Sebelum
membahas tentang sejarah, arti dari tafsir Alquran adalah suatu hasil pemahaman
atas Alquran, menjelaskan makna, mengeluarkan hukum dan menggali hikmah
rahasianya(as-Suyuthi 1976:2/174).
[1]
Sesungguhnya, penafsiran Alquran sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad
SAW (571-632H), dam masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa
yang akan mendatang. Penafsiran Alquran sungguh telah menghabiskan waktu yang
sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan
perkembangan ilmu Alquran, khususnya tafsir Alquran. Upaya menelusuri sejarah
penafsiran Alquran yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru
dunia Islam itu tentu saja bukan perkara mudah.
Secara
global, sebagian ahli tafsir membagi periodisasi penafsiran Alquran ke dalam
tiga fase: periode mutaqaddimini (abad 1-4 H), Periode mutaakhirin(abad 4-12H),
dan periode modern(abad 12-sekarang). Dalam hal ini, Ahmad Izzan lebih
cenderung memilah sejarah perkembangan penafsiran Alquran kedalam empat
periode: periode Nabi Muhammad SAW, mutaqaddimin, mutaakhirin, dan kontemporer
.
- Periode ulama
mutaqoddimin(abad III-VIII H/IX-XIII)
Yang
dimaksud zaman mutaqoddimin disini ialah zaman para penulis tafsir Alquran
gelombang pertama, generasi ini telah bisa memisahkan tafsir dan hadis daripada
zaman sebelumnya sesuai dalam Shahih Bukhari yang terdapat pada pembahasan
tafsir.
[2]
Periode ini mulai dari akhir zaman tabi’inat-tabi’in sampai akhir pemerintahan
dinasti Abbasyiyah, 150 H/782M sampai tahun 656 H/1258 M atau mulai abad II
sampai abad VII H.
Tafsir
Mutaqoddimin ini sumber penulisannya meliputi Alquran dan hadis, pendapat para
sahabat dan
tabi’in,ijtihad atau istinbat dari para tabi’inat-tabi’in.
Dengan sumber-sumber tersebut tafsir mutaqoddimin mempunyai dua bentuk yaitu
al-ma’sur
dan
al–ra’yu. Metode tafsir ini banyak memakai metode tafsir itnabi atau
metode
tahlili, yaitu menafsirkan ayat menggunakan penjelasan yang
sangat rinci. Ruang lingkup tafsir ini terfokuskan pad abidang tertentu,
seperti
Tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari yang difokuskan pada
bidang bahasa dan teologis.
[3]
Iqnaz
Goldzieher mengatakan dalam bukunya
Mazahib Tafsir al-Islami, bahwa
tafsir al-Kasysyaf sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah
sangat berlebihan.
[4]
- Periode ulama
mutaakhirin(abad IX-XII H/XIII-XIX M)
Generasi
ini muncul pada zaman kemunduran Islam,yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada
tahun656 H/1258M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada 1286 H/1888M
atau dari abad VII sampai XIII H. Para mufair mutaakhirin mengambil sumber yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan disampin Alquran dan
hadis, cara menjelaskan maksud ayat, memakai metode
tahlili dan
muqarin.[5]
Ruang
lingkup penafsiran ulama mutaakhirin sudah lebih mengacu pada spesilisasi ilmu,
seperti
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-ta’wil( Tafsir
al-Khazin)
karangan al-Khazin(w.741H) dalam bidang sejarah,Tafsir
al-Qurthubi (w.744H)
dibidang fiqih. Adapula kitab bil ma’tsur antara lain: Tafsir Ibnu
Katsir(w.774H)
Alquran al‘Adzim dan
al-Durr al-Mansur fiTafsir bi
al-Ma’sur, karangan As-suyuti (w.911H).
[6]
Demikian kitab-kitab yang muncul pada periode ulama mutaakhirin.
