Harta halal adalah semua harta dan hasil bisnis yang dihalalkan Allah baik sumber, zat maupun cara memperolehnya, sedangkan harta haram adalah harta yang bersumber dari bisnis barang yang diharamkan seperti jual beli narkoba, judi, pelacuran dan sejenisnya. Atau cara mendapatkan harta tersebut dengan menipu, merampok, korupsi dan zalim.
Lalu bagaimana hukumnya jika harta yang diperoleh tercampur sumber halal dan haram?
A. Utamakan yang Halal
Allah menganjurkan manusia mengkonsumi yang halal seperti dalam firman-Nya:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah:172)
Rasulullah bersabda:
إن الله طيب لا يقبل إلا طيباً
“Allah itu baik dan Ia tidak menerima kecuali perkara yang baik (halal)” (HR. Muslim)
Nabi juga menegaskan:
كل لحم نبت من سحت فالنار أولى به
“Setiap Daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih berhak baginya.” (HR. Thabrani).
B. Terkait dengan harta yang tercampur antara halal dan haram ulama berikut pandangan para ulama:
1. MAZHAB HAMBALI
Menurut ulama Mazhab Hambali, menyebutkan beberapa pendapat terkait dengan bercampurnya harta halal dan haram.
a. Haram mutlak
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram…” (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Jika tingkat keharamannya lebih dari 1/3 harta kepemilikan, maka haram semuanya, jika kurang maka tidak.
c. Apabila yang haram lebih banyak, maka hukumnya haram. Apabila harta yang halal lebih banyak, maka hartanya halal, karena yang sedikit ikut pada yang banyak.
d. Makruh, semakin besar atau sedikit kemakruhannya sesuai dengan kadar haram atau sedikit didalam harta tersebut. (Muhammad bin Muflih, Al-Furu’,Muassasah Ar-Risalah, 2003 juz 4/390)
2. MAZHAB SYAFI’I
Mazhab Syaifi’i membedakan, antara tahu dan tidak tahu, terkait harta yang bercampur antara halal dan haram. Jika tahu maka haram (menurut Imam Al-Ghazali) jika tidak tahu maka makruh (Imam Nawawi)
مُعَامَلَةُ مَنْ أَكْثَرُ مَالِهِ حَرَامٌ إذَا لَمْ يَعْرِفْ عَيْنَهُ لَا يَحْرُمُ فِي الْأَصَحِّ، لَكِنْ يُكْرَهُ وَكَذَا الْأَخْذُ مِنْ عَطَايَا السُّلْطَانِ إذَا غَلَبَ الْحَرَامُ فِي يَدِهِ كَمَا قَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ إنَّ الْمَشْهُورَ فِيهِ الْكَرَاهَةُ، لَا التَّحْرِيمُ، خِلَافًا لِلْغَزَالِيِّ
Transaksi seseorang yang mayoritas hartanya haram, jika tidak tahu, maka tidak haram menurut pendapat yang paling sahih akan tetapi MAKRUH. Begitu juga hukum menerima hadiah dari raja apabila mayoritas harta raja itu haram seperti pendapat Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab bahwa yang masyhur dalam masalah ini adalah makruh, bukan haram. Ini berbeda dengan pendapat Al-Ghazali (yg menyatakan haram)- (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa Nazair, Darul Kutub, 1411 H, juz 1/107)
3. MAZHAB MALIKI
Memiliki dua pendapat seperti mazhab Syafi’i:
a) Makruh
bahwa harta yang bercampur antara halal dan haram adalah makruh
b) Haram
menurut pendapat terpilih di kalangan ulama Maliki adalah apabila mayoritas harta itu haram, maka status harta dan penggunaannya adalah haram. Dan apabila mayoritas dari harta itu halal, maka hukumnya makruh
C. KESIMPULAN:
1. Harta haram ada yang haram karena zatnya, ada yang karena cara memperolehnya.
2. Cara memperoleh harta tersebut dengan praktek haram maka hukum hartanya haram, bagi pelakunya, namun tidak bagi penerimanya sesuai perbedaan ulama.
3. Haram dan halal harta jika kita mengetahui dengan jelas jenis dan bagiannya secara rinci.
4. Jika tercampur antara harta halal dan haram, maka dipisahkan, diperhitungkan lalu dipisahkan mana yang halal dan mana yang haram.
Menurut Imam Suyuthi:
لو اختلط دراهم حلال بدراهم حرام ولم تتميز فطريقه ان يعزل قدر الحرام ويتصرف الباقي, والذي عزله ان علم صاحبه سلمه اليه والا تصدق به عنه
"Jika uang yang halal tercampur dengan uang yang haram dan tidak dapat dibedakan, maka jalan keluarnya adalah memisahkan bagian yang haram serta menggunakan sisanya. Sedangkan bagian haram yang dikeluarkan, jika ia tahu pemiliknya, maka ia harus menyerahkannya atau bila tidak maka harus disedekahkan."(Imam As-Suyuthi, 1/107)
Menurut Ibnu Taimiyah:
من اختلط بماله الحلال والحرام اخرج قدر الحرام والباقي حلال له
"Jika seorang hartanya tercampur antara unsur yang halal dan yang haram maka unsur haram harus dikeluarkan nominalnya, dan sisanya halal baginya." (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Kitabul Bai’, hal. 124)
5. Solusinya, Menurut Fatwa DSN MUI no. 17 tahun 2002 memutuskan bahwa penggunaan dana non halal tidak boleh masuk kedalam pendapatan perusahaan, namun digunakan untuk sektor sosial