Jumat, 28 Juli 2017

Benarkah Go-Food Haram?





A. Pendahuluan

Transaski Go-Food sempat menjadi perbincangan dan perdebatan di kalangan masyarakat terkait keabsahannya dilihat dari sisi hukum syariah. Ada sebagian kalangan yang mengharamkan transaksi tersebut dengan alasan bahwa Go-Food mengandung multi akad (menggabungkan beberapa akad dalam satu transaksi), yang mana hal tersebut dilarang oleh Rasulullah dalam beberapa hadits.

Penulis akan mengkaji tinjauan hukum terhadap transaksi tersebut berlandaskan kepada hadits-hadits larangan multi akad dan bagaimana para ulama memahami hadits-hadits tersebut.

B. Hadits-hadits Multi Akad

Ada beberapa hadits yang menunjukkan keharaman multi akad (Shafqatain fi Shafqah/Ba’iatain fi Ba’iah), di antaranya adalah hadits-hadits berikut:

1. Hadits Pertama

عن عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود، عن أبيه، قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة  (رواه أحمد)
“Dari Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad) [1]

Status hadits: Hasan Lighairihi [2]

2. Hadits Kedua

عن أبي هريرة، قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة (رواه أحمد)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)[3]

Status hadits: sanad-nya hasan [4]

3. Hadits Ketiga

عن أبي هريرة، قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: من باع بيعتين في بيعة، فله أوكسهما أو الربا (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan dua jual beli dalam satu kali transaksi maka pilihan baginya nilai yang paling sedikit atau riba.” (HR. Abu Daud).[5]

Status hadits: sanad-nya dha’if (lemah) [6]

C. Fiqhul Hadits

Sekedar mengetahui hadits-hadits di atas beserta status keshahihannya masing-masing, belum bisa dijadikan modal untuk menyimpulkan hukum. Diperlukan kajian lebih mendalam terhadap pemahaman para ulama dalam menafsirkan hadits-hadits tersebut agar kita tidak salah memamahami isi kandungannya.

1. Pengertian Bai'atain fi Bai'ah Menurut Para Ulama

Para ulama secara umum sepakat bahwa hukum Ba’iatain fi Bai’ah adalah dilarang [7] berdasarkan hadits-hadits yang sudah dijelaskan di atas yang secara eksplisit menyatakan larangan terhadap hal tersebut. Namun mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dari istilah Ba’iatain fi Bai’ah itu sendiri. Setidaknya ada tujuh penafsiran istilah Ba’iatain fi Bai’ah menurut para ulama : [8]

a. Penafsiran Pertama

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ba’iatain fi Bai’ah adalah jual beli barang dengan dua pilihan harga, harga tunai dan harga kredit di mana harga kredit lebih mahal dari pada harga tunai. Di antara yang berpendapat demikian ialah Sammak, perawi hadits larangan Ba’iatain fi Bai’ah. Menurut tafsiran ini, menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal dari harga tunai adalah terlarang.

b. Penafsiran Kedua

Tafsiran kedua ini hampir mirip dengan yang pertama hanya saja dalam penafsiran kedua ini penjual dan pembeli sama-sama tidak menentukan harga mana yang diambil, apakah harga tunai atau harga kredit kemudian keduanya berpisah begitu saja padahal akad jual beli sudah terjadi. Di antara ulama yang berpendapat dengan tafsiran kedua ini di antaranya Abu ‘Ubaid, ats-Tsauri, Ishaq, ulama malikiyyah dan hanabilah.

c. Penafsiran Ketiga

Yang dimaksud Ba’iatain fi Bai’ah menurut penafsiran ketiga adalah jual beli satu barang dengan dua harga (contoh: saya jual barang ini dengan salah satu dari dua harga: satu dinar atau seekor kambing), atau menawarkan salah satu dari dua barang dengan satu harga (contoh: saya jual seekor kambing atau sepotong pakaian dengan harga satu dinar). Hal ini dilarang karena ada ketidakjelasan harga mana atau barang mana yang akan diambil. Penafsiran ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Baji.