- Periode ulama modern
(abad XIV H/XIX M sampai sekarang)
Zaman
modern ini dimulai sejak gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin
al-Afghani (1254H/1838M – 1314H/1896M) dan murid beliau Muhammad Abduh
(1266H/1845M – 1323H/1905M), di Pakistan oleh Muhammad Iqbal (1878-1938), di
India oleh Sayyid Ahmad Khan(1817-1989), di Indonesia oleh Cokroaminoto dengan
Serikat Islamnya,K.H.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya, K.H. Hasyim Asy’ari(1367
H) dengan Nahdlatul Ulamanya di Jawa, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan
Pertinya(w.1970) di Sumatera.
[7]
Kitab-kitab
tafsir yang dikarang pada zaman modern ini aktif mengambil bagian mengikuti
perjuangan dan jalan pikiran umat Islam pada zaman modern ini.
[8]
Para mufassir modern ini dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran lebih menjelaskan
bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kemoderenan. Islam
adalah agama yang universal, yang sesuai dengan seluruh bangsa pada semua masa
dan setiap tempat.
Metode
yang digunakan pada periode modern ini yaitu metode
tahlili dan
muqarin(komparatif)
,
sama dengan pola yang dianut pada periode
Mutaakhirin. Pada periode ini
juga muncul pula metde baru yang disebut dengan metode
Maudlu’i (tematik),
yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan tema atau topik yang dipilih .
Ssemua ayat yang berkaitan dengan topik tersebut dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari segala aspeknya. Ruang lingkup penafsiran ini
lebih banyak diarahkan pada bidang adab(sastra dan budaya) dan bidang sosial
kemasyarakatan, terutama politikdan perjuangan.
[9]
- Perkembangan Corak dan
Metode Tafsir
Seiring
dengan berjalannya waktu, penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran terus
berkembang dan perbedaan paham diantara umat Islam dalam memahmi ayat Alquran
semakin tidak terhindarkan . Menurut Quraish Shihab,
[10]
terdapat corak penafsiran yang dikenal, diantaranya adalah:
- Corak sastra bahasa, yang
timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang
keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Alquran di bidang ini.
- Corak penafsiran ilmiah,
karena kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha tafsir untuk memahami ayat-ayat
Alquran sejalan dengan perkembangan ilmu.
- Corak filsafat dan
teologi, karen apenerjemahan kitab yang mempengaruhi beberapa pihak, serta
akibat masuknya penganut agama-agama lain masih tidak mempercayai beberapa
kepercayaan lama.
- Corak fiqih atau hukum,
akibat berkembangnya ilmu fiqih, terbentuknya madzhab-madzhab fiqih,yang
setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapat dalam
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
- Corak tasawuf,akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan
berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi kelemahan yang
dirasakan.
- Corak sastra budaya
kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk
ayat-ayat Alquran yang berkaitan langsung dengan masyarakat serta usaha
menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat dan
mengemukakannya dengan bahsa yang mudahdimengerti dan tetap indah
didengar. Corak ini akibat peran Muhammad Abduh.[11]
Adapun
pengertian Metodologi adalah merupakan wacana untuk melakukan sesuatu, sebagai
sebuah di siplin ilmu tafsir tidak terlepas dari metode yakni suatu cara yang
sistematis untuk mencapai tingkat pemahaman yang benar tentang pesan Alquran
yang dikehendaki oleh Allah swt. Metode penafsiran Alquran secara garis besar
di bagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Corak Ma’tsur (riwayat)
Corak
tafsir bil Ma’tsur ialah usaha penafsiran Al-Qu’an hanya dengan ayat Alquran
itu sendiri dan hadis Rosulullah saw.serta kata-kata sahabat. Metode Tadsir
Bil-Ma’tsur ini sangat terkait ketat dengan sistem ilmu Hadis. Karena penulisan
tafsir Alquran pada awalnya memang menjadi satu dan merupakan bagian dari ilmu
hadis itu sendiri.
