Tak terasa usiaku sudah menginjak kepala tiga, usia yang sudah tidak lagi muda, uban dikepalaku pun mulai berani menampakkan jatidirinya perlahan-lahan namun pasti. Sementara rambutku perlahan-lahan pamit tak kembali lagi terutama garda terdepan.
Tak terasa, sudah banyak hal yang aku kerjakan, sebagian masih berproses, sebagian masih jalan ditempat.
namun itulah manusia, selalu merasa kurang dan memang tidak mungkin sempurna.
Banyak hal yang belum ku raih untuk membahagiaan orang-orang yang aku cintai, ortu, mertua dan keluarga kecilku dengan dua bidadari imut, cantik nan shalihah semoga menjadi qurrata a'yun dunia akheratku.
Hidup begitu singkat, kemarin seolah aku masih kanak-kanak, bermain bola, mandi di kali, mencari rumput untuk kambing rama ku ke sawah dan ladang. sekarang aku sudah jadi bapak-bapak.
Syukur, Alhamdulillah itulah ungkapan yang paling indah aku ungkapkan kepada Allah. yang telah membimbingku hingga kini, semoga hidanyah Nya tidak terputus kepadaku hingga akhir hayatku kelak. Amiin
Rabu, 20 November 2013
Selasa, 12 November 2013
Konsep Khiyar ( pilihan ) Dalam Transaksi Ekonomi Syari'ah
Menurut bahasa khiyar adalah memilih yang terbaik
diantara dua hal atau lebih.
Secara istilah khiyar adalah hak bagi pihak-pihak
yang melakukan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi
tersebut sesuai dengan syarat dan sebab tertentu ( al fikh al al Islami
madkhal lidirasatihi,458)
Tujuan khiyar
Tujuannya adalah memberikan hak kepada para pihak yang
bertransaksi adar tidak rugi dan menyesal dikemudian hari. Selain untuk
menjamin akad atas dasar kerelaan kedua belah pihak.
Macam-macam khiyar
a.
Khiyar Majlis ( pilihan
berdasarkan tempat )
Yaitu hak para pihak yang bertransaksi
untuk melakukan akad atau membatalkannya selama masih berada ditempat akad akad
dan belum berpisah. Khiyar ini hanya dikenal oleh kalangan Syafiiyah dan
Hanabilah.
Dalilnya adalah:
البَيِّعَانِ بِالِخيَارِ
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Dua orang yang
melakukan akad jual beli masing masing pihak memiliki hak pilih selama keduanya
belum berpisah badan ( Bukhâri Muslim )
Makna ‘berpisah badan menurut
ulama Syafiiyah diserahkan kepada kebiasaan setempat.
b.
Khiyar syarat ( pilihan
berdasarkan syarat )
Sesuai dengan namanya, kedua belah pihak
yang bertransaksi menyepakati syarat yang mereka kemukakan dalam transaksi.
Misal: Saya akan membeli barang ini
dengan syarat saya berhak meneruskan atau membatalkannya setelah lima hari.
Selama tenggang waktu tersebut, kedua belah
pihak tidak boleh melakukan transaksi dengan barang yang sama kepada orang
lain.
c.
Khiyar ta’yin (
pilihan berdasarkan penentuan barang )
Jika transaksi yang dilakukan dalam banyak
jenis barang, kemudian penjual meminta kepada pembeli untuk memilih jenis
barang yang disenangi.( Al fikhul
Islami wa Adillatuhu,525 )
d.
Khiyar aib
Transaksi dapat dibatalkan jika terdapat
cacat ( aib ) pada objek transaksi.
e.
Khiyar ru’yah
Merupakan pilihan bagi pembeli untuk
menyatakan berlaku atau batalnya jual beli yang dilakukan terhadap satu objek
yang belum dilihat ketika akad.
Hadits nabi:
من اشترى شيئا لم يره
فالبيع جائز وله الخيار إذا رآه ، إن شاء أخذه بجميع الثمن وإن شاء رده
Barangsiapa membeli sesuatu yang belum
dilihatnya, jual belinya boleh, dan ia berhak memilih jika telah melihatnya,
antara mengambil atau menolak ( Nashbur Rayah, 441 )
Jumat, 08 November 2013
Hukum menunda Qadha puasa hingga tiba Ramadhan Berikutnya
Menunda qadha puasa hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya
tidak terlepas dari tiga kondisi:
1.
Sengaja
Jika seseorang mengetahui hukum, namun
sengaja mengulur-ulur waktu hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya, yang harus
ia lakukan adalah:
a.
Segera bertaubat kepada
Allah, tidak mengulangilagi dikemudian hari, karena ia dengan sengaja
bermaksiat dengan meremehkan perintah
Allah.
Firman Allah:
“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…”
(Ali ‘Imrân: 133)
b.
Ia wajib mengqadha puasanya
setelah bulan Ramadhan berakhir
2.
Tidak sengaja
Dua keadaan orang yang tidak mampu berpuasa
sehingga ia menunda qadha puasa adalah:
a.
Sementara
Jika ia sudah memiliki kemampuan untuk mengganti ( sehat ) maka ia segera
mengganti puasa tersebut. Berdasarkan firman Allah:
Dan barang siapa yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah:
185)
b.
Permanen
Jika ketidakmampuannya bersifat permanen, tidak bisa hilang dan tidak
bisa sembuh, maka baginya harus memberi makan orang miskin sejumlah hari yang
ditinggalkannya sebanyak 1 sha’ sehari ( 1 sha’= kira-kira 1,5 kg beras ).
