Allah Subhanahu
wataala telah menurunkan syariat-Nya yang sempurna, mengatur segala aspek
kehidupan dan mencakup semua lini pembahasan baik klasik maupun kontemporer.
Islam telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang sangat bermanfaat untuk
kehidupan manusia diantaranya adalah ilmu ekonomi, yang bila dikaitkan dengan
syariah menjadi ilmu ekonomi syariah.
Dalam praktek
kekinian akan banyak dijumpai muamalah yang terkait dengan jual beli,
penambahan harga, arus uang dan barang. Islam memandang praktek jual beli
sebagai praktek yang sah dan memiliki maqasid yang agung yaitu untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia, menjaga harta, jiwa, keturunan, akal dan ketenangan
lahir dan bathin.
Namun disisi
yang lain ada praktek praktek yang mengatas namakan jual beli yang pada
kenyataanya
adalah riba diharamkan oleh islam.
Jual beli yang
jujur dan benar akan menghasilkan keuntungan yang berkah dan dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat dengan penuh ketenangan, sementara jaul beli yang ribawi
akan menyebabkan keresahan, kegundahan dan kesenjangan social dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Tafsir
Ayat Jual Beli dan Riba
(Surat
Al-Baqarah ayat 275, 276 dan 278)
1. Nash Ayat
Allah
SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 yang berbunyi :
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)
يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(276)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)
Artinya :
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275)
Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276)
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278)
2. Makna Mufrodat
Beberapa mufrodat yang penting antara lain adalah:
{ يأكلون } : يأخذونه
ويتصرفون فيه بالأكل في بطونه
( Adalah memakan, disini berarti mengambil atau memanfaatkan. Karena itulah tujuan
utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk dalam mengambil manfaat adalah
memakannya. )[1]
(الرِّبا)
الزيادة على الشيء، يقال منه: أربى فلان على فلان إذا زاد عليه.[2]
(Riba berarti
tambahan atas sesuatu, dikatakan ( arbaa fulan alaa fulan ) bila ia
menambahkan atasnya)
{ لا
يقومون } : من قبورهم يوم القيامة .
(Maksudnya bangkit dari kubur mereka)
{ يتخبطه
الشيطان } : يضربه الشيطان ضرباً غير منتظم .
(Kesurupan atau kemasukan syetan )
{ من المس } : المس الجنون
( gila )
{ موعظة
} : أمر أو نهي بترك الربا .
( Perintah atau larangan untuk meninggalkan riba)
{ فله ما سلف } : ليس
عليه أن يراد الأموال التي سبقت توبته .
( Tidak ada keharusan atasnya mengembalikan harta yang
telah diambil )
{ يمحق الله الربا } : أي يذهبه شيئاً فشيئاً حتى لا يبقى منه كمحاق القمر آخر الشهر .
( Allah memusnahkan riba, yaitu seperti menghilangkan
perlahan – lahan hingga tak tersisa bak lenyapnya rembulan dia akhir bulan )
{ ويربي
الصدقات } : يبارك في المالك ألذي أخرجت منه ، ويزيد فيه ، ويضاعف أجرها أضعافاً
كثيرة .
( Menyuburkan sedekah,
memberkahi pemilik harta yang bersedekah, menambahnya dan melipat
gandakan pahala dengan berlipat ganda )
{ كفار
أثيم } : الكفار : شديد الكفر ، يكفر بكل حق وعدل وخير ، أثيم : منغمس في الذنوب
لا يترك كبيرة ولا صغيرة إلا ارتكابها .
( Kekafiran dan berbuat dosa, sangat ingkar dengan kebenaran,
keadilan dan kebaikan,Atsiim : tenggelam dalam dosa, tidak meningggalkan
dosa besar dan kecil ).[3]
{ اتقوا الله } : خافوا
عقابه بطاعته بأن تجعلوا طاعته وقاية تقيكم غضبه وعقابه .
( Bertakwalah kepada Allah, mereka takut akan siksa,dengan
melakukan ketaatan hingga menjadikan ketaatan itu penyelamat dari murka dan
siksa Allah)
{ وذروا
ما بقي من الربا } : اتركوا ما بقي عندكم من المعاملات الربويّة .
( Tinggalkanlah riba dan
muamalah yang terkait dengannya)[4]
3. Asbabun Nuzul
Kaum
Tsaqif, penduduk kota Thaif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW
bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan
riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah,
Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga
meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar adalah orang yang biasa meminjamkan
uang secara riba kepada Bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan Bani Mughiroh
senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekayaan
yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amer untuk menagih hutang dengan
tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu
kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW. Maka
turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis surat balasan yang isinya “ Jika
mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas maka itu baik, tetapi jika mereka
menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.[5]
4. Tafsir Ayat Secara Umum
a.
Pada ayat 275 diatas memiliki Al Munasabah ( korelasi
) dengan ayat sebelumnya ( 274 ) yang
menceritakan tentang keutamaan infak, sedekah dan berbuat baik yang melahirkan
ketenangan, kasih sayang Allah dan
balasan pahala yang berlipat di akherat kelak, sementara orang yang memakan
riba mereka tidak akan diberikan ketenangan dan akan disiksa dengan siksa yang
pedih.[6]
b.
Bila kita cermati ayat diatas
mengandung makna yang sangat mendalam, ketika Allah memberikan perumpamaan
kepada orang-orang yang memakan riba, kondisi mereka seperti orang yang tidak
memiliki ketenangan dalam hidup, karena mereka, tenggelam dalam praktek riba
yang melenakan, hingga tanpa perlu susah payah mereka bisa mendapatkan
keuntungan yang sangat besar yang menjanjikan. Hal inilah yang membuat mereka
akan berusaha sekuat mungkin untuk terus melakukan aktifitas mereka tanpa kenal
lelah dan waktu sehingga mereka seperti orang yang gila dan kesurupan.[7]
Ayat yang melarang riba ini bila disimak lebih jauh
mengandung banyak pengertian hukum, diantaranya :
§
Dibolehkannya semua praktek jual beli yang tidak ada larangan syar`i di dalamnya. Jual beli sendiri memiliki arti
memiliki harta dengan harta melalui ijab qabul dengan akeridhaan keduanya.
§
Diharamkannya riba dan dimaklumatkan
perang dari Allah dan Rasul-Nya pada ayat 279
5. Haramnya Riba Dalam al-Quran dan Sunnah
Riba
secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah saw memalui
ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash itu adalah
sebagi berikut :
·
Al-Quran
Al-Quran
mengharamkan riba dalam empat tahap. Doktor Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir
Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut [8]:
-
Tahap Pertama
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ
رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ (39)
Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 )
Ayat ini
turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk
menjauhi riba.
-
Tahap Kedua
فَبِظُلْمٍ مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)
Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (QS. An-Nisa : 160-161)
Ayat ini turun di Madinah
dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum Allah.
Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.
- Tahap Ketiga
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.(Ali Imron : 130)
Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang
bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda.
-
Tahap Keempat
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)
Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis
riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata (ال) mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba
dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi’ah. Hal yang sama pada
alif lam pada kata (البيع) yang berarti semua jenis jual beli.
·
As-Sunah
As-Sunnah juga menjelaskan
beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya :
لعن رسول الله آكل الربا وموكله وكاتبه و شاهديه وقال : هم سواء
Artinya :
Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua
saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama .[9]
Dalam hadits
lain disebutkan :
Diriwayatkan
oleh Aun bin Abi Juhaifa,”Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku
kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau
melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima
uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga
melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat
pembuat gambar. [10]
Dengan
dalil-dalil qoth’i di atas, maka
sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari-cari argumen demi
menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat sharih dan jelas. Bahkan
ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang yang
menjalankan riba itu.
6. Bunga Bank Adalah Riba Yang Diharamkan
Karena
keterbatasan ilmu syariah, masih banyak kalangan umat Islam yang bertanya-tanya
tentang kehalalan bunga bank. Kehidupan perekonomian tidak mungkin lagi
dilepaskan dari jasa perbankan. Bahkan untuk kepentingan rumah tangga. Padahal
umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam banyak transaksinya.
Meskipun
praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun masih ada juga mereka yang
berusaha mencari argumen yang membolehkan. Paling tidak memakruhkan. Umumnya
orang-orang yang berdiri di belakang argumen itu masih memandang bahwa
pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak mampu atau –mungkin- tidak
memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat dalam mengatur ekonominya
sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu bila kita telaah secarara
jernih dengan nurani yang jujur, maka akan nampak nyata kelemahan-kelemahannya.
Penulis
akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara singkat dilengkapi dengan jawaban
atas kelemahannya.
a. Alasan Darurat
Alasan darurat adalah alasan paling klasik dan
paling sering terdengar atas dibolehkannya bank ribawi. Biasanya dalil yang
digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi (الضرورات تبيح المحظورات) artinya dharurat itu membolehkan mahzurot
/ yang dilarang.[11]
Pendapat seperti ini pada dasarnya mengakui
haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun barangkali karena tidak punya
alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru, banyak pendapat
orang yang dengan terpaksa membolehkannya.
Jawaban :
Pendapat seperti di atas bila dikaitkan dengan
kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah fiqiyah yang berkaitan
dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu (الضرورات
تقدر بقدرها) artinya bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.
[12]
As-Suyuti menjelaskan tentang sifat darurat,
yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan yang cepat,
akan membawa pada jurang kematian. [13].
Padahal bila kita tidak menabung di bank konvensional tetapi di bank syariat,
kita tidak akan celaka atau mati.
Sedang Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa
situasi darurat itu seperti seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada
makanan kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan itu Allah
menghalalkan dengan dua batasan.[14]
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ
إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqorah : 173).
Sedangkan umat Islam banyak yang menabung di
bank konvensional bukan karena hampir mati tidak ada makanan, justru banyak
yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata darurat sudah
tidak relevan lagi.
Di Indonesia sendiri bank yang berpraktek
secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan. Data per Nopember
2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi yaitu :
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember
1991
2. Bank Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan bank
milik pemerintah pertama yang menerapkan syariah. Asetnya kini sekitar 2 sampai
3 trilyun dengan 20 cabangnya.
3. Konversi bank konvensional kepada bank syariah[15] :
§ Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni
1999)
§ Bank Niaga (akan membuka cabang syariah )
§ Bank BNI `46 (telah memiliki 5 cabang )
§ Bank BTN (dalam perencanaan)
§ Bank Mega (akan menkonversikan anak
perusahaannya menjadi syariah)
§ Bank BRI (akan membuka cabang syariah)
§ Bank Bukopin (akan membuka cabang syariah di
Aceh )
§ BPD Jabar (telah membuka cabang syariah di
Bandung)
§ BPD Aceh
b. Yang Haram Adalah Yang Berlipat Ganda
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank
hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan
bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.[16]
Pendapat ini berasal dari pemahaman yang salah tentang surat Ali Imran ayat 130
yang berbunyi :
ِArtinya : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
(QS. Ali Imran : 130)
Jawaban :
Memang sepintas ayat ini hanya melarang riba
yang berlipat ganda. Akan tetapi bila kita cermati lebih dalam serta dikaitkan
dengan ayat-ayat lain secarara lebih komprehensip, maka akan kita dapat
kesimpulan bahwa riba dengan segala macam bentuknya mutlak diharamkan. Paling
tidak ada dua jawaban atas argumen di atas :
§
Kata (أضعاف)
yang berarti berlipat ganda itu harus dii’rab sebagai (حال) haal yang berarti sifat riba dan sama sekali bukan
syarat riba yang diharamkan. Ayat ini tidak dipahami bahwa riba yang diharamkan
hanyalah yang berlipat ganda, tetapi menegaskan karakteristik riba yang secarar
umum punya kecendrungan untuk berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu.
Hal seperti itu diungkapkan oleh Syeikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk,
penulis buku Ar-Riba wal Mua’amalat al-Mashrafiyah fi Nadzri ash-Shariah
al-Islamiyah.[17]
§
Perlu direnungi penggunaan mafhum
mukholafah dalam ayat ini sala kaprah, tidak sesuai dengan siyaqul kalam,
konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu maupun sabda Raulullah SAW.
