Kandungan Ayat
Ini adalah surat yang agung, yang mengandung tiga
sifat dari sifat-sifat Allah, yaitu Rububiyah, al Mulk dan Al Ilahiyah.
Rububiyah adalah sifat Allah sebagai Pengatur segala sesuatu baik di langit
maupun di bumi. Dan Al Mulk adalah Raja, yang memiliki manusia dan makhluk
lainnya. Serta Al Ilahiyah yaitu Sesembahan, hanya Allah yang berhak disembah
oleh makhluk-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Manusia diperintahkan untuk berlindung
dari bisikan (al waswas) yang di hembuskan kepada manusia agar melakukan
kejahatan dan kemaksiatan
قُلْ
أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1)
Katakanlah,”Aku berlindung
kepada Tuhan manusia
Asy Syaukani menyebutkan, dalam ayat Rabbinnas
(Rabb Manusia). Disebutkan kalimat an Nas (manusia) sebagai bentuk
kemuliaan manusia, padahal Allah memiliki makhluk-makhluk lain selain manusia.
Pengulangan penyebutan an Nas, juga menunjukkan mazid asy syaraf (pertambahan
kemuliaan)[1]
Ketika manusia berlindung kepada Rabbnya,
sesungguhnya ia sedang berlindung kepada Dzat yang mengatur seluruh sendi kehidupannya,
sekaligus Pemilik Alam, satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Sehingga
bentuk-bentuk perlindungan, penyembahan dan pemilikan selain kepada Allah, maka
hal tersebut bathil adanya.
ü Apa perbedaan Malik (مَلِك ) dan Mâlik (مَالِك )?
مَلِكِ
النَّاسِ(2)
Raja Manusia
Secara umum makna kata Malik (مَلِك ) (dengan vokal A
pendek) dan Mâlik (مَالِك ) (dengan vokal A dipanjangkan) memiliki arti Menguasai atau Raja.
Namun menurut Syekh Nawawi Al-Bantani perbedaan keduanya bahwa Malik (مَلِك ) dengan vokal A
pendek mengandung pengertian bahwa Allah Maha Raja dan Maha Menguasai Manusia dan segala Makhluknya di dunia, Allah
Pemilik Mutlak manusia dan makhluk lainnya . Sedangkan kata Malik (مَالِك ) (dengan vokal A
Panjang) khusus untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi di akherat.[2]
Sesembahan manusia
إِلَهِ
النَّاسِ (3)
Sembahan manusia (3)
Menurut Ali Ash Shabuni, surat
ini memiliki urutan yang menakjubkan yaitu:[3]
·
Dimulai dengan permohonan perlindungan kepada
Allah dari segala godaan syetan, kembali kepada Allah, bukan kepada raja dan
penguasa selain Allah. Ayat ini mengajarkan manusia agar mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya, sebagai Rabb (pengatur) segala aktivitas manusia yang
mengatur segala urursan manusia.
·
Setelah itu dilanjutkan dengan mengetahui
bahwa Allah adalah Raja yang menguasai manusia, Allah tidak butuh manusia,
manusialah yang butuh Allah.
·
Kemudian setelah manusia mengetahui Allah
sebagai Dzat yang menguasai manusia dan
makhluk-Nya, setelah manusia mengetahui hakikat Allah yang sebenarnya, maka ia
akan mempersembahkan penyembahan dan ibadah hanya kepada Allah.
Apakah Waswasil Khannas?
مِنْ
شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4)
Dari kejahatan (bisikan)
syaitan yang biasa bersembunyi
Imam Ibnu Katsir menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan waswasil khannas adalah:
وَهُوَ الشَّيْطَانُ الْمُوَكَّلُ
بِالْإِنْسَانِ، فَإِنَّهُ مَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ إِلَّا وَلَهُ
قَرِينٌ يُزَين لَهُ الْفَوَاحِشَ، وَلَا يَأْلُوهُ جُهْدًا فِي الْخَبَالِ.
وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَم اللَّه
Dia
adalah syetan yang bertugas mengikuti manusia, maka tak seorangpun dari Anak
Adam melainkan ada qarin yang mengikuti dan menghiasinya dengan amal-amal
keburukan Setan itu juga
tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkannya melalui
bisikan dan godaannya, dan orang yang terhindar dari bisikannya hanyalah orang
yang dipelihara oleh Allah Swt.[4]
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ
وُكِل بِهِ قَرِينَةٌ". قَالُوا: وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
"نَعَمْ، إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ، فَأَسْلَمَ، فَلَا
يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ"
Tidak
seorangpun diantara kalian melainkan didampingi oleh qarin. Mereka
bertanya,”Apakah Engkau juga begitu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,” Ya,
akan tetapi sungguh Allah menolongku atasnya, dan qarin itu masuk Islam, dan ia
tak menyuruhku melainkan kebaikan”.[5](
Sahih Muslim, No. 2814 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Dalam Kitab Shahihain juga disebutkan hadits yang bersumber
dari sahabat Anas bin Malik saat Shafiyyah istri Nabi Muhammad mengunjungi
Beliau yang sedang beritikaf, kemudian Rasulullah keluar masjid untuk
mengantarkan Shafiyah kembali kerumahnya pada malam hari, lalu Rasulullah
berpapasan dengan dua orang Anshar, ketika mereka melihat Nabi, mereka langsung bergegas pergi, kemudian
Rasulullah memanggil:
عَلَى رِسْلِكُمَا، إِنَّهَا صَفِيَّةُ
بِنْتُ حُيي". فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ، يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ:
"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ
يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا، أَوْ قَالَ: شَرًّا"
Aku
adalah Rasul kalian, sesungguhnya wanita yang bersamaku adalah istriku
Shafiyyah binti Huyay. Lalu mereka berkata,” Maha Suci Allah wahai Rasulullah.
Lalu nabi bersabda,” Sesungguhnya syetan mengalir dalam diri anak Adam
mengikuti aliran darah, dan aku khawatir ia membisikkan sesuatu dihati kalian,
atau mengatakan suatu keburukan.[6]
(Sahih Muslim, No. 2174, Sahih Bukhari, No. 7171, 6219, 2035)
Ibnu
Abbas menyebutkan yang dimaksud dengan waswasil khannas adalah syetan yang
menetap di hati anak Adam, jika ia terlena maka syetan akan membisikkan
kejahatan, dan jika ia ingat Allah maka syetan akan lenyap.[7]
Syetan
tak akan lelah dan bosan menyesatkan manusia dari Allah, dengan segala cara.
Sejenak ia menggoda manusia, sejenak ia menjauh, sejenak kemudian ia menggoda
manusia lagi, hingga benar-benar manusia tergelincir dari jalan Allah.
Syetan
menggoda hati manusia
الَّذِي
يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5)
Yang membisikkan (kejahatan)
ke dalam dada manusia
Syetan membuat keraguan di hati manusia dengan membisikkan
hal-hal yang membuatnya resah. Mengarah kepada hawa nafsu dan keyakinannya
terhadap Allah, serta ajakan-ajakan melakukan keburukan.
Bisikan syetan dihati manusia adalah ajakan mengikuti
perintahnya, tentang suatu perkara yang diluar akal dan atau hal-hal yang tidak jelas.[8]
Menurut Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, perbedaan antara bisikan syetan dan ilham dari Allah adalah yang
terpuji (ilham al Mahmud) adalah, jika ajakan dalam hati mengarah kepada
kemaksiatan dan kejahatan itu dari syetan, dan jika mengarah kepada kebaikan
dan takwa itu ilham yang terpuji. [9]
Dari golongan
jin dan manusia
مِنَ الْجِنَّةِ
وَالنَّاسِ (6
Dari golongan jin dan manusia
Apakah yang dimaksud dengan, iblis,
Jin dan syetan? Jin adalah makhluk Allah yang diberikan kewajiban beribadah dan
taat kepada Allah.
Firman Allah:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Dan tidak Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah kepadaku (QS. Adz Zariyat: 56)
Jin ada yang muslim dan ada pula yang kafir, seperti juga
manusia, ada yang muslim dan yang kafir. Adapun Syetan adalah termasuk dalam
jenis Jin yang kafir kafir.
Iblis adalah nenek moyang jin dan keturunannya, ini
adalah pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah dan Hasan Al Bashri. [10]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa iblis adalah bapaknya jin.[11]
Menurut Al Hafiz Ibnu Katsir, Syetan secara bahasa
artinya jauh, atau yang jauh dari rahmat Allah, sehingga setiap pihak yang
memiliki sifat membangkan dari jenis jin, manusia dan hewan disebut syetan. (Tafsir
Ibnu Katsir,1/16)
Kesimpulan
§ Surat An Nas
merupakan surat yang termasuk Al Mu’awizatain bersama surat Al-Falaq, yang
berisi perlindungan kepada Allah atas bisikan dan tipudaya syetan.
§ Sifat syetan
selalu mengganggu manusia sampai terjerumus kedalam perangkapnya dan jauh dari
Allah.
§ Syetan dari
jenis jin membisikkan kekufuran dan kemaksiatan di dalam hati manusia, syetan
dari jenis manusia bekerja dengan menghalangi manusia dengan segala cara agar
semakin jauh dari Allah.
والله
أعلم
[1]
Asy Syaukani, Fathul Qadir, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1414 H), 5/642
[2]
Syekh An-Nawawi Al Bantani, Marah Labid, 2/683
[3]
Muhammad Ali Ash Shabuni, Shafwat at Tafasir, 3/600
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adzhim, 8/539
[6]
Sahih Muslim, No. 2174, Sahih Bukhari, No. 7171, 6219, 2035 dari
hadits Shafiyyah
[7] Tafsir
At Thabari, 24/710, Tafsir Ibnu Katsir, 8/540,
[8] Al
Mawardi, Tafsir Al Mawardi, 6/379
[9]
Muhammad Jamaludin Muhammad Said, Mahasin Ta’wil, 9/581
[10]
Tafsir At Thabari, 1/507, Dur Mantsur, 5/402
[11]
Majmu’ Fatawa,4/235