Selasa, 28 Mei 2013

Asbabul Wurud Al Hadits



Setelah Al Qur’anul Karim, hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat penting, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq[1]
Seperti yang disebutkan didalam Al Qur’an:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kapada umat manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya mereka memikirkan.”. [2]
Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kepada umat manusia mengenai Al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap apa- apa yang tidak dijelaskan didalam     Al-Qur’an.
Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, hadits sendiri sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-Qur’an. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu hadits dengan “baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat metodologi dalam memahami hadist.
Ketika kita mencoba memahami suatu hadits, tidak cukup hanya melihat teks haditsnya saja, khususnya ketika hadits itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu hadits, perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa hadits itu disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks historisitasnya ( asbabul wurud) seseorang akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu hadits, bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapa asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu hadits, seperti pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud. Sebagian hadits mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadits. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami hadits. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.

Pengertian Asbabul Wurud
a.     Secara bahasa (etimologis)
Asbabul wurud  merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata ( أسباب) “asbab” adalah bentuk jamak dari kata  (  سبب  ) “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan  (  ( الحبل “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah [3] :
كل شيء يتوصل به الى غا ية
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada  pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
            الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “ [4]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadits.



b.     Secara Istilah
Asbabul wurud  merupakan susunan idhafah ( kata majemuk )  yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا يته[5]
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada  pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[6]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadits.
Menurut as-Suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu hadits.[7]
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-hadits, yakni untuk menentukan takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut [8] :
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang  terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah)untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu hadits [9]



C.  Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut Imam  as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu [10]:
1)      Sebab yang berupa ayat al-Qur’an
2)     Sebab yang berupa Hadis itu sendiri
3)     Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” [11]
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata ( الظلم (“azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan  dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” [12]
2.     Sebab yang berupa Hadits.
Artinya pada waktu  itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” [13]
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat”sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
3.     Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Siniyakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nyaseandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini,Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”.[14]
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadisSebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, kultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan perananasbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut Imam as-Suyuthi antara lain untuk [15]:
1.       Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2.      Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3.       Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4.      Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
5.      Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6.      Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)

Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم[16]
“Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda: ” Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadits tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi :
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا[17]
“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
من سن سنة حسنة  … الحديث
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum padamatan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.[18]
E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbabul wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah:
1.       Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2.      Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
3.      Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
4.      Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi (w.1110 H.)

BaB III: PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.       Asbabul warud al-hadits merupakan konteks historisitas yang melatar belakangi munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadits itu di sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya suatu hadis.
2.      Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadits, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
3.      Dari beberapa definisi asbabul wurud yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian asbabul wurud tersebut lebih mengacu pada asbabul wurud khas (asbabul wurud mikro). Di antara fungsi dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan ada tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci yang masih global, menentukan ada tidaknya nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hukum, dan menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).
4.      Tampaknya perlu dikembangkan asbabul wurud ‘am (asbabul wurud makro), yaitu situasi sosio-historis yang lebih bersifat umum di mana dan kapan Nabi SAW menyampaikan sabdanya dan hal ini memerlukan kajin sejarah yang sangat detail.
Daftar pustaka

1.       Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
2.      Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim,  Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1
3.      Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo, 2008, Cet ke 5
4.      Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2
5.      Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
6.      Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar 
7.      Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , dalam muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
8.      Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits  Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
9.      Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997).




[1] Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim,  Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1

[2]  QS. An-Nahl :44
[3] Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , Ktab muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif. Hlm 32
[4]  Munzier Suparta, Ilmu Hadits  Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, tahun 2008 , hlm. 38-.39

[5] Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25

[6] Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , Kitab Muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
[7] Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
[8]  Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

[9]  Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar tt  Hlm.05

[10]   Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin as Suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M juz I
[11]Al Qur’an: Al-An’am: 82
[12]  Q.S:  al-Luqman: 13)
[13]  HR. Hakim
[14]  H.R. Abdurrazzaq dalam Kitab Al-Mushannafnya.

[15]   Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin as suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M juz I

[16]  HR. Ahmad
[17]  HR. Muslim
[18]   Alluma’ Fi asbaabil Hadits, Jalaluddin as suyuthi, Tahqiq Yahya ismail Ahmad, Penerbit Darul maktabah Ilmiyyah Beirut, Tahun 1404 H/1984M




Bagaimanakah Pencatatan Rujuk Setelah Talaq ?


