Wakil Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(GNPF-MUI), Zaitun Rasmin, mengklaim sekitar 3 juta orang yang akan
mengikuti aksi 'Bela Islam Jilid III' pada Jumat (2/12/2016).
Dia menjelaskan, peserta aksi 'Bela Islam Jilid III' itu mayoritas berasal dari DKI Jakarta.
Selain itu, massa datang dari sejumlah daerah di luar ibu kota,
seperti Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan
Sulawesi.
"Kami memperkirakan tak kurang tiga juta orang. Tetapi itu tergantung
kondisi besok. Itu estimasi," ujar
Zaitun kepada wartawan saat ditemui
di Mapolda Metro Jaya, Selasa (29/11/2016).
Rabu, 30 November 2016
Selasa, 22 November 2016
GURU; PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
Sebentar lagi hari guru nasional, tepatnya 25 November bertepatan dengan hari lahirnya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).
Guru,ustadz atau dosen adalah sinonim untuk orang yg berprofesi mengajar,memberi informasi baru dan memberi pencerahan di masyarakat baik melalui karya karya ilmiahnya maupun dengan keluhuran pribadinya.
Namun, bagaimana nasib guru, ulama dan ustadz sekarang? Anda pasti sudah tahu jawabannya. Memang ada guru yang serius mengajar ikhlas karena Allah,apalagi yg tinggal di daerah terpencil dg transportasi sulit. Harus menyeberangi sungai,bahkan tak jarang yg menginap meninggalkan anak dan istri. Tentu bisa di tebak berapa gaji mereka, mungkin hanya angka nol 4 digit, bahkan kadang tidak digaji, atau kadang telat.
Lain lagi dengan guru di perkotaan, untuk sekolah negeri berbeda dengan sekolah swasta. Guru disekolah negeri relatif lebih makmur dari segi gaji dan tunjangan. Rata rata mereka sdh punya rumah dan kendaraan roda empat. Berbeda dg guru swasta,relatif masih banyak yg 'ngontrak' dan kendaraannya motor 'jadul'. Padahal terkadang guru swasta lebih gigih mengajar dibanding guru negeri.
Belum selesai disitu, guru swasta yang mengajar disebuah yayasan, acap kali menjadi 'kelinci percobaan' dengan hak dan kewajiban yg bertolak belakang,bahkan banyak yayasan yang bersikap " Lu mau ngajar disini,ya harus ikut aturan sini,kalo ngga ya silahkan keluar". Sebuah kata kata bijak itu.
Nasibmu guru...
Digaji kecil untuk tugas yang sangat besar. Seperti amanat UUD 45" Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Cerdas secara akademik dan moral yang terpuji. Bahkan ada orang yg bilang, guru itu digaji main main untuk kerja serius. Kalau artis digaji serius untuk kerja main main.
Tapi ya begitulah...rata rata yayasan swasta hampir punya kisah yang mirip. Kepentingan, tekanan pemodal, hubungan antar karyawan, kesenjangan dan buruknya management.
Belum lagi tantangan guru swasta yg bekerja pada yayasan yg mematok tarif mahal utk uang masuk dan SPP,jelas orang orang kaya saja yg sekolah. Disini muncul permasalahan orang kaya, susah diatur dan sedikit sopan santun. Ya iyalah...
Mereka kan sudah bayar mahal,seolah nasib guru ada ditelunjuk mereka, boro boro salam, yang ada melengos dan acuh..
Namun guru tetap sabar....
Itu lagi menjadi tugas guru, memperbaiki moral murid murid manja itu. Terkadang guru harus mengalahkan keluarga mereka demi perbaikan akhlaq murid murid itu.
Salah satu kesalahan orang tua adalah menyerahkan sepenuhnya tugas perbaikan kepada guru, padahal sekolah,guru dan keluarga merupakan tiga pilar peradaban, tidak bisa hanya diserahkan kepada guru saja.
Belum lagi ancaman hukum dari laporan orang tua yang tak rela anaknya hanya sekedar di cubit, padahal bukan bermaksud melukai, namun karena murid tersebut yang sudah kebangetan banget dah. akhirnya nasib sang guru kebalik jeruji besi. manakah keadilan itu?