Dan jika ia meninggal dunia maka keluarganyalah yang menanggung fidyah tersebut (I'laamul
Muwaqqi'iin ,3/554)
3.
Tidak tahu
Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan
agama , belum baligh, hilang akal dan ia tidak mengetahui jumlah hari yang
ditinggalkan.
Apabila seseorang tidak tahu dan sulit
untuk mendapatkan pengetahuan agama, karena tinggal di pedalaman, maka tidak
ada beban apapun kepadanya, namun jika ia ragu, hendaklah meyakinkan dirinya
semampu mungkin akan jumlah hari yang ia tinggalkan.
Firman Allah:
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dan firman
Allah:
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (Qs. At-Taghâbun: 16)
Kamis, 07 November 2013
Bolehkah menimbun barang ?
Menimbun barang
dengan maksud dijual kembali pada saat harga naik untuk mendapatkan
keuntungan yang besar hukumnya haram.
Karena menimbun barang menunjukkan sikap tamak dan moral yang buruk.
Sabda Rasulullah saw:
مَنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Siapa yang menimbun, ia telah bersalah ( Muslim,13 )
Maksud bersalah dalam hadits ini adalah menyimpang dari
prinsip jual beli yang berdasarkan syariat.
Sabda Nabi:
Seburuk-buruk hamba adalah penimbun, jika mendengar harga
murah ia murka, jika barang mahal ia bersuka cita. (Musnad Ahmad ,351 )
Sabda Nabi:
Orang yang menyediakan barang, ia akan mendapat rezeki,
orang yang menimbun akan dilaknat (
Tirmidzi,40 )
Para ulama fikih menyimpulkan, penimbunan barang yang
diharamkan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
Barang yang ditimbun
merupakan kelebihan kebutuhan dari tanggungan selama setahun. Karena seseorang
memiliki tanggungan untuk persediaan
nafkah diri dan keluarganya dalam tenggang waktu setahun.
b.
Tujuan penimbunan adalah materi
semata, agar barang tersebut dapat dijual kembali saat harga naik.
c.
Kondisi konsumen sangat membutuhkan barang
tersebut.
d.
Yang ditimbun adalah segala
jenis barang yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi masyarakat luas. ( Al
Fikh Al Islami al Muqarin alal Madzahib 71-72)
Adakah Uang Haram?
Uang haram adalah uang yang
diperoleh melalui jalan atau pekerjaan yang dilarang oleh agama Islam. Seperti
mencuri, suap, merampok, korupsi, manipulasi, hasil judi, hasil mucikari dan
sejenisnya. Dalam hukum islam, benda
tidak dapat dihukumi halal atau haram kecuali yang sudah disebutkan secara nash
syar’i. Secara spesifik uang haram terkait dengan perbuatan atau cara
memperolehnya melalui jalur yang diharamkan.
Oleh karena itu Ibnu Abidin menyebutkan,” Harta
atau uang orang lain yang diambil melalui jalan haram hukumnya haram lighairihiI ( karena faktor lain ) dan bukan haram li
dzatihi ( karena bendanya ), meski
demikian status keharaman harta atau
uang tersebut tetap bersifat qath’i ( mutlak ).( Ibnu Abidin, Radd Mukhtar
11/292 )
Bagaimanakah jika seseorang
memiliki uang haram?
1. Tidak sah untuk ibadah apapun, dan ibadahnya tidak akan diterima
Allah,
Misalnya: uang
haram untuk naik haji, maka ibadah hajinya tidak akan diterima Allah.
seperti disebutkan dalam sabda nabi Muhammad saw:
إِنَّ
اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَ طَيِّباً
Sesungguhnya
Allah Maha Bersih dan tidak menerima
amal kecuali yang bersih ( HR. Muslim
)
2. Tidak sah untuk zakat atau shadaqah.
Salah satu
syarat wajib zakat adalah harta yang milku at tam ( kepemilikan sempurna
). Uang yang diperoleh dari jalan haram pada dasarnya bukanlah miliknya akan
tetapi milik orang lain atau lembaga
tertentu. Ia tidak berhak menggunakannya untuk apapun.
Sabda nabi saw
menyebutkan:
لاَ
يَقْبَلُ اللهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
Allah tidak
menerima zakat atau sedekah dari harta yang diperoleh dari jalan khianat (
Muslim)
3. Jika uang haram berasal dari mengambil hak orang lain secara
tidak benar ( mencuri, merampok ), maka uang tersebut harus dikembalikan
kembali kepada pihak yang terzalimi. Ia harus bertaubat secara sungguh-sungguh
dan tidak mengulangi kembali.
4. Para ulama memberikan kelonggaran untuk memanfaatkan uang haram
bagi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi, yang dipergunakan untuk
membangun sarana umum, seperti: Jalan, jembatan, lembaga pendidikan umum,
rumah sakit dan sejenisnya. Alasan kebolehan ini adalah kaidah sad az
Zari’ah ( menutup kemungkinan buruk ) maksudnya: Jika uang haram tersebut
tidak dipergunakan untuk kepentingan umum, maka kemungkinan besar akan kembali
digunakan untuk kemaksiatan. ( Abu Zahrah, Ushul Fikh, Dar al Fikr 292-297 )
Langganan:
Postingan (Atom)