A. Pendahuluan
Transaski Go-Food sempat menjadi perbincangan dan perdebatan
di kalangan masyarakat terkait keabsahannya dilihat dari sisi hukum syariah.
Ada sebagian kalangan yang mengharamkan transaksi tersebut dengan alasan bahwa
Go-Food mengandung multi akad (menggabungkan beberapa akad dalam satu
transaksi), yang mana hal tersebut dilarang oleh Rasulullah ﷺ dalam beberapa hadits.
Penulis akan mengkaji tinjauan hukum terhadap transaksi
tersebut berlandaskan kepada hadits-hadits larangan multi akad dan bagaimana
para ulama memahami hadits-hadits tersebut.
B. Hadits-hadits Multi Akad
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keharaman multi akad
(Shafqatain fi Shafqah/Ba’iatain fi Ba’iah), di antaranya adalah hadits-hadits
berikut:
1. Hadits Pertama
عن عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود، عن
أبيه، قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة (رواه أحمد)
“Dari Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya ia
berkata, “Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)
[1]
Status hadits: Hasan Lighairihi [2]
2. Hadits Kedua
عن أبي هريرة، قال: نهى رسول الله صلى الله
عليه وسلم عن بيعتين في بيعة (رواه أحمد)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah SAW melarang
dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)[3]
Status hadits: sanad-nya hasan [4]
3. Hadits Ketiga
عن أبي هريرة، قال: قال النبي صلى الله
عليه وسلم: من باع بيعتين في بيعة، فله أوكسهما أو الربا (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Nabi SAW bersabda, “Barang
siapa yang melakukan dua jual beli dalam satu kali transaksi maka pilihan
baginya nilai yang paling sedikit atau riba.” (HR. Abu Daud).[5]
Status hadits: sanad-nya dha’if (lemah) [6]
C. Fiqhul Hadits
Sekedar mengetahui hadits-hadits di atas beserta status
keshahihannya masing-masing, belum bisa dijadikan modal untuk menyimpulkan
hukum. Diperlukan kajian lebih mendalam terhadap pemahaman para ulama dalam
menafsirkan hadits-hadits tersebut agar kita tidak salah memamahami isi
kandungannya.
1. Pengertian Bai'atain fi Bai'ah Menurut Para Ulama
Para ulama secara umum sepakat bahwa hukum Ba’iatain fi
Bai’ah adalah dilarang [7] berdasarkan hadits-hadits yang sudah dijelaskan di
atas yang secara eksplisit menyatakan larangan terhadap hal tersebut. Namun
mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dari istilah Ba’iatain fi
Bai’ah itu sendiri. Setidaknya ada tujuh penafsiran istilah Ba’iatain fi Bai’ah
menurut para ulama : [8]
a. Penafsiran Pertama
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
Ba’iatain fi Bai’ah adalah jual beli barang dengan dua pilihan harga, harga
tunai dan harga kredit di mana harga kredit lebih mahal dari pada harga tunai.
Di antara yang berpendapat demikian ialah Sammak, perawi hadits larangan
Ba’iatain fi Bai’ah. Menurut tafsiran ini, menjual barang dengan harga kredit
yang lebih mahal dari harga tunai adalah terlarang.
b. Penafsiran Kedua
Tafsiran kedua ini hampir mirip dengan yang pertama hanya
saja dalam penafsiran kedua ini penjual dan pembeli sama-sama tidak menentukan
harga mana yang diambil, apakah harga tunai atau harga kredit kemudian keduanya
berpisah begitu saja padahal akad jual beli sudah terjadi. Di antara ulama yang
berpendapat dengan tafsiran kedua ini di antaranya Abu ‘Ubaid, ats-Tsauri,
Ishaq, ulama malikiyyah dan hanabilah.
c. Penafsiran Ketiga
Yang dimaksud Ba’iatain fi Bai’ah menurut penafsiran ketiga
adalah jual beli satu barang dengan dua harga (contoh: saya jual barang ini
dengan salah satu dari dua harga: satu dinar atau seekor kambing), atau
menawarkan salah satu dari dua barang dengan satu harga (contoh: saya jual
seekor kambing atau sepotong pakaian dengan harga satu dinar). Hal ini dilarang
karena ada ketidakjelasan harga mana atau barang mana yang akan diambil.
Penafsiran ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Baji.
d. Penafsiran Keempat
Menurut Ibnu al-Qayyim yang dimaksud dengan Ba’iatain fi
Bai’ah adalah bai’ al-‘inah, yaitu jual beli kamuflase dengan tujuan untuk
mendapatkan pinjaman berbunga. Contohnya, A menjual barang kepada B seharga
seratus ribu dicicil selama sebulan, dengan syarat setelah itu barang tersebut
langsung dijual kembali kepada A dengan harga delapan puluh ribu secara tunai.
e. Penafsiran Kelima
Imam Syafi’i juga menafsirkan makna bai’atain fi bai’ah
maksudnya adalah mensyaratkan jual beli dalam jual beli (contoh: saya jual
mobil ini kepada bapak, dengan syarat bapak jual motor bapak kepada saya dengan
harga sekian).
f. Penafsiran Keenam
Penafsiran ini mirip dengan yang kelima, hanya saja yang
disyaratkan bukan hanya jual beli saja tapi termasuk hal-hal lain seperti
pemanfaatan barang (contoh: saya jual rumah ini sekarang dengan syarat saya
tempati dulu rumahnya selama sebulan). Penafsiran ini adalah pendapat kalangan
hanafiyyah.
g. Penafsiran Ketujuh
Bai’atain fi ba’iah menurut penafsiran ketujuh adalah dua
jual beli dalam satu akad salam. Contohnya A memesan barang kepada B dengan
pembayaran di muka seharga seratus ribu, barang tersebut akan diserahkan minggu
depan. Setelah seminggu, B tidak bisa menyerahkan barang yang dipesan A,
sehingga B kemudian berkata kepada A, “Saya beli kembali barang pesanan kamu
yang belum bisa saya berikan sekarang seharga seratus lima puluh ribu, dibayar
selama dua minggu.” Pendapat ini adalah pendapat al-Khattabi.
Dari ketujuh penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa
mayoritas ulama menafsirkan bai’atain fi ba’iah bahwa maksudnya adalah jual
beli satu barang dengan dua harga sekaligus yaitu harga tunai dan harga kredit,
di mana harga kredit lebih mahal dari harga tunainya. Namun jika terjadi
tawar-menawar sehingga pembeli menentukan harga mana yang dia ambil –apakah
harga tunai atau harga kredit—maka tidak termasuk ke dalam kategori bai’atain
fi ba’iah.[9] Jual-beli semacam ini
dilarang karena ada unsur gharar (Ketidakjelasan) dalam harga barang.
Pendapat mayoritas ulama inilah yang kemudian dipilih oleh
ulama-ulama kontemporer seperti Dr. Nazih Hammad dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di
Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura dan Dr. Ali Muhyiddin dosen Fiqih dan
Ushul Fiqih di Fakultas Syariah & Qanun Universitas Qatar dan juga pakar
fiqih dan ekonomi Islam Majma’ al-Fiqh al-Islami di Mekkah dan Jeddah Arab
Saudi.
Dr. Ali Muhyiddin memilih pendapat mayoritas ulama dalam
menafsirkan bai’atain fi bai’ah dengan alasan bahwa salah satu yang menafsirkan
demikian adalah Ibnu Mas’ud rahiyallahuanhu, seorang sahabat Nabi yang secara
langsung meriwayatkan hadits tentang larangan bai’atain fi bai’ah ini dari Nabi
Muhammad SAW. Sehingga menurutnya, tafsir Ibnu Mas’ud lebih diutamakan daripada
tafsir yang lainnya sebab perawi hadits lebih memahami apa yang diriwayatkannya
dibanding orang lain. [10]
Selain itu pendapat ini juga lebih dikuatkan oleh salah
seorang tabi’in yang bernama Sammak yang juga merupakan perawi hadits larangan
bai’atain fi bai’ah. Sehingga penafsirannya juga lebih diutamakan daripada
tafsir yang lainnya ketika terjadi perbedaan. Di antara ulama salaf yang
mendukung penafsiran ini adalah ats-Tsauri, Masruq, Abu Sulaiman, Ibnu Sirin,
Thawus, al-Auza’i, Imam an-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu al-Atsir, Abu ‘Ubaid dan
lain-lain. [11]
Sedangkan Dr. Nazih Hammad berpendapat bahwa di antara
penafsiran yang ada, hanya ada dua penafsiran yang menurut beliau paling
relevan dengan hadits larangan bai’atain fi bai’ah. Keduanya itu adalah
penafsiran jumhur seperti yang dikemukakan di atas dan penafsiran Ibnu
Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim bahwa yang dimaksud dengan bai’atain fi bai’ah
adalah bai’ al-‘inah (jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan
pinjaman berbunga). Sedangkan penafsiran-penafsiran yang lain dianggap kurang
relevan untuk merepresentasikan makna bai’atain fi bai’ah. [12]