Bab I : Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah penduduk yang paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat di jawab dengan mempelajari sejarah hukum hukum Islam di Indonesia dan proses penerapannya.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Sejalan dengan hal itu, masalah pernikahan, perceraian dan rujuk pun sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah paradigma yang menyeluruh, karena kalau kita pahami segala masalah dalam hukum yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian dan rujuk tentu bersumber dari literatur klasik baik yang bersumber dari para ulama terdahulu maupun dari undang-undang Belanda yang sudah ada sejak zaman dahulu namun kemudian diadopsi dan diberlakukan dalam  dalam sebuah undang-undang negara.

Bab II: Pembahasan
Pembahasan yang terkait dalam hal ini ada tiga hal yaitu: perkawinan, talaq dan rujuk.

Perkawinan
Sesungguhnya ketenangan dan ketenteraman hidup berumah tangga adalah salah satu tujuan yang  sangat di harapkan oleh Islam. Ikatan perkawinan pada dasarnya adalah ikatan abadi dan berkesinambungan, hingga maut menjemput [1].  Sehingga rumah tangga merupakan tempat suami istri untuk menyempurnakan kebahagiaan  bersama dalam beragama, saling tolong menolong dan membantu dalam menunaikan kewajiban dan saling ( itsar ) mendahulukan dalam memperoleh hak.  Sehingga ikatan ini di abadikan oleh Al Qur’ an seperti dalam firman Allah:
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“  Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”[2]

Bila ikatan tersebut sangatlah kuat,  maka seharusnya ikatan yang telah di bina itu tidak dirusak dengan mudah dan semaunya.   Sehingga Rasulullah mencela perbuatan ini dalam haditsnya bersumber dari  Umar bin Khattab Radhiyallohu anhu:

أبغض الحلال إلى الله عز وجل الطلاق
“ Perbuatan halal yang di benci oleh Allah adalah talaq “ [3]





Talaq ( Perceraian )
Pengertian Perceraian

a.      Tinjauan Hukum Islam

Perceraian adalah terlepasnya ikatan pernikahan atau bubarnya hubungan pernikahan.[4] Dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq yang berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian atau furqah yang berarti bercerai. Ada dua macam pengertian talak yang sering dipakai oleh ulama[5]:
a.      Arti umum adalah segala bentuk perceraian, baik yang dijatuhkan oleh suami, ditetapkan hakim maupun karena meninggalnya salah satu pihak.
b.      Arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya.

Pandangan Madzahib Tentang Talaq

1.      Syafiiyyah

هو لغة حل القيد وشرعا حل عقد النكاح بلفظ الطلاق ونحوه

“ Talaq secara bahasa adalah lepasnya ikatan, sedangkan secara istilah adalah lepasnya ikatan perkawinan dengan lafadz talaq atau yang serupa.[6]  Lafadz talaq ada dua macam : Sorihah ( jelas menunjukkan arti talaq seperti ( أنتِ طالق  ) dan Kinayah ( samar dalam arti bisa berarti talaq dan tidak seperti ( أمرُكِ بِيِدِكِ ).
Syafi’iyah  berpendapat kata-kata talak yang terang-terangan ada tiga, pertama talak, kedua firaq [7], hal berdasarkan firman Allah dalam Al Qur’an  yang berbunyi :

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
“ Dan Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. [8]
Kemudian ketiga kata shirah, sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ [9]
Artinya: "Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau
ceraikanlah mereka degan cara yang ma'ruf (pula)…


 sedangkan lafadz kinayah menurut Syafiiyah sangat banyak diantaranya:

