena sebelum Fathu Makkah
Allah menunjukkannya kepada kaum muslimin, diantaranya:
·
Allah menolong Rasulullah saat bersama Abu Bakar Siddik di Gua
Tsur, pada peristiwa hijrah ke Madinah. Seperti termaktub dalam firman Allah:
إلاَّ
تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثانِيَ
اثْنَيْنِ إِذْ هُما فِي الْغارِ إِذْ يَقُولُ لِصاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ
اللَّهَ مَعَنا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ
لَمْ تَرَوْها وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلى وَكَلِمَةُ اللَّهِ
هِيَ الْعُلْيا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (40)
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah
telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah)
mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:
"Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita". Maka
Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir
itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah: 40)
·
Pertolongan Allah pada perang Khandak (bulan Syawal tahun 5
Hijriyah)
·
Pertolongan Allah pada perang Khaibar (7 H) Sulhu Al Hudaibiyah (akhir tahun ke 6
Hijriyah)
·
Pertolongan Allah pada peristiwa Fathu Makkah
Kisah
Fathu Makkah
Abdul Malik Bin Hisyam menyebutkan dalam sirahnya, bahwa peristiwa
Fathu Makkah terjadi pada tahun ke 8 hijriyah di bulan Ramadhan.[2] Adapun kejadian
sebelum Fathu Mekkah adalah Perjanjian Hudaibiyah yang salah satu butirnya
adalah gencatan senjata antara kaum muslimin dan kaum Quraisy Mekkah selama 10
tahun. Tersebutlah dua kabilah pada saat itu Bani Bakr yang masuk ikut dalam
barisan perjanjian kaum Quraiys, dan Bani Khuza’ah masuk dalam barisan
perjanjian kaum Muslimin. Terjadilah perselisihan diantara kedua kabilah tadi,
akibatnya terjadilah penyerangan Bani Bakr yang mendukung Quraisy Mekkah kepada
Bani Khuza’ah yang hingga timbul korban. Tokoh-tokoh Quraiyspun turut serta
dalam penyerangan tersebut.Abu Sofyan sebagai pemimpin Quraisy Mekkah merasa bahwa dirinya
telah melanggar perjanjian, lalu orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke
Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia
memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Dengan adanya
pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para
shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang secara rahasia. Beliau
mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Berangkatlah kaum muslimin
bersama 10.000 pasukan lengkap menuju Mekkah. Meski sebelumnya seorang Sahabat
Hatib bin Baltha’ah membocorkan rahasia penyerangan ke Mekkah ini, hingga
membuat Umar bin Khattab berang, lalu Rasulullah menengahi bahwa maksud Hatib
bin Baltha’ah adalah khawatir kepada keselamatan sanak saudaranya di Mekkah
akan kedatangan kaum muslimin dan ia tidak bermaksud buruk. Singkatnya,
kemudian Rasulullah masuk ke Mekkah, Khalid bin Walid ditempatkan di sayap
kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan
sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan
memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Syekh
Shafiyurrahman Al Mubarakfuri menceritakan dalam sirahnya, Rasulullah kemudian
memasuki Masjidil Haram serta membersihkan berhala-berhala didalam dan disekitarnya
yang berjumlah 360 berhala, beliau juga mencium hajar Aswad dan tawaf seraya
membaca firman Allah:[3]
وَقُلْ جاءَ الْحَقُّ
وَزَهَقَ الْباطِلُ إِنَّ الْباطِلَ كانَ زَهُوقاً
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Qs. Al Isra [17]:81)
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (Qs. Al Isra [17]:81)
Kemudian Rasulullah melaksanakan shalat didepan ka’bah dan
berceramah dihadapan kaum Quraisy.
يا معشر قريش، ما ترون أني فاعل بكم؟
قالوا: خيرا، أخ كريم وابن أخ كريم، قال: فإني أقول لكم كما قال يوسف لإخوته: لا
تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ اذهبوا فأنتم الطلقاء.
“Wahai
orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan
terhadap kalian? Merekapun menjawab, “Yang
baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia. Beliau bersabda,“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana
perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas
kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian!
Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Begitu lembutnya hati
Rasulullah memaafkan kaum Quraisy yang dahulu menyusahkan beliau dan para
sahabat, seandainya mau tentu beliau bisa memerangi dan membunuh mereka semua,
namun keluhuran akhlak beliaulah Mekkah ditaklukkan tanpa pertumpahan darah.
Lalu Rasulullah menetap di Mekkah selama 19 hari, mengarahkan manusia kepada
petunjuk Allah, memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan dan mengadili
para pembangkan dari kaum Quraisy serta membersihkan sisa-sisa kemusyrikan.
Sebuah penaklukan yang besar, kemenangan yang abadi dalam sejarah Islam.
Beliau
menyebutkan dalam tafsirnya:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: " إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ
وَالْفَتْحُ " دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَاطِمَةَ وَقَالَ: "إِنَّهُ قَدْ
نُعِيت إِلَيَّ نَفْسِي"، فَبَكَتْ ثُمَّ ضَحِكَتْ، وَقَالَتْ: أَخْبَرَنِي
أَنَّهُ نُعيت إِلَيْهِ نفسُه فَبَكَيْتُ، ثُمَّ قَالَ: "اصْبِرِي فَإِنَّكِ
أَوَّلُ أَهْلِي لِحَاقًا بِي" فَضَحِكْتُ
Dari Ibnu Abbas
berkata, saat turun ayat:
إِذَا
جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam, memanggil Fatimah, dan bersabda,” Ini adalah ucapan belasungkawa terhadapku. Lalu Fatimahpun menangis, tak lama kemudian tertawa, dan berkata,”
Rasulullah mengabarkan kepadaku bahwa ayat tersebut adalah ungkapan
belasungkawa kepadanya, lalu aku menangis, kemudian Nabi bersabda,”Bersabarlah
Fatimah, sesungguhnya kamu adalah keluargaku yang pertama yang akan menyusulku,
lalu aku tertawa”.(Dalalil Nubuwah, 7/167)
والله
أعلم
ditulis oleh: Ust. Fauzan Sugiyono, Lc, M.Ag