Minggu, 07 Juli 2013

Inilah Beda Puasa Kaum Muslimin Dengan Puasa Umat Terdahulu



Ayat yang mewajibkan puasa selain diwajibkan bagi orang-orang yang beriman, secara eksplisit juga menyebutkan tentang wajibnya puasa bagi umat terdahulu. Seperti dalam firman Allah:

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[1]

Al Izz Ibn Abdus Salam dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimasud puasa orang-orang sebelum kamu ( terdahulu ) adalah puasa ahli kitab dalam hal hukum dan sifat bukan pada ukurannya.[2]
Beda puasa ahli kitab dengan puasa kaum muslimin adalah:
a.       Karena Allah

Umat islam berpuasa karena Allah, untuk mendekatkan diri dengan melaksanakan perintah atas dasar taat kepada sang Khaliq. Sehingga yang terpanggil dalam ayat diatas adalah mereka yang tergugah rasa keimanannya. karena tidak dipungkiri masih terdapat oknum dari kaum muslimin yang enggan berpuasa dengan berbagai alasan. itulah kenapa dorongan keimanan lebih kuat dari pada sekedar status sebagai muslim.

Adapun gambaran puasa umat terdahulu adalah seperti disebutkan oleh sejarawan Muslim Ibnu Katsir meyakini bahwa ajaran puasa sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa. Menurut dia, Adam berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun.
Ada pula yang mengatakan, Adam berpuasa pada 10 Muharam sebagai rasa syukur karena bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah. Sementara yang lain berpendapat, Nabi Adam berpuasa sehari semalam pada waktu dia diturunkan dari taman surga oleh Allah.
Ada juga yang mengatakan Adam berpuasa 40 hari 40 malam setiap tahun. Pendapat lainnya mengatakan Adam berpuasa dalam rangka mendoakan putra-putrinya.
Selain itu, ada yang menjelaskan, Adam berpuasa pada hari Jumat untuk mengenang peristiwa penting, yakni dijadikannya dia oleh Allah, hari diturunkannya ke bumi, dan diterimanya tobat Adam oleh Allah. ( Republika, 2 Juli 2013).

b.      Sahur
Ahli kitab tidak makan sahur dalam puasa mereka.
عن عمرو بن العاص أن رسول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قال: "فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر"
Dari Amr bin Al Ash bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam: “ Beda puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.[3]

c.       Menyegerakan berbuka
Para ahli kitab mengakhirkan sahur hingga terlihat bintang-bintang pada malam hari. Sabda Rasulullah:
لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر، فإن اليهود يؤخرون"
Umatku masih dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka puasa, karena kaum Yahudi mengakhirkannya. [4]

d.      Tidak ditentukan jumlah hari

Imam As Samarqandi dalam tafsirnya, bahwa puasa kaum ahli kitab tidak ditentukan hari khusus,[5]

e.       Kaum Nashrani berpuasa dengan beberapa kategori:

-          Tidak ditentukan waktu khusus berpuasanya
-          Tidak ditentukan waktu mulai
-          Tidak ada arahan tertentu tentang yang membatalkannya.
-          Menyambung puasa.






[1]  Al Baqarah: 183
[2] Al Izz Ibn Abdis Salam w 660 H, Tafsir Al Izz Ibn Abdis Salam, ( Beirut: Dar Ibn hazm,1416H ) juz 1 hal 187
[3] ( HR. Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan )
[4] HR. Ibnu Majah , Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah
[5]  Abu Laits Ats Samarqandi w 373 H, Tafsir Bahrul Ulum 1/121

Bagaimanakah Hukum Wanita Hamil Dan Menyusui Pada Bulan Ramadhan?



Dua kondisi bagi wanita hamil dan menyusui ketika melaksanakan puasa Ramadhan. Kondisi tersebut adalah:
1.       Kondisi pertama, wanita hamil dan menyusui tidak terpengaruh dengan aktifitas puasa, dalam keadaan ini maka mereka wajib berpuasa, karena tidak terkena unsur udzur dalam kondisi ini.[1]
2.       Kondisi kedua, bila wanita hamil atau menyusui khawatir akan diri atau anaknya. Maka dibolehkan untuk tidak berpuasa.
 Masalahnya kemudian adalah apakah mereka wajib mengqadha saja dihari lain atau membayar fidyah?
Dalam hal ini ada empat pendapat:
A.      Pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu
Mereka membayar fidyah dan tidak mengqadha
B.      Pendapat Abu Hanifah, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan kawan kawan.
 Mengqadha tanpa membayar fidyah ( kebalikan dari pendapat pertama)
C.      Pendapat Imam Syafi’i
Mereka wajib mengqadha sekaligus membayar fidyah. Jika khawatir atas diri mereka sendiri  ( wajib qadha ) jika khawatir kepada anaknya ( wajib qadha dan fidyah )[2]
D.      Pendapat keempat
Wanita hamil wajib mengqadha, wanita yang menyusui menqadha dan membayar fidyah.
Sebab perbedaan pendapat mereka adalah:
Apakah wanita hamil dan menyusui diserupakan dengan orang sakit atau orang yang kepayahan untuk berpuasa?
·         Pendapat yang mengatakan wanita hamil dan menyusui kondisinya serupa dengan orang sakit maka mereka wajib mengqadha saja.
·         Pendapat yang mengatakan serupa dengan kondisi orang yang kepayahan, maka mereka hanya wajib menmbayar fidyah.
·         Pendapat yang mengatakan mengqadha dan membayar fidyah melihat wanita hamil dan menyusui seperti kondisi orang sakit dan orang yang kepayahan. Sehingga mereka wajib mengqadha dan membayar fidyah ( pendapat As Syafi’i )
·         Pendapat yang mengatakan wanita hamil wajib mengqadha dan wanita menyusui wajib mengqadha dan membayar puasa menyerupakan wanita hamil dengan orang sakit. Sedangkan wanita menyusui diserupakan dengan orang yang kepayahan berpuasa.

Kesimpulan:
A.      Memilih salah satu hukum ( mengqadha atau membayar fidyah ) lebih diprioritaskan.
B.      Mengqadha lebih prioritas dari membayar fidyah. Karena keutamaan puasa Ramadhan tidaklah sepadan dengan kebaikan lain.[3]





[1] Ibn Baz, Majmu’Fatawa 15/224
[2]  Imam Taqiyudin Ad Damsyiqi As Syafi’I, Kifayatul Akhyar, ( Darul Fikr: Beirut 1414 H ) hal 171
[3] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid w 595 H,( Kairo: Darul Hadits 1425H) juz 1 hal 374