Kamis, 07 April 2016

RAHASIA KEBANGKITAN GENERASI SHALAHUDDIN AL AYYUBI


RESENSI BUKU 

 Shalahuddin Yusuf bin Ayyub atau lebih dikenal Shalahuddin al-Ayyubi (532-589H) adalah sosok yang sangat popular dalam serajah Islam dan Eropa. Sepak terjangnya dalam Perang Salib dan keberhasilannya merebut al-Quds (Palestina) dari penguasa Kristen telah menempatkan Shalahuddin sebagai tokoh yang paling berpengaruh di masa itu. la berhasil menhentikan sementara waktu rangkaian Perang Salib yang diserukan pertama kali oleh Paus Urban II pada 25 November 1095 di Konsili Clermont (Karen Armstrong, Perang Suci, hlm. 27)

Shalahuddin al-Ayyubi menjadi legenda dan kisah suksesnya menjadi inspirasi lintas generasi umat Islam. "Ketika para peniliti, dai, dan kalangan intelektual mendiskusikan berbagai tantangan dan bahaya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, mereka sering mengungkit kemenangan-kemanangan yang diraih Shalahuddin sebagai argumentasi dan penegasan alas urgensi semangat islami dalam menghadapi tantangan dan bahaya tersebut." (Majid al-Kilani, Hakadza Zhahara lit Shalahiddin wa Hakadza Mat al-Quds, hlm. 25).

Sebagai inspirasi, menempatkan Shalahuddin sebagai ikon kebangkitan adalah suatu hal yang pantas dan bernas. Persoalan baru muncul ketika mencermati metode penyajian model kebangkitan tersebut secara keliru. Umumnya, dimulai dari fenomena pencaplokan wilayah-wilayah Islam oleh Pasukan Salib dengan cara yang kejam dan biadab. Lalu, tiba-tiba muncul sosok-sosok penting yang mengubah kondisi terpuruk umat Islam, seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin, dan meyiapkan umat untuk mengusung risalah jihad. Sosok-sosok inilah yang ditampilkan sebagai aktor-aktor terpenting perubahan yang berhasil mengembalikan kedaulatan umat Islam, termasuk merebut kembali Palestina.

Di balik segala bentuk heroisme sepak terjang Nuruddin dan Shalahuddin, yang secara faktual memang benar, sebenarnya ada satu mata rantai yang hilang. Ada rentang masa sekitar 50 tahun antara jatuhnya wilayah-wilayah Islam di Syam ke tangan Pasukan Salib
dengan munculnya model perjuangan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.Pertanyaan besar muncul di sini dan menuntut jawaban yang sangat mendesak, apa yang terjadi pada umat Islam selama masa setengah abad tersebut? Faktor-faktor apakah yang telah mengubah kondisi umat Islam dari terpuruk menjadi bangkit, bahkan meraih kemenangan besar melawan pasukan Eropa?

Di sinilah letak pentingnya karya Dr . Majid Irsan al-Kilani, Hakadza Zhahara III Shalahiddin wa Hakadza 'Mat al-Quds (Beginilah Generasi Shalahuddin Lahir dan Beginilah Palestina Direbut kembali). Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Asep Sabari, Lc dan Amaluddin, MA dengan judul: Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang; Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina, Penerbit Kalam Aulia, Tabun 2007.

Dalam buku tersebut, Dr Majid al Kilani mengkritik metode penyajian kebangkitan umat oleh Nuruddin don Shalahuddin seperti di atas Menurutnya, metode tersebut justru mengaburkan persoalan paling mendasar yang ada pada umat, yang disebutnya sebagai penyakit penyakit sebenarnya yang diderita organ umat. Penyakit-penyakit internal inilah yang kelak melahirkan kondisi layak terpuruk dan kalah (al-qabiliyyah li at  takhalluf wa al hazimah). Dengan keberadaan penyakit penyakit yang menggerogoti 'imunitas' umat dari dalam, maka umat pun akhirnya menjadl lemah dan tidak kuat menahan serangan penyakit penyakit dari luar.

Alhasil, meski metode penyajian tersebut dapat mengangkat semangat juang (hamas, ghayroh) kaum Muslim, namun pada hakikatnya malah menempatkan persoalan amat jauh dari kata mungkin untuk dapat diselesaikan. Karena umat yang kondisi internalnya lemah, tidak akan pernah berhasil menahan bahaya dan menyelesaikan persoalan yang datang dari luar. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam kondisi lemah tentu adalah mengobati penyakit internal itu sendiri. Sehingga setelah sehat, baru dapat berjuang mengatasi penyakit dari luar dan mengubah sesuatu yang mustahil menjadi mungkin.
Sisi lain yang patut dikritik dari metode penyajian tersebut, adalah isi lebih mengarahkan umat pada pola perjuangan individual dan mengandalkan kekuatan figur semata. la jauh dari pola kerja kolektif (al-'amal al-jama'i) yang melibatkan seluruh unsur umat. Metode penyajian membangun persepsi bahwa tanggung jawab kebangkitan umat berada di pundak para pemimpin dan elit, sehingga merekalah yang secara sepihak menyusun strategi dan mengarahkan umat. Cara ini selain dalam tataran pelaksanaannya akan sangat sulit, jaga tidak membangun kesadaran kolektif pada diri umat bahwa mereka jaga ikut terlibat dan bertanggang jawab atas kebangkitan yang diharapkan.
Untuk itu, Dr. Majid al-Kilani, melalui penelitiannya yang sangat serius terhadap literatar-literatur sejarah dan pendukungnya yang mendokamentasikan periode tersebut, meyakinkan bahwa pada mulanya, Shalahaddin al-Ayyubi tidak lebih dari 'bahan baku' dari sebuah generasi baru. Generasi ini telah melalui proses perubahan unsar-unsur yang terkandung dalam al-anfus (internal), seperti pemikiran, persepsi, nilai, tradisi, dsb. Proses perubahan inilah yang kemudian menyiapkan mereka pada posisi-posisi yang sesuai dengan potensi masing-masing. Maka sebagai akibatnya, terjadilah perubahan eksternal yang mengejawantah dalam aspek politik, ekonomi, militer, dll, sehingga segala aktivitas mereka menjadi terarah dan tepat.

Pendekatan Dr. Majid al-Kilani dalam menyajlkan fenomena kebangkitan Islam di masa Shalahuddin, tampak seperti sedang merangkai mata rantai sejarah dalam satu rangkaian yang utuh. Setiap fakta sejarah saling melengkapi sehingga dapat memberi jawaban kausalitas atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Oleh karenanya, kita dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi pada umat Islam sehingga mengalami keterpurakan yang sangat dahsyat sebelum Perang Salib? Keterpurakan yang mengakibatkan pasukan Eropa tersebut dengan mudah menjajah wilayah Islam di saat Khilafah masih berdiri tegak di Baghdad. Lantas, apa yang terjadi pada masa masa berikutnya, sikap, reaksi, dan perabahan, yang kemudian membangkitkan umat yang tampak dengan munculnya sosok-sosok seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al Ayyubi? Siapakah tokoh tokoh yang berperan dalam perubahan, tersebut? Apa saja hal yang dirubah dan begaimana proses perubahan itu berjalan?
Sekelumit pertanyaan itulah yang coba di jawab Dr Majid al Kilani dalam buku fenomenalnya tersebut. Buku yang sangat inspiratif dan membuka harapan umat untuk menemukan jalan kebangkitan kembali.Di sisi lain, buku ini juga tampaknya,cukup mengkhawatirkan pihak-pihak yang tidak menginginkan kebangkitan amat Islam. Dr. Al-Kilani sendiri mengungkapkan hal ini dalam muakidamah berikut,