أنت خلية, برية, بتة ,بتلة, بائن ,حرام ,حرة ,واحدة ,اعتدي ,استبرئي, رحمك الحقي بأهلك ,حبلك على غاربك , اخرجي, اذهبي ,سافري.....[10]
2.      Malikiyah
وقال ابن عرفة : الطلاق صفة حكمية ترفع حلية متعة الزوج بزوجته
Berkata Ibnu Arfah, ia berpendapat bahwa talaq adalah: Suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri [11]
عند المالكية : " الصريح الذي تنحل به العصمة ولو لم ينو حلها متى قصد اللفظ (طلَّقتِ وأنا طالقٌ) منكِ (أو أنتِ) طالقٌ (أو مطلقة) بتشديد اللام المفتوحة (أو الطلاق لي) أو علي أو مني أو لك أو عليك أو منك ونحو ذلك (لازم) ونحوه (لا منطلقة) ومطلوقة ومطلقة بسكون الطاء وفتح اللام مخففة حيث لم ينو به الطلاق لان العرف لم ينل ذلك لحل العصمة فهو من الكناية الخفية. (وتلزم) في لفظ من الألفاظ الأربعة المذكورة طلقة (واحدة إلا لنية أكثر) فيلزمه ما نواه."[12]
“ Menurut Malikiyah, Shorih adalah yang dapat melepaskan ikatan meskipun belum diniatkan ketika diucapkannya lafadz. Misalnya adalah:
(طلَّقتِ وأنا طالقٌ) منكِ (أو أنتِ) طالقٌ (أو مطلقة)   ( أو الطلاق لي)
Pada empat lafadz di atas terkandung makna talak satu terkecuali bila diniatkan lebih.”
3.      Hanafiyah
رفع الحل الذي به صارت المرأة محلا للنكاح إذا تم العدد ثلاثا كما قال الله تعالى { فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره }
 “ Terangkatnya ikatan yang sebelumnya wanita adalah menjadi istri, bila jumlahnya  telah sampai tiga kali [13]

عند الأحناف : " الطَّلَاقُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : صَرِيحٌ، وَكِنَايَةٌ، فَالصَّرِيحُ قَوْلُهُ : أَنْتِ طَالِقٌ وَمُطَلَّقَةٌ وَطَلَّقْتُك فَهَذَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ الرَّجْعِيُّ [14]
“ Menurut Hanafiyah, talaq ada dua macam shorih dan kinayah, sharih seperti ucapan: “ Anti Tholiq atau Muthalaqah, atau Thalaqtuki dan lafadz ini bermuatan talaq raj’I

4.       Hanabilah

Menurut Madzhab ini talaq adalah :
حل قيد النكاح ، أو بعضه بوقوع ما يملكه من عدد الطلقات ، أو بعضها .
“ Lepasnya ikatan nikah atau sebagian dengan jatuhnya separuh bilangan talaq’[15]
Lafadz talaq menurut Hanabilah:
عند الحنابلة : " الصريح لفظ الطلاق وما تصرف منه كالسراح والفراق لأنهما يستعملان في غير الطلاق كثيرا فلم يكونا صريحين، فيه كسائر كناياته [16]
Menurut Hanabilah: Lafadz sharih dalam talaq adalah apa saja  yang diucapkan seperti Sirah, firaq,  karena keduanya banyak digunakan istilah diluar talaq, dan keduanya pun tidak shorih seperti kinayah yang lain.”



Kesimpulanya: lafadz yang sharih jelas hukumnya jatuh menjadi talaq bila diucapkan karena maknanya sudah jelas, meskipun tidak diniatkan dan disyaratkan lafadznya ditujukkan kepada istri seperti (أنت طالق ) . Sedangkan lafadz kinayah, tidak akan jatuh kepada talaq bila tidak diniatkan, inila pendapat yang dipilih oleh Imam Malik dan Imam Syafi’I.[17]  Hal ini berdasarkan kepada hadits nabi bersumber dari Aisyah RA:

أن ابنة الجون لما أدخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ودنا منها، قالت: أعوذ بالله منك، فقال لها: " عذت بعظيم، الحقي بأهلك "

Artinya: “Dari Aisyah Radhiyalllahu Anha Sesungguhnya anak perempuan Jaun ketika dimasukkan kerumah Rasulullah dan Rasulullah mendekatinya, berkatalah perempuan itu: aku berlindung kepada Allah dari gangguanmu, maka nabi berkata Engkau berlindung dengan menyebut nama yang Maha Agung. Karena itu pulanglah kerumah keluargamu”.  ( HR . Bukhari )

Hadist ini menunjukkan bahwa tidaklah dianggap talak bila tidak disertai dengan niat.
Sebelum abad ke-19, pengertian talak oleh para ahli fiqih lebih diartikan pada pengertiannya secara khusus. Sedangkan pada masa sekarang, perceraian lebih diartikan pada pengertiannya secara umum. Pada masa sekarang perceraian dapat terjadi karena adanya permintaan baik dari suami maupun istri, dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Akan tetapi hak untuk menjatuhkan talak tetap menjadi hak suami yang harus diucapkan dimuka pengadilan. Oleh karena itu Islam tidak menyukai adanