Setelah Al Qur’anul Karim, hadits merupakan
salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat penting, baik
secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua
setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan
bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global)
atau mutlaq[1]
Seperti yang disebutkan didalam Al Qur’an:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu
menjelaskan kapada umat manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan
supaya mereka memikirkan.”. [2]
Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kepada umat manusia
mengenai Al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat
diartikan bahwa hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas)
terhadap apa- apa yang tidak dijelaskan didalam Al-Qur’an.
Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, hadits
sendiri sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam
al-Qur’an. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu hadits
dengan “baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat
metodologi dalam memahami hadist.
Ketika kita mencoba memahami suatu hadits, tidak cukup hanya
melihat teks haditsnya saja, khususnya ketika hadits itu mempunyai asbabul
wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan,
ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu hadits, perlu memperhatikan
konteks historitasnya, kepada siapa hadits itu disampaikan Nabi, dalam kondisi
sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa
memperhatikan konteks historisitasnya ( asbabul wurud) seseorang
akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadits,
bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapa asbabul
wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu hadits, seperti
pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua hadits
mempunyai asbabul wurud. Sebagian hadits mempunyai asbabul
wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk
katagori pertama, mengetahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar
dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud
suatu hadits. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak mempunyai asbabul wurud
khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis,
sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau
analisis dalam memahami hadits. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi
SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan
hampa kultural.
Pengertian
Asbabul Wurud
a.
Secara bahasa (etimologis)
Asbabul wurud merupakan
susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud.
Kata ( أسباب) “asbab” adalah bentuk jamak
dari kata ( سبب ) “sabab”.
Menurut ahli bahasa diartikan dengan ( ( الحبل “al-habl” (tali), saluran
yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan
benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah [3] :
كل شيء يتوصل به الى غا
ية
“Segala
sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang
mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa
berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang
memancar atau air yang mengalir “ [4]
Dengan demikian, secara
sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu.
Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam ilmu hadis, maka asbabul wurud maka
asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (
background ) munculnya suatu hadits.
b.
Secara Istilah
Asbabul wurud merupakan
susunan idhafah ( kata majemuk ) yang berasal dari kata asbab dan al-wurud.
Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”.
Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran
yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan
benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا
يته[5]
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul,
dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[6]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan
sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai
dalam ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai
sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadits.
Menurut as-Suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan
sebagai berikut :
أنه ما يكون طريقا لتحديد
المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu hadis
yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada
tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits.[7]
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan
As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-hadits, yakni untuk
menentukan takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi
yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan
lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu
dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said
Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu
mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul
wurud sebagai berikut [8] :
علم يعرف به السبب الذي
ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya
dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul
wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau
pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh
nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah
bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa
peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits
itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk
menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad,
naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud
bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah)untuk
memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadits [9]
C. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut Imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat
dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu [10]:
1)
Sebab yang berupa ayat al-Qur’an
2)
Sebab yang berupa Hadis itu sendiri
3)
Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan
para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam
tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat
al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya
antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا
إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman
mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” [11]
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata ( الظلم (“azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur
yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman
tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang
disebutkan dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” [12]
2. Sebab
yang berupa Hadits.
Artinya pada waktu
itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya,
maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis
tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني
أدم بما في المرء من خير أو شر
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat
berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” [13]
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para
sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu
dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana
Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan
rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian
terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian
tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga)
tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah
lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”.
Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti
masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para
sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut
memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan
kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat”sampai tiga kali. Nabi
menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar
sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah,
malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR.
al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi
yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau
orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
3. Sebab
yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat
Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan
kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya
Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat
tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil
haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang
Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid
Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi
nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,Yaitu
Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali
Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”.[14]
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai peranan yang
sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya
hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, kultural, bahkan temporal.
Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat
penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap
maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya
saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali.
Pemahaman hadis yang mengabaikan perananasbabul wurud akan
cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif
terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut Imam as-Suyuthi antara lain
untuk [15]:
1. Menentukan
adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2. Membatasi
pengertian hadis yang masih mutlak.
3. Mentafshil (memerinci) hadis
yang masih bersifat global.
4. Menentukan
ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab)
ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan
maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi
asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu
hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
“Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang
sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih
bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri
melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat”
dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud
dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang
bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika
itu di Madinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka
kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu
itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat
tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda: ” Shalat orang yang sambil
duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar
pernyataan Nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat
sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah
shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu
melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari
orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak
mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat
fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak
termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadits tersebut. Maka pahala orang itu
tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh
melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang
berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi :
من سن سنة حسنة عمل بها
بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل
بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا[17]
“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau
perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia
akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan
suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti
orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa
mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat
mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti
sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek).
Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau
tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika
itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang
yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang
miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa
empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama
bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah.
Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti
pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau
menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari
sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan
kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh
para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
من سن سنة حسنة …
الحديث
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang
dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan
melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya
hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis
itu sendiri, ada yang tercantum padamatan hadis lain. Dalam hal
tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar
pemberitaan para sahabat.[18]
E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada
sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam
suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi
Asbabi wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia
keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli
hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri
mengenai asbabul wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud
antara lain adalah:
1. Asbabu
wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab
tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2. Asbabu
wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak
sempat sampai ketangan kita.
3. Asbabu
Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil hadis, karya
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya
Ismail Ahmad.
4. Al-Bayan
wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi (w.1110 H.)
BaB III: PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Asbabul
warud al-hadits merupakan konteks historisitas yang melatar belakangi munculnya
suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat
hadits itu di sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah
faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya suatu hadis.
2. Sebagai
salah satu disiplin ilmu dalam studi hadits, asbabul wurud mempunyai peranan
yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih
baik. Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada
arti tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
3. Dari
beberapa definisi asbabul wurud yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat
disimpulkan bahwa pengertian asbabul wurud tersebut lebih mengacu pada asbabul
wurud khas (asbabul wurud mikro). Di antara fungsi dari mengetahui asbabul
wurud adalah untuk menentukan ada tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang
umum, membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci yang masih global, menentukan
ada tidaknya nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu
hukum, dan menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).
4. Tampaknya
perlu dikembangkan asbabul wurud ‘am (asbabul wurud makro),
yaitu situasi sosio-historis yang lebih bersifat umum di mana dan kapan Nabi
SAW menyampaikan sabdanya dan hal ini memerlukan kajin sejarah yang sangat
detail.
Daftar pustaka
1.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
2.
Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul
Mustaqim, Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1
3.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis,
Jakarta: RajaGrafindo, 2008, Cet ke 5
4.
Soetari, Endang, Ilmu hadits,
Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2
5.
Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits
Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
6.
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001
Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual
Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar
7.
Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , dalam
muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
8.
Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits
Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
9.
Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal
Bakti Press, 1997).
[1] Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul
Mustaqim, Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1
[2] QS. An-Nahl
:44
[3]
Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , Ktab muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi
Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif. Hlm 32
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadits Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, tahun 2008 , hlm. 38-.39
[5]
Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
[6] Ibn hamzah Al-Husainy
Al-Dimasyqy , Kitab Muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al-
hadits Al-Syarif.
[7] Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
[8] Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
[9] Said Agil Husin Munawwar dan
Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan
sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar tt Hlm.05
[10] Alluma’ Fi asbaabil Hadits,
Jalaluddin as Suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah
Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M juz I
[11]Al Qur’an: Al-An’am: 82
[14] H.R. Abdurrazzaq dalam Kitab Al-Mushannafnya.
[15] Alluma’ Fi asbaabil Hadits,
Jalaluddin as suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah
Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M juz I
[16] HR. Ahmad
[17] HR. Muslim
[18] Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin
as suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut,
Tahun 1404 H/1984M