Secarar sederhana bila kita gunakan mahhum mukholafah yang berarti
konsekuensi terbalik secarara sembarangan, akan melahirkan penafsiran yang
keliru. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami secarara mafhum
mukholafah, jangan dekati zina. Maka yang tidak boleh mendekati, berarti
zina itu sendiri tidak dilarang. Begitu juga daging babi, yang dilarang makan
dagingnya, sedang kulit, tulang, lemak tidak disebutkan secarar eksplisit.
Apakah berarti semuanya halal ? tentu tidak.
§
Secarara linguistik kata (ضعف) adalah jamak dari (أضعاف) yang berarti kelipatan-kelipatan.
Bentuk jama’ itu minimal adalah tiga. Dengan demikian (أضعاف) berarti 3x2 = 6. Adapun (مضاعفا)
dalam ayat itu menjadi ta’kid (تأكيد)
atau penguat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan
syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus enam kai lipat
atau bunga 600 %. Secarara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil
terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam. [18]
c. Yang Haram Melakukan Riba Adalah Individu Bukan Badan Hukum
Bank adalah sebuah badan hukum dan bukan
individu. Karena bukan individu, maka bank tidak mendapat beban / taklif dari
Allah. Seperti yang sering disebutkan sebagai syarat mukallaf antara lain :
akil, baligh, tamyiz dan seterusnya. Bank tidak akil, baligh dan tamyiz.
Artinya bukanlah mukallaf. Sehingga praktek bank tidak termasuk berdosa, karena
yang dapat berdosa adalah individu. Ketika ayat riba turun di jazirah arabia,
belum ada bank atau lembaga keuangan.
Pendapat
seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam sebuah workshop
on bank and banking interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia pada
tahun 1990. [19]
Jawaban :
Argumen ini
memiliki kelemahan dari beberapa sisi, yaitu :
·
Tidak benar bahwa pada zaman nabi
tidak ada badan keuangan sama sekali. Sejarah Roma, Persia dan Yunani
menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak
penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka masuk dalam lembaran negara.[20]
·
Dalam tradisi hukum, perseroan atau
badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhshiyyah
hukmiyah (الشخصية الحكومية). Juridical
personality ini sah secarara hukum dan dapat mewakili individu-individu
secarar keseluruhan.
·
Bank memang bukan insan mukallaf,
tetapi melakukan amal mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya.
Alangkah naifnya bila kita mengatakan bahwa sebuah gank mafia pengedar drugs
dan narkotika tidak berdosa dan tidak terkena hukum karena merupakan sebuah
lembaga dan bukan insan mukallaf. Demikian juga lembaga keuangan, apa
bedanya dengan seorang rentenir pemakan darah masyarakat ? Bedanya, yang satu
seorang individu yang beroperasi tingkat
RT dan RW, sedang yang lainnya
adalah kumpulan dari individu-individu yang secarara terorganisis dan modal
raksasa melakukan operasi renten dan pemerasan tingkat tinggi dalam skala
nasional bahkan internasional dan mendapat aspek legalitas dari hukum sekuler.
d. Yang haram adalah yang konsumtif
Pendapat ini
mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanya bersifat konsumtif saja. Sedangkan
riba yang bersifat produktif tidak haram. Alasan yang digunakan adalah ‘illat
dari riba yaitu pemerasan. Dan pemerasan ini hanya dapat terjadi pada bentuk
pinjaman yang konsumtif saja. Sebab debitur bermaksud menggunakan uangnya untuk
menutupi kebutuhan pokoknya saja seperti makan, minum, pakaian, rumah dan
lain-lain. Debitur melakukan itu karena darurat dan tidak punya jalan lain.
Maka mengambil untung dari praktek konsumtif seperti ini haram.
Dewasa ini
telah terjadi perubahan pandangan karena terjadinya perubahan pada bentuk
pinjaman setelah berdirinya bank. Debitur (peminjam) tidak lagi dipandang
sebagai pihak lemah yang dapat diperas oleh kreditur dalam hal ini bank. Selain
itu kreditur tidak pula memaksakan kehendaknya kepada debitur. Yang terjadi
justru sebaliknya, debiturlah yang menjadi pihak yang kuat yang dapat
menentukan syarat dan kemauannya kepada kreditur. Jadi bank menjadi debitur
karena meminjam uang kepada nasabah. Sedangkan nasabah menjadi kreditur karena
meminjaminya. Namun bank bukan lagi peminjam yang lemah, justru menjadi pihak
yang kuat.
Karena
cara-cara yang sekarang berjalan sama sekali berbeda dengan sebelumnya, maka
harus dibedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif. Pinjaman produktif
hukumnya halal dan pinjaman konsumtif hukumnya haram.
Pendapat ini
didukung oleh Dr. Muhammad Ma’ruf Dawalibi dalam Mukatamar Hukum Islam di Perancis
bulan Juli 1951 yang berkata :”Pinjaman yang diharamkan hanyalah pinjaman yang
berbentuk konsumtif, sedangkan yang berbentuk produktif tidak diharamkan.
Karena yang dilarang Islam hanyalah yang konsumtif.[21]
Jawaban :
·
Orang yang beranggapan bahwa pemerasan
itu hanya ada pada pinjaman konsumtif dan tidak ada pada pinjaman produktif
adalah tidak beralasan. Sebab pinjaman produktif pun juga bersifat pemerasn.
Sebagai bukti bahwa bank-bank dewasa ini memperoleh keuntungan yang berlipat
ganda. Tetapi memberikan porsi yang sangat kecil dari keuntungannya itu kepada
deposan.
·
Para ulama menetapkan bahwa pinjaman
yang diharamkan Al-Quran adalah pinjaman jahiliyah. Ketika mereka melakukan
peminjaman sesama mereka tentu untuk usah mereka dalam sekala bear. Tidak
mungkin bagi mereka yang termasuk tokoh saudagar besar dan pemilik modal
seperti Abbas bin Abdul Muttalib atau Khalid bin Walid melakukan pemerasan
kepada orang yang lemah dan miskin. Mereka terkenal sebagai dermawan besar dan
bangga disebut sebagai dermawan. Mereka punya kebiasaan menyantuni orang lapar
dan memberi pakaian. Pinjaman yang bersifat konsumtif tidak terjadi antar
mereka. Justru pinajam produktif yang di dalam Al-Quran mereka memang dikenal
sebagai pedang yang melakukan perjalan musim dingin ke Yaman dan musim panas ke
Syam. Masyarakat Quraisy umumnya adalah pedagang dan pemodal sehingga
pinjaman-pinjaman waktu itu memang untuk kebutuhan perdagangan yang bersifat
produktif dan bukan konsumtif. [22]
7. Pendapat yang mengharamkan bunga bank
a. Majelis Tarjih
Muhammadiyah [23]
- Majelis Tarjih
Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c :
…bank dengan sistem riba hukumnya haram dan
bank tanpa riba hukumnya halal
…bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama
ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
b. Lajnah Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama [24]
Ada
dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama
mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang
kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang
ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
c. Organisasi Konferensi
Islam (OKI) [25]
Semua
peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970
telah menyepakati dua hal :
§
Praktek Bank dengan sistem bunga
adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
§
Perlu segera didirikan bank-bank
alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
d.
Mufti Negara Mesir [26]
Keputusan
Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya
bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
e.
Konsul Kajian Islam Dunia [27]
Ulama-ulama
besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas
keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank
konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar,
Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr.
Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom
dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
8. Hukum Bekerja di Bank Konvensional
Sebagai
pelengkap makalah ini, penulis kutipkan masalah yang timbul akibat haramnya
praktek riba di bank konvensional. Yaitu hukum bekerja sebagai pegawai pada
lembaga seperti itu. Dr. Yusuf Al-Qoradawi dalam Fatwa Kontemporernya menuliskan
tentang hukum bekerja di bank ribawi :
“Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan
dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah
menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan
dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan
Rasulullah saw.: "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada
waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang
tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan Ibnu
Majah)
Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang
seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi
kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya
dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu
tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak
menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara
dan bangsa.
Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara
bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah
ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal
ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah
bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai
kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap
kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan
sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang
tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Di sisi
lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan
dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan
sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan
yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang
halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya;
bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak
mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak
rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi
yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan
tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan
Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:
"Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (HR
Bukhari)
Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang
oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah
yang mengharuskan saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai
sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT: "...
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173)
9. Alternatif yang harus dilakukan
a. Peran Ulama
Para ulama sebagai sosok yang
seharusnya tidak takut kepada Allah seperti yang dijelaskan Al-Quran, harus
berani mengatakan yang haq walaupun itu pahit. Keberanian ulama akan dikenang
umat sepanjang masa, sedangkan bila mereka hanya mengejar dunia, takut pada
penguasa, tidak berati mengatakan al-haq, tidak akan dikenal orang. Kalau pun
ditulis dalam sejarah, maka hanya akan dicatat sebagai contoh ulama suu` yang
kerjanya menjilat penguasa. Kalau ulama hanya menjadi tukang stempel maunya
penguasa, maka jangan diharap umatnya akan maju. Jadi ulama harus tegas dengan akidah dan ilmu
yang telah dipelajarinya. Tidak boleh goyah hanya untuk kesenangan duniawi.
Selain itu para ulama harus membentuk jaringan umat Islam yang mempersatukan
mereka dalam ukhuwah Islamiyah dan meninggalkan kepentingan golongan, kelompok,
partai dan sebagainya. Ulama harus menjadi motivator berdirinya bangunan Islam
yang kokoh dan bukan menjadi penghambat kebangkitan Islam
b. Sosialisasi
Islam sebagai sistem ekonomi telah
jelas. Bahkan dipelajari dan dilaksanakan justru di negeri-negeri non Islam.
Bagi umat Islam di Indonesia, mendirikan bank dengan praktek Islam sesungguhnya
bukan hal sulit, tetapi barangkali sosialisasi atas keuntungan praktek bank
secarara islami masih belum merata.
c. Pendidikan
Umat Islam harus memasukkan
pelajaran ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam di semua level pendidikan
dan membuang jauh-jauh doktrin ekonomi kapitalis yang telah terbukti gagal
total dalam membangun negeri. Jadi perlu disusun ulang kurikulum pendidikan
sejak SD, SMP, SMU, SMK dan perguruan tinggi. Jangan adalagi perguruan tinggi
milik umat Islam yang masih membuka fakultas ekonomi tetapi isinya justru
ekonomi kapitalis.
d. Pemerintah
Pemerintah harus sadar bahwa tanpa
dukungan umat Islam, mareka tidak akan lama memimpin. Umat Islam sudah semakin
pandai dan mengerti terntang ajaran agamanya. Dan hasrat untuk menerapkan
sistem Islam dalam segala segi semakin hari semakin kuat. Hal ini harus diakomodir
dalam bentuk undang-undang dan kebijakan yang nyata bila tidak ingin ada
pergolakan sosial yang membuat stabilitas terganggu. Namun hal ini akan kembali
kepada mentalitas para pejabat. Apakah mereka adalah seorang negarawan atau
hanya sekedar kaki tangan barat yang duduk bersimpuh di depan polisi dunia itu.
10. Jual Beli Kredit dan hukum yang terkait di dalamnya
a. Pengertian
kredit
Jual beli dalam pengertian istilah
adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan memiliki dengan ucapan
ataupun perbuatan. (Lihat Taisir Allam oleh Syaikh Ali Bassam 2/232)
Adapun
kredit yang dalam bahasa arab disebut تقسيط dalam
pengertian bahasa adalah bagian, jatah atau membagi-bagi (Lihat Al Qomus Al
Muhith hal : 881 dan lisanul arab Imam Ibnu;l Mandzur hal : 3626)
Dalam
Mu’jamul Wasith 2/140 dikatakan : “Mengkredit hutang artinya adalah membayar
hutang tersebut dengan cicilan yang sama pada beberapa waktu yang ditentukan.”
Adapun
pengertian jual beli kredit secara istilah adalah menjual sesuatu dengan
pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam jumlah-jumlah
tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal dari harga kontan
(2).
Atau
mungkin bisa dikatakan bahwa jual beli kredit adalah :
“Pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.”
Yang dhohir -Wallohu A’lam- bahwa definisi yang kedua lah yang lebih tepat karena inti dari jual beli kredit adalah pembayaran yang tertunda dengan cara cicilan, bisa dengan adanya tambahan harga ataupun tidak, meskipun memang biasanya jual beli kredit itu memang dengan adanya tambahan harga dari yang kontan.
“Pembayaran secara tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.”
Yang dhohir -Wallohu A’lam- bahwa definisi yang kedua lah yang lebih tepat karena inti dari jual beli kredit adalah pembayaran yang tertunda dengan cara cicilan, bisa dengan adanya tambahan harga ataupun tidak, meskipun memang biasanya jual beli kredit itu memang dengan adanya tambahan harga dari yang kontan.
b.
Pendapat ulama
tentang jual beli kredit
1.
Pendapat yang
mengharamkan
Diantara
yang berpendapat demikian dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Imam Al
Albani yang beliau cantumkan dalam banyak kitabnya, diantaranya Silsilah
Ahadits Ash Shohihah 5/419-427 juga murid beliau Syaikh Salim Al Hilali dalam
Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyah 2/221 dan juga lainnya. Mereka berhujjah
dengan beberapa dalil berikut :
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول
الله صلى الله عليه و سلم أنه نهى عن بيعتين في بيعية
Dari Abu
Huroiroh dari Rosululloh bahwasannya beliau melarang dua transaksi jual beli
dalam satu transaksi jual beli”[28]
Dalam riwayat lainnya dengan lafadl : “Barang siapa yang
melakukan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka dia
harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak akan terjerumus pada
riba.”[29]
Hadits
yang senada juga datang dari Abdulloh bin Amr bin Ash dan Abdulloh bin mas’ud
dan lainnya . Lihat Irwa’ul Gholil oleh Imam Al Albani no : 1307.
Tafsir
dari larangan Rosululloh “Dua transaksi jual beli daam satu transaksi” adalah
ucapan seorang penjual atau pembeli : “Barang ini kalau tunai harganya segini
sedangkan kalau kredit maka harganya segitu.”
Penafsiran ini datang dari banyak ulama’, yaitu :
Penafsiran ini datang dari banyak ulama’, yaitu :
Sammak bin
Harb, salah seorang perowi hadits ini, Abdul Wahhab bin Atho’, Ibnu Sirin,
Thowus, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Ibnu Qutaibah, Nasa’i, Ibnu Hibban.
Dari sini,
maka dapat disimpulkan bahwa ucapan seseorang : “Saya jual barang ini padamu
kalau kontan harganya sekian dan kalau ditunda pembayarannya harganya sekian.”
Adalah sistem jual beli yang saat ini dikenal dengan nama jual beli kredit. [30]
2.
Pendapat yang
membolehkan
Adapun
pendapat yang kedua mengatakan bahwa jual beli kredit diperbolehkan, diantara
yang berpendapat demikian dikalangan para ulama’ adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin, Syaikh Al Jibrin dan lainnya. Namun kebolehan jual beli ini
menurut para ulama’ yang memperbolehkannya harus memenuhi beberapa syarat
tertentu yang insya Alloh kita sebutkan di belakang.
Mereka
berhujjah dengan beberapa dalil berikut yang bisa diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian :
Pertama :
Dalil-dalil
yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda.
- Firman
Alloh Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…”
(QS. Al Baqoroh : 272)
Ibnu Abbas menjelaskan : “Ayat ini diturunkan berkaitan
dengan jual beli As Salam (3) saja.”
Imam Al Qurthubi menerangkan :
“Artinya, kebiasaan masyarakat Madinah melakukan jual beli
salam adalah penyebab turunnya ayat ini, namun kemudian ayat ini berlaku untuk
segala bentuk pinjam meminjam berdasarkan ijma’ ulama’.”[31]
- Hadits
Rosululloh : “Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Rosululloh membeli
makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan
baju besi beliau kepada orang tersebut sebagai gadai[32]
Hadits ini tegas bahwa Rosululloh mendapatkan barang kontan
namun pembayarannya tertunda.
Kedua :
Dalil-dalil
yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan harga karena penundaan
pembayaran atau karena penyicilan.
- Firman
Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
(QS. An Nisa’ : 29)
Kemumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit,
maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam
apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.
- Hadits
Rosululloh :
Dari Abdulloh bin Abbas berkata : “Rosululloh datang ke kota
Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan
cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda : “Barang
siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan
yang jelas sampai waktu yang jelas.”[33]
Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rosululloh
membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta waktu
pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam uang untuk membeli
itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada barangnya. Maka begitu pula
dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan
uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga kontan.
- Hadits
Bariroh :
عن عائشة رضي الله عنهه قالت : أن
بريرة جاءت عائشة تستعينها في كتابتها ولم تكن قضت من كتابتها شيئا فقالت لها
عائشة : ارجعي إلى أهلك فإن أحبوا أن,
أقضي عنك كتابتك ويكون ولاؤك لي فعلت فذكرت ذلك بريرة
لأهلها فأبوا وقالوا إن شاءت أن تحتسب عليك فلتفعل ويكون لنا ولاؤك فذكرت ذلك
لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : ابتاعي
فأعتقي فإنما الولاء لمن أعتق ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما بال
أناس يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فليس له وان
شرط مائة مرة شرط الله أحق وأوثق
Dari Aisyah berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya minta tolong untuk
pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayarnya sama sekali, Maka Aisyah
berkata padanya : “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka ingin agar saya bayar
tebusanmu namun wala’mu menjadi milikku maka akan saya lakukan.” Maka Bariroh
menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka
berkata : “Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya
mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala’mu tetap pada
kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini pada Rosululloh dan beliu pun
bersabda : “Belilah dia dan merdekakanlah karena wala’ itu kepunyaan yang
memerdekakan.”
Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.”[34]
Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.”[34]
Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa
Bariroh membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang
dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.
Ketiga :
Dalil Ijma’
Sebagian
Ulama’ mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan
harga adalah kesepakatan para ulama’. Di antara mereka adalah :
1.
Syaikh Bin Baz saat menjawab pertanyaan tentang hukum
menjual karung gula dan sejenisnya seharga 150 real secara kredit, yang
nilainya sama dengan 100 real tunai. Maka beliau menjawab :
“Transaksi
seperti ini boleh-boleh saja, karena jual beli kontan tidak sama dengan jual
beli berjangka. Kaum muslimin sudah terbiasa melakukannya sehingga menjadi
ijma’ dari mereka atas diperbolehkannya jual beli seperti itu. Sebagian ulama’
memang berpendapat aneh dengan melarang pemanmbahan harga karena pembayaran
berjangka, mereka mengira bahwa itu termasuk riba. Pendapat ini tidak ada
dasarnya, karena transaksi seperti itu tidak mengandung riba sedikitpun.”[35]
2. Syaikh
Muhammad Sholih Al Utsaimin Beliau berkata dalam Al Mudayanah hal : 4 :
“Macam-macam
hutang piutang :
·
Seseorang membutuhkan untuk membeli barang namun dia tidak
mempunyai uang kontan, maka dia membelinya dengan pembayaran tertunda dalam
tempo tertentu namun dengan adanya tambahan harga dari harga kontan. Ini
diperbolehkan. Misalnya : Seseorang membeli rumah untuk ditempati atau untuk
disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana seandainya dijual
kontan akan seharga 9.000 real, atau seseorang membeli mobil baik untuk dipakai
sendiri atau disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana harga
kontannya adalah 9.000 real. Masalah ini tercakup dalam firman Alloh Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang
piutang sampai waktu tertentu, maka catatlah.”
(QS. Al Baqoroh : 282)
·
Seseorang membeli barang dengan pembayaran tertunda sampai
waktu tertentu dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Misal seseorang membeli
gandum dengan pembayaran tertunda dan lebih banyak dari harga kontan untuk
menjualnya lagi ke luar negeri atau untuk menunggu naiknya harga atau lainnya,
maka ini diperbolehkan karena juga tercakup dalam ayat terdahulu. Dan telah
berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyah tentang dua bentuk ini adalah
diperbolehkan berdasarkan Al Kitab, as sunnah dan kesepakatan ulama’ [36]
Keempat : Dalil qiyas
Sebagaimana
yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan dengan jual beli
salam yang dengan tegas diperbolehkan Rosululloh, karena ada persamaan, yaitu
sama-sama tertunda. hanya saja jual beli salam barangnya yang tertunda,
sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam tidak sama
dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih murah
sedangkan kredit lebih mahal.
Kelima : Dalil Maslahat
Hajat
dan kebutuhan manusia terhadap kredit pada zaman sekarang sangan besar, karena
salah maqashid syar’iyyah menuntun kearah tersebut.
Pendapat yang rajih
Dari
pemaparan kedua madzhab diatas dapat ditarik garis kesimpulan bahwa letak
permasalah hukum jual beli kredit ini terletak pada apakah hal ini masuk dalam
larangan dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.” Ataukah tidak
? dalam arti lain apakah ada penambahan harga sebagai konsekwensi dari
ditundanya pembayaran, ataukah tidak ?
Oleh
karena itu kalau ada sebuah kredit yang tidak adanya perubahan harga dari
kontannya maka keluar dari pembahasan ini, dan hukumnya jelas kehalalannya.
Wallohu a’lam
3. Fatwa para
ulama’ seputar jual beli kredit
Ini adalah
nukilan pendapat fuqoha’ madhab empat juga para ulama’ kontemporer mengenai
masalah ini :
a.
Fiqh Hanafiyah
Harga bisa
dinaikkan karena penundaan waktu. Penjualan kontan dengan kredit tidak bisa
disamakan. Karena yang ada pada saat ini lebih bernilai dari pada yang belum
ada. Pembayaran kontan lebih baik dari pada pembayaran berjangka. (Lihat
Badai’ush Shona’I 5/187)
Dalam
Hasyiyah Ibnu Abidin 5/142 : “Bisa saja harga ditambahkan karena penundaan
pembayaran.”
b.
Fiqh Malikiyah
Berkata
Imam Asy Syathibi :
“Penundaan salah satu alat tukar bisa menyebabkan
pertambahan harga.”
(Lihat Al Muwafaqot 4/41)
Imam Az
Zarqoni menegaskan :
“Karena perputaran waktu memang memiliki bagian nilai,
sedikit atau banyak, tentu berbeda pula nilainya.[37]
c.
Fiqh Syafi’iyah
Imam Asy
Syirozi berkata :
“Kalau seseorang membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda,
tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena penundaan pembayaran memang
memiliki nilai tersendiri.”
(Lihat Al Majmu An Nawawi 13/16)
d.
Fiqh Hanbali
Imam Ibnu
Taimiyah berkata :
“Putaran waktu memang memiliki jatah harga.”[38]
Dewan
fatwa Saudi Arabia tatkala ditanya
tentang seseorang yang menjual mobil dengan sistem kredit yang dengan
tertundanya pembayaran akan ada tambahan harga, namun juga akan semakin
bertambah dengan semakin mundurnya pembayaran dari waktu yang telah ditentukan.
Apakah transaksi ini boleh ataukah tidak ?
Jawab :
Jika
menjual mobil tersebut dengan sistem kredit, dilakukan dengan harga yang jelas,
sampai waktu yang jelas, yang tidak ditambah harga lagi kalau membayarnya lebih
dari batas waktu yang ditentukan, maka transaksi itu tidak mengapa. Sebagaimana
firman Alloh Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang
sampai waktu tertentu, maka tulislah.” Juga yang telah shohih dari Rosululloh
bahwasannya beliau pernah membeli sesuatu sampai waktu tertentu. Adapun kalau
si kreditor itu harus menambah harga apabila terlambat membayarnya dari waktu
yang ditentukan, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan kesepakatan ummat
islam, karena itulah riba jahiliah yang dilarang oleh Al Qur’an, yaitu ucapan
mereka kepada yang berhutang padanya : “Kamu mungkin bisa melunasi hutang itu
atau kamu tambah lagi bayarannya.[39]”
4.
Beberapa hal yang berkaitan dengan
jual beli kredit
Ada
beberapa hal yang erat kaitannya dengan jual beli kredit, kita sebutkan yang
kami anggap paling penting :
- Jual beli kredit harus dengan
barang dan harga yang jelas serta waktu pembayaran yang jelas.
Sebagaimana nash Rosululloh dalam masalah salam :
“Barang siapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam
takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”[40]
Kalau
tidak ada kejelasan dalam sistem kredit, maka transaksi menjadi haram karena
ada unsur jahalah (ketidak jelasan dalam sebuah transaksi)[41]
- Bila si pembeli tidak bisa
melunasi ?
عن
عمرو بن الشريد عن أبيه قا : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : “لي الواجد يحل
عرضه و عقوبته
Dari Amr bin Syarid dari bapaknya
berkata : “Rosululloh bersabda : “Orang kaya yang enggan membayar hutang boleh
dilecekan kehormatannya dan dihukum”[42]
Hadits
ini adalah ansh tentang bolehnya memberikan hukuman kepada orang kaya yang
mangkir dari hutangnya, yang termasuk di dalamnya adalah persoalan kredit.
Fenomena
yang kita lihat pada praktek jual beli kredit yang ada di negeri kita bagi yang
tidak melunasi cicilannya adalah diambilnya kembali barang yang sudah dibeli
oleh penjual tanpa ada ganti rugi kepada pihak pembeli atau mungkin dengan cara
di perpanjang waktu pembayaran dari waktu yang telah ditentukan namun ditambah
harga barang. Apakah kedua hukuman ini diperbolehkan ataukah tidak ?
Untuk yang
pertama yaitu mengambil kembali barang tersebut oleh penjual, maka ini adalah
kedholiman, namun yang bisa dilakukan adalah menjual sebagian harta pembeli
untuk melunasi hutangnya tersebut. Sebagaiman hukum yang ada dalam maslah
pergadaian.
Untuk yang
kedua yaitu menunda waktu pembayaran namun ditambah harga. ini juga tidak boleh
karena inilah riba jahiliyah, lihat kembali fatwa lajnah daimah diatas.
Syaikh Al
Jibrin berkata :
“Adapun
masalah yang ketiga, yaitu denda finansial karena keterlambatan membayar
cicilan yang dilakukan oleh kreditor kaya dan berkemampuan, kami tegaskan bahwa
tidak boleh menambah jumlah hutang sebagai kompensasi keterlambatan membayar
cicilan. Karena itulah yang biasa dilakukan oleh masyarakat jahiliyah, apabila
pembayaran hutang tertunda. Mereka mengatakan : “Silahkan bayar sekarang, kalau
tidak maka kalian harus menambah bunganya.” Jumlah hutang tersebut bertambah,
karena terlambat dilunasi, sehingga jumlah hutang tersebut menjadi berlipat
ganda.
Itulah
pengertian firman Alloh :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan
riba secara berlipat ganda.” (QS. Ali Imron : 130)
Lalu
Alloh memerintahkan mereka mengambil pokok hartanya saja, dalam firman Nya :
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu
pokok hartamu.”
(QS. Al Baqoroh : 279)
Demikian
dijelaskan oleh Alloh Ta’ala hingga firman Nya :
“Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia punya kelapangan.”
(QS. Al Baqoroh : 280)
oleh
karena itu hukuman yang mungkin bisa dilakukan adalah :
- Menyita
harta kreditorArtinya mencegah seseorang peminjam untuk mengoperasikan
hartanya.” (Lihat Al Mughni 6/593)Berkata Imam Al Hasan Al Bashri :
“Apabila seseorang pailit dan sudah jelas kebangkrutannya,
maka dia tidak boleh membebaskan budaknya, menjualnya atau membeli budak
lainnya.
(Lihat Shohih Bukhori kitab zakat)
- Penjara
Al Hafidl Ibnu Hajar mengomentari hadts di atas dengan mengatakan :
“Riwayat ini dijadikan dalil disyariatkannya memenjarakan
orang yang tidak mau membayar hutang sementara ia mampu melunasinya, sebagai
pelajaran dan hukuman keras terhadapnya.”[43]
- Yang ketiga dari beberapa hukum
kredit : Barang yang tidak boleh menjual belikannya dengan sitem kredit.
Masalah ini sangat erat hubungannya dengan masalah riba nas’iah, Syaikhuna Abu Muhammad Aunur Rofiq Ghufron –semoga Aloh selalu menjaga beliau- sudah pernah membahasnya dengan panjang lebar pada Al Furqon edisi 7 tahun kedua, maka cukup saya disini mengisyaratkan pada hadits yang menjadi nash masalah ini.
Dari
Ubadah bin Shomit berkata :
“Rosululloh bersabda : “Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, jemawut denga jemawut, kurma denga kurma, garam
engan garam, harus dilakukan dengan takaran yang sama atau ukuran yang sama
secara kontan dari tangan ke tangan. Apabila yang ditukar berlainan jenisnya,
maka jual lah sekehendak kalian asalkan tetap secara kontan dari tangan ke
tangan.”[44]
Keenam
barang ini dan yang sejenisnya adalah yang tidak diperbolehkan kredit dan harus
secara kontan. Yang kemudian lebih dikenal dengan istilah barang-barang ribawi.
Bab III
Kesimpulan
Setelah
menelaah dan menghayati ayat-ayat al qur’an yang terkandung dalam pembahasan
diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1.
Syariat Allah akan membawa
ketenangan bagi orang yang melaksanakannya sedangkan jauh darinya melahirkan
kegundahan dan kegalauan dalam hidup.
2.
Jual beli merupakan syariat Allah
yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia dengan syarat dan ketentuan yang
telah diatur oleh syara’
3.
Riba dengan segala macam bentuknya
adalah haram menurut ijma’ ulama dengan dalil yang telah kami sebutkan.
4.
Jual beli kredit dibolehkan dengan
syarat dan ketentuan yang telah disebutkan.
5.
Jual beli kredit yang ada pada masa
sekarang sudah sangat terlalu banyak model dan macamnya, namun aturan yang baku
dari pemerintah belum bisa mengintervensi pelakunya agar lebih sesuai dengan
syariat islam.
Makalah ini
sangat banyak kekurangannya, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan, semoga bermanfaat untuk kita semua.
1. Tafsir At-Thabari, jilid 6 hal 33 dan Tafsir
Al-Munir oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon tt
2.
Muhyidin
Bin Ahmad Darwis ( 1403 H ) Tafsir I’raabul qur’an wa Bayanuhu, Darul
Irsyad Lis Syuunil Al Jami’ah, Damaskus, 1415 H, hal:47/1
3. Wahbat Az-Zuhaili Dr., Tafsir Al-Munir,
Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon t t
4. Wahbat Az-Zuhaili Dr., Tafir Al-Munir fil
Aqidah wa as-Syariah wa Al-Minhaj, Daarul Fikr, Damaskus, Syria
5. Wahbat Az-Zuhaili Dr., Nazhoriat ad-Dharurat
as-Syar’iyah, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1985
6. Sahih Bukhori 2084 Bab Al-Buyu`
7. Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-borno, Al-Wajiz fi
Idhahi Qowa’id al-Fiqhiyah, Univ. Al-Imam Muhammad Ibn Su`ud, Riyadh, 1990[1]
8. Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Borno
9. As-Suyuti Jalaluddin Abd. Rahman, al-Asybah wa
Nazhair fi Qowa’id wa Furu` al-Fiqhiyah as-Syafi’iyah, Darul Kutub al-amaliyah,
Beirut
10. Kahar Mansyur, Beberapa pendapat tentang riba,
Jakarta, Kalam Mulia, 1999
11. الربا
والمعملات المصرفية في نظر الشريعة الإسلامية
12. Syafi`I Antonio, Muhammad, Bank Syariat dari
teori ke praktek, Gema Insani Press, Jakarta 2001,
13. Dr. Abu Sura`i
Abdul Hadi MA, Bunga Bank Dalam Islam, Al-Ikhlas Surabaya, 1993, hal
159-160
14. Dr. Dawalibi, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Ushulil
Fiqhi
15. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial
Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999
16. Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia,
Universitas Yarsi, Jakarta, 1999
17. Yusuf Al-Qorodhowi, Fatwa-fatwa Kontemporer
18. Fatwa Llajnah Daimah , Saudi Arabia 2005
19. Shahih Muslim, Darul Fikr Mesir tt
20. www. Al maktabah syamilah.com
21. www. Ahmad sabiq.com
22. www. Al maktabah al waqfiyah.com
[1] Tafsir At-Thabari, jilid 6 hal 33 dan Tafsir Al-Munir oleh Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon, juz 3
hal
84-85
[2] Muhyidin Bin Ahmad Darwis ( 1403 H ) Tafsir I’raabul
qur’an wa Bayanuhu, Darul Irsyad Lis Syuunil Al Jami’ah, Damaskus, 1415 H,
hal:47/1
[3] Lihat Tafsir
At Thabari
[4] Tafsir Al
Jazairi, Abu Bakar Al Jazairi, Aisarut Tafaasiir 1/47
[5] Tafsir At-Thabari, jilid 6 hal 33 dan Tafsir Al-Munir oleh Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Darul Fikr Al-Mu’ashir Libanon, juz 3
hal
84-85
[6] Tafsir Ibnu
Katsir, Darul Fikr Al Muashir 3/87, 1418 H
[7] . DR. Wahbat Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah wa as-Syariah wa
Al-Minhaj, Daarul Fikr, Damaskus, Syria, Juz 3, hal 91-93
[9] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah dari Ibnu
Mas’ud.
[10] Hadis diriwayatkan Bukhori dalam shahihnya no 2084 Bab Al-Buyu`
[11] Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-borno, Al-Wajiz fi Idhahi Qowa’id
al-Fiqhiyah, Univ. Al-Imam Muhammad Ibn
Su`ud,
Riyadh, 1990, hal 175
[12] Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-borno, Op. Cip., hal 180
[13] As-Suyuti Jalaluddin Abd. Rahman, al-Asybah wa Nazhair fi Qowa’id
wa Furu` al-Fiqhiyah as-Syafi’iyah, Darul
Kutub
al-amaliyah, Beirut, 1983, hal 85
[14] Dr. Wahbat Zuhaili, Nazhoriat ad-Dharurat as-Syar’iyah,
Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1985
[15] Syafii
Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Central Bank of
Indonesia and Tazkia Institut, 1999
[16] Kahar Mansyur, Beberapa pendapat tentang riba, Jakarta, Kalam Mulia,
1999
[19] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 58
[20] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 59
[21] Dr. Abu Sura`i Abdul Hadi MA,
Bunga Bank Dalam Islam, Al-Ikhlas Surabaya, 1993, hal 159-160
[22] Dr. Dawalibi, Al-Madkhal Ila ‘Ilmi Ushulil Fiqhi, hal 46
[23] Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Lembaga Studi
Agama dan Filsafat, Jakarta, 1999
[24] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta,
1999
[25] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 65
[26] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 66
[27] Syafi`I Antonio, Muhammad, Op. Cit., hal 66
[28] (HR. Abu
Dawud 3461, Hakim 2/45 dengan sanad hasan)
[30] (Lihat juga Silsilah Ash Shohihah Imam Al Albani 4/422)
[31]
(Lihat Tafsir Al Qurthubi 3/243)
[33]
(HR. Bukhori 2241, Muslim 1604)
[35]
(Lihat Ahkamul Fiqh oleh Syaikh Abduloh Al Jarulloh
hal : 57-58)
[38] (Majmu’ Fatawa 19/449)
[39] Lihat
fatwa lajnah Daimah 13/154)
[42] (HR. Nasa’I 7/317, Ibnu Majah 2427 dengan sanad hasan)
[43] (Fathul Bari 5/76)
[44] (HR. Muslim 1587)