Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat
peradaban manusia yang semakin pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah
umatnya – dalam tataran konsep maupun praktik – sedikit demi sedikit telah
tergeser dan tergantikan oleh paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok umat Islam yang secara gigih mengupayakan
pemberlakuan syari’at Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung
menjurus ke arah penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak
jarang dibarengi dengan aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror.
Tindakan ini, jelas tidak simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang
Islam sekalipun. Bagaimanapun, upaya pemahaman dan penegakan syari’at Islam
adalah sebuah keharusan. Dan tentunya, dalam mensosialisasikannya, haruslah
secara arif. Kendati mengharuskan umatnya untuk tunduk pada segala aturannya,
namun melalui tata aturan syari’at, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam
terminologi syari’at, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal
dengan istilah maqashid al syariah. Melalui pendekatan semacam
inilah, pemahaman syari’at Islam lebih menemukan ruh dan substansinya.
Maqashid al Syariah memiliki sejumlah
makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian
besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di
balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas
syari’at, Allah dan Rasul-Nya. Pengetahuan terhadap Maqashid al Syariah
ini, selamanya merupakan kebutuhan bagi semua kalangan. Bagi mujtahid, maqashid
al syariah tentu saja dibutuhkan dalam memahami teks-teks syari’at, dalam
melakukan istimbat, tarjih, atau qiyas. Bagi kalangan
awam, pengetahuan terhadap maqashid syariah tak kalah pentingnya.
Karena, dengan memahami hikmah di balik pensyari’atan hukum, seseorang akan
lebih mantap dalham menerima dan melaksanakan tata aturan syari’at tersebut.
Banyak sekali nash Al-Qur’an maupun sunnah yang menegaskan bahwa Allah
menciptakan alam dan segala instrumen kelengkapannya – termasuk tata aturan
syari’at – tidak secara sia-sia, namun dengan tujuan dan sasaran tertentu.
Allah swt. berfirman:
أَفَحَسِبْتُمْ
أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ
Artinya:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”[1]
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Maqashid al Syari’ah
a.
Secara Bahasa ( لغة )
Secara bahasa maqashid
berasal dari gabungan (idhafah)
kata majemuk antara :
Maqashid dan al syariah
المقاصدُ لغة: جمع مَقْصَدٍ، والمقْصدُ : مصدر ميمي مأخوذ من الفعل قصد "
يقال: قَصَدَ يقْصِد قصْدً ا وَمقْصَدً ا , فالقصْدُ والمقْصَدُ بمعنىٰ واحد. والقصْد يأتي في اللغة لمعان
, المعنىٰ الأول: الاعتماد، والأَمُّ، وإتيان الشيء، والتوجّهُ[2] .
-
Maqashid
secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi
dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan,
al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu
adalah: ali’timad: berpegah teguh, al amma: condong, mendatangi sesuatu dan
menuju.
-
Sedangkan
syari’ah secara bahasa berarti: tempat menuju ke sumber air
(مَوْرِدُ الشَّارِبة
الماء)[3]
b.
Secara
Istilah ( اصطلاحا)
Secara
istilah terdapat beberapa pengertian yang disebutkan oleh para ulama dalam
literature mereka diantaranya adalah:
1. Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah
Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan
maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan
hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin
syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.[4]
2. Al Izz bin Abdul Salam
Berpendapat syariat itu semuanya mengandung nilai maslahah yang bertujuan
menolak kejahatan atau menarik kebaikan [5]
3. Al Khadimi
Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.[6]
4. Ibnu Asyur
Beliau berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat
dilihat pada hukum-hukum yang
disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid
terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan maqashid khusus.maqashid umum
dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum,
sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh syariah untuk
merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.[7]
5. Ibnul Arabi dan Al Qadhi
‘Iyadh
Menyebutkan berhukum untuk menghidarkan kemudharatan adalah wajib, dengan
tidak membebani seseorang. [8]
6. As Syatibi
Beliau tidak mengemukakan
definisisecara spesifik tentang maqashid syariah disebabkan karena masyarakat
umum sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung. [9]
7. Dr. Wahbah Zuhaily
menyebutkan Maqashid syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang
hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau
ia adalah tujuan dari syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap
hukum oleh Syar’i (pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya. [10]
Definisi terakhir inilah yang menurut pemakalah lebih dekat kepada yang
diharapkan, karena mendekati pengertian yang jami’mani’
2.
Urgensi Maqashid al Syari’ah
Maqashid syariah memiliki peranan yang penting dalam proses
terjadinya hukum, oleh karena itulah Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az Zuhaili,
menyebutkan dalam kitabnya maqashid syariah, ada beberapa faidah maqashid al syariah yang
bisa dipetik diantaranya:
a.
Maqashid
syariah dapat membantu mengetahui hukum-hukum yang bersifat umum ( kulliyah) maupun parsial ( juz’iyyah
)
b.
Membantu
memahami nushsus syar’i secara benar dalam tataran praktek.
c.
Membatasi
makna lafadz yang dimaksud ( madlul al alfadz ) secara benar, karena
nash-nash yang berkaitan dengan hukum sangat variatif baik lafadz maupun
maknanya. Maqashid al syari’ah berperan dalam membatasi makna yang
dimaksud.
d.
Kembali
ke maqashid al syari’ah ketika tidak terdapat dalil yang pasti dalam Al qur’an
dan sunnah pada masalah-masalah yang baru ( kontemporer ), sehingga para
mujtahid merujuk ke maqashid al syari’ah dalam istimbath hukum setelah
mengkombinasikan dengan qiyas, ijtihan, istihsan, istislah dll.
e.
Maqashid
al syari’ah membantu mujtahid untuk mentarjih sebuah hukum yang terkait dengan (
perbuatan manusia) af’al mukallafin sehingga menghasilkan hukum yang
sesuai dengan kondisi masyarakat.[11]
3.
Istilah – istilah yang berkaitan dengan Maqashid al Syariah
a.
Al-Hikmah ( الحكمة
)
Ibn Rusyd menyifatkan maqasid sebagai hikmah dari
pensyariatan hukum. Al-hikmah
memiliki arti yang sama dengan maqasid. Istilah al-hikmah lebih kerap
digunakan oleh fuqaha.Contohnya Ibn Farhun berkata:"Dan adapun hikmah
qadha ialah mengurangi kekacauan, menolak bala bencana, mencegah orang zalim,
membantu yang dizalimi, memutuskan pertikaian, menyuruh
yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran".[12]
b.
Al-'illat العلة))
Sebagian ulama yang menganggap bahwa maqasid itu
ialah 'illat-''illat yang terkandung di dalam pensyariatan hukum. Al-Ilat
ialah sifat zahir yang ada pada hukum syara.[13]
Sifat yang ada
pada sesuatu hukum itu seolah-olah menggambarkan maqasid syara.Ini
menjadikan al-'illat dan maqasid membawa pengertian yang sama. Atau dengan kata
lain, maqasid sesuatu hukum dapat difahami daripada kefahaman terhadap 'illatnya.Istilah
ini lebih banyak digunakan di dalam bidang tafsir ayat dan hadits yang
berkaitan dengan hukum-hukum syara' [14]
c.
Al-ma'na ( المعنى)
Dari segi penggunaannya, istilah al-ma'na adalah sinonim kepada maqasid
kecuali al-ma'na lebih popular digunakan oleh fuqaha terdahulu seperti
al-Syatibi, al- Ghazali dan al-Tabari.
4.
Metode Penetapan Maqashid al Syari’ah (طرق اثبات مقاصد الشريعة )
Ibnu Asyûr
berpendapat bahwa sesuatu bisa dinyatakan secara spesifik sebagai tujuan dari
syari’at melalui tiga cara penetapan yaitu:[15]
Pertama, penelusuran (istiqra’)
terhadap hukum-hukum syari’at yang telah diketahui ‘illat-nya secara
tekstual, atau melalui penggalian ‘illat melalui penalaran.
Kedua, dalil-dalil Al-Qur’an yang lugas
sisi penunjukan tekstualnya dan secara tegas menentukan tujuan tertentu di
balik pensyari’atan sebuah kasus hukum. Ketiga, sunnah mutawatirah.
Menurut Asy-Syathibi,
ada tiga bentuk pemikiran mengenai bagaimana cara mengetahui tujuan dari
syari’at (maqashid syari’ah)
Pertama, bahwa maqashid
syari’ah tidak bisa diketahui kecuali dukungan nash sharih yang
menjelaskannya. Kesimpulan akhir dari pemikiran ini hanyalah mengarahkan nash
atas sisi dhahir-nya saja. Ini adalah metode Madzhab Dhahiriyah
yang hanya memandang makna dhahir dari nash untuk menentukan maqashid
syari’ah.
Kedua: klaim bahwa maqashid
syari’ah bukanlah apa yang tersurat atau tersirat dalam nash, namun
hal lain di balik itu. Ini diberlakukan pada seluruh hukum syari’at, hingga tak
tersisa sedikitpun sisi dhahir dari nash yang dapat dijadikan
pegangan. Klaim ini hakikatnya adalah pembatalan syari’at, sebagaimana yang
dikemukakan kalangan madzhab Bathiniyyah.
Ketiga, maqashid
syari’ah bisa diketahui melalui dua pendekatan di atas secara moderat dan
sinergis, yakni dengan berpedoman pada sisi dhahir tanpa mengesampingkan
makna atau hikmah tersembunyi di balik itu, atau sebaliknya, dengan menggali
makna atau hikmah di balik pensyari’atan sebuah hukum tanpa bertentangan dengan
sisi dhahir nash. Dan, inilah yang dijadikan pijakan oleh
manyoritas ulama’.
Karenanya,
Asy-Syathibi memberikan kesimpulan bahwa maqashid syari’ah bisa
diketahui dengan tiga cara yaitu:
Pertama, cukup
mengetahui dalil perintah atau larangan yang secara jelas, bahwa tujuan yang
dikehendaki adalah kepatuhan dengan menjalankan perintah dan meninggalkan
larangan.
Kedua; dengan memandang ‘illat-’illat
dari perintah atau larangan, seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk
memelihara keturunan.
Ketiga, bahwa dalam penerapan hukum
syari’at, Syari’ memiliki tujuan pokok (maqashid ashliyyah) dan tujuan
pelengkap (maqashid tabi’ah), adakalanya tertera secara eksplisit,
tersirat secara implisit, ataupun didapatkan dari hasil penelusuran (istiqra’)
terhadap nash. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap maqashid yang
tidak tertera dalam nash namun tidak bertentangan dengan ketentuan di
atas, adalah termasuk dalam maqashid al syariah.[16]
5.
Syarat - syarat berhujjah
dengan Maqashid al Syari’ah ( ( شروط حجية
مقاصد الشريعة
Selanjutnya,
dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-syarî’ah haruslah memenuhi
empat macam kriteria [17]:
Pertama, maqashid
syari’ah haruslah tsabit, (ثابت )
Maksudnya bahwa
sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum bisa direkomendasikan sebagai tujuan
syari’at apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni
(asumsi) yang mendekati kepastian.
Kedua, maqashid
syari’ah haruslah zhahir ( ظاهر )
Dalam artian bahwa para ulama’ tidak
mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan syari’at (‘illat).
Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan,
tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama’.
Ketiga, maqashid syari’ah
haruslah mundlabith ( منضبط )
Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai
standar yang jelas (jami’ mani’), seperti perlindungan terhadap akal (hifzh
al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannya khamr.
Keempat, maqashid
syar’ah haruslah muththarid ( منطرد )
Maksudnya suatu
hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau berubah
karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan
kemampuan atas nafkah yang menjadi persyaratan dari kafa’ah dalam nikah.
Dengan demikian setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria di atas,
bisa dinyatakan sebagai maqashid syari’ah. Sedangkan hal-hal yang hanya
berdasarkan wahm (kemungkinan tanpa dasar) atau takhayyul
(imajinasi) dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-syari’ah.[18]
6.
Klasifikasi Maqashid al Syariah
A.
Maqasid Syari'
Yaitu maqasid
yang diletakkan oleh Allah dalam mensyariatkan hukum. Tujuannya adalah ( jalbil
masholih wa daf’il madhorroh) menarik kebaikan dan menolak kejahatan di
dunia dan di akhirat. Menurut as-Syatibi, Maqasid Syari' terbagi empat bagian [20]:
1.
Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat .
2.
Tujuan Syari' (Allah) menciptakan Syariat untuk
difahami.
3.
Tujuan Syari' (Allah) menjadikan Syariat untuk
dipraktikkan. T
4.
Tujuan Syari' (Allah) meletakkan mukallaf di
bawah hukum Syarak.
a.
Tujuan Allah
menciptakan syariat.
Pada pandangan
As-Syatibi, Allah menciptakan syariat dengan tujuan untuk merealisasikan
maqasidnya untuk manusia yaitu untuk memberikan kebaikan (maslahah)
kepada mereka dan menolak keburukan (mafsadah) yang menimpa mereka.
Menururtnya segala apa yang disyariatkan tidak terlepas dari maqasid al
syariah. Tujuan syariat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu[21]
:
1. Kepentingan
Asas (al-Dharuriyyat) :
Yaitu segala
apa yang paling penting dalam kehidupan manusia, bagi tujuan kebaikan agama dan kehidupan di
dunia dan akherat karena kehidupan manusia
akan rusak di dunia atau di akhirat jika kepentingan asas ini tidak ada atau
tidak dipenuhi.
Sehingga dalam
syariat dikenal dengan al dharuriyaat al khamsah ( lima hal yang sangat
penting ) diantaranya adalah :
a.
Agama ( ( الدين
b.
Jiwa ( النفس (
c.
Akal ( العقل (
d.
Keturunan ( النسل (
e.
Harta ( المال
)
Kelima hal diatas merupakan maslahah yang
senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda,
sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu:
-
Mewujudkan dan melahirkan hukum (al ijaad )
-
Menjagan kesinambungannya ( al hifd ) [22]
a.
Agama ( ( الدين
Syariat
mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan
segala konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan,
hisab dll. Dasar – dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain
itu syariat juga menjaga agama ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban
berjihad, amar makruf dan nahi mungkar.[23]
b.
Jiwa ( النفس )
Syariat
mewujudkannya dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak
keturunan dan generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa
dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia.
Begitupula ketika Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa
manusia.[24]
c.
Akal ( العقل
)
Merupakan
karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya
dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba
dan khamar,
d.
Keturunan ( النسل (
Disyariatkan
menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan
menjauhi hal-hal yang dapat menjeerumuskan ke zina. Begitupula dengan
diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan zina. [25]
e.
Harta ( المال
)
Syariat
membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan
mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta
kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta tersebut.
2.
Kebutuhan Biasa
(al-Hajiyat) :
Ia merupakan
keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan akhirat, tanpanya
kehidupan manusia akan menjadi tidak sempurna dan mengalami kesempitan. Beberapa
kebutuhan yang dibolehkan oleh syariat adalah:
- Syariat
membolehkan rukhsah dalah ibadah untuk memudahkan kesulitan yang terjadi dalam
melaksanakan perintah.
- Dalam muamalah,
syariat membolehkan jaul beli yang merupakan pengecualian dari kaodah umum jual
beli, seperti salam, ijarah, dan muzaraah.
-
Dalam masalah Uqubah ( hukuman), syariat
membolehkan kaidah dar’ul huduud bi al syubuhaat ( menunda hudud karena
tuduhan ) atau diyat atas keluarga terpidana sebagai keringanan banginya.[26]
3.
Keperluan Mewah
(al-Tahsiniyat)
Kondisi ini
merupakan kondisi pelengkap hidup manusia, sehingga manusia merasakan kenyaman
hidup.