Namun ada keyakinan yg patut diacungkan jempol buat guru. Mereka mengajar ikhlas karena Allah,meski kadang beban hidup menghimpit.
Jika kau bertanya kepada guru, apakah yang membuat mereka bahagia? Mereka akan menjawab,"Saat kami melihat kesuksesan pada anak didik kami"
Jika kau bertanya, apa yang mereka inginkan? Mereka hanya menginginkan keberkahan hidup. Biarlah gaji kecil, namun ilmu berkah dan hidup berkah. Biarlah Allah yang menambahkan kekurangan itu.
Jika kau bertanya apa harapan mereka kelak di akherat? Mereka akan menjawab,"Aku berharap bisa masuk syurga bersama murid muridku,mereka yg menuntunku masuk kedalam syurga".
Jika gurumu masih hidup, hampiri dia, cium tangannya, boleh jadi kesuksesanmu adalah buah dari doa doa mereka, saat hanya mereka dan Allah saja yang tahu.
Selamat hari guru
Semoga ikhlas dengan ilmu dan amalmu
Kamis, 13 Oktober 2016
JAUHILAH PRASANGKA
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan
janganlah ada diantara kamu yang mengunjing sebagian yang lain. Apakah ada
diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat,
Maha Penyayang ( QS: Al Hujurat [49]:12
TINJAUAN
BAHASA
الظَّنِّ
prasangka
وَلَا تَجَسَّسُوا
janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain
وَلَا يَغْتَبْ
Mengunjing
KANDUNGAN
AYAT
Secara
umum ayat ini berisi adab-adab berinteraksi dengan sesama manusia, seperti juga
ayat-ayat sebelumnya. Diantara etika berinteraksi dengan sesama manusia dalam
ayat ini adalah menjauhi prasangka. Hendaklah setiap kita berhati-hati dengan
prasangka yang muncul, berfikir terhadap prasangka yang terbetik dalam hati,
dari jenis manakah itu. Prasangka yang dibolehkan adalah berprasangka baik
kepada Allah (huznuzhan) dan kepada sesama mukmin. Sedangkan prasangka
yang diharamkan adalah berprasangka yang mengadung keburukan, baik kepada Allah
maupun kepada sesama mukmin.[1]
Pengertian
Dzan (الظن) menurut para ulama
·
Secara
bahasa kata dzan menurut Ibnu Faris mengandung dua makna, yaitu yakin (al yaqin) dan ragu-ragu (as syak).juga bermakna tempat
sesuatu (ma’lam syai), dugaan (tuhmah). Dzan merupakan lawan kata dari
yakin.
Menurut
Fairuz Abadi makna dzan adalah:
التردد الراجح بين طرفي الاعتقاد غير الجازم
Ketidakstabilan
antara dua sisi yang paling kuat dengan keyakinan yang tidak kokoh.[2]
·
Sedangkan
secara istilah, berikut ini pendapat para ulama:
1.
Menurut
Jalaluddin Al Mahally
Makna dzan
adalah
تجويز
أمرين أحدهما أظهر من الآخر
Kebolehan dua
perkara, yang satu lebih jelas dari yang lain.[3]
2.
Menurut
Al Amidi
عبارة
عن ترجح أحد الاحتمالين في النفس على الآخر من غير قطع
Ungkapan
tentang kuatnya salah satu dari dua kemungkinan dalam diri, tanpa kepastian.[4]
3.
Menurut
Ibnu Quddamah Al Maqdisi
Setiap jiwa
yang memiliki sikap membenarkan sesuatu atau tidak, namun jika tidak maka tidak
menafikan untuk diterima hal tersebut.[5]
4.
Menurut
Az Zamakhsyari
Keyakinan
terkuat dari dari dua sisi, dimana salah satu dari keduanya lebih ia dukung.[6]
Sedangkan
menurut para alhi fikih, dhzan merupakan bagian dari keraguan (syak), karena
mereka berada dintara dua kondisi, adanya sesuatu dan tidak adanya sesuatu.
Meski sama atau menguatkan salah satu dari keduanya. Sehingga jika ada yang
berkata,” Aku yakin seribu kali,”. Maka tidak dihukumi apapun karena makna
intinya adalah keraguan.[7]
Menurut
Syekh Shalih Utsaimin, tingkatan pengetahuan ada enam:[8]
1.
Ilmu
(mengetahui sesuatu dengan data yang akurat)
2.
Jahl
basith (tidak mengetahui secara umum)
3.
Jahl
murakkab (mengetahui sesuatu yang bertolak
belakang dengan yang sesungguhnya)
4.
Al
Wahm (mengetahui sesuatu namun lawan dari pendapat yang kuat)
5.
Asy
Syak (mengetahui sesuatu namun dengan pengetahuan buruk)
6.
Az
Dzhan (mengetahui sesuatu namun dengan
kemungkinan terburuk)
Dari data di atas ternyata dzan
(prasangka) menduduki peringkat paling bawah dalam konteks pengetahuan. Oleh
sebab itu menjauhi prasangka lebih berhati-hati dalam mengetahui sesuatu.
Beberapa pendapat
Al Mufassirin Terkait Ayat
Imam Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa
ayat ini berisi larangan kepada kaum muslimin untuk menjauhi banyak prasangka,
yaitu tuduhan kepada sesama yang bukan pada tempatnya. Karena sebagian
prasangka tersebut bisa menjadi dosa, jauhilah sebagai bentuk kehati-hatian.[9]
Ibnu Asyur menyebutkan dalam
tafsirnya:
فَاعْلَمُوا
أَنَّ بَعْضَ الظَّنِّ جُرْمٌ، وَهَذَا كِنَايَةٌ عَنْ وُجُوبِ التَّأَمُّلِ فِي
آثَارِ الظُّنُونِ لِيَعْرِضُوا مَا تُفْضِي إِلَيْهِ الظُّنُونُ عَلَى مَا
يَعْلَمُونَهُ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ، أَوْ لِيَسْأَلُوا أَهْلَ الْعِلْمِ
عَلَى أَنَّ هَذَا الْبَيَانَ الِاسْتِئْنَافِيَّ يَقْتَصِرُ عَلَى التَّخْوِيفِ
مِنَ الْوُقُوعِ فِي الْإِثْمِ
Ketahuilah sebagian prasangka adalah
kejahatan, ini ungkapan wajibnya memikirkan afek prasangka, untuk mengungkap
prasangka tersebut terkait dengan hukum syariat, atau hendaklah ia bertanya
kepada ahli ilmu bahwa penjelasan ini merupakan dampak, khawatir terjerumus
terhadap dosa.[10]
Umar bin Khattab berkata:
وَلَا
تَظُنَنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ الْمُسْلِمِ إِلَّا خَيْرًا، وَأَنْتَ
تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلًا
“Janganlah kamu berprasangka terhadap perkataan yang
keluar dari saudara muslim melainkan kebaikan, sedangkan kamu melihatnya secara
umum dalam kebaikan”.[11]
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ وَيَقُولُ: "مَا أَطْيَبَكِ
وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ. وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً
مِنْكِ، مَالُهُ وَدَمُهُ، وَأَنْ يُظَنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرٌ
“Dari
Abdullah bin Amr berkata, “Aku melihat nabi Shaallahu alaihi wasallam tawaf di
ka’bah dan berkata,”Betapa mulia dan semerbak dirimu ka’bah, betapa agung dan
mulia kehormatanmu, demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh,
kehormatan seorang mukmin disisi Allah, lebih mulia dari kehormatanmu, harta
dan darahnya, dan hendaklah berprasangka kepada mukmin dengan sangkaan yang
baik.[12]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا
تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا
عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا".
“Dari Abu
Hurairah Radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah Shalallah Alaihi wa sallam telah
bersabda,”Juhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu sedusta-dustanya
perkataan, janganlah kalian memata-matai, jangan mencari-cari dengar, jangan
saling bersaing, jangan hasad, jangan iri, jangan saling membelakangi, jadilah
hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari no. 6066,dari Abdullah bin
Yusuf, HR. Muslim, 2563, dari Yahya bin Yahya dan HR. Abu Daud dari al ‘Utab)
Dalam hadits lain
bersumber dari Anas bin Malik Rasulullah melarang seorang muslim menjauhi
saudaranya melebihi tiga hari seperti dalam sabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقَاطَعُوا، وَلَا تَدَابَرُوا،
وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا،
وَلَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ".
“Dari Anas bin Malik
Radhiyallah Anhu Rasulullah bersabda,”Janganlah saling memutuskan silaturahim,
jangan saling membelakangi, jangan hasad, jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara, tidak halal seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga
hari.” (HR. Muslim , 2559 dan At Tirmiz, 1935 dan ia mensahihkannya dari hadits
Sufyan bin ‘Uyainah)
Larangan Ghibah
{وَلا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا}
Janganlah
menggunjing sebagian kalian dengan lainnya
Menurut Imam Ibnu Katsir
juga, ayat ini merupakan larangan terhadap ghibah, yaitu membicarakan orang
lain. Seperti termaktub dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ: "ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ". قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ:
"إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ
مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ"
“Dari Abu Hurairah
berkata, seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah ghibah itu? Rasulullah
menjawab,”Engkau menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak sukai, lalu
orang tersebut berkata,”Bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan ada
padanya?”. Rasulullah bersabda,” Jika yang engkau bicarakan ada pada dirinya
maka engkau sudah melakukan kebathilan.
(Sunan Abu Daud 4874, Sunan Tirmizi, 1935)
{أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ}
“Apakah
ada diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik”
“As Sa’di menyebutkan bahwa ayat ini mengumpamakan memakan
bangkai, yang tidak disukai oleh siapapun, karena merupakan puncak rasa jijik.
Maksudnya seperti kalian tidak suka memakan bangkai, maka kalian juga akan
merasa jijik jika memakan daging mentah, itulah hakikat ghibah.[13]
Imam At Thabari menyebutkan dalam tafsirnya:
Jangan kalian mengatakan buruk terhadap sebagian yang lain saat
mereka tidak hadir, karena pihak tersebut tidak menyukainya jika dikatakan saat
hadir.[14]
Menurut Imam An Nawawi, hukum asal ghibah adalah haram, kecuali
dalam enam sebab:[15]
1.
Kezaliman
Dibolehkan kepada orang yang dizalimi mengadukan kepada
pemimpin atau hakim atas nasib yang menimpanya untuk melakukan tindakan
perbaikan.
2.
Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan kemaksiatan
kepada taat
3.
Meminta fatwa, boleh mengadukan kepada mufti dan meminta fatwa
atas hal yang menimpanya. Misalnya si Fulan telah menzalimi saya dan
seterusnya.
4.
Warning (perhatian) kepada kaum muslimin terkait informasi yang
membahayakan, namun harus melalui sumber-sumber yang bisa dipercaya.
5.
Pihak yang dibicarakan sudah jelas dan diketahui umum tentang
sifat fasik dan sifat buruknya
6.
Gelar atau panggilan untuk mengenal, misalnya orang tersebut buta
atau pincang
Hikmah
·
Kehormatan
seorang muslim lebih mulia harus dijaga, melebihi kehormatan ka’bah.
·
Berhati-hati
dalam berprasangka, karena khawatir terjerumus dosa.
·
Menjauhi
ghibah dalam segala bentuk, kecuali yang sudah disebutkan diatas
والله أعلم
[1]
Muhammad An Nawawi Al Bantani Al Jawi, Marah Labid, (Beirut: Dar Kutub al Ilmiyah, 1417 H) J.
2/439
[2]
Fairuz Abadi, Qamus Al Muhith, 1/1566
[3]
Jalaludin Al Mahalli, Syarh Al Waraqat, h.6
[4] Al
Amidi, Al Ihkam Fi Suhuli al Ihkam, 1/13
[5]
Ibnu Quddamah, Raudhatun Nadzir,1/22
[6] Az
Zamakhsyari, Al Bahrul Muhith Fi Ushulil Fikh,1/57
[7] At
Thahawi, Hasyiyah Ala Maraqi Al Falah Nurul Idhah,1/446
[8]
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, (Dar Tsuraya Lin Nasyr, 1424) 1/18
[9]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 7/377
[10]
Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, 26/251
[11]
HR Ahmad, 7/565
[12]
HR. Ibnu Majah, No.3932
[13] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Tafsir As Sa’di,
1/801
[14]
Tafsir At Thabari, 22/305
[15]
An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 16/143
Selasa, 04 Oktober 2016
JANGAN MERENDAHKAN ORANG LAIN
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. ( QS. Al Hujurat [49]: 11)
Tinjauan Bahasa
يَسْخَر
Merendahkan, menghina
Menurut Imam Al
Qurthubi:
وَالسُّخْرِيَةُ
الِاسْتِهْزَاءُ
Makna Sukhriyah
adalah istihza (menghina)[1]
تَلْمِزُوا
Kalian mencela
تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ
Memangggil dengan
panggilan (gelar) buruk
Sabab
Nuzul Ayat
نَزَلَتْ فِي عِكْرِمَةِ بْنِ أَبِي
جَهْلٌ حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مُسْلِمًا، وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا
رَأَوْهُ قَالُوا ابْنَ فِرْعَوْنِ هَذِهِ الْأُمَّةِ. فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ
Ayat
ini turun pada Ikrimah bin Abu Jahl saat tiba di Madinah sebagai seoran muslim,
adalah kaum muslimin ketika melihatnya berkata,”Dia anak Fir’aun umat ini,
kemudian Ikrimah mengadu kepada Rasulullah, lalu turunlah ayat ini.[2]
Sedangkan Ibnu Abbas
menyebutkan turunnya ayat ini seperti tercatum dalam tafsirnya:
نزلت هَذِه الْآيَة فى ثَابت ابْن قيس بن شماس حَيْثُ ذكر رجلا من
الْأَنْصَار بِسوء ذكر أما كَانَت لَهُ يعير بهَا فِي الْجَاهِلِيَّة فَنَهَاهُ
الله عَن ذَلِك
Ayat
ini turun pada Tsabit bin Qais bin Syamas, saat seorang lelaki dari kalangan
Anshar menyebut buruk dan membuka aib ibunya saat masih jahiliyah. Lalu Allah
melarang hal tersebut.[3]
Kandungan
Ayat
Ayat
ini mengandung pelajaran adab terhadap manusia, baik individu maupun sosial. Larangan
Allah bagi kaum muslimin untuk merendahkan dan menghina orang lain. Karena kita
tidak tahu kedudukan seseorang di sisi Allah. Boleh jadi orang yang direndahkan
dan dihina memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, dan ia lebih baik dari pihak
yang menghina dan merendahkan. Orang yang gemar merendahkan orang lain, sungguh
ia telah terjatuh dalam sifat sombong. Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam
bersabda:
وَحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ
دِينَارٍ، جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ، قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى:
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبَانَ بْنِ
تَغْلِبَ، عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، عَنْ
عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ
مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ
يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
Telah
menceritakan kepada kami, Muhammad bin al Mutsanna, dan Muhammad bin Basyar dan
Ibrahim bin Dinar, semuanya dari jalur Yahya bin Hammad, berkata Ibnu Mutsanna,”Telah
mennceritakan kepadaku Yahya bin Hammad, telah mengabarkan kepada kami Syu’bah
dari Aban bin Taghlab, dari Fudhail Al Fukaimi, dari Ibrahim An Nakha’i, dari ‘Alqamah,
dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, bersabda,”Tak
akan masuk syurga barangsiapa yang di hatinya ada sebiji kecil dari sombong,
lalu seorang laki-laki berkata,” Ya Rasulullah sesungguhnya ada seseorang yang
menyukai pakaian dan alas kaki yang bagus.” Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya
Allah Maha Indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan
merendahkan manusia.” (HR. Muslim, No.91)[4]
Dari
hadits di atas dapat diketahui, bahwa sifat sombong memiliki dua unsur:
a.
Menolak
kebenaran
b.
Merendahkan
manusia
Adapun
jika seseorang menyukai life style dari pakaian, alas kaki, kendaraan,
rumah dan lainnya, selama tidak menyebabkan kesombongan dan akhirnya menolak
kebenaran dan merendahkan manusia maka itu bukan sombong.
Imam
Ibnu Katsir memaknai “ Ghamtu An Nas” adalah merendahkan dan mengecilkan
manusia, karena orang yang dihina boleh jadi memiliki kedudukan mulia disisi
Allah dibanding orang yang menghina.[5]
Imam
At Thabari menjelaskan bahwa larangan ini bersifat umum:
إن الله عمّ بنهيه المؤمنين عن أن يسخر
بعضهم من بعض جميع معاني السخرية، فلا يحلّ لمؤمن أن يسخر من مؤمن لا لفقره، ولا
لذنب ركبه، ولا لغير ذلك
Menurut At Thabari, larangan ini bersifat umum, tidak boleh
bagi kaum mukminin menghina sebagian dengan sebagian lain dalam segala makna,
tidak halal bagi seorang mukmin menghina mukmin lainnya karena kemiskinan,
dosa, dan lainnya.[6]
(وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ)
janganlah
suka mencela dirimu sendiri
Seorang
muslim ibarat satu tubuh, jika ia mencela mukmin yang lain berarti ia seperti
mencela dirinya sendiri.
وتَلْمِزُوا معناه: يطعن بعضُكم على
بعض بذكر النقائص ونحوه، وقد يكون اللَّمْزُ بالقول وبالإشارة ونحوه مِمَّا يفهمه
آخر، والهَمْزُ لا يكون إلاَّ باللسان، وحكى الثعلبيُّ أَنَّ اللمز ما كان في
المشهد، والهَمْزَ ما كان في المغيب
·
Talmizu
maknanya adalah melukai sebagian dengan sebagian yang lain dengan menyebut
kekurangan-kekurangan dan sejenisnya,
·
Al Lamzu
dilakukan dengan ucapan dan isyarat yang dipahami orang lain.
·
Al Hamz tidak dilakukan kecuali dengan lisan,
·
Ats Tsa’alibi menyebutkan bahwa Al Lamz dilakukan saat pihak
tersebut hadir terlihat, sedangkan Al Hamz dilakukan saat pihak yang
dibicarakan tidak hadir.
Meski beragam pendapat tentang Al
Hamz dan Al Lamz mengerucut pada makna perbuatan mencela, mengejek
orang lain baik secara langsung, maupun tidak, baik didepan objek maupun
dibelakang objek yang dibicarakan.
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan”
Abu
Bakar Al Jazairi menegasakan makna ayat tersebut:[8]
لا يدعو بعضكم بعضا بلقب يكرهه نحو يا فاسق يا جاهل
Janganlah memanggil sebagian kalian kepada sebagian lain, dengan
gelar (panggilan) yang ia tidak sukai, seperti ,” Wahai fasiq, Wahai Bodoh”.
Seburuk-buruk panggilan adalah, panggilan yang menuduh seseorang
fasik tanpa bukti setelah orang tersebut masuk Islam. Dan jika ia tidak
bertaubat dengan perbuatan tersebut diatas maka ia termasuk orang zalim.
Kesimpulan:
·
Ayat
ini mengandung adab-adab kepada individu dan kelompok, yaitu larangan sombong,
merendahkan, menghina, memanggil dengan panggilan buruk.
·
Berhari-hatilah
dalam menilai orang lain, apalagi merendahkannya baik dengan kata-kata atau
isyarat panca indera, karena boleh jadi mereka yang direndahkan kedudukannya
lebih mulia di sisi Allah, dibanding orang yang merendahkan.
والله
أعلام
[1] Al
Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Kairo: Dal Al Kutub Al Islamiyah,1964)
J.16 h. 324
[2] Al
Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Kairo: Dal Al Kutub Al Islamiyah,1964)
J.16 h. 325
[3] Al
Fairuz Abasi, Tanwirul Miqbas Fi Tafsir Ibni Abbas, (Libanon: Dar Kutub Al
Ilmiyah) J. 1. H. 436
[4]
Imam Muslim bin Hajjaj Abul Hasan al QushairiAn Naisaburi, Shahih Muslim, (
Beirut: Dar Ihya Turats) J. 1 h. 93
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, (Dar Thaybah Lin Nasyr,1420 H) j. 7 h,
376
[6] At
Thabari, Tafsir At Thabari, 22/ 298
[7] Abu
Zaid Ats Tsa’alibi, Tafsir Ats Tsa’alibi, Al Jawahir al Hassan Fi Tafsir al Qur’an,
(Beirut: Dar Ihya Turats, 1418H) j. 5 h. 272
[8]
Jabir Abu Bakar al Jazairi, Aisar Tafasir, (Saudi: Maktabah Al Ulum Wal Hikam, 1424H)
5/127
Langganan:
Postingan (Atom)