Menurutnya, penafsiran mayoritas ulama dianggap tepat masuk
ke dalam kategori transaksi yang dilarang karena ada ‘illah (alasan hukum)-nya
yaitu gharar (ketidakjelasan) dalam nilai/harga barang. sedangkan penafsiran
Ibnu Taimiyyah juga dianggap relevan karena memiliki ‘illah riba yang jelas
dilarang dalam syariah. [13]
2. Ketentuan-ketentuan Hukum Multi akad
Hukum multi akad (melakukan dua akad dalam satu kali
transaksi) tidak semua dilarang dan haram tergantung kepada jenis akadnya. Ibnu
Taimiyyah mengatakan hukum mua’amalat di dunia pada dasarnya adalah boleh
kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang haram
kecuali apa yang Allah haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang Allah
syariatkan.[14] Ibnu al-Qayyim juga mengatakan, “Hukum asal dalam akad
(perikatan) dan persyaratan adalah sah kecuali apa yang dianggap batal dan
dilarang oleh syari’.” [15]
Maka dari itu para ulama kemudian mencari dalil pengecualian
untuk menentukan keharaman multi akad lalu kemudian merumuskan
ketentuan-ketentuan untuk membedakan mana multiakad yang halal dan mana yang
haram.
Dr. Nazih Hammad merangkum setidaknya ada tiga ketentuan
yang dirumuskan oleh para ulama untk memberikan batasan terhadap hukum multi
akad.[16]
a. Tidak Ada Nash Syar’i Yang Melarang
Multi akad yang boleh adalah yang tidak terdapat nash syar’i
yang menyatakan keharamannya. Setidaknya ada tiga nash hadits yang menyatakan
larangan multi akad, pertama larangan bai’atain fi bai’ah, kedua larangan
shafqatain fi shafqah dan ketiga larangan bai’ wa salaf.
Hadits larangan pertama dan kedua tentang bai’atain fi bai’ah
dan shafqatain fi shafqah sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya. Di mana
penafsiran yang paling kuat bahwa yang dimaksud dengan keduanya adalah jual
beli dengan dua harga sekaligus yang mengakibatkan timbulnya gharar atau jual
beli ‘inah yang mempunyai ‘illat riba.
Sedangkan larangan yang ketiga yaitu larangan bai’ wa salaf
(menggabungkan jual-beli dan hutang) barsumber dari hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam
Malik bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang gabungan jual-beli dan hutang.
Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. [17]
Ishaq bin Manshur –sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Ali
Muhyiddin—bertanya kepada Imam Ahmad tentang makna dari menggabungkan jual beli
dan hutang, kemudian Imam Ahmad menjawab, “Seseorang memberi pinjaman kepada
orang lain sekaligus menjual sesuatu kepadanya dengan harga yang dilebihkan.
Atau dia memberinya pinjaman sekaligus mengambil barangnya (sebagai jaminan)
dengan perjanjian kalau dia tidak bisa membayar maka barang tersebut otomatis
dia beli seharga uang yang dia pinjamkan.”[18]
Dr. Ali Muhyiddin kemudian menjelaskan maksud dari
penafsiran Imam Ahmad yang pertama adalah adanya rekayasa ke arah riba, di mana
orang yang diberi pinjaman disyaratkan oleh pemberi pinjaman untuk membeli
barangnya dengan harga yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut dilarang karena
termasuk ke dalam nilai tambah yang diambil oleh pemberi pinjaman atas hutang
yang dia berikan. Sedangkan penafsiran kedua, dilarang karena adanya unsur
ketidakjelasan status akad antara jual beli atau hutang.[19]
b. Tidak Mengarah Kepada Hal Yang Dilarang
Termasuk multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang
pada dasarnya jika berdiri sendiri hukumnya boleh, tetapi kemudian direkayasa
untuk mengarah kepada hal yang dilarang. Contohnya jual beli ‘inah (menjual
barang secara kredit lalu dibeli kembali secara tunai dengan harga yang lebih
murah). yang mana jika akad jual beli-nya berdiri sendiri hukumnya boleh namun
ketika digabung, mengarah kepada hal yang dilarang yaitu riba.
c. Tidak Memiliki Konsekuensi Hukum Yang Bertolak-belakang
Dr. Nazih Hammad mengutip pendapat jumhur ulama bahwa
akad-akad yang digabung walaupun memiliki perbedaan syarat atau hukum pada
dasarnya boleh sebab hukum asal dalam muamalah adalah boleh dan halal kecuali
jika ada dalil yang melarang.