Seperti:
- Menutup aurat,
mengenakan pakaian yang baik, bersih dan bagus ketika memasuki masjid dan bertaqarrub
kepada Allah dengan melaksanakan ibadah nafilah, shadaqah, shalat sunnah dll.
- Dalam muamalah,
dilarang boros ( israf ), jual beli diatas pembelian orang lain dll.
- Dalam ‘adat,
diajarkan cara makan dan minum yang baik
- Dalam uqubah,
dilarang mutilasi dalam qishas dll.[27]
Yang
menjadi asas kepada semua kepentingan tadi adalah kepentingan asas. Sedangkan
kepentingan biasa ( al hajiyat ), sebagai pendukung saja.
Sementara
keperluan mewah sebagai pendukung kepada kepentingan biasa. Kedudukan ini perlu
diprioritaskan dalam menentukan hukum.
Berdasarkan pertimbangan itulah al-Syatibi
membentuk beberapa kaidah berikut :
-
Kepentingan asas primer ( al dharuriyat) sebagai dasar dari
kebutuhan biasa/sekunder al hajiyat dan (kebutuhan tertier) al tahsiniyat.
-
Kerusakan kepentingan asas menyebabkan kerusakan pada kepentingan yang
lain.
-
Tidak semestinya kerusakan keperluan lain boleh merusakkan kepentingan
asas.
-
Wajib menjaga keperluan biasa dan keperluan mewah bagi tujuan menjaga keperluan
asas.
B. Maqashid al Mukallaf
(hamba)
Merupakan
tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam melakukan sesuatu perbuatan. Maqasid
mukallaf berperanan menentukan sah atau batal sesuatu amalan. kaidah berperan dalam maqashid mukallaf
adalah:[28]
Maqashid mukallaf hendaklah selaras dengan maqashid syariah itu sendiri.
Sehingga bila ada yang ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal
pensyariatannya, sesuatu itu dianggap telah menyalahi syariat.[29]
Kategori maqasid berdasarkan korelasinya dengan
hukum terbagi dua yaitu:
1.
Maqasid umum (maqasid ammah)
Yaitu makashid yang diletakkan oleh syariat dalam menentukan
semua atau sebagian besar hukum-hukumnya.
Contohnya
menegakkan keadilan, menghasilkan kebaikan, menolak keburukan dan kemudharatan
diantara manusia.[30]
2.
Maqasid khusus (maqasid khassah)
Yaitu maqashid yang diletakkan oleh syariah
dalam menentukan hukum-hukum tertentu. Contohnya hukum-hukum muamalat,
munakahat, jinayat dan sebagainya.
7.
Kaidah – kaidah Umum yang merupakan turunan dari Maqashid al
Syariah
Berdasarkan asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath
sehingga menghasilkan turunan kaidah –
kaidah ushuliyah, diantaranya:[31]
a.
الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi
darurat dapat membolehkan perkara yang dilarang
Contohnya:
memakan sesuatu yang haram karena dharurat
b.
الضرر يزال
Kemudharatan
harus dihilangkan
Contoh:
khiyar ( pilihan ) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena
ada kekurangan dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.
c.
الضرورات تقدر بقدرها
Kondisi
darurat memiliki batasan tertentu.
Contoh:
mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan
dijadikan kebutuhan pokok.
d.
المشقة تجلب التيسير
Kesulitan
mendatangkan kemudahan
Contoh:
shalat jamak dan qashar dalam perjalanan.
e.
يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Kemudharatan
yang sifatnya lebih kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang
lebih besar.
Contoh:
Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia
tidak minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat
itu.
f.
درء المفاسد أو لى من جلب المصالح.
Mencegah kerusakan lebih
didahulukan daripada mengambil manfaat.
Contoh: larangan ekspor
barang keluar negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang tersebut
pada kondisi sulit.
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah meneliti dan menelaah sumber-sumber yang terkait dengan
maqashid syariah maka penulis dapat mengambil kesimpulan diantaranya:
1.
Islam
mengatur semua sisi kehidupan manusia baik yang berkaitan dengan individu
maupun yang berkaitan dengan masyarakat luas dengan meletakkan dasar hukum dan
pertimbangan-pertimbangan syariat.
2.
Maqashid
syariah menaungi keseluruhan hukum yang bersandar kepada tujuan-tujuan umum
syariat.
3.
Maqashid
syariah mencakup aspek-aspek, dharuriyat, hajiat dan tahsiniyat.
4.
Maqashid
syariah berperan dalam mewujudkan hukum ( Iijad) dan menjaga
kesinambungannya ( hifdz ).
5.
Maqashid
syariah menjaga lima hal utama yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan dan
kehormatan.
6.
Ulama
meletakkan kaidah-kaidah umum yang bertujuan menjaga syariat dan melindungi
hak-hak manusia secara pribadi maupun secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al Qur’an Al Karim
2.
Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasati
al-Syariah al-Islamiyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1990M.
3.
Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl, Beirut, Dâr al-Fikr, tt.
4.
Abu Ishaq
Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot,
Penerbit Dar Ibn Qayyim, tahun 2003M/1424H
5.
Ahmad al-Raisuni, Nazariyyat al-Maqasid
I'nda al-Imam al-Syatibi, Beirut tt.
6.
Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih
al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt.
7.
Fairuz Abadi,Qamus
Al Muhith 2/327,Muasasah Ar Risaalah, Beirut tt.
8.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun 1996
9.
Ibnu Faris, Mu’jam
Maqayiis Al Lughaat, Iitihad al Kitab Al Arabiyyah, tahun 2002
10. Muhammad bin Farhun, Tabsirah al-Hukkam, Dar al-Maktabah
al-Ilmiyyah, Mesir, tahun 1301H.
11. Muhammad Thâhir
bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr
al-Nafâ’is,Tahun 2001
12. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
Amman: Dâr al-Nafâ’is, tahun 2001
13. Muhammad Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah
al Haditsah, 1991
14. Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad
al-Maqasidi, Qatar , tahun 1998
15. Wahbah al-Zuhaylî,
Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998
[1] Al Qur’an Surat Al Mukminun: 115
[2] Lihat Qamus Al
Muhith 2/327, Mu’jam Maqayiis Al Lughaat 5/95, Al Mishbah al Munir 2/692,
Muhtarus sihhah hal. 536, Tahdziib Asmaa
Al Lughaat 2/92
[3] Lihat kitab As shihah karangan Az
Zuhri 3/1236
[4] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tahun 1996 jilid 3 hal 37
[5] Al-Izz bin Abdul Salam, Qawaid
al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Beirut, Dar al-Ma'rifah, tt. Jil 1 Hal .9
[7] Muhammad
Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr
al-Nafâ’is, tahun 2001, hlm. 190-194.
[8] Ibid 5
[9] Ibid 5
[11] Lihat kitab
Maqashid al Syariah al islamiyah, Prof.Dr. Muhammad Musthafa Az Zyhaily 1/9
maktabah syamilah
[14] al-Raisuni,
opcit,
[15] Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
Amman: Dâr al-Nafâ’is, 2001, hlm. 190-194.
[16] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad
Allakhmy As Syatiby, Kitab Al Muwafaqoot, Penerbit Dar Ibn
Qayyim, tahun 2003M/1424H
[17] Wahbah al-Zuhaylî, op.cit..,
juz II hlm. 1047; Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit., hlm. 252-253
[18] Ibid 16
[20] Ibid 18
[21] Ibid 18
[22] DR.
Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit Muasasah Ar
Risaalah, Beirut 1427H/2006M cetakan ke 15
[23] ibid
[24] Lihat Kitab al Mustashfa Karya Abu
Hamid Al Ghazali kitab Al Mustashfa 1/287
[25] Ibid 21
[26] Lihat Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, Abdul
Karim Zaidan hal 380.
[27] ibid
[29] Ibid op cit
[30] Muhammad
Uqlah, al-Islam Maqasiduhu wa Khasaisuhu, Maktabah al-Risalah al-Haditsah,
1991,hal.112