[12]
Metode
Ma’tsur memiliki keistimewaan antara lain: menekan pentingnya bahasa dalam
memahami Alquran, memaparka ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan
pesan–pesannya, mengikat mufasir dalm bingkai teks ayat-ayat sehingga
membatasinya tejerumus dalam subyektifitas berlebihan. Sedangkan kelemahannya
adalah: terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesusastraan
yang bertele-tele sehingga pesan pokok Alquran menjadi kabur di celah-celah
tersebut, seringkali konteks turunnya ayat atau sisi kronlogis turunnya
ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh hampir dikatakan
terabaikan sama sekali, sehingga bagaikan turunnya bukan dalam satu masa atau
berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
[13]
- Corak Ra’yu( penalaran
akal)
Corak
tafsir bil-ra’yi ialah usaha penafsiran Alquran dengan ijtihad akal setelah
seorang mufassir itu memenuhi syarat-syarat mufassir.
[14]
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan
sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu persatu.
Menurut pandangan
Al-Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak
penalaran ini kepada empat macam metode, yaitu: tahlili, ijmali, muqarin, dan
maudlu’i.
[15]
- Metode Tahlili (Analitik)
Metode
ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir
ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi’I adalah metode yang
mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai
seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam
Alquran.
[16]
Tafsir
ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari
awal hingga akhir sesuai dengan susunan Alquran. Dia menjelaskan kosa kata dan
lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan
ayat, yaitu unsur-unsur ’ijaz dan balaghah, dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dan dalil
syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Keunggulan
metode ini terletak pada cakupan yang luas, dapat menampung berbagai gagasan
dan menyediakan informasi mengenai kondisi sosial, linguistik, dan sejarah
teks. Sementara kelemahannya membuat petunjuk Alquran bersifat persial,
melahirkan penafsiran yang subyektif, memuat riwayat isroiliyat, komentar yang
terlalu banyak melelahkan untuk dibaca dan informasinya tumpang tinddih degan
pengetahuan.
[17]
- Metode Ijmali (Global)
Metode
ini adalah berusaha menafsirkan Alquran secara singkat dan global, dengan
menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas
sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun
memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang
lebar.Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapatdikonsumsi
oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya
ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna
ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
- Metode Muqarin
Tafsir
ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat lainnya, yaitu
ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang
berbeda, atau ayat dengan hadis, atau antara pendapat-pendapat para ulamatafsir
dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Sejalan dengan kerangka tersebut diatas, maka prosedur penafsiran dengan cara
muqorin tersebut dilakukan sebagai berikut:
- Menginventarisir ayat-ayat
yang mempunyai kesamaan dankemiripan redaksi;
- Meneliti khusus yang
berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
- Mengadakan penafsiran.
Metode
ini unggul karena mampu memberikan wawasan yang relatif luas, mentolerir
perbedaan pandangan yang dapat mencegah sikap fanatisme pada aliran
tertentu,memperkaya komentar suatu ayat. Sedang kelemahannya adalah tidak cocok
dikaji oleh para pemula karena memuat bahasa yang teramat luas, kurang dapat
diandalkan dalam menjawab problema masyarakat, dan dominan membahas penafsiran
ulama, terdahulu daripada ulama penafsir baru.
[18]
- Metode Maudhu’i (Tematik)
Tafsir
berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam Alquran untuk kemudian
menghimpun seluruh ayat Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut baru
kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah
metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Alquran dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat Alquran yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik
atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Metode
ini unggul karena dipandang mampu menjawab tantangan zaman, dinamis dan praktis
tanpa harus merujuk pada kitab-kitab tafsir yang tebal dan berjilid-jilid,
penatannya sistematis, tema-temanya
up to date membuat Alquran
tidakketinggalan zaman, serta pemahamannya utuh. Sementara kelemahannya adalah
menyajikan Alquran sepotong-sepotong, pemilihan topik tertentumembuat pemahaman
terbatas, membutuhkan kecermatan dalam menentukan keterkaitan ayat dengan tema
yang diangkat.
[19]
Sedangkan
metode penafsiran Alquran para ulamadi era kontemporerberbeda dengan metode
penafsiran para ulama klasik. Metode penafsiran Alquran di era kontemporer
ialah sebagai berikut:
- Model Tafsir Sastra
Alquran
bersifat unik. Salah satunya adalah adanya pengulangan kata di beberapa
ayatnya. Keunikan ini ternyata mengundang banyak perhatian dari kalangan ulama
sehingga banyak dari mereka membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya
dengan studi tematik modern. Muhammad Quthub misalnya, menegaskan sisi
tantangan tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Dalam melakukan studi tentang
pengulangan yang ada dalam al quran, Muhammad Quthub mencontohkan, ibarat mengenal
seseorang yang tidak mungkin dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari
beberapa ciri fisiknya, tetapi harus secara menyeluruh yang meliputi mata,
hidung, telinga dan lain sebagainya. Hal itulah. menurut Muhammad Quthub yang
disebut sebagai suatu keutuhan.
Selain
Muhammad Quthub, Muhammad al-Hijazi dalam bukunya al wahdah al maudhuiyyah
fi Alquran al karim juga mengatakan bahwa pengulangan itu terjadi dalam
bentuk dan corak yang berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan dan waktu di
turunkannya. Kesatuan tema seperti inilah yang kemudian memunculkan sebuah
aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir tematik.
Dalam
perkembangan selanjutnya, lahirlah metode penafsiran model baru, yang bercorak
sastra, dan di prakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode
modern yang menggunakan model perkembangan sosial masyarakat yang
diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra. seiring berkembangnya
pergulatan peneletian, ternyata di temukanlah kelemahan pada metode ini saat
awal kemunculnnya. Ialah dari sisi balaghah dan kajian yang di gunakan.
Beberapa kajian yang telah di lakukan lebih banyak merujuk pada karya-karya
klasik yang di tulis ulama-ulama pada abad ke-4 sampai abad ke -8. Ketidak
puasan terhadap metode inilah yang kemudian menjadikan motivasi tersendiri bagi
Bintu al-Syathi’i untuk mengembangkan kajian tematik bahasa sastra dalam tafsir
– seorang sastrawan yang berlatar pendidikan bahasa dan sastra dari universitas
Al Azhar Asy syarif Kairo.
Sastrawan
yang berlatar pendidikan bahasa dan sastra dari Universitas Al Azhar Asy syarif
ini menekankan pembahasannya pada aspek kemukjizatan Alquran di bidang sastra
dan sebagai kesatuan rasa (wahdah dhawqiyyah dan wijdaniyah). Secara garis
besar metode kajian sastra tematiknya dpat di simpulkan dalam empat pokok
pikiran:
Pertama,
mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa
surat untuk di pelajari secara tematik. Metode yang ia gunakan bukanlah tematik
murni melainkan pengembangan induktif. Di sini ia membuka dengan kupasan dalam
ayat itu kemudian di bandingkan dengan ayat yang memiliki gaya bahasa yang
sama. Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan
dalam penggunaannya. Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa
tersebut.
Kedua,
memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada dengan cara mengkaji asbab
an-nuzul ayat tersebut tanpa meninggalkan peran penting kaedah Al-ibrah
bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab (kesimpulan yang di ambil menggunakan
keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab di turunkannya sebuah ayat)
Ketiga,
memahami siyaq khas dan siyaq ‘am dalam ayat Alquran. Apakah
ayat tersebut di pahami dzahirnya ataukah mengandung arti majaz (kiasan) dengan
berbagai macam klasifikasinya.
Keempat,
mengungkapkan keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di
berbagai kitab tafsir yang mu’tamad untuk memahami rahasia ta’bir dalam
alqur’an tanpa mengesampingkan posisi gramatikal arab dan i’rab dalam kajian
balaghah. Metode ini adalah klimaks dari kajian sastra Bintu Al Syathi’.
Sastra
tematik yang di maksudkan di sini adalah corak tafsir modern yang menganut
madzhab dan aliran tematik umum. Pengkajiannya di khususkan pada pembahasan
sastra bahasa dalam satu surat dengan mengambil surat pendek saja. Sebagai
perbandingan Muhammad Quthub juga mengkaji secara tematik umum persurat dengan
klasifikasi makki dan madani.
- Hermeneutik
Hermenutik
berasal dari Bahasa Yunani Hermenuo, yang memiliki beberapa pengertian,
yaitu mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menterjemahkan atau
bertindak sebagai penafsir atau bisa berarti menafsirkan. Term ini memiliki
asosiasi etimologis dengan nama dewa dalam mitologi Yunani, Hermes, yang
mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan kepada manusia. Teori
ini bertujuan untuk memahami hakekat atau pesan yang terkandung dari teks,
perantara atau penafsir, cara memahami teks dan pemahaman auidence.
Menurut
pandangan Abu Zayd mufasir asal Mesir bahwa tafsir seringkali di gunakan untuk
kepentingan politik atau yang ia sebut dengan problem al-nushus al diniyyah saja.maka
jalan keluar yang ia kemukakan adalah memahaminya sebagai literatur. Literatur
Abu
Zayd menemukan bahwa penafsiran kontekstual Alquran yang merujuk kepada makna
dalam konteks sejarah dan budaya, serta sampai kepada signifikasi konteks
kehidupan sekarang akan membuat seseorang dengan sendirinya menangkap secara
objektif makna historis teks Alquran itu sendiri. Maka, ia memunculkan teori
hermeneutik sebagai literary critism, yang berorientasi untuk mengkaji ma’na
dan maghza. Hermeneutic menurut Abu Zayd adalah membahas
tentang hubungan antara pembaca teks (mufasir) dengan pemilik teks
(Allah).
- Perbandingan Metode
Tafsir Klasik dan Tafsir Modern-Kontemporer
Dalam
perkembangan ilmu tafsir, ada dua kelompok yang basis pijakan dan kaidah
penafsirannya saling berlawanan. Kelompok yang satu berpegang pada kaidah al-ibrah
bi umum lafdzi la> bi khusus as saba>b, sedangkan lainnya berpegang
pada kaidah al-ibrah bi khusus as sabab la bi umum lafdzi. Kini, mufassir
kontemporer memunculkan kaidah baru yakni al-ibrah bi maqashid al-syari’ah,
sesuatu yang seharusnya menjadi pegangan adalah apa yang dikehendaki oleh
syari’ah.
Bagi
Muhammad Abduh, penafsiran kitab-kitab dimasanya dan masa-masa sebelumnya tidak
lebih sekedar pemaparan berbagai pendapat ulama yang sangat bereda-berselisih
yang akhirnya menjauh dari tujuan penurunan Alquran itu sendiri. Model
penfsirannya yang sangat kaku dan gersang karena penafsiran hanya mengarahkan
perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimat dari segi I’rab, dan
penjelasan lainnya yang menyangkut segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat-ayat Alquran. Ini berarti, para mufassir belum maksimal dalam
menjadikan Alquran sebagai hudan karena uraian penafsiran dari kandungan
ayat-ayat Alquran relatif sangat”dangkal” .
Pada
masa kontemporer, metode penafsiran Alquran yang berkembang sudah sangat
beragam. Fazlur Rahman, misalnya menggagas
metode tafsir kontekstual.
Metode ini yang mencoba menafsirkan Alquran berdasarkan pertimbangan analisis
bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi, filosofis, dan antropologi yan
berlaku dan berkembang dalm kehidupan masayarakat Arab pra Islam dan selama
proses wahyu Alquran berlangsung.
[20]
Menurutnya, ayat-ayat Alquran tidak bisa dipahami secara literal(harfiah)
sebagaimana yang dipahami para mufassir klasik. Baginya, memahami Alquran
dengan makna harfiah tidak saja akan menjauhkan seseorang dari petunjuk yang
ingin diberikan oleh Alquran, tetapi juga merupakan pemerkosaan terhadap
ayat-ayat Alquran. Menurut Fazlur Rahman, pesan yang sesungguhnya ingin
disampaikan Alquran bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan harfiyah
suatu ayat, melainkan nilai moral yang ada dibalik ungkapan literal itu. Karena
itu, ayat-ayat Alquran harus lebih dipahami dalam kerangka pesan moral yang
dikandungnya. Untuk mengetahui pesan moral sebuah ayat Alquran Rahman memandang
penting situasi dan kondisi historis yang melatarbelakangi pewahyuan ayat-ayat
Alquran. Situasi dan kondisi historis ini bukan hanya apa yang dikenal oleh
ilmu tafsir sebagai asbabun nuzul, melainkanjauh lebih luas dari itu. Ayat-ayat
Alquran merupakan pernyataan moral,religius,dan sosial Tuhan untuk merespon apa
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Ayt-ayat tersebut memiliki ”ideal
moral”yang harus menjadi acuan untuk memahami ayat Alquran.
Salah
satu ayat Alquran yang sering dikutip oleh mufassir untuk menguatkan pandangan
tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah Qs. An-nisa:34, An-nisa:11
dan Qs.Al-A’raf:7.
Jika
penafsiran klasik memperkokoh anggapan yang memposisikan kaum laki-laki lebih
tinggi dari pada perempuan, para mufassir feminis melakukan penafsiran ulang
(reinterpretasi) atas ayat-ayat diatas dengan menghindari pendekatan harfiyah.
Jelas sekali bahwa langkah ini menghasilkan penafsiran yang sama sekali berbeda
dengan penafsiran klasik. Para mufassir feminis berpandangan bahwa posisi
laki-laki dan perempuan itu setara.
Diantara
mufassir yang memakai model panafsiran klasik adalah Manhaj Tafsir Thabari,
Ibnu Katsir dan Zamakhsyari. Sedangkan yang termasuk mufassir yang memakai
model penafsiran modern-kontemporer adalah Rasyid Ridla (Tafsir al-Manar),
Sayyid Qutb dan Quraysh Shihab(Tafsir Mishbah).
Ulama
Kontemporer dalam memahami ayat Alquran:
- Metodologi tafsir
kontemporer menjadikan Alquran sebagai kitab petunjuk atau meminjam amin
al khuli (w 1966M) al ihtida’ bil Alquran.hal ini tidak terlepas oleh
pengaruh Syekh Muhammad Abduh yang ingin mengembalikan Alquran sebagai
fungsinya yaitu sebagai petunjuk
- Adanya kecenderungan
penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada di balik teks.
- Tidak langsung begitu
saja menerima ungkapan literal Alquran akan tetapi melihat lebih jauh
sasaran yang ada dalam ungkapan lateral tersebut,jadiyang ingin di cari
adalah “ruh” atau pesan moral yang dalam dalam Alquran.
- Model Penafsiran Klasik
Dan Modern-Kontemporer
Ada
beberapa contoh dari metode yang sudah dijelaskan diatas baaikdari metode para
ulama klasik maupun metode ulama kontemporer, yakni yang akan dijelaskan
model-model penafsiran di bawah ini:
- Tafsir Ibnu Katsir
(model tafsir
klasik)
- Biografi singkat Ibnu
Katsir
Nama
lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir
al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir.
Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota
Bashr. Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Pada usia 4 tahun, ayah beliau
meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H,
beliau pindah dan menetap di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu
dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin
Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir,
Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi
serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada
Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadis di Syam.
Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya. Selain
Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana.
- Karya-karya Ibnu Katsir
Berkat
kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadis,
sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir
yaitu Tafsir Alquran al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih
hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Para
ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di
zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang
terpenting adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran (ayat dengan ayat yang
lain), menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah (Hadis), kemudian dengan perkataan
para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in
dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Selain
Tafsir Alquran al-‘Azhim, beliau juga menulis kitab-kitab lain yang sangat
berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah
al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu,
Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadis, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadis tentang
ilmu hadis, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi.
- Metodologi Penafsiran
Ibnu Katsir
Menurut
Rasyid Ridla, tafsir Ibnu Katsir ini tafsir yang paling masyhur yang memberikan
perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf dan
menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukum serta menjauhi i’rab dan balaghah
dan ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Alquran. Diantara ciri khasnya
ialah perhatian cukup besar terhadap apa yang mereka namakan dengan tafsir
Qur’an dengan Qur’an, memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian
maknanya,kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadis marfu’ yang ada
relevansinya dengan ayat, atau singkatnya tafsir Ibnu Katsir ini merupakan
tafsir bil ma’tsur.
- Tafsir Al Mishbah
(model tafsir modern-kontemporer)
dAl-Mishbah
merupakan tafsir Alquran lengkap 30 Juz pertama dalam 30 tahun terakhir, yang
ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Al Mishbah
adalah tafsir dengan perkembangan mutakhir dalam pendekatan terhadap Alquran
dibanding dengan tafsir klasik lainnya. Makna Mishbah berarti lampu pemberi
terang. Al-Mishbah hadir dengan sentuhan kalimat dari penafsirnya yang tidak
diragukan lagi kredibilitas ke-Ilmuan Tafsirnya. Dalam Al-Mishbah, Quraish
menampilkan gaya melalui penjelasan diawali pengertian kata per kata bahasa
Arab yang kaya makna. kemudian mengidentifikasi makna kata-kata Alquran dalam
pengertian lebih luas sehingga kontekstual sesuai masalah ummat saat ini.
Pembaca lalu diajak menelusuri horison pemahaman ayat Alquran dengan mencari
ayat di surat lain yang menjelaskan obyek yang sama atau malah menampilkan ayat
yang kontradiktif dengan pembahasan obyek.
- Biografi singkat
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di
Rapang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang
terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru
besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang
tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi
Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina
dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI),
sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan
IAIN Alauddin Ujungpandang.
Beliau
tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 –
1965 dan IAIN 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman
percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan
pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang
pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang
gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena
lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur
Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang
di¬datangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang
berasal dari Sudan, Afrika.
Pendidikan
formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan
ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil nyantri di Pondok
Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi
keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada
tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan
studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan
Hadis. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun
kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang
sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i Alquran al-Karim
(kemukjizatan Alquran al-Karim dari Segi Hukum)”.
Pada
1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil
spesialisasi dalam studi tafsir Alquran. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun
untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm
ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm
al-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya
dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah
asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Pada
tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan
kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas
Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum
Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan
tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai
Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu
ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir
merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
- Metodologi tafsir Quraysh
shihab
Dalam
hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i
(tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang
tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya
menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran
tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat
Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish
shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan
tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung
di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi
mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan
Alquran, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang
sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap Alquran tidak akan pernah
berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan
perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan
perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan Alquran sehingga
seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat Alquran.
Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya
atas nama Alquran.
- Tafsir Fil Zhilali
Alquran Sayyid Quthb (model tafsir modern-kontemporer)
- Biografi Singkat
As-Syahid
Sayyid Quthb dilahirkan pada tahun 1906 di Kampung Musyah, Kota Asyut, Mesir.
Ia di besarkan di dlam sebuah keluarga yang menitikberatkan ajaran Islam dan
mencintai Alquran. Ia telah bergelar hafizh (orang yang hapal Alquran) sebelum
berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya memindahkan
keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk
Tajhiziyah Darul-Ulul. Tahun 1929, ia kulliah di Darul-’Ulum (nama sebuah
Universitas Kairo, sastra Arab, dan juga tempat Hasan al-Banna belajar sebelumnya).
Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.
- Karya-karya Sayyid Qutb
Di
awal karier penulisannya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam Alquran:
at-Taswir al-Fanni fil-Qur’an (cerita Keindahan dalam Alquran) dan Musyaahidat
al-Qiyamah fil-Qur’an (hari kebangkitan dalam Alquran). Pada tahun 1948, ia
menerbitkan karya monumentalnya: al-’Adaalah al-Ijtimaa’iyah fil-islam
(keadilan Sosial dalam Islam), kemudian disusul Fi Zhilaalil-Qur’an (Di bawah
Naungan Alquran) yang di selesaikannya di dalam penjara.
Karya-karya
lainnya: al-Sala>m al-’Alami wa al-Islam (Perdamaian Internasional
dan Islam) yang di terbitkan tahun 1951, al-Naqd al-Adabi> Usu>luhu wa
Mana>hijuhu (Kritik Sastra, Prinsip Dasar, dan Metode-Metode), Ma’rakah
al-Islaam wa al-Ra’simaliyah (Perbenturan Islam dan Kaptalisme) yang di
terbitkan tahun 1951, Fi Tari>kh, Fikrah wa Mana>hij (Teori dan
Metode dalam Sejarah), al-Mustaqbal li Ha>dza al-Di>n (Masa Depan
Berada di Tangan Agama Ini), Nahw Mujtnama’ (Perwujudan Masyarakat
Islam), Ma’rakatuna ma’a al-yahu>d (Perbenturan Kita Dengan Yahudi), al-Islam
wa Musykilah al-Hada>rah (Islam dan Problem-problem Kebudayaan) terbit
tahun 1960, Hadza al-Di>n (Inilah Agama) terbit tahun 1955, dan Khashais
al-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatahu (Ciri dan Nilai Visi Islam) yang
terbit tahun 1960.
- Metode Penafsiran Sayyid
Qutub
Diantara
para ulama kontemporer yang sangat ckonsen terhadap penafsiran Alquran adalah
Sayyid Qutb (1906-1966), salah seorang ulama terkemuka dikalangan Ikhwan
al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fî Zhilâl Al-Qur`an yang menjadi
master-piece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab tafsir ini
sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiran
sosial-kemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan
oleh generasi Muslim sekarang. Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba
mengkaji serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu
penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran Al-Qur`an.
Menurut
Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang
dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri Alquran adalah pendekatan tashwîr
(penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan Alquran
sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat
menimbulkan pemahaman aktual bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat
untuk berbuat. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah
kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia.
Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam Alquran akan selalu relevan
uuntuk dibawa dalam zaman sekarang.
Mengaca
dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutub, bisa dikatakan bahwa tafsir
tafsir Fî Zhilâli Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi
al-Ijtimâ’i (sastra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background
beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan
bahasa serta nilai-nilai yang dibawa Alquran yang memang kaya dengan gaya
bahasa yang sangat tinggi.
[1]Imam
Muchlas,
Metode Penafsiran Alquran (Malang: UMM Press, 2003),5.
[2]Matanul-Bukhari
bi Hasyiyat as-Sindi.Singapura, Sulaiman Mar’i,III, t.th. 97-237., Imam
Muchlas,
Metode Penafsiran Alquran (Malang: UMM Press, 2003), 5.
[3]Nasruddin
Baidan,
Perkembangan Tafsir Alquran di Indonesia, (Solo: Tiga
Serangkai, 2003),15.
[4]Hamim
Ilyas,
Studi Kitab Tafsir(Yogyakarta: Teras, 2004),60; Iqnaz Goldziher
,
Mazahib Tafsir al-Islami, terj. Ke dalam bahasa Arab oleh ‘Abd Halim al-Najjar
(Beirut: Dar Iqra’ , 1983), 141.
[5]Baidan,
Perkembangan
Tafsir…,18.
[8]Dep.
Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta, Proyek Pengadaan Kitab suci Dep.
Agama RI., 1984, 34.
[9]Baidan,
Perkembangan Tafsir…, 20.
[10]M.
Quraish Shihab ,
Membumikan Alquran (Bandung : Mizan, 1992),187.
[11]Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Pengantar Studi Islam,(Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 29
[12]Muchlas,
Metode Penafsiran…, 76.
[13]Shihab,
Membumikan Alquran…,195.
[14]Muchlas,
Metode Penafsiran…,78.
[15]Abuddin
Nata,
Metodologi Studi Islam( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2012), 171.
[17]Ahmad
Syukri Saleh,
Melacak Metodologi tafsir Alquran,( Vol.6, No.12, 2007 ),
292
Share this:
Leave a Reply