Akan tetapi jika akad-akad yang digabung tersebut memiliki
konsekuensi yang saling bertolak belakang maka hukumnya haram. Contohnya,
menjual barang sekaligus menghibahkannya, atau menghibahkan sesuatu sekaligus
menyewakannya.[20]
D. Hukum Transaksi Go-Food
Di atas sudah kita
jelaskan secara rinci hadits tentang larangan multi akad, baik yang memakai
redaksi bai’atain fi bai’ah, shafqatain fi shafqah, maupun bai’ wa salaf dan
bagaimana penafsiran para ulama terhadap hadits-hadits tersebut. Di samping
itu, di atas juga sudah dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan multi akad
dalam perspektif ilmu fiqih.
Permasalahan kita kemudian adalah apakah larangan-larangan
dalam hadits tersebut relevan untuk kita terapkan pada transaksi GO-FOOD di
mana sebagian kalangan mengharamkan transaksi tersebut karena dianggap termasuk
ke dalam kategori multi akad yang dilarang. Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
tentu kita harus perjelas terlebih dahulu bagaimana skema yang terjadi pada
transaksi tersebu
1. Prosedur Pemesanan Makanan Dengan go-Food
Cara melakukan pemesanan makanan melalui Go-Food adalah
dengan mengklik fitur Go-Food pada aplikasi GO-JEK. Nantinya akan muncul
berbagai macam restoran dan rumah makan yang terlacak sesuai dengan lokasi
disekitar pengguna. Selanjutnya pengguna mulai bisa memilih menu makanan yang
akan dipesan. Setelah menyetujui pesanan, maka pengguna tinggal menunggu
makanan diantar pihak GO-JEK.
Saat menunggu pesanan datang, pengguna bisa melacak
keberadaan kurir dan menghubunginya jika pesanan belum juga datang dalam waktu
lama. Mengenai pembayaran, menu makanan yang telah dipesan akan dibayar dulu
(ditalangi sementara) oleh pihak GO-JEK. Ketika makanan telah sampai, barulah
pengguna membayar dengan uang tunai atau melalui GO-JEK Kredit. [21]
Mengenai ketentuan pembayaran, disebutkan dalam website
resmi go-jek.com sebagai berikut : [22]
Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai
dengan tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan
oleh Penyedia Layanan kepada Anda dalam menggunakan layanan Pengiriman Makanan
dan Pembelanjaan Pribadi.
Makanan atau barang yang dipesan dengan layanan Pengiriman
Makanan dan Pembelanjaan Pribadi harus dibayar tunai pada saat penyerahan
makanan atau barang jika nilai makanan atau barang di bawah Rp1.000.000 (satu
juta Rupiah).
Setiap pemesanan layanan Pengiriman Makanan atau layanan
Pembelanjaan Pribadi untuk barang atau makanan dengan total harga lebih dari
Rp1.000.000, - (satu juta rupiah) harus dibayar tunai dimuka kepada Penyedia
Layanan sebelum pelaksanaan Layanan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan skema
pembelian makanan dengan GO-FOOD adalah sebagai berikut:
Pelanggan memesan makanan tertentu kepada driver (pengemudi
GO-JEK) dengan menggunakan aplikasi di smartphone.
Driver menerima pesanan tersebut kemudian membelikannya di
tempat yang diminta.
Driver menalangi pembayaran pesanan dengan uang pribadinya.
Driver mengantar pesanan tersbut kepada pelanggan.
Pelanggan membayar biaya antar
Pelanggan mengganti biaya pembelian pesanan kepada driver.
2. Tinjauan Fiqih Terhadap Skema Transaksi Go-Food
Dari skema yang telah dipaparkan di atas, dipahami bahwa ada
dua akad yang terjadi dalam transaksi tersebut, yaitu akad ijarah dan akad
qardh.
Akad ijarah (sewa) terjadi pada saat pelanggan meminta
driver untuk mengantarkan makanan pesanannya ke tempatnya, lalu kemudian
pelanggan membayar ongkos kirim kepada driver tersebut. Pelanggan, di sini
berlaku sebagai mu’jir (penyewa jasa), sedangkan driver sebagai ajir (penyedia
jasa), dan ongkos kirim yang dibayarkan sebagai ujrah (upah)nya.
Sedangkan akad qardh (hutang) terjadi ketika driver
menalangi pembayaran pesanan dari pelanggan yang kemudian diganti oleh
pelanggan pada saat driver mengantarkan pesanan tersebut. Maka driver berlaku
sebagai muqridh (pemberi pinjaman) dan pelanggan sebagai muqtaridh (peminjam).
Maka dalam hal ini transaksi Go-Food menggabungkan dua akad
sekaligus yaitu ijarah dan qardh. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah
gabungan dua akad ini masuk ke dalam kategori gabungan akad yang diharamkan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan coba
mencocokkan skema transaksi Go-Food dengan ketentuan multi akad yang sudah
dibahas di pembahasan sebelumnya.
Pada ketentuan pertama, multi akad yang diharamkan adalah
multi akad yang masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah/shafqatain fi shafqah
atau bai’ wa salaf. Penafsiran bai’atain fi bai’ah paling kuat menurut
mayoritas ulama adalah jual beli dengan dua harga tanpa ditentukan harga mana
yang diambil. Jika mengacu pada penafsiran ini, jelas transaksi Go-Food tidak
masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena harga makanan yang
ditagihkan kepada pelanggan adalah harga pasti yang sesuai dengan harga toko di
mana makanan itu dijual. [23]
Sedangkan penafsiran lain dari bai’atain fi bai’ah yang
dianggap relevan oleh Dr. Nazih Hammad adalah penafsiran Ibnu Taimiyyah dan
Ibnul Qayyim yaitu jual beli ‘inah (jual beli kamuflase untuk mendapatkan
pinjaman berbunga). Dengan penafsiran ini pun transaksi Go-Food tidak masuk ke
dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena praktek jual beli ‘inah sama sekali
tidak terjadi dalam skema transaksinya.
Kemudian apakah transaksi Go-Food termasuk ke dalam kategori
bai wa salaf (gabungan akad jual beli dan hutang)? Sekilas memang sepertinya
transaksi di dalam Go-Food menggabungkan antara jual beli dan hutang, karena
ijarah termasuk ke dalam jual beli jasa/manfaat. Tetapi tentu saja hadits
larangan bai wa salaf tidak dipahami oleh para ulama secara tekstual.
Jika kita merujuk kepada penafsiran Imam Ahmad, yang juga
dipilih oleh Dr. Ali Muhyiddin, bahwa yang dimaksud menggabungkan jual beli dan
hutang adalah yang sifatnya mengarah kepada riba yaitu jika si pemberi pinjaman
mensyaratkan kepada peminjam untuk membeli barang darinya dengan harga yang
dilebihkan.
Artinya di sini si pemberi pinjaman mengeksploitasi si
peminjam dengan mengambil manfaat darinya berupa pembelian barang dengan harga
mahal, dan dengan terpaksa si peminjam menerima hal itu karena kebutuhan akan
pinjaman tersebut. Dengan kata lain si pemberi pinjaman di sini menjadi pihak
yang dominan.
Dalam transaksi Go-Food hal tersebut tidak terjadi karena
driver sebagai pemberi pinjaman (muqridh) tidak menjadi pihak yang dominan dan
tidak menerima manfaat dari pelanggan berupa mark-up harga makanan yang dipesan oleh pelanggan,
melainkan harga yang dibayarkan adalah harga yang sama dengan harga normal yang
dijual di toko atau restoran.
Sehingga ‘illat riba di sini tidak ada karena pinjaman yang
diberikan oleh driver hanya karena alasan kepraktisan semata, bukan dengan
tujuan ingin mendapatkan nilai tambah atas pinjaman tersebut.
Kemudian jika melihat ketentuan hukum multi akad yang kedua
di mana yang diharamkan adalah multi akad yang direkayasa untuk mengarah kepada
hal yang dilarang, maka transaksi Go-Food juga tidak memenuhi kriteria
tersebut. Karena akad ijarah dan akad qardh di dalamnya tidak dilakukan untuk
rekayasa kepada hal yang dilarang melainkan akad qardh terjadi karena sekedar
‘efek samping’ dari transaksi tersebut.
Begitu juga dalam ketentuan ketiga disebutkan bahwa multi
akad yang dilarang adalah jika akad-akad yang digabung menghasilkan konsekuensi
hukum yang saling bertolak belakang. Sedangkan akad ijarah dan qardh dalam
transaksi Go-Food sama sekali tidak bertolak belakang, melainkan justru saling
menopang dan memudahkan.
Sebab jika driver tidak menalangi pembayaran, pemesan akan
kesulitan karena harus mentransfer uang terlebih dahulu ke rekening driver.
Maka untuk alasan kemudahan itulah kemudian driver melakukan akad qardh dengan
menalangi pembelian makanan yang dipesan oleh pelanggan. Dan pelanggan tinggal
menggantinya ketika driver telah sampai ke tempatnya.
E. Kesimpulan
Setelah melihat ketiga ketentuan hukum tentang multi akad
seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa transaksi
pemesanan makanan dengan Go-Food sama sekali tidak termasuk ke dalam kategori
multi akad yang diharamkan. Dengan demikian transaksi Go-Food hukumnya boleh
dan tidak melanggar ketentuan syariah.
Ditambah lagi, transaksi jual-beli secara online belakangan
ini menjadi kebutuhan, khususnya bagi masyarakat perkotaan yang biasanya
memiliki tingkat kesibukan yang tinggi, sehingga dengan adanya fitur jual beli
atau jasa antar online seperti Go-Food, bisa membantu dan memudahkan mereka
agar tidak perlu repot-repot mencari barang atau makanan yang ingin dibeli
keluar rumah atau kantor yang mana akan menghabiskan waktu dan tenaga ekstra
mengingat kondisi jalanan di perkotaan yang biasanya macet.
Wallahu Ta’ala A’lam.
[1] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, hadits No. 3783
(Muassasah Ar-Risalah, 2001), juz 6, hlm. 324.
[2] DR. Hamam Abdurrahman Sa’ide & DR. Muhammad Hamam
Abdurrahim, Mausu’ah Ahadits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah (Saudi, Dar
al-Kautsar cet. I, 1431 H), hlm. 233.
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, hadits No. 9584,
juz 15, hlm. 358.
[4] Dr. Hamam Abdurrahman Sa’id & Dr. Muhammad Hamam
Abdurrahim, Mausu’ah Ahadaits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah, hlm. 232-233.
[5] Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadits No. 3461 (Beirut,
al-Maktabah al-‘Ashriyyah), juz 3, hlm. 274.
[6] Mausu’ah Ahadaits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah, hlm.
231.
[7] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal
wa al-Iqtishad, hlm. 173.
[8] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait, Dar
as-Salasil cet. II, 1404-1427 H) juz 9, hlm. 264.
[9] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat
al-Maliyyah al-Mu’ashirah (Beirut, Darul Basyair al-Islamiyyah, cet. I tahun
2001), hlm. 366.
[10] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat
al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 372.
[11] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat
al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 372.
[12] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi
al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 180.
[13] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah
fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 180
[14] Ibnu Taimiyyah, Jami’ ar-Rasail (Riyadh, Darul ‘Atha
cet. 1 tahun 2001), juz 2, hlm. 317.
[15] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an
Rabbil ‘Alamin (Saudi, Dar Ibnul Jauzi cet. 1 tahun 1423 H), juz 3, hlm. 107.
[16] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi
al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 252.
[17] Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi (Mesir,
Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, cet. II tahun 1975), juz 3, hlm. 527.
[18] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat
al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.
[19] Lihat: Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat
al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.
[20] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah
fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 269.
[21] Lihat:
https://www.maxmanroe.com/go-food-layanan-delivery-makanan-terbaru-dari-go-jek.html
diakses pada tanggal 3 Juni 2017 pukul 11.37 WIB.
[22] Lihat: https://www.go-jek.com/terms diakses pada
tanggal 3 Juni 2017 pukul 13.30.
[23] Hal ini sebagaimana yang tertera dalam syarat dan
ketentuan transaksi GO-JEK di website resminya (www.go-jek.com/terms) yang
berbunyi: “Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai dengan
tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan oleh
Penyedia Layanan kepada Anda
Oleh Muhammad Abdul Wahab, Lc
Sumber www.rumahfiqih.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar