Selasa, 30 Juli 2013

Shalat Jumat di Bulan Suci, Ribuan Jamaah Padati Al Aqsa



YERUSSALEM--Sekitar 80 ribu jamaah memenuhi Masjid Al Aqsa guna  melakukan shalat Jumat pertama di bulan suci. Berbarengan dengan itu, lebih dari tiga ribu polisi Israel mengawasi shalat Jumat tersebut.

Seperti dikutip arabnews, Sabtu (13/7), polisi Israel melakukan pembatasan jamaah yang memasuki masjid Al Aqsa. Mereka yang boleh masuk minimal berusia 40 tahun. Namun, pembatasan itu tidak menghalangi antusiasme Muslim memakmurkan Masjid Al Aqsa.

Di luar pelaksanaan shalat Jumat, sejumlah wanita menggelar aksi damai dengan mengibarkan bendera Palestina dan Mesir. Mereka menolak kudeta yang dilakukan militer Mesir pada presiden Mursi. Republika.co.id






Eropa Berniat Damaikan Mesir



KAIRO -- Konflik perpecahan berdarah di Mesir menemui titik terang setelah kedatangan juru damai dari Uni Eropa (UE), Catherine Ashton. Kedua pihak yang bertikai telah bersepakat untuk menghindari kekerasan.

Perdamaian ini, kata Ashton, merupakan kesimpulan pertemuannya dengan pemimpin militer, oposisi, dan Ikhwanul Muslimin. "Dari semua pertemuan, kesimpulan yang saya ambil, tidak ada tempat bagi kekerasan dan demonstrasi yang berlangsung damai itu jauh lebih penting," katanya, Selasa (31/7).

Kepala Kebijakan Luar Negeri UE ini menegaskan, kehadirannya di Negeri Piramid itu untuk mendamaikan Mesir, bukan mendikte rakyat Mesir. Ashton merupakan satu-satunya tokoh internasional yang diterima semua pihak yang berseteru.

Pada hari pertamanya di Mesir, Senin (29/7), Ashton bertemu pemimpin militer Jenderal Abdul Fatah al-Sisi, Presiden interim Mesir Adly Mansur, dan pemimpin oposisi sekaligus Wakil Presiden interim Mesir Muhammad el-Baradei.

Pada Selasa, militer membawa Ashton menggunakan helikopter meninggalkan Kairo menuju tempat penahanan Mursi. Bagi Mursi, pertemuan dengan Ashton merupakan kontak pertamanya dengan dunia internasional setelah terguling pada Rabu (3/7).

Pada awal pertemuan, Ashton menyampaikan salam dari semua orang kepada Mursi. Mursi pun membalas salam itu. Setelah berbicara dua jam dengan Mursi, Ashton mengatakan, Mursi dalam kondisi sehat. Dia menolak menyampaikan isi pembicaraan dengan tokoh Ikhwanul Muslimin itu.

Ashton ingin memastikan kepada keluarga Mursi bahwa Mursi baik-baik saja. Mursi tidak buta informasi dan tetap memiliki akses pada media massa. Namun, aktivis Partai Buruh di Inggris ini tidak mengetahui di mana dia berada. Mursi dikabarkan menjalani penahanan di sebuah fasilitas militer.

Meski begitu, kondisi di lapangan belum menunjukkan adanya perdamaian. Ikhwanul Muslimin tetap menjalankan aksi dalam skala kecil, menolak rekonsiliasi, dan menyerukan demonstrasi, Selasa ini. Pemerintah juga tampak tak ingin berdamai dengan pihak Ikhwanul Muslimin dan akan menegakkan hukum kepada kelompok yang mengganggu.

Delegasi Ikhwanul Muslimin, Ali Bishr, mengatakan, pertemuan Ashton bersama kelompok pendukung Mursi tidak menuntut harapan. Ali menegaskan, gagasan rujuk tidak akan digubris jika militer tidak memulihkan kepemimpinan Mursi. Ikhwanul Muslimin mengingatkan rekonsiliasi bisa berjalan jika semua faksi setuju menempatkan Konstitusi 2012 sebagai dasar hukum yang sah.Republika.co.id

Presiden terguling Moursi "sehat", punya akses baca surat kabar



Kairo (ANTARA News) - Presiden terguling Mesir Mohammad Moursi dalam keadaan sehat dan memiliki akses untuk memperoleh berita, kata Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton pada Selasa setelah bertemu dengannya di satu lokasi yang tak disebutkan.

"Moursi dalam keadaan sehat," kata Ashton kepada wartawan, seraya menambahkan dia memiliki akses untuk mendapatkan surat kabar dan menonton televisi, dan melukiskan pembicaraan mereka "bersahabat, terbuka dan sangat terus terang."

Dia mengadakan pembicaraan dua jam dengan Moursi Selasa dinihari, dengan sumber-sumber mengatakan kepada kantor berita Prancis AFP dia bertolak dari Kairo dengan helikopter militer.

Dia menolak mengatakan di mana Moursi ditahan atau menyebutkan komentar-komentarnya kepada dia.

Ashton tiba di Kairo pada Ahad malam untuk mengadakan pertemuan-pertemuan yang jadwalnya ketat dengan para pejabat pemerintah Mesir dan para wakil oposisi.

Kunjungan dia terjadi beberapa hari setelah kekerasan yang merenggut 82 jiwa di pihak pengunjuk rasa pro-Moursi di Kairo pada Sabtu pagi.

Dia mendesak daikhirinya pertumpahan darah dan transisi politik yang akan mencakup organisasi Ikhwanul Muslimin yang jadi organisasi asal Moursi.

Tetapi Ashton mengatakan Selasa bahwa dia di Mesir tak bermaksud mendesak masing-masing pihak untuk mengambil tindakan-tindakan khusus atau mengambil prakarsa.

"Saya di snini tidak meminta orang-orang melakukan sesuatu," kata dia, seraya menambahkan bahwa dia akan membantu menemukan "dasar sama" antara dua pihak.

"Saya tidak datang ke sini untuk mengatakan orang hendaknya berbuat ini, orang berbuat itu, ini negara Anda," kata dia. "Solusi untuk rakyat Mesir."

Sebelumnya Ashton mengatakan Uni Eropa akan meneruskan upaya penengahan guna mengakhiri kemelut di Mesir.

Ashton, yang berbicara di samping Wakil Presiden Sementara Mesir Mohamed El Baradei, mengatakan bahwa sejumlah diplomat Uni Eropa akan tetap berada di Mesir untuk melanjutkan upaya tersebut.

Polisi Mesir Larang Kaum Muslimin Shalat Isya da Tarawih Di Mesjid Tauhid

PORT SAID : Jamaah Muslimin dan Muslimat berdatangan ke masjid Tauhid di kota Port Said pada Ahad (28/7/2013) malam sebelum waktu Isya’. Mereka hadir ke masjid untuk menunaikan shalat Isya’ dan Tarawih berjamaah. Namun, seperti dilansir Rassd, mereka dikejutkan oleh kehadiran pasukan kepolisian Mesir di dalam masjid. Aparat itu mengatakan, “Maaf, tidak ada kesepakatan untuk shalat.”

Rassd melaporkan, pasukan kepolisian dan tentara Mesir telah mengepung Masjid Tauhid sejak Senin (29/7/2013) pagi dengan tank-tank dan sejumlah panser. Beberapa orang dengan tutup kepala mulai membakar serambi masjid jami’ di kota Port Said tersebut. Pasukan keamanan membuat titik-titik pemberhentian untuk memeriksa mobil-mobil yang lalu lalang di jalan raya depan masjid.

Satu pasukan tentara Mesir juga naik ke atap-atap bangunan di sekitar masjid. Mereka membuat posko pertahanan dengan memasang karung-karung pasir. Tentara dan polisi di Port Said mengkhawatirkan kembalinya massa demonstran pendukung Mursi dan penentang kudeta militer ke komplek Masjid Tauhid.

Antisipasi dilakukan pasukan keamanan Mesir di Port Said setelah sehari sebelumnya massa demonstran pendukung Mursi terlibat bentrokan dengan massa pendukung kudeta militer. Seorang pendukung Mursi, seorang wartawan dan karyawan toko minyak wangi gugur dalam bentrokan tersebut. Lebih dari 30 orang mengalami cedera dalam bentrokan yang sama.

Rassd melaporkan sepanjang hari Senin massa liberal pendukung kudeta militer membakari sejumlah besar toko dan restoran milik aktivis Islam di Port Said. Video yang dirilis Rassd memperlihatkan seorang karyawan toko aktivis Islam terbakar bersama tokonya oleh serangan brutal massa pendukung kudeta militer. Karyawan toko itu pun gugur menemui sang maut. (arrahmah.com), salam-online

Pemerintah Mesir ancam pendukung Moursi

Kairo - Dewan Pertahanan Nasional Mesir mengingatkan para pendukung presiden terguling Mohamed Morsi bahwa pasukan keamanan akan mengambil langkah pasti dan keras jika aksi demonstran melewati batas.

Dewan ini menyeru demonstran untuk tidak melewati hak mereka untuk mengekspresikan pendapatnya dengan damai dan bertanggung jawab  serta mengingatkan bahwa mereka akan menghadapi langkah pasti dan keras terhadap segala kekerasan.

Anggota dewan ini termasuk Presiden Adly Mansour, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdel-Fattah al-Sisi, perdana menteri dan menteri dalam negeri, lapor kantor berita MENA.

Dewan ini juga menyeru pendukung Moursi yang berkumpul di dua situs di Kairo untuk menolak kekerasan dalam segala bentuk, serta menghentikan serangan verbal dan fisik terhadap warga negara.

72 orang pendukung Moursi terbunuh dalam demonstrasi berujung kekerasan di Rabaa al-Adawiya di Kairo, Sabtu pekan lalu. sumber: Antara

Uni Eropa serukan Mesir kembali ke pemerintahan sipil

Kairo- Kepala urusan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton pada Minggu menyerukan lagi agar Mesir kembali ke pemerintahan sipil di saat ia terbang ke Kairo untuk melakukan pembicaraan setelah bentrokan mematikan antara demonstran dan polisi.

Ashton mengatakan dia ingin berbicara kepada semua pihak setelah setidaknya 72 orang tewas pada Sabtu dalam satu protes untuk mendukung presiden terguling Mohamed Moursi.

Para pengunjuk rasa menuduh pasukan keamanan menembakkan peluru tajam kepada warga sipil yang tak bersenjata, tuduhan yang telah dibantah oleh pemerintah Kairo.

"Uni Eropa ingin "memperkuat pesan kami bahwa harus ada proses transisi yang sepenuhnya inklusif, dilakukan di semua kelompok politik, termasuk Ikhwanul Muslimin," kata Ashton dalam sebuah pernyataan.

"Proses ini harus dilakukan - sesegera mungkin - untuk memenuhi perintah konstitusi, pemilihan umum yang bebas dan adil dan pemerintahan yang dipimpin sipil," katanya.

"Saya juga akan mengulangi seruan untuk mengakhiri semua kekerasan. Saya sangat menyayangkan kerugian yang menyebabkan kematian."

Ashton mengatakan dia kembali ke Mesir, setelah seruannya berulang-ulang untuk transisi damai dan kunjungan awal bulan ini, dalam menanggapi permintaan "para pemangku kepentingan", meskipun dia tidak mengidentifikasi mereka.

Sebelumnya Minggu, pihak berwenang di Kairo mengatakan bahwa Ashton akan bertemu dengan Presiden Adly Mansour, Wakil Presiden untuk urusan Internasional Mohamed ElBaradei dan para pejabat lainnya.

Ashton mengatakan dia juga akan bertemu dengan Menteri Pertahanan Jenderal Abd Al Fattah Al Sisi dan akan mengadakan pembicaraan dengan kelompok-kelompok lain. Sumber:Antara

Fakta Dibalik Tragedi Kemanusiaan Mesir

Tragedi kemanusiaan kembali terjadi di Mesir pasca-kudeta militer pada awal Juli 2013. Lebih dari 100 orang tewas dan 4.500 luka-luka, saat pendukung pro-legitimasi berkumpul di lapangan Masjid Rabiah al-Adawiyah, Naser City (Kompas, 28/7).
Yang mengerikan sebagian besar mereka tertembak peluru aparat di bagian kepala atau dada. Penembakan terjadi justru di tengah malam hingga pagi hari, saat pendemo sedang melakukan shalat tarawih dan mempersiapkan sahur.
Tragedi itu melengkapi pembantaian yang dilakukan di depan markas Garda Republik, tempat penahanan Presiden Muhammad Mursi. Sedikitnya 56 tewas dan lebih dari 700 luka-luka (BBC, 8/7). Dinamika politik Mesir mengalami setback, dari fajar demokrasi kembali ke malam gelap otoriterianisme baru.
Dalam konteks Indonesia yang masih mengalami transisi panjang sejak reformasi 1998, tragedi Mesir memberi pelajaran berharga. Perluasan demokratisasi dan pembentukan pemerintahan sipil yang kuat adalah agenda penting abad 21 (Oxford Manifesto, 1997).

Karena itu, perlu jeli ketika menyorot dinamika politik di suatu negara. Komentator emosional justru meruntuhkan argumentasi paling mendasar, bahwa kedaulatan sungguh-sungguh di tangan rakyat.
Komentar aneh antara lain dilontarkan Zuhairi Misrawi, analis politik Timur Tengah lewat akun twitternya. Politisi muda yang mengaku memperjuangkan prinsip demokrasi itu menilai, “Ikhwanul Muslimin ingin mengesankan kepada dunia sebagai ‘korban’. Padahal, mereka telah memprovokasi militer untuk melakukan tindakan biadab. Jika IM tidak melawan militer, maka tragedi berdarah itu tidak akan terjadi. Jadi kesalahan tidak sepenuhnya pada militer.” (@zuhairimisrawi, 28/7)

Betapa naifnya pandangan Zuhairi, seakan IM menghargai nyawa rakyat begitu murah demi mencapai citra politik yang dibayangkannya.
Padahal, pimpinan IM tegas menyatakan, bahwa mereka memperjuangkan pemulihan legitimasi pemerintahan sipil berdasarkan konstitusi yang telah disetujui mayoritas rakyat dalam referendum 2012. IM tidak bergerak sendiri, tapi bersama kekuatan lain lintas-ideologi yang bernaung di bawah “National Coalition to Support Legitimacy”.

Lebih jauh Zuhairi menuding, “IM juga pegang senjata dan bom bunuh diri. Ini yang menyebabkan militer harus mengambil tindakan keras. Puluhan militer dan rakyat Mesir ditembak dan dibom oleh IM dalam dua pekan ini. Mesir menuju perang saudara,” (@zuhairimisrawi, 27/7).
Zuhairi menolak istilah pembantaian karena media Mesir yang dikutipnya menyebut “isytibakat” (bentrok).
Tudingan Zuhairi sungguh tak berdasar, karena insiden bentrok bersenjata terjadi di kawasan Sinai, kota el-Arish atau Rafah, yang memang selama ini dikuasai milisi bersenjata tak dikenal. Mereka tak ada hubungan organisatoris dengan IM. Bahkan, ada dugaan faksi militer Mesir yang selama ini membina, meski tak sepenuhnya bisa mengendalikan. Insiden itu justru memperlihatkan salah satu dampak kudeta adalah kerawanan di daerah perbatasan.

Problematika Demokrasi
Demokrasi menyisakan persoalan klasik, rakyat mana semestinya yang berdaulat? Rakyat yang ikut pemilihan umum (apapun pilihan politiknya) ataukah rakyat yang tak memilih alias Golput (apapun alasannya)?
Apakah rakyat yang mengeluarkan mosi tidak percaya lewat petisi atau turun ke jalan sama nilainya dengan rakyat yang datang ke bilik suara?
Pertarungan di kotak suara jelas lebih terukur untuk menentukan siapa pemenang dan siapa yang berhak memerintah. Tetapi, jika dua kubu demonstran sedang berhadapan, maka suara siapakah yang paling menentukan?
Dalam pemilu sekurangnya ada KPU selaku penyelenggara dan MK sebagai wasit, sedangkan adu kekuatan massa tak jelas siapa menjadi penengah. Itulah enigma demokrasi, misteri yang sulit dicerna.
Dalam kerangka problematik itu, simpulan Zuhairi tentang pergantian rezim di Mesir amat mencengangkan. Sebagai tokoh muda yang kencang menyuarakan demokrasi justru merayakan kudeta militer lewat artikel provokatif,
“Ikhwanul Muslimin Tumbang*” (Kompas, 5/7). Bukan kebetulan, Kompas pada hari sama menulis berita utama, “Demokrasi Tumbang di Mesir”. Bukankah itu bermakna IM pendukung utama demokrasi di negeri piramida dan, “mafhum mukhalafah”-nya, kelompok yang menjatuhkan Mursi adalah anti-demokrasi?
Zuhairi menyatakan Mursi hanya mementingkan kelompoknya sendiri dan memonopoli jabatan politik dan kantong ekonomi. Faktanya, Mursi yang mengangkat Menhan Abdul Fattah al-Sisi (menggantikan Marsekal Hussein Tanthawi, orang kuat Husni Mubarak) dan Ketua MK Adly Mansour (hakim agama yang sempat menjadi Wakil Ketua MA). Jika tidak dipromosikan Mursi, maka kedua tokoh itu tak akan tercatat dalam sejarah Mesir modern. Bukti lain, lima menteri dalam kabinet Mursi menyatakan mundur saat militer mengultimatum. Berarti mereka bukan loyalis Mursi atau IM.
Lalu, kelompok oposisi ingin jatah kekuasaan apa lagi?

Mengakhiri Darurat Militer
Tindakan drastik yang dilakukan Mursi dalam 100 hari pemerintahannya adalah mempercepat pensiun 70 jenderal loyalis Mubarak bersamaan dengan pencopotan Hussein Thantawi dan Sami Annan dari posisi Panglima dan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata.
Entah hal itukah yang dimaksud Zuhairi sebagai monopoli, padahal Mursi kemudian mengangkat perwira muda untuk mulai gerakan reformasi militer Mesir. Selain itu, sesuai konstitusi, Presiden Mursi berhak mengangkat Gubernur baru. Dari 27 posisi Gubernur, cuma 5 yang berafiliasi partai, selebihnya kaum profesional.
Figur baru yang menyulut kontroversi global adalah Gubernur Luxor yang dituduh tokoh Jamaah Islamiyah dan diduga terlibat dalam insiden penembakan turis asing di kota wisata itu pada 1997. Tuduhan itu tidak didukung oleh bukti peradilan dan semua orang tahu Jamaah Islamiyah telah berubah fundamental, menempuh jalur demokrasi-damai dan menjauhi cara kekerasan.
Kudeta militer saat ini justru dapat membangkitkan kembali bibit kekerasan yang coba dinetralisir di Mesir dalam satu dekade terakhir. Jika tokoh oposisi merasa diri mampu menjadi Gubernur, mereka dapat mengajukan nama dan ikut seleksi, bukan mendukung kudeta.
Sebenarnya Mursi telah melakukan gebrakan berupa mobilisasi militer Mesir menguasai kembali Gurun Sinai yang di masa Mubarak lepas ke tangan Israel. Hampir 70 persen lalulintas udara dan darat Mesir dulu dikuasai Israel.

Politik cerdas Mursi dicermati betul PM Israel Benyamin Netanyahu yang mengatakan, “Sikap Mursi jauh lebih berbahaya daripada nuklir Iran’. Sementara itu pemerintah AS memuji inisiatif Mursi memfasilitasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel, hingga terbukanya perbatasan Rafah mengakhiri blokade Jalur Gaza.
Militer Mesir memang “the real actor” dalam politik nasional, namun kini semua prajurit di bawah komando Panglima Tertinggi (Presiden).
Berdasarkan konstitusi baru, tak ada lagi kekuasaan Dewan Tinggi Militer (SCAF) yang tak terbatas. Dulu SCAF punya otoritas untuk membubarkan parlemen, membekukan partai hingga menangkap tokoh sipil tanpa proses peradilan.
Mursi mengakhiri kezhaliman itu lewat Dekrit yang membuka jalan bagi penetapan konstitusi. Demi menghilangkan ketergantungan atas bantuan militer AS, Mursi berinteraksi dengan Rusia dan Jerman. Hasilnya, dalam dua bulan saja telah dikirim dua kapal selam tercanggih dari Jerman, walau diprotes keras Israel.

Prioritas ekonomi
Alasan lain kudeta militer disebut Zuhairi karena Mursi mengabaikan pemulihan ekonomi, malah lebih sibuk mengutak-atik konstitusi yang bernuansa syariah. Benarkah?
Mursi mewarisi kondisi ekonomi terburuk dalam sejarah Mesir yang ditinggalkan Mubarak. Utang luar negeri menumpuk, defisit anggaran mengancam.
Menurut “Strategic Analysis” (The Henry Jackson Society, 2013), cadangan devisa Mesir menciut dari 13,5 miliar dolar AS (2010) tinggal 4,8 miliar dolar AS. (2012).
Tahun 2008, ekonomi Mesir masih tumbuh 7,2 persen. Kemudian turun jadi 4,7 persen (2009), 5 persen (2011), dan naik sedikit 5,5 persen (2012). Akibat eskalasi politik yang digoyang terus oposisi, pertumbuhan ekonomi Mesir kini terpuruk 2,2 persen (awal 2013). Angka inflasi 2012 (7,3 persen) uniknya lebih rendah dari 2011 (11,8 persen).

Karena itu harga sembako relatif stabil, hanya BBM melonjak. Angka pengangguran meningkat dari 12,06 persen (2011) menjadi 12,31 persen (2012). Begitu pula angka kemiskinan masih tinggi (40 persen).
Tak seorang pun sanggup melakukan keajaiban dalam waktu satu tahun, namun kebijakan ekonomi Mursi jelas-tegas memprioritaskan kecukupan pangan. Di era Mubarak produksi gandum domestik dibatasi maksimal 20 persen, sekarang sudah melampaui 60 persen. Dulu Mesir harus mengimpor gandung ke AS, sedang Mursi mengimpor dari negara yang lebih bersahabat demi menghemat belanja negara, sambil meningkatkan pendapatan petani lokal.

Sebagai bukti komitmen pro-kesejahteraan, Mursi menghapus utang 40.000 petani yang memiliki pinjaman di bawah 10.000 pounds (Rp 30 Juta). “Bail out” untuk rakyat kecil.
Investasi memang sulit datang di tengah krisis politik, tapi kunjungan Mursi ke China (Agustus 2012) menghasilkan perjanjian investasi senilai 4,9 miliar dolar AS. Bersama investor Korea, Mursi merintis pembangunan pabrik Samsung terbesar di kawasan Arab, di Provinsi Bani Suwef, agar barang elektronik terjangkau masyarakat.

Pembangunan pabrik otomotif nasional, komputer, hingga peralatan militer sudah masuk dalam program kabinet Mursi. Semua rencana itu kini hancur.
Yang paling membuat gerah sebagian kaum liberal mungkin pengaturan penjualan “khamar” (minuman keras), meski hal itu sama sekali tidak mengganggu sektor pariwisata.

Ada lagi, pergantian Direksi yang mengelola Pelabuhan Suez yang di era Mubarak menghasilkan pemasukan sebanyak 5,6 miliar dolar AS per tahun. Mursi menargetkan Suez sebagai hub ekonomi global dengan penghasilan meningkat 100 miliar dolar AS per tahun. Revitalisasi Suez mengancam perdagangan di Dubai dan Kuwait, karena itu negara Teluk mendukung kudeta.

Konstitusi Islam?

Isu menyesatkan seputar konstitusi baru disebut Misrawi sebagai “konstitusi prematur” dan dituding meminggirkan hak kaum perempuan dan kelompok minoritas. Bila kita cermati lebih teliti konstitusi baru itu justru mengakui hak kaum perempuan dan minoritas yang tak pernah disebut sekalimat pun dalam konstitusi lama produk militer.

Sangat aneh, apakah Zuhairi betul-betul membaca naskah Konstitusi 2012 atau sekadar mengutip pendapat komentator Arab? Bandingkan konstitusi itu dengan Dekrit 33 pasal yang dikeluarkan rezim boneka Adly Mansour, sangat kontradiktif.
Konstitusi baru Mesir disetujui mayoritas rakyat (71 persen) dalam referendum 2012 menegaskan berakhirnya kondisi darurat militer selama lima dekade, digantikan sistem presidensialisme yang dipilih untuk masa 4 tahun.

Pembatasan masa jabatan Presiden itu dinyatakan dalam pasal 133, sehingga tak ada lagi presiden yang berkuasa sesukanya. Pergantian pemerintahan dilakukan melalui Pemilu, bukan kudeta.
Secara khusus pasal 232 konstitusi baru Mesir mengisolasi petinggi Partai Nasional Demokrat (yang berkuasa di era Mubarak) selama 10 tahun. Klausul itu mirip dengan kebijakan Vaclav Havel ketika menjabat Presiden Ceko di masa transisi (1993-2003). Apakah konstitusi macam itu yang dikritisi Zuhairi dan lebih menyukai Dekrit darurat?

Akan halnya klausul terkait syariah Islam disebut dalam pasal pertama bahwa Mesir adalah “negara sipil” (bukan teokrasi) yang berdasarkan ajaran Islam Sunni. Dalam penjelasannya dinyatakan, posisi penting Al Azhar sebagai rujukan untuk merancang regulasi terkait warga Muslim. Jadi, tak ada yang disebut islamisasi konstitusi, karena ketentuan itu mirip dengan konstitusi di negara lain (seperti Malaysia yang menetapkan Islam sebagai agama negara dan Melayu jadi bahasa resmi).

Zuhairi begitu sengit mengecam “ikhwanisasi Mesir” — sebuah istilah yang absurd, karena tak ada dalam dokumen organisasi IM atau “Freedom and Justice Party” sebagai sayap politik, apalagi kebijakan resmi Presiden Mursi.
Zuhairi lupa sikap terbuka Muhammad Badie (Mursyid Aam IM) yang pada hari terpilihnya Mursi dalam Pilpres putaran kedua menandaskan: “Hari ini rakyat Mesir memilih pemimpin baru. Saya, tak terkecuali, sebagai warga negara Mesir tunduk kepada kepemimpinan baru yang dipilih rakyat.” Sejak itu, Mursi melepaskan tugas sebagai pimpinan FJP dan Maktab Irsyad IM (Ikhwan Web, 30 Juni 2012).
Ironisnya, Zuhairi kehilangan kritisisme tatkala menyinggung aksi kelompok Tamarrud (pembangkang), padahal itu mirip gejala awal Talibanisme. Kelompok yang tidak puas dengan pemerintahan sah, malah berkolaborasi dengan unsur militer menempuh jalan ilegal. Akan
halnya, pengaruh asing dalam kejatuhan Mursi cukup disimak kritik keras dari Dr. Aidh al-Qarni, dai yang disegani di Timur Tengah, atas dukungan Kerajaan Saudi dan Emirat Arab untuk aksi militer.
Demokrasi sebagai sistem politik modern mengandung janji dan misteri. Ada faktor substansi (kedaulatan rakyat), ada pula aspek prosedur (penyelenggara, peserta dan pengawas pemilu serta pemutus perkara jika terjadi sengketa).
Daulat individu akan berbaur dengan legitimasi kolektif. Prinsip “one man, one vote, one value” tidak membedakan seorang jenderal yang memimpin pasukan besar, seorang pengusaha yang memiliki aset dan pegawai melimpah, seorang ulama/pendeta yang memimpin lembaga berpengaruh, dengan rakyat jelata (penjual martabak atau kopi di pinggir kota Kairo), semua punya hak/kewajiban sama.
Para jenderal, konglomerat dan sebagian ulama itu mendukung kudeta dan membatalkan putusan rakyat dalam kotak suara.
Demokrasi mempersilakan mantan loyalis rezim masa lalu untuk bertarung memperebutkan suara setelah masa “iddah” politik, asalkan mereka terbukti tidak melanggar hukum/HAM. Demokrasi juga memberi peluang bagi pihak yang kalah dalam pemilu untuk beroposisi dan berdemonstrasi. Tapi, demokrat sejati tak membiarkan militer merampas legitimasi demi membentuk rezim boneka.
Sejumlah aktivis dan tokoh independen hadir dalam demonstrasi pro-legitimasi pasca-kudeta, karena mereka percaya konstitusi 2012 dan kebebasan sipil merupakan keniscayaan. Mereka terkejut dengan sikap Presiden interim Adly Mansour yang memberangus kebebasan, menangkap politisi tanpa peradilan, membredel media independen. Bahkan, Menhan Abdel Fattah el-Sisi yang jelas lebih berkuasa dari Presiden Adly, secara terbuka memobilisasi demonstran dan menembaki rakyat sendiri.
Jika rakyat Mesir telah memilih perubahan fundamental untuk mengakhiri dominasi militer, mengapa kaum demokrat dan liberal di negeri ini (termasuk Zuhairi) masih menyangsikannya. Padahal, Mesir adalah negara pertama yang mengakui Kemerdekaan RI tahun 1945 dan tokoh IM menjadi pelopor pembentukan Front Pembela Kemerdekaan Indonesia.
Jauh sebelum Zuhairi lahir, kaum Islamis telah menunjukkan komitmen dan kontribusinya untuk pembebasan negeri terjajah. Pengorbanan yang disaksikan dunia saat ini demi tegaknya legitimasi pemerintahan sipil hasil demokrasi yang beradab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/07/30/37411/konteks-indonesia-dari-enigma-demokrasi-di-mesir/#ixzz2aVfia4UG