d. Penafsiran Keempat

Menurut Ibnu al-Qayyim yang dimaksud dengan Ba’iatain fi Bai’ah adalah bai’ al-‘inah, yaitu jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman berbunga. Contohnya, A menjual barang kepada B seharga seratus ribu dicicil selama sebulan, dengan syarat setelah itu barang tersebut langsung dijual kembali kepada A dengan harga delapan puluh ribu secara tunai.

e. Penafsiran Kelima

Imam Syafi’i juga menafsirkan makna bai’atain fi bai’ah maksudnya adalah mensyaratkan jual beli dalam jual beli (contoh: saya jual mobil ini kepada bapak, dengan syarat bapak jual motor bapak kepada saya dengan harga sekian).

f. Penafsiran Keenam

Penafsiran ini mirip dengan yang kelima, hanya saja yang disyaratkan bukan hanya jual beli saja tapi termasuk hal-hal lain seperti pemanfaatan barang (contoh: saya jual rumah ini sekarang dengan syarat saya tempati dulu rumahnya selama sebulan). Penafsiran ini adalah pendapat kalangan hanafiyyah.

g. Penafsiran Ketujuh

Bai’atain fi ba’iah menurut penafsiran ketujuh adalah dua jual beli dalam satu akad salam. Contohnya A memesan barang kepada B dengan pembayaran di muka seharga seratus ribu, barang tersebut akan diserahkan minggu depan. Setelah seminggu, B tidak bisa menyerahkan barang yang dipesan A, sehingga B kemudian berkata kepada A, “Saya beli kembali barang pesanan kamu yang belum bisa saya berikan sekarang seharga seratus lima puluh ribu, dibayar selama dua minggu.” Pendapat ini adalah pendapat al-Khattabi.

Dari ketujuh penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama menafsirkan bai’atain fi ba’iah bahwa maksudnya adalah jual beli satu barang dengan dua harga sekaligus yaitu harga tunai dan harga kredit, di mana harga kredit lebih mahal dari harga tunainya. Namun jika terjadi tawar-menawar sehingga pembeli menentukan harga mana yang dia ambil –apakah harga tunai atau harga kredit—maka tidak termasuk ke dalam kategori bai’atain fi ba’iah.[9]  Jual-beli semacam ini dilarang karena ada unsur gharar (Ketidakjelasan) dalam harga barang.

Pendapat mayoritas ulama inilah yang kemudian dipilih oleh ulama-ulama kontemporer seperti Dr. Nazih Hammad dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura dan Dr. Ali Muhyiddin dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Fakultas Syariah & Qanun Universitas Qatar dan juga pakar fiqih dan ekonomi Islam Majma’ al-Fiqh al-Islami di Mekkah dan Jeddah Arab Saudi.

Dr. Ali Muhyiddin memilih pendapat mayoritas ulama dalam menafsirkan bai’atain fi bai’ah dengan alasan bahwa salah satu yang menafsirkan demikian adalah Ibnu Mas’ud rahiyallahuanhu, seorang sahabat Nabi yang secara langsung meriwayatkan hadits tentang larangan bai’atain fi bai’ah ini dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga menurutnya, tafsir Ibnu Mas’ud lebih diutamakan daripada tafsir yang lainnya sebab perawi hadits lebih memahami apa yang diriwayatkannya dibanding orang lain. [10]

Selain itu pendapat ini juga lebih dikuatkan oleh salah seorang tabi’in yang bernama Sammak yang juga merupakan perawi hadits larangan bai’atain fi bai’ah. Sehingga penafsirannya juga lebih diutamakan daripada tafsir yang lainnya ketika terjadi perbedaan. Di antara ulama salaf yang mendukung penafsiran ini adalah ats-Tsauri, Masruq, Abu Sulaiman, Ibnu Sirin, Thawus, al-Auza’i, Imam an-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu al-Atsir, Abu ‘Ubaid dan lain-lain. [11]

Sedangkan Dr. Nazih Hammad berpendapat bahwa di antara penafsiran yang ada, hanya ada dua penafsiran yang menurut beliau paling relevan dengan hadits larangan bai’atain fi bai’ah. Keduanya itu adalah penafsiran jumhur seperti yang dikemukakan di atas dan penafsiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim bahwa yang dimaksud dengan bai’atain fi bai’ah adalah bai’ al-‘inah (jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman berbunga). Sedangkan penafsiran-penafsiran yang lain dianggap kurang relevan untuk merepresentasikan makna bai’atain fi bai’ah. [12]

Menurutnya, penafsiran mayoritas ulama dianggap tepat masuk ke dalam kategori transaksi yang dilarang karena ada ‘illah (alasan hukum)-nya yaitu gharar (ketidakjelasan) dalam nilai/harga barang. sedangkan penafsiran Ibnu Taimiyyah juga dianggap relevan karena memiliki ‘illah riba yang jelas dilarang dalam syariah. [13]

2. Ketentuan-ketentuan Hukum Multi akad

Hukum multi akad (melakukan dua akad dalam satu kali transaksi) tidak semua dilarang dan haram tergantung kepada jenis akadnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan hukum mua’amalat di dunia pada dasarnya adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang haram kecuali apa yang Allah haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang Allah syariatkan.[14] Ibnu al-Qayyim juga mengatakan, “Hukum asal dalam akad (perikatan) dan persyaratan adalah sah kecuali apa yang dianggap batal dan dilarang oleh syari’.” [15]

Maka dari itu para ulama kemudian mencari dalil pengecualian untuk menentukan keharaman multi akad lalu kemudian merumuskan ketentuan-ketentuan untuk membedakan mana multiakad yang halal dan mana yang haram.

Dr. Nazih Hammad merangkum setidaknya ada tiga ketentuan yang dirumuskan oleh para ulama untk memberikan batasan terhadap hukum multi akad.[16]

a. Tidak Ada Nash Syar’i Yang Melarang

Multi akad yang boleh adalah yang tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan keharamannya. Setidaknya ada tiga nash hadits yang menyatakan larangan multi akad, pertama larangan bai’atain fi bai’ah, kedua larangan shafqatain fi shafqah dan ketiga larangan bai’ wa salaf.

Hadits larangan pertama dan kedua tentang bai’atain fi bai’ah dan shafqatain fi shafqah sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya. Di mana penafsiran yang paling kuat bahwa yang dimaksud dengan keduanya adalah jual beli dengan dua harga sekaligus yang mengakibatkan timbulnya gharar atau jual beli ‘inah yang mempunyai ‘illat riba.

Sedangkan larangan yang ketiga yaitu larangan bai’ wa salaf (menggabungkan jual-beli dan hutang) barsumber dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang gabungan jual-beli dan hutang. Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. [17]

Ishaq bin Manshur –sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Ali Muhyiddin—bertanya kepada Imam Ahmad tentang makna dari menggabungkan jual beli dan hutang, kemudian Imam Ahmad menjawab, “Seseorang memberi pinjaman kepada orang lain sekaligus menjual sesuatu kepadanya dengan harga yang dilebihkan. Atau dia memberinya pinjaman sekaligus mengambil barangnya (sebagai jaminan) dengan perjanjian kalau dia tidak bisa membayar maka barang tersebut otomatis dia beli seharga uang yang dia pinjamkan.”[18]

Dr. Ali Muhyiddin kemudian menjelaskan maksud dari penafsiran Imam Ahmad yang pertama adalah adanya rekayasa ke arah riba, di mana orang yang diberi pinjaman disyaratkan oleh pemberi pinjaman untuk membeli barangnya dengan harga yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut dilarang karena termasuk ke dalam nilai tambah yang diambil oleh pemberi pinjaman atas hutang yang dia berikan. Sedangkan penafsiran kedua, dilarang karena adanya unsur ketidakjelasan status akad antara jual beli atau hutang.[19]

b. Tidak Mengarah Kepada Hal Yang Dilarang

Termasuk multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang pada dasarnya jika berdiri sendiri hukumnya boleh, tetapi kemudian direkayasa untuk mengarah kepada hal yang dilarang. Contohnya jual beli ‘inah (menjual barang secara kredit lalu dibeli kembali secara tunai dengan harga yang lebih murah). yang mana jika akad jual beli-nya berdiri sendiri hukumnya boleh namun ketika digabung, mengarah kepada hal yang dilarang yaitu riba.

c. Tidak Memiliki Konsekuensi Hukum Yang Bertolak-belakang

Dr. Nazih Hammad mengutip pendapat jumhur ulama bahwa akad-akad yang digabung walaupun memiliki perbedaan syarat atau hukum pada dasarnya boleh sebab hukum asal dalam muamalah adalah boleh dan halal kecuali jika ada dalil yang melarang.

Akan tetapi jika akad-akad yang digabung tersebut memiliki konsekuensi yang saling bertolak belakang maka hukumnya haram. Contohnya, menjual barang sekaligus menghibahkannya, atau menghibahkan sesuatu sekaligus menyewakannya.[20]

D. Hukum Transaksi Go-Food

Di atas sudah  kita jelaskan secara rinci hadits tentang larangan multi akad, baik yang memakai redaksi bai’atain fi bai’ah, shafqatain fi shafqah, maupun bai’ wa salaf dan bagaimana penafsiran para ulama terhadap hadits-hadits tersebut. Di samping itu, di atas juga sudah dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan multi akad dalam perspektif ilmu fiqih.

Permasalahan kita kemudian adalah apakah larangan-larangan dalam hadits tersebut relevan untuk kita terapkan pada transaksi GO-FOOD di mana sebagian kalangan mengharamkan transaksi tersebut karena dianggap termasuk ke dalam kategori multi akad yang dilarang. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita harus perjelas terlebih dahulu bagaimana skema yang terjadi pada transaksi tersebu

1. Prosedur Pemesanan Makanan Dengan go-Food

Cara melakukan pemesanan makanan melalui Go-Food adalah dengan mengklik fitur Go-Food pada aplikasi GO-JEK. Nantinya akan muncul berbagai macam restoran dan rumah makan yang terlacak sesuai dengan lokasi disekitar pengguna. Selanjutnya pengguna mulai bisa memilih menu makanan yang akan dipesan. Setelah menyetujui pesanan, maka pengguna tinggal menunggu makanan diantar pihak GO-JEK.

Saat menunggu pesanan datang, pengguna bisa melacak keberadaan kurir dan menghubunginya jika pesanan belum juga datang dalam waktu lama. Mengenai pembayaran, menu makanan yang telah dipesan akan dibayar dulu (ditalangi sementara) oleh pihak GO-JEK. Ketika makanan telah sampai, barulah pengguna membayar dengan uang tunai atau melalui GO-JEK Kredit. [21]

Mengenai ketentuan pembayaran, disebutkan dalam website resmi go-jek.com sebagai berikut : [22]

Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai dengan tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan oleh Penyedia Layanan kepada Anda dalam menggunakan layanan Pengiriman Makanan dan Pembelanjaan Pribadi.
Makanan atau barang yang dipesan dengan layanan Pengiriman Makanan dan Pembelanjaan Pribadi harus dibayar tunai pada saat penyerahan makanan atau barang jika nilai makanan atau barang di bawah Rp1.000.000 (satu juta Rupiah).
Setiap pemesanan layanan Pengiriman Makanan atau layanan Pembelanjaan Pribadi untuk barang atau makanan dengan total harga lebih dari Rp1.000.000, - (satu juta rupiah) harus dibayar tunai dimuka kepada Penyedia Layanan sebelum pelaksanaan Layanan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan skema pembelian makanan dengan GO-FOOD adalah sebagai berikut:

Pelanggan memesan makanan tertentu kepada driver (pengemudi GO-JEK) dengan menggunakan aplikasi di smartphone.
Driver menerima pesanan tersebut kemudian membelikannya di tempat yang diminta.
Driver menalangi pembayaran pesanan dengan uang pribadinya.
Driver mengantar pesanan tersbut kepada pelanggan.
Pelanggan membayar biaya antar
Pelanggan mengganti biaya pembelian pesanan kepada driver.
2. Tinjauan Fiqih Terhadap Skema Transaksi Go-Food

Dari skema yang telah dipaparkan di atas, dipahami bahwa ada dua akad yang terjadi dalam transaksi tersebut, yaitu akad ijarah dan akad qardh.

Akad ijarah (sewa) terjadi pada saat pelanggan meminta driver untuk mengantarkan makanan pesanannya ke tempatnya, lalu kemudian pelanggan membayar ongkos kirim kepada driver tersebut. Pelanggan, di sini berlaku sebagai mu’jir (penyewa jasa), sedangkan driver sebagai ajir (penyedia jasa), dan ongkos kirim yang dibayarkan sebagai ujrah (upah)nya.

Sedangkan akad qardh (hutang) terjadi ketika driver menalangi pembayaran pesanan dari pelanggan yang kemudian diganti oleh pelanggan pada saat driver mengantarkan pesanan tersebut. Maka driver berlaku sebagai muqridh (pemberi pinjaman) dan pelanggan sebagai muqtaridh (peminjam).

Maka dalam hal ini transaksi Go-Food menggabungkan dua akad sekaligus yaitu ijarah dan qardh. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah gabungan dua akad ini masuk ke dalam kategori gabungan akad yang diharamkan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan coba mencocokkan skema transaksi Go-Food dengan ketentuan multi akad yang sudah dibahas di pembahasan sebelumnya.

Pada ketentuan pertama, multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah/shafqatain fi shafqah atau bai’ wa salaf. Penafsiran bai’atain fi bai’ah paling kuat menurut mayoritas ulama adalah jual beli dengan dua harga tanpa ditentukan harga mana yang diambil. Jika mengacu pada penafsiran ini, jelas transaksi Go-Food tidak masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena harga makanan yang ditagihkan kepada pelanggan adalah harga pasti yang sesuai dengan harga toko di mana makanan itu dijual. [23]

Sedangkan penafsiran lain dari bai’atain fi bai’ah yang dianggap relevan oleh Dr. Nazih Hammad adalah penafsiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim yaitu jual beli ‘inah (jual beli kamuflase untuk mendapatkan pinjaman berbunga). Dengan penafsiran ini pun transaksi Go-Food tidak masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena praktek jual beli ‘inah sama sekali tidak terjadi dalam skema transaksinya.

Kemudian apakah transaksi Go-Food termasuk ke dalam kategori bai wa salaf (gabungan akad jual beli dan hutang)? Sekilas memang sepertinya transaksi di dalam Go-Food menggabungkan antara jual beli dan hutang, karena ijarah termasuk ke dalam jual beli jasa/manfaat. Tetapi tentu saja hadits larangan bai wa salaf tidak dipahami oleh para ulama secara tekstual.

Jika kita merujuk kepada penafsiran Imam Ahmad, yang juga dipilih oleh Dr. Ali Muhyiddin, bahwa yang dimaksud menggabungkan jual beli dan hutang adalah yang sifatnya mengarah kepada riba yaitu jika si pemberi pinjaman mensyaratkan kepada peminjam untuk membeli barang darinya dengan harga yang dilebihkan.

Artinya di sini si pemberi pinjaman mengeksploitasi si peminjam dengan mengambil manfaat darinya berupa pembelian barang dengan harga mahal, dan dengan terpaksa si peminjam menerima hal itu karena kebutuhan akan pinjaman tersebut. Dengan kata lain si pemberi pinjaman di sini menjadi pihak yang dominan.

Dalam transaksi Go-Food hal tersebut tidak terjadi karena driver sebagai pemberi pinjaman (muqridh) tidak menjadi pihak yang dominan dan tidak menerima manfaat dari pelanggan berupa mark-up  harga makanan yang dipesan oleh pelanggan, melainkan harga yang dibayarkan adalah harga yang sama dengan harga normal yang dijual di toko atau restoran.

Sehingga ‘illat riba di sini tidak ada karena pinjaman yang diberikan oleh driver hanya karena alasan kepraktisan semata, bukan dengan tujuan ingin mendapatkan nilai tambah atas pinjaman tersebut.

Kemudian jika melihat ketentuan hukum multi akad yang kedua di mana yang diharamkan adalah multi akad yang direkayasa untuk mengarah kepada hal yang dilarang, maka transaksi Go-Food juga tidak memenuhi kriteria tersebut. Karena akad ijarah dan akad qardh di dalamnya tidak dilakukan untuk rekayasa kepada hal yang dilarang melainkan akad qardh terjadi karena sekedar ‘efek samping’ dari transaksi tersebut.

Begitu juga dalam ketentuan ketiga disebutkan bahwa multi akad yang dilarang adalah jika akad-akad yang digabung menghasilkan konsekuensi hukum yang saling bertolak belakang. Sedangkan akad ijarah dan qardh dalam transaksi Go-Food sama sekali tidak bertolak belakang, melainkan justru saling menopang dan memudahkan.

Sebab jika driver tidak menalangi pembayaran, pemesan akan kesulitan karena harus mentransfer uang terlebih dahulu ke rekening driver. Maka untuk alasan kemudahan itulah kemudian driver melakukan akad qardh dengan menalangi pembelian makanan yang dipesan oleh pelanggan. Dan pelanggan tinggal menggantinya ketika driver telah sampai ke tempatnya.

E. Kesimpulan

Setelah melihat ketiga ketentuan hukum tentang multi akad seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa transaksi pemesanan makanan dengan Go-Food sama sekali tidak termasuk ke dalam kategori multi akad yang diharamkan. Dengan demikian transaksi Go-Food hukumnya boleh dan tidak melanggar ketentuan syariah.

Ditambah lagi, transaksi jual-beli secara online belakangan ini menjadi kebutuhan, khususnya bagi masyarakat perkotaan yang biasanya memiliki tingkat kesibukan yang tinggi, sehingga dengan adanya fitur jual beli atau jasa antar online seperti Go-Food, bisa membantu dan memudahkan mereka agar tidak perlu repot-repot mencari barang atau makanan yang ingin dibeli keluar rumah atau kantor yang mana akan menghabiskan waktu dan tenaga ekstra mengingat kondisi jalanan di perkotaan yang biasanya macet.

Wallahu Ta’ala A’lam.

[1] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, hadits No. 3783 (Muassasah Ar-Risalah, 2001), juz 6, hlm. 324.
[2] DR. Hamam Abdurrahman Sa’ide & DR. Muhammad Hamam Abdurrahim, Mausu’ah Ahadits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah (Saudi, Dar al-Kautsar cet. I, 1431 H), hlm. 233.
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, hadits No. 9584, juz 15, hlm. 358.
[4] Dr. Hamam Abdurrahman Sa’id & Dr. Muhammad Hamam Abdurrahim, Mausu’ah Ahadaits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah, hlm. 232-233.
[5] Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadits No. 3461 (Beirut, al-Maktabah al-‘Ashriyyah), juz 3, hlm. 274.
[6] Mausu’ah Ahadaits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah, hlm. 231.
[7] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 173.
[8] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait, Dar as-Salasil cet. II, 1404-1427 H) juz 9, hlm. 264.
[9] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah (Beirut, Darul Basyair al-Islamiyyah, cet. I tahun 2001), hlm. 366.
[10] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 372.
[11] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 372.
[12] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 180.
[13] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 180
[14] Ibnu Taimiyyah, Jami’ ar-Rasail (Riyadh, Darul ‘Atha cet. 1 tahun 2001), juz 2, hlm. 317.
[15] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (Saudi, Dar Ibnul Jauzi cet. 1 tahun 1423 H), juz 3, hlm. 107.
[16] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 252.
[17] Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi (Mesir, Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, cet. II tahun 1975), juz 3, hlm. 527.
[18] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.
[19] Lihat: Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.
[20] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 269.
[21] Lihat: https://www.maxmanroe.com/go-food-layanan-delivery-makanan-terbaru-dari-go-jek.html diakses pada tanggal 3 Juni 2017 pukul 11.37 WIB.
[22] Lihat: https://www.go-jek.com/terms diakses pada tanggal 3 Juni 2017 pukul 13.30.
[23] Hal ini sebagaimana yang tertera dalam syarat dan ketentuan transaksi GO-JEK di website resminya (www.go-jek.com/terms) yang berbunyi: “Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai dengan tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan oleh Penyedia Layanan kepada Anda




Oleh Muhammad Abdul Wahab, Lc
Sumber www.rumahfiqih.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar