RESENSI BUKU
Shalahuddin Yusuf bin Ayyub atau lebih dikenal Shalahuddin al-Ayyubi
(532-589H) adalah sosok yang sangat popular dalam serajah Islam dan Eropa.
Sepak terjangnya dalam Perang Salib dan keberhasilannya merebut al-Quds
(Palestina) dari penguasa Kristen telah menempatkan Shalahuddin sebagai tokoh
yang paling berpengaruh di masa itu. la berhasil menhentikan sementara waktu
rangkaian Perang Salib yang diserukan pertama kali oleh Paus Urban II pada 25
November 1095 di Konsili Clermont (Karen Armstrong, Perang Suci, hlm. 27)
Shalahuddin al-Ayyubi menjadi
legenda dan kisah suksesnya menjadi inspirasi lintas generasi umat Islam.
"Ketika para peniliti, dai, dan kalangan intelektual mendiskusikan
berbagai tantangan dan bahaya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, mereka
sering mengungkit kemenangan-kemanangan yang diraih Shalahuddin sebagai
argumentasi dan penegasan alas urgensi semangat islami dalam menghadapi
tantangan dan bahaya tersebut." (Majid al-Kilani, Hakadza Zhahara lit
Shalahiddin wa Hakadza Mat al-Quds, hlm. 25).
Sebagai inspirasi, menempatkan
Shalahuddin sebagai ikon kebangkitan adalah suatu hal yang pantas dan bernas.
Persoalan baru muncul ketika mencermati metode penyajian model kebangkitan
tersebut secara keliru. Umumnya, dimulai dari fenomena pencaplokan
wilayah-wilayah Islam oleh Pasukan Salib dengan cara yang kejam dan biadab.
Lalu, tiba-tiba muncul sosok-sosok penting yang mengubah kondisi terpuruk umat
Islam, seperti Nuruddin Zanki dan Shalahuddin, dan meyiapkan umat untuk
mengusung risalah jihad. Sosok-sosok inilah yang ditampilkan sebagai
aktor-aktor terpenting perubahan yang berhasil mengembalikan kedaulatan umat
Islam, termasuk merebut kembali Palestina.
Di balik segala bentuk heroisme
sepak terjang Nuruddin dan Shalahuddin, yang secara faktual memang benar,
sebenarnya ada satu mata rantai yang hilang. Ada rentang masa sekitar 50 tahun
antara jatuhnya wilayah-wilayah Islam di Syam ke tangan Pasukan Salib
dengan
munculnya model perjuangan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.Pertanyaan
besar muncul di sini dan menuntut jawaban yang sangat mendesak, apa yang
terjadi pada umat Islam selama masa setengah abad tersebut? Faktor-faktor
apakah yang telah mengubah kondisi umat Islam dari terpuruk menjadi bangkit,
bahkan meraih kemenangan besar melawan pasukan Eropa?
Di sinilah letak pentingnya
karya Dr . Majid Irsan al-Kilani, Hakadza Zhahara III Shalahiddin wa Hakadza
'Mat al-Quds (Beginilah Generasi Shalahuddin Lahir dan Beginilah Palestina
Direbut kembali). Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh
Asep Sabari, Lc dan Amaluddin, MA dengan judul: Misteri Masa Kelam Islam dan
Kemenangan Perang; Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk
Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina, Penerbit Kalam Aulia, Tabun 2007.
Dalam buku tersebut, Dr Majid
al Kilani mengkritik metode penyajian kebangkitan umat oleh Nuruddin don
Shalahuddin seperti di atas Menurutnya, metode tersebut justru mengaburkan
persoalan paling mendasar yang ada pada umat, yang disebutnya sebagai penyakit
penyakit sebenarnya yang diderita organ umat. Penyakit-penyakit internal inilah
yang kelak melahirkan kondisi layak terpuruk dan kalah (al-qabiliyyah li at takhalluf wa al hazimah). Dengan
keberadaan penyakit penyakit yang menggerogoti 'imunitas' umat dari dalam, maka
umat pun akhirnya menjadl lemah dan tidak kuat menahan serangan penyakit
penyakit dari luar.
Alhasil, meski metode penyajian
tersebut dapat mengangkat semangat juang (hamas, ghayroh) kaum Muslim,
namun pada hakikatnya malah menempatkan persoalan amat jauh dari kata mungkin
untuk dapat diselesaikan. Karena umat yang kondisi internalnya lemah, tidak
akan pernah berhasil menahan bahaya dan menyelesaikan persoalan yang datang
dari luar. Langkah pertama yang dapat dilakukan dalam kondisi lemah tentu
adalah mengobati penyakit internal itu sendiri. Sehingga setelah sehat, baru
dapat berjuang mengatasi penyakit dari luar dan mengubah sesuatu yang mustahil
menjadi mungkin.
Sisi
lain yang patut dikritik dari metode penyajian tersebut, adalah isi lebih
mengarahkan umat pada pola perjuangan individual dan mengandalkan kekuatan
figur semata. la jauh dari pola kerja kolektif (al-'amal al-jama'i) yang
melibatkan seluruh unsur umat. Metode penyajian membangun persepsi bahwa
tanggung jawab kebangkitan umat berada di pundak para pemimpin dan elit,
sehingga merekalah yang secara sepihak menyusun strategi dan mengarahkan umat.
Cara ini selain dalam tataran pelaksanaannya akan sangat sulit, jaga tidak
membangun kesadaran kolektif pada diri umat bahwa mereka jaga ikut terlibat dan
bertanggang jawab atas kebangkitan yang diharapkan.
Untuk itu, Dr. Majid al-Kilani,
melalui penelitiannya yang sangat serius terhadap literatar-literatur sejarah
dan pendukungnya yang mendokamentasikan periode tersebut, meyakinkan bahwa pada
mulanya, Shalahaddin al-Ayyubi tidak lebih dari 'bahan baku' dari sebuah
generasi baru. Generasi ini telah melalui proses perubahan unsar-unsur yang
terkandung dalam al-anfus (internal), seperti pemikiran, persepsi,
nilai, tradisi, dsb. Proses perubahan inilah yang kemudian menyiapkan mereka
pada posisi-posisi yang sesuai dengan potensi masing-masing. Maka sebagai
akibatnya, terjadilah perubahan eksternal yang mengejawantah dalam aspek
politik, ekonomi, militer, dll, sehingga segala aktivitas mereka menjadi
terarah dan tepat.
Pendekatan Dr. Majid al-Kilani
dalam menyajlkan fenomena kebangkitan Islam di masa Shalahuddin, tampak seperti
sedang merangkai mata rantai sejarah dalam satu rangkaian yang utuh. Setiap
fakta sejarah saling melengkapi sehingga dapat memberi jawaban kausalitas atas
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa itu. Oleh karenanya, kita dapat
memahami apa yang sebenarnya terjadi pada umat Islam sehingga mengalami
keterpurakan yang sangat dahsyat sebelum Perang Salib? Keterpurakan yang
mengakibatkan pasukan Eropa tersebut dengan mudah menjajah wilayah Islam di
saat Khilafah masih berdiri tegak di Baghdad. Lantas, apa yang terjadi pada
masa masa berikutnya, sikap, reaksi, dan perabahan, yang kemudian membangkitkan
umat yang tampak dengan munculnya sosok-sosok seperti Nuruddin Zanki dan
Shalahuddin al Ayyubi? Siapakah tokoh tokoh yang berperan dalam perubahan,
tersebut? Apa saja hal yang dirubah dan begaimana proses perubahan itu berjalan?
Sekelumit
pertanyaan itulah yang coba di jawab Dr Majid al Kilani dalam buku fenomenalnya
tersebut. Buku yang sangat inspiratif dan membuka harapan umat untuk menemukan
jalan kebangkitan kembali.Di sisi lain, buku ini juga tampaknya,cukup
mengkhawatirkan pihak-pihak yang tidak menginginkan kebangkitan amat Islam. Dr.
Al-Kilani sendiri mengungkapkan hal ini dalam muakidamah berikut,
"Saya diberitahu oleh
seseorang yang menonton acara pada sebuah kanal televisi Israel, bahwa dalam
acara tersebut beberapa pakar dari Israel membedah baka tersebat (Hakadza...,
pen) dengan bahasa Ibrani selama satu jam penuh. Mereka menyimpulkan bahwa
buku tersebut berbahaya karena dapat menumbuhkan semangat juang islami,
sehingga secara mendesak harus dilakakan langkah melawan fenomena kesadaran
dunia Islam dengan dalih melawan terorisme, dan lain-lain." (hlm. 19)
FILOSOFI SEJARAH
Kekuatan kajian Dr. al Kilani
dalam bukunya terletak pada kaedah-kaedah dasar pemahaman sejarah (flqh
at-tarikh) yang ia sebut filosofi sejarah. Kaedah-kaedah merupakan hasil
analisa fenomena sejarah dan nash wahyu. Menurutnya ada dua kaedah dasar
yang menjadi pedoman metodologis kajian yang dilakukannya dalam 'membaca'
fenomena kebangkitan generasi Shalahuddin ini. Berikut pemaparannya,
1. Setiap masyarakat terdiri dari tiga
unsur: pemikiran, individu, dan benda.
Suatu masyarakat akan berada
pada kondisi sehat dan baik, apabila individu dan benda bergerak pada poros
pemikiran yang benar. Suatu masyarakat akan sakit, apabila
pemlkiran dan benda bergerak pada poros lndividu. Suatu masyarakat akan
mengalami sekarat dan mati, apabila pemikiran dan individu bergerak pada poros
benda. Kaedah ini dibahas lebih
lanjut oleh Dr. al-Kllani dalam buku lain berjudul al-Ummah al-Muslimah dan
Ahdaf at-Tarbiyah al Islamiyah.
2. Perilaku manusia (as-suluk
al-insani) merupakan gabungan dari niat dan gerak qashd wal harakah).
Niat mengejawantah pada pikiran
dan kehendak. Sedang gerak mengejawantah pada tindakan praktis. Tiga unsur
perilaku manusia tersebut membentuk rangkaian yang saling mempengaruhi.
Bermula dari domain
pemikiran yang kemudian melahirkan kehendak, dan berakhir pada tindakan praktis
yang berlaku di luar organ tubuh manusia.
Berdasarkan kaedah di atas,
kita dapat menelusuri setiap fenomena masyarakat dengan tepat. Bahwa semua
fenomena tersebut bermula dari konten-konten pemikiran yang melahirkan tujuan.
Tahap berikutnya adalah kecenderungan-kecenderungan diri yang mengarahkan
kehendak.
Dan berakhir pada tindakan-tindakan praktis yang melahirkan karya-karya yang
maju atau terbelakang, dalam segala bidang kehidupan.
Ketika berbicara tentang
perubahan yang terjadi pada fenomena social, al-Qur'an menggambarkan tatanan
perilaku manusia dan masyarakat yang sama persis seperti di atas. .
Perubahan positif suatu
masyarakat digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri
mereka ' (QS Ar-Ra ad 11)
Sedangkan perubahan negative
suatu masyarakat dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya
"Demikianlah, Allah tidak
mengubah nikmat yang diberikan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah
apa yang ada pada diri mereka." (QS. Al-Anfal: 53).
Pandangan filosofis tentang
lahirnya fenomena social dan sejarah ini juga sesuai dengan hadis Rasulullah
saw yang cukup masyhur,
"Sesungguhnya di dalam
tubuh terdapat organ sebesar mudhghah. Apabila la balk maka organ
seluruh tubuh menjadi balk dan jika ia rusak maka seluruh tubuh menjadi rusak.
Ketahuilah, benda tersebut adalah qalb." (HR. Muslim)
Qalb yang sering diartikan hati
memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan pemikiran dan kehendak. Dua kekuatan ini
bergabung dalam membentuk rangkaian perilaku, yaitu pemikiran dan kehendak,
sebelum melahirkan mata rantai terakhir berupa tindakan praktis yang dilakukan
oleh organ-organ tubuh yang bersifat lahir.
Sunnah (Qanun) Perubahan
Dengan berpedoman pada
penjelasan ayat-ayat al-Qur'an di atas, suatu perubahan tidak
akan
terjadi kecuali bila diarahkan melalui sunnah-sunnah perubahan yang sama.
Penjelasan sunnah-sunnah perubahan tersebut seperti berikut,
1. Perubahan bermula pada
konten diri manusia (ma bil anfus), lalu beralih pada perubahan
bidang-bidang social, ekonomi, politik, militer, pemerintahan, dan
bidang-bidang eksternal lainnya.
Konten diri manusia (ma bil
anfus) memiliki ruang lingkup pemaknaan yang luas. la mencakup pemikiran,
nilai, budaya, kecenderungan, tradisi, dll. Juga mencakup pandangan manusia
terhadap alam asal, alam raga, kehidupan, dan alam akhirat. Juga mencakup
semacam orientasi hidup manusia, apakah hanya terbatas pada keinginan untuk
bertahan (survive) secara fisik dan materi, seperti pernikahan, makanan,
pakaian, dan tempat tinggal, atau memiliki menghendaki taraf hidup manusia yang
lebih luhur, seperti rasa aman, penghargaan, keadilan, dan ihsan.
2.
Perubahan menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk tidak akan terjadi
kecuali apabila masyarakat secara kolektif (al-qaum) dan bukan
individu-individu mengubah konten yang ada pada diri mereka (ma bil anfus). Dampak
perubahan kolektif Ini akan terlihat pada kondisi yang dialami
masyarakat berupa kondisi politik, social, ekonomi, militer, dll, sebesar kadar
perubahan yang terjadi pada konten diri mereka (ma bil anfus).
3. Perubahan yang positif dan efektif akan terjadi
apabila masyarakat secara kolektif (al-qaum) sadar dan mulai
mengubah apa yang ada dalam diri mereka (ma bi anfusihim) Jika mereka
sukses melakukan perubahan yang berdimensi pendidikan dan pemikiran ini, maka
perubahan yang positif dan efektif juga akan terjadi pada aspek ekonomi,
politik, social, militer, dst-
Agar dapat memahami karakter
perubahan seperti di atas dan cara menggunakan sunnah-sunnahnya maka harus
memenuhi dua syarat penting, yaitu menguasai sepenuhnya pengetahuan tentang
rangkaian perilaku yang melahirkan fenomena social (al-ihathah al-kamilah) dan
mendalami setiap detail dan konstruknya (ar-rusukh).
Mengingat
unsur-unsur fenomena social yang menjadi topik pembahasan buku ini, juga
lainnya, terserak dalam literatur-literatur sejarah, maka seorang peneliti sejarah
harus melakukan konstruksi ulang fenomena tersebut sesuai dengan pandangan
terhadap rangkaian perilaku manusia dan sunnah-sunnah perubahan yang telah
dipaparkan di atas.
Dengan berpedoman pada filosofi
sejarah ini dalam mengkaji fakta-fakta dan seluk-beluk peristiwa sejarah, maka
akan melahirkan kesimpulan dasar seperti berikut:
1. Dalam konteks sejarah
Islam, umat menjadi kuat dan hebat ketika terjadi perpaduan dua unsur, yaitu
ikhlas dan tepat.
lkhlas dalam tataran kehendak
dan tepat dalam tataran pemikiran dan tindakan.Jika salah satu unsur tersebut
tidak terpenuhi atau malah keduanya, atau satu sama lain saling bertentangan
maka segala bentuk jerih payah dan pengorbanan yang dilakukan oleh umat tidak
menghasilkan karya yang berarti dan menjadi sia-sia-
2. Dalam konteks sejarah secara
umum, baik Islam maupun bukan, fakta menunjukkan bahwa ketika jaringan
interaksi social dibangun berdasarkan loyalitas penuh kepada pemikiran (afkar
ar-risalah) yang menjadi landasan ideologis dan sebab eksistensinya,
maka setiap orang yang ada dalam masyarakat tersebut hidup dengan terlindungi
dan dihargai, baik ketika masih hidup maupun setelah mati. Apabila terjadi
perselisihan dan perbedaan maka potensi konflik diarahkan ke luar mereka,
sementara mereka sendiri tetap bersatu dan produktif.
3. Sebaliknya,ketika
jaringan interaksi social dibangun berdasarkan loyalitas kepada individu atau
kelompok atau mazhab, dll, sesuai dengan kaedah bergerak di dalam poros
individu dan benda, maka manusia menjadi unsur yang paling tidak berharga
baik di dalam masyarakat itu sendiri maupun di luarnya. setiap konflik akan
berputar di dalam masyarakat tersebut sehingga perpecahan tidak dapat
dihindari, setiap kelompok berusaha menghancurkan kelompok lain. Alhasil, aroma
kelemahan masyarakat tersebut akan merebak ke luar dan mengundang selera
pihak-pihak luar untuk melumatnya