"Saya diberitahu oleh seseorang yang menonton acara pada sebuah kanal televisi Israel, bahwa dalam acara tersebut beberapa pakar dari Israel membedah baka tersebat (Hakadza..., pen) dengan bahasa Ibrani selama satu jam penuh. Mereka menyimpulkan bahwa buku tersebut berbahaya karena dapat menumbuhkan semangat juang islami, sehingga secara mendesak harus dilakakan langkah melawan fenomena kesadaran dunia Islam dengan dalih melawan terorisme, dan lain-lain." (hlm. 19)
FILOSOFI SEJARAH
Kekuatan kajian Dr. al Kilani dalam bukunya terletak pada kaedah-kaedah dasar pemahaman sejarah (flqh at-tarikh) yang ia sebut filosofi sejarah. Kaedah-kaedah merupakan hasil analisa fenomena sejarah dan nash wahyu. Menurutnya ada dua kaedah dasar yang menjadi pedoman metodologis kajian yang dilakukannya dalam 'membaca' fenomena kebangkitan generasi Shalahuddin ini. Berikut pemaparannya,
1.      Setiap masyarakat terdiri dari tiga unsur:  pemikiran, individu, dan benda.
Suatu masyarakat akan berada pada kondisi sehat dan baik, apabila individu dan benda bergerak pada poros pemikiran yang benar.  Suatu masyarakat akan sakit, apabila pemlkiran dan benda bergerak pada poros lndividu. Suatu masyarakat akan mengalami sekarat dan mati, apabila pemikiran dan individu bergerak pada poros benda.  Kaedah ini dibahas lebih lanjut oleh Dr. al-Kllani dalam buku lain berjudul al-Ummah al-Muslimah dan Ahdaf at-Tarbiyah al Islamiyah.
2.      Perilaku manusia (as-suluk al-insani) merupakan gabungan dari niat dan gerak qashd wal harakah).

Niat mengejawantah pada pikiran dan kehendak. Sedang gerak mengejawantah pada tindakan praktis. Tiga unsur perilaku manusia tersebut membentuk rangkaian yang saling mempengaruhi.
Bermula dari domain pemikiran yang kemudian melahirkan kehendak, dan berakhir pada tindakan praktis yang berlaku di luar organ tubuh manusia.
Berdasarkan kaedah di atas, kita dapat menelusuri setiap fenomena masyarakat dengan tepat. Bahwa semua fenomena tersebut bermula dari konten-konten pemikiran yang melahirkan tujuan. Tahap berikutnya adalah kecenderungan-kecenderungan diri yang mengarahkan
kehendak. Dan berakhir pada tindakan-tindakan praktis yang melahirkan karya-karya yang maju atau terbelakang, dalam segala bidang kehidupan.
Ketika berbicara tentang perubahan yang terjadi pada fenomena social, al-Qur'an menggambarkan tatanan perilaku manusia dan masyarakat yang sama persis seperti di atas. .

Perubahan positif suatu masyarakat digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka ' (QS Ar-Ra ad 11)
Sedangkan perubahan negative suatu masyarakat dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya
"Demikianlah, Allah tidak mengubah nikmat yang diberikan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (QS. Al-Anfal: 53).
Pandangan filosofis tentang lahirnya fenomena social dan sejarah ini juga sesuai dengan hadis Rasulullah saw yang cukup masyhur,
"Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat organ sebesar mudhghah. Apabila la balk maka organ seluruh tubuh menjadi balk dan jika ia rusak maka seluruh tubuh menjadi rusak. Ketahuilah, benda tersebut adalah qalb." (HR. Muslim)
Qalb yang sering diartikan hati memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan pemikiran dan kehendak. Dua kekuatan ini bergabung dalam membentuk rangkaian perilaku, yaitu pemikiran dan kehendak, sebelum melahirkan mata rantai terakhir berupa tindakan praktis yang dilakukan oleh organ-organ tubuh yang bersifat lahir.
Sunnah (Qanun) Perubahan
Dengan berpedoman pada penjelasan ayat-ayat al-Qur'an di atas, suatu perubahan tidak
akan terjadi kecuali bila diarahkan melalui sunnah-sunnah perubahan yang sama. Penjelasan sunnah-sunnah perubahan tersebut seperti berikut,
1. Perubahan bermula pada konten diri manusia (ma bil anfus), lalu beralih pada perubahan bidang-bidang social, ekonomi, politik, militer, pemerintahan, dan bidang-bidang eksternal lainnya.

Konten diri manusia (ma bil anfus) memiliki ruang lingkup pemaknaan yang luas. la mencakup pemikiran, nilai, budaya, kecenderungan, tradisi, dll. Juga mencakup pandangan manusia terhadap alam asal, alam raga, kehidupan, dan alam akhirat. Juga mencakup semacam orientasi hidup manusia, apakah hanya terbatas pada keinginan untuk bertahan (survive) secara fisik dan materi, seperti pernikahan, makanan, pakaian, dan tempat tinggal, atau memiliki menghendaki taraf hidup manusia yang lebih luhur, seperti rasa aman, penghargaan, keadilan, dan ihsan.
2. Perubahan menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk tidak akan terjadi kecuali apabila masyarakat secara kolektif (al-qaum) dan bukan individu-individu mengubah konten yang ada pada diri mereka (ma bil anfus). Dampak perubahan kolektif Ini akan terlihat pada kondisi yang dialami masyarakat berupa kondisi politik, social, ekonomi, militer, dll, sebesar kadar perubahan yang terjadi pada konten diri mereka (ma bil anfus).
3. Perubahan yang positif dan efektif akan terjadi apabila masyarakat secara kolektif (al-qaum) sadar dan mulai mengubah apa yang ada dalam diri mereka (ma bi anfusihim) Jika mereka sukses melakukan perubahan yang berdimensi pendidikan dan pemikiran ini, maka perubahan yang positif dan efektif juga akan terjadi pada aspek ekonomi, politik, social, militer, dst-

Agar dapat memahami karakter perubahan seperti di atas dan cara menggunakan sunnah-sunnahnya maka harus memenuhi dua syarat penting, yaitu menguasai sepenuhnya pengetahuan tentang rangkaian perilaku yang melahirkan fenomena social (al-ihathah al-kamilah) dan mendalami setiap detail dan konstruknya (ar-rusukh).
Mengingat unsur-unsur fenomena social yang menjadi topik pembahasan buku ini, juga lainnya, terserak dalam literatur-literatur sejarah, maka seorang peneliti sejarah harus melakukan konstruksi ulang fenomena tersebut sesuai dengan pandangan terhadap rangkaian perilaku manusia dan sunnah-sunnah perubahan yang telah dipaparkan di atas.
Dengan berpedoman pada filosofi sejarah ini dalam mengkaji fakta-fakta dan seluk-beluk peristiwa sejarah, maka akan melahirkan kesimpulan dasar seperti berikut:

1. Dalam konteks sejarah Islam, umat menjadi kuat dan hebat ketika terjadi perpaduan dua unsur, yaitu ikhlas dan tepat.

lkhlas dalam tataran kehendak dan tepat dalam tataran pemikiran dan tindakan.Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi atau malah keduanya, atau satu sama lain saling bertentangan maka segala bentuk jerih payah dan pengorbanan yang dilakukan oleh umat tidak menghasilkan karya yang berarti dan menjadi sia-sia-

2. Dalam konteks sejarah secara umum, baik Islam maupun bukan, fakta menunjukkan bahwa ketika jaringan interaksi social dibangun berdasarkan loyalitas penuh kepada pemikiran (afkar ar-risalah) yang menjadi landasan ideologis dan sebab eksistensinya, maka setiap orang yang ada dalam masyarakat tersebut hidup dengan terlindungi dan dihargai, baik ketika masih hidup maupun setelah mati. Apabila terjadi perselisihan dan perbedaan maka potensi konflik diarahkan ke luar mereka, sementara mereka sendiri tetap bersatu dan produktif.

3. Sebaliknya,ketika jaringan interaksi social dibangun berdasarkan loyalitas kepada individu atau kelompok atau mazhab, dll, sesuai dengan kaedah bergerak di dalam poros individu dan benda, maka manusia menjadi unsur yang paling tidak berharga baik di dalam masyarakat itu sendiri maupun di luarnya. setiap konflik akan berputar di dalam masyarakat tersebut sehingga perpecahan tidak dapat dihindari, setiap kelompok berusaha menghancurkan kelompok lain. Alhasil, aroma kelemahan masyarakat tersebut akan merebak ke luar dan mengundang selera pihak-pihak luar untuk melumatnya


Rabu, 06 April 2016

BARISAN YANG TERATUR DALAM PERANG, DICINTAI ALLAH




إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
 
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. ( QS. Ash Shaff: 4)


Tinjauan Bahasa

يُقَاتِلُونَ

Berperang
صَفًّا

Barisan, shaf
بُنْيَانٌ
Bangunan
مَرْصُوصٌ

Tersusun rapi seperti barisan gigi, seperti bangunan yang bersambung satu dan lain[1]

Kandungan Ayat

Ayat ini merupakan pelajaran bagi kaum muslimin secara umum  dan para dai secara khusus  untuk menjaga soliditas dalam berjuang dijalan Allah. Karena kaum yang menjaga soliditas dalam berjuang akan dicintai Allah dan yang berpecah belah akan dimurkai Allah. Apalagi dalam medan jihad,  Rasululullah paham betul urgensi merapatkan barisan, selain untuk mempermudah komando juga memiliki fungsi lain diantaranya:

1.     Menambah kekuatan berjamaah, karena jika ada ruang-ruang kosong memungkinkan ada penyusup masuk kedalam barisan untuk mengacau, melemahkan bahkan memecah  barisan kaum muslimin.
2.     Merupakan strategi untuk menggentarkan musuh karena mereka akan melihat kekompakan lawan.
3.     Memungkinkan masing-masing pihak bekerja sesuai fungsi dan perannya, tidak berpangku tangan dan mengandalkan pihak lain dalam berjuang. Dahulu bagaimana Rasulullah membagi para sahabat sesuai dengan kemampuan mereka dalam berperang, sehingga mereka fokus untuk meyelesaikan tugas perjuangan dibidangnya, tidak mengurusi bidang yang dikerjakan orang lain, dengan begitu tugas mereka akan selesai sempurna.[2]
Syekh Ibrahim al Qathan berkata dalam tafsirnya:

إن الله تعالى يحب النظامَ في كل شيء، وهو يحبُّ الذين يقاتلون في سبيله منتظمين في أماكنهم كأنهم بنيانٌ متلاحمُ الأجزاء، كأنه قطعة واحدة، فالنظام أساسُ بنيان الأمة، وان وعدَ الله حقّ، وقد وعد المجاهدين بالنصر إذا أخلصوا وصدَقوا وحافظوا على النظام.
Sesungguhnya Allah mencintai keteraturan dalam segala hal, Dia juga mencintai keteraturan dalam berperang di jalan Allah, sesuai medannya seolah mereka bangunan yang satu. Mereka ibarat potongan yang satu, aturan adalah dasar bangunan sebuah umat. Janji Allah sungguhlah benar, Dia menjajikan kepada para mujahidin kemenangan jika mereka ikhlas, jujur dan menjaga aturan. [3]

Jika aturan yang dimaksud dalam hal ini adalah Al Qur’an maka siapapun dia harus mengikatkan diri dengan aturan Al Qur’an atau institusi atau jamaah yang menjadikan Al Qur’an pedoman dalam derap perjuangannya. Betapapun sulit, pelik dan keruh. Karena hidup bersama jamaah itu lebih baik dari pada hidup sendiri tanpa arah.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda dari hadits yang bersumber dari Abu Darda radhiyallahu anhu:

عليكم بالجماعة فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية

“ Hendaklah kalian berjamaah karena serigala tidak akan menerkam, melainkan  jika seekor domba yang sendirian”. (HR. Abu Daud. No 1070 di Hasankan oleh Syekh Nasiruddin al Al Bani)
                                                                                            
Badruddin Aini dalam Syarah Abi Daud menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata              القاصية "
Kambing yang sendirian dan jauh dari kumpulannya”[4]

Meski hadits ini terkait dengan shalat berjamaah dan keutamaannya namun sangat relevan dengan kehidupan berjamaah, artinya orang yang menjauh dari jamaah ibarat kondisinya ibarat seekor kambing yang terpisah dari kumpulannya mudah utk diterkam serigala.[5]




Imam At Thabari berpendapat:

(كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ) يقول: يقاتلون في سبيل الله صفَّا مصطفَّا، كأنهم في اصطفافهم هنالك حيطان مبنية قد رصّ، فأحكم وأتقن، فلا يغادر منه شيئً
(Mereka ibarat bangunan yang tersusun kokoh) dia berkata: “Yaitu mereka berperang fi sabilillah dengan shaf yang tersusun rapi, bak keteraturan dalam seutas tali, rapi nan kokoh, tidak rontok satupun”  (Tafsir at Thabari 23/357)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan hadits yang bersumber dari Abu Said Al Khudri

 قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " ثلاث يضحك الله إليهم : الرجل يقوم من الليل ، والقوم إذا صفوا للصلاة ، والقوم إذا صفوا للقتال " .

Rasulullah bersabda,” Tiga golongan yang membuat Allah tersenyum, seorang yang mengerjakan shalat malam, kaum yangmeluruskan barisan saat hendak shalat dan kaum yang merapikan barisan saat hendak berperang.’( HR. Ibnu Majah)

Kesimpulan
1.      Cinta dan rahmat Allah akan turun bersama jamaah, oleh karena itu hindari perpecahan apapun bentuknya.
2.      Barisan yang kuat dan kokoh merupakan syarat utama kemenangan.
3.      Perang bisa berarti perang fisik, maupun perang peradaban oelh karena itu seyogyanga kaum muslimin menyiapkan diri untuk menghadapi keduanya dengan terus merapatkan barisan. Karena musuh-musuh islam akan senang jika sesama muslim bercerai berai.

والله أعلم


[1] Muhyiddin Ahmad Musthafa Darwisy (w1403H), I’rabul Qur’an, jilid X ( Beirut: Dar al Yamamah,1415H) h. 75
[2] Abdurrahman  Nasir As Sa’di (1376 H), Taisir al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam al Mannan, Jilid 1(Muassasah Ar Risalah, 1420H) h. 856
[3] Ibrahim al Qathan (1404H), Taisir  atTafsir, juz 3 hal 328
[4] Badruddin ‘Aini (855H), Syarah Sunan Abu Daud, jilid 3 (Riyadh: Maktabah  Ar Rusyd,1420 H) h. 18
[5] Al Munawi, Faidhul Qadir, 5/476

Senin, 28 Maret 2016

LARANGAN BERBICARA, APA YANG KAMU TIDAK DILAKUKAN


Firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?
Itu sangat dibenci Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak  dikerjakan ( QS. As Shaff[61]:2-3)

Tinjauan Bahasa

لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak dikerjakan
Kalimat tanya (istifham) dalam ayat ini berfungsi untuk teguran (li taubikh)[1]

كَبُرَ مَقْتًا
Besarnya murka Allah

مَقْتًا
Murka

Kandungan Ayat

Meskipun iman ada di dalam hati, namun ia akan terpancar keluar bersama ucapan, perilaku dan akhlak seorang mukmin. Seorang mukmin yang benar imannya ia akan berbicara dengan pertimbangan imannya, tidak berdusta dan memegang teguh ucapannya. Ucapan seorang mukmin ibarat madu yang manis, damai untuk didengarkan dan menjadi obat bagi manusia. Ia tidak berbicara kecuali mengandung kebaikan, dan ketika diam, diamnya pun mengandung kebaikan. Karena diamnya orang mukmin adalah untuk berfikir dan berzikir. Maka pantang bagi seorang mukmin untuk berbicara atas apa yang ia tidak ketahui, apalagi ia berbicara terhadap amal kebaikan yang ia tak pernah lakukan. Murka Allah amatlah besar jika seseorang mengatakan apa yang ia tak lakukan.

Ayat ini seakan menjadi teguran  bagi setiap kita khususnya para da’i dalam menyerukan dakwah kepada Allah untuk menjadi orang pertama dalam melaksanakan kebaikan, dan menjadi orang pertama dalam menjauhi kemunkaran sebelum ia menyampaikan dakwahnya kepada orang lain. Karena kekuatan dakwah akan lebih terasa manakalah para da’i menjadi panutan, teladan dalam amal-amal kebaikan, bukan hanya ucapan tanpa di praktekkan.

 Imam As Sa’di menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

لم تقولون الخير وتحثون عليه، وربما تمدحتم به وأنتم لا تفعلونه، وتنهون عن الشر وربما نزهتم أنفسكم عنه، وأنتم متلوثون به ومتصفون به.
“ Mengapa kalian menyeru kebaikan atau mungkin kalian memuji diri kalian sendiri terhadap kebaikan, sedang kalian tidak melaksanakan? Atau kalian mencegah kemunkaran atau mungkin juga kaliah mensucikan diri darinya, namun sebenatnya kalian berlumur keburukan it”.[2]



Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya ayat ini menjadi dasar pijakan para ulama salaf akan wajibnya memenuhi janji secara mutlak. Meskipun harus terkena denda atau sanksi dari janji yang diucapkan itu ataupun tidak[3]

Beliau juga menyebutkan bahwa tanda-tanda orang munafik adalah mengingkari ucapan dan janjinya, seperti disebutkan dalam hadits:

"آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّث كَذَبَ، إِذَا وَعَد أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga,” Jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberikan amanah ia berkhianat”.
( Sahih Bukhari no.33, Sahih Muslim no. 59, bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallah Anhu)


Juga dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ , وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ , وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ , وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، فَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا

Dari Abdullah bin Amru, berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alahi wasallam,” Empat hal jika terdapat dalam diri seseorang, ia benar-benar seorang munafik yang sesungguhnya (khalisan) yaitu,”Jika berkata, ia dusta, jika berjanji ia ingkar, jika mengadakan perjanjian ia membatalkan, jika berselisih ia kejam”. ( Sahih Bukhari no. 2292)

Ayat Ketiga

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Itu sangat dibenci Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak  dikerjakan”( QS. Ash Shaff:3)

Muhammad Sayid At Thantawi menyebutkan:
كَبُرَ بمعنى عظم، لأن الشيء الكبير، لا يوصف بهذا الوصف، إلا إذا كان فيه كثرة وشدة في نوعه
“Kata “Kabura” bermakna ‘Adzuma” artinya agung, besar. Tidak disifatkan dengan sifat tersebut kecuali karena banyaknya dan dahsyat dalam jenisnya”.[4]

 Gambaran murka Allah ini seyogyanya menjadi pelajaran buat kita untuk menjauhi sifat –sifat kaum munafik.  An Nakha’i berkata: Tiga ayat dalam Kitabullah yang membuatku tak bisa memutuskan perkara manusia, ayat tersebut adalah:[5]

(لم تقولون ما لا تفعلون)

Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan” (QS. Ash Shaff:2)

(أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم)

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) sedangkan kamu melupakan diri kamu sendiri ( QS. Al Baqarah: 44)

(وما أريد أن أخالفكم إلى ما أنهاكم عنه)
Dan aku tidaklah berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang”.(QS. Hud:88)



[1] Jabir Abu Bakar al Jazairi, Aisar Tafasir Li Kalam ‘Aliyil Kabir,Jilid 5 (Madina:Maktabah Ulum wal Hikam, 1424H) h. 335
[2]  Abdurrahman Nashir As’ Sa’dy w. 1376 H, Taisir al Karim Ar Rahman fi tafsir Kalamil Mannan, Jilid 1 ( Beirut: Muassasah Ar Risalah,1420 H) h. 858
[3] Ibnu Katsir w 774, ( Tafsir Qur’an Al Adzim, Jilid 8 ( Dar Taybah li Nasyr, 1420) h. 105
[4] Muhammad Sayid  Thantawi, Tafsir al Wasith lil Qur’anil Karim, Jilid 14 ( Cairo: Dar Nahdhah) h. 54
[5] Abu Thayeb Muhammad Sidik Khan w. 1307H,  Fathul bayan Fi Maqashid  Al Qur’an, Jilid 14 ( Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, 1412H) h. 98