يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan
janganlah ada diantara kamu yang mengunjing sebagian yang lain. Apakah ada
diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat,
Maha Penyayang ( QS: Al Hujurat [49]:12
TINJAUAN
BAHASA
الظَّنِّ
prasangka
وَلَا تَجَسَّسُوا
janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain
وَلَا يَغْتَبْ
Mengunjing
KANDUNGAN
AYAT
Secara
umum ayat ini berisi adab-adab berinteraksi dengan sesama manusia, seperti juga
ayat-ayat sebelumnya. Diantara etika berinteraksi dengan sesama manusia dalam
ayat ini adalah menjauhi prasangka. Hendaklah setiap kita berhati-hati dengan
prasangka yang muncul, berfikir terhadap prasangka yang terbetik dalam hati,
dari jenis manakah itu. Prasangka yang dibolehkan adalah berprasangka baik
kepada Allah (huznuzhan) dan kepada sesama mukmin. Sedangkan prasangka
yang diharamkan adalah berprasangka yang mengadung keburukan, baik kepada Allah
maupun kepada sesama mukmin.[1]
Pengertian
Dzan (الظن) menurut para ulama
·
Secara
bahasa kata dzan menurut Ibnu Faris mengandung dua makna, yaitu yakin (al yaqin) dan ragu-ragu (as syak).juga bermakna tempat
sesuatu (ma’lam syai), dugaan (tuhmah). Dzan merupakan lawan kata dari
yakin.
Menurut
Fairuz Abadi makna dzan adalah:
التردد الراجح بين طرفي الاعتقاد غير الجازم
Ketidakstabilan
antara dua sisi yang paling kuat dengan keyakinan yang tidak kokoh.[2]
·
Sedangkan
secara istilah, berikut ini pendapat para ulama:
1.
Menurut
Jalaluddin Al Mahally
Makna dzan
adalah
تجويز
أمرين أحدهما أظهر من الآخر
Kebolehan dua
perkara, yang satu lebih jelas dari yang lain.[3]
2.
Menurut
Al Amidi
عبارة
عن ترجح أحد الاحتمالين في النفس على الآخر من غير قطع
Ungkapan
tentang kuatnya salah satu dari dua kemungkinan dalam diri, tanpa kepastian.[4]
3.
Menurut
Ibnu Quddamah Al Maqdisi
Setiap jiwa
yang memiliki sikap membenarkan sesuatu atau tidak, namun jika tidak maka tidak
menafikan untuk diterima hal tersebut.[5]
4.
Menurut
Az Zamakhsyari
Keyakinan
terkuat dari dari dua sisi, dimana salah satu dari keduanya lebih ia dukung.[6]
Sedangkan
menurut para alhi fikih, dhzan merupakan bagian dari keraguan (syak), karena
mereka berada dintara dua kondisi, adanya sesuatu dan tidak adanya sesuatu.
Meski sama atau menguatkan salah satu dari keduanya. Sehingga jika ada yang
berkata,” Aku yakin seribu kali,”. Maka tidak dihukumi apapun karena makna
intinya adalah keraguan.[7]
Menurut
Syekh Shalih Utsaimin, tingkatan pengetahuan ada enam:[8]
1.
Ilmu
(mengetahui sesuatu dengan data yang akurat)
2.
Jahl
basith (tidak mengetahui secara umum)
3.
Jahl
murakkab (mengetahui sesuatu yang bertolak
belakang dengan yang sesungguhnya)
4.
Al
Wahm (mengetahui sesuatu namun lawan dari pendapat yang kuat)
5.
Asy
Syak (mengetahui sesuatu namun dengan pengetahuan buruk)
6.
Az
Dzhan (mengetahui sesuatu namun dengan
kemungkinan terburuk)
Dari data di atas ternyata dzan
(prasangka) menduduki peringkat paling bawah dalam konteks pengetahuan. Oleh
sebab itu menjauhi prasangka lebih berhati-hati dalam mengetahui sesuatu.
Beberapa pendapat
Al Mufassirin Terkait Ayat
Imam Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa
ayat ini berisi larangan kepada kaum muslimin untuk menjauhi banyak prasangka,
yaitu tuduhan kepada sesama yang bukan pada tempatnya. Karena sebagian
prasangka tersebut bisa menjadi dosa, jauhilah sebagai bentuk kehati-hatian.[9]
Ibnu Asyur menyebutkan dalam
tafsirnya:
فَاعْلَمُوا
أَنَّ بَعْضَ الظَّنِّ جُرْمٌ، وَهَذَا كِنَايَةٌ عَنْ وُجُوبِ التَّأَمُّلِ فِي
آثَارِ الظُّنُونِ لِيَعْرِضُوا مَا تُفْضِي إِلَيْهِ الظُّنُونُ عَلَى مَا
يَعْلَمُونَهُ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ، أَوْ لِيَسْأَلُوا أَهْلَ الْعِلْمِ
عَلَى أَنَّ هَذَا الْبَيَانَ الِاسْتِئْنَافِيَّ يَقْتَصِرُ عَلَى التَّخْوِيفِ
مِنَ الْوُقُوعِ فِي الْإِثْمِ
Ketahuilah sebagian prasangka adalah
kejahatan, ini ungkapan wajibnya memikirkan afek prasangka, untuk mengungkap
prasangka tersebut terkait dengan hukum syariat, atau hendaklah ia bertanya
kepada ahli ilmu bahwa penjelasan ini merupakan dampak, khawatir terjerumus
terhadap dosa.[10]
Umar bin Khattab berkata:
وَلَا
تَظُنَنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ الْمُسْلِمِ إِلَّا خَيْرًا، وَأَنْتَ
تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلًا
“Janganlah kamu berprasangka terhadap perkataan yang
keluar dari saudara muslim melainkan kebaikan, sedangkan kamu melihatnya secara
umum dalam kebaikan”.[11]
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ وَيَقُولُ: "مَا أَطْيَبَكِ
وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ. وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً
مِنْكِ، مَالُهُ وَدَمُهُ، وَأَنْ يُظَنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرٌ
“Dari
Abdullah bin Amr berkata, “Aku melihat nabi Shaallahu alaihi wasallam tawaf di
ka’bah dan berkata,”Betapa mulia dan semerbak dirimu ka’bah, betapa agung dan
mulia kehormatanmu, demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh,
kehormatan seorang mukmin disisi Allah, lebih mulia dari kehormatanmu, harta
dan darahnya, dan hendaklah berprasangka kepada mukmin dengan sangkaan yang
baik.[12]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا
تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا
عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا".
“Dari Abu
Hurairah Radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah Shalallah Alaihi wa sallam telah
bersabda,”Juhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu sedusta-dustanya
perkataan, janganlah kalian memata-matai, jangan mencari-cari dengar, jangan
saling bersaing, jangan hasad, jangan iri, jangan saling membelakangi, jadilah
hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari no. 6066,dari Abdullah bin
Yusuf, HR. Muslim, 2563, dari Yahya bin Yahya dan HR. Abu Daud dari al ‘Utab)
Dalam hadits lain
bersumber dari Anas bin Malik Rasulullah melarang seorang muslim menjauhi
saudaranya melebihi tiga hari seperti dalam sabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقَاطَعُوا، وَلَا تَدَابَرُوا،
وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا،
وَلَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ".
“Dari Anas bin Malik
Radhiyallah Anhu Rasulullah bersabda,”Janganlah saling memutuskan silaturahim,
jangan saling membelakangi, jangan hasad, jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara, tidak halal seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga
hari.” (HR. Muslim , 2559 dan At Tirmiz, 1935 dan ia mensahihkannya dari hadits
Sufyan bin ‘Uyainah)
Larangan Ghibah
{وَلا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا}
Janganlah
menggunjing sebagian kalian dengan lainnya
Menurut Imam Ibnu Katsir
juga, ayat ini merupakan larangan terhadap ghibah, yaitu membicarakan orang
lain. Seperti termaktub dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ: "ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ". قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ:
"إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ
مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ"
“Dari Abu Hurairah
berkata, seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah ghibah itu? Rasulullah
menjawab,”Engkau menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak sukai, lalu
orang tersebut berkata,”Bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan ada
padanya?”. Rasulullah bersabda,” Jika yang engkau bicarakan ada pada dirinya
maka engkau sudah melakukan kebathilan.
(Sunan Abu Daud 4874, Sunan Tirmizi, 1935)
{أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ}
“Apakah
ada diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik”
“As Sa’di menyebutkan bahwa ayat ini mengumpamakan memakan
bangkai, yang tidak disukai oleh siapapun, karena merupakan puncak rasa jijik.
Maksudnya seperti kalian tidak suka memakan bangkai, maka kalian juga akan
merasa jijik jika memakan daging mentah, itulah hakikat ghibah.[13]
Imam At Thabari menyebutkan dalam tafsirnya:
Jangan kalian mengatakan buruk terhadap sebagian yang lain saat
mereka tidak hadir, karena pihak tersebut tidak menyukainya jika dikatakan saat
hadir.[14]
Menurut Imam An Nawawi, hukum asal ghibah adalah haram, kecuali
dalam enam sebab:[15]
1.
Kezaliman
Dibolehkan kepada orang yang dizalimi mengadukan kepada
pemimpin atau hakim atas nasib yang menimpanya untuk melakukan tindakan
perbaikan.
2.
Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan kemaksiatan
kepada taat
3.
Meminta fatwa, boleh mengadukan kepada mufti dan meminta fatwa
atas hal yang menimpanya. Misalnya si Fulan telah menzalimi saya dan
seterusnya.
4.
Warning (perhatian) kepada kaum muslimin terkait informasi yang
membahayakan, namun harus melalui sumber-sumber yang bisa dipercaya.
5.
Pihak yang dibicarakan sudah jelas dan diketahui umum tentang
sifat fasik dan sifat buruknya
6.
Gelar atau panggilan untuk mengenal, misalnya orang tersebut buta
atau pincang
Hikmah
·
Kehormatan
seorang muslim lebih mulia harus dijaga, melebihi kehormatan ka’bah.
·
Berhati-hati
dalam berprasangka, karena khawatir terjerumus dosa.
·
Menjauhi
ghibah dalam segala bentuk, kecuali yang sudah disebutkan diatas
والله أعلم
[1]
Muhammad An Nawawi Al Bantani Al Jawi, Marah Labid, (Beirut: Dar Kutub al Ilmiyah, 1417 H) J.
2/439
[2]
Fairuz Abadi, Qamus Al Muhith, 1/1566
[3]
Jalaludin Al Mahalli, Syarh Al Waraqat, h.6
[4] Al
Amidi, Al Ihkam Fi Suhuli al Ihkam, 1/13
[5]
Ibnu Quddamah, Raudhatun Nadzir,1/22
[6] Az
Zamakhsyari, Al Bahrul Muhith Fi Ushulil Fikh,1/57
[7] At
Thahawi, Hasyiyah Ala Maraqi Al Falah Nurul Idhah,1/446
[8]
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, (Dar Tsuraya Lin Nasyr, 1424) 1/18
[9]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 7/377
[10]
Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, 26/251
[11]
HR Ahmad, 7/565
[12]
HR. Ibnu Majah, No.3932
[13] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Tafsir As Sa’di,
1/801
[14]
Tafsir At Thabari, 22/305
[15]
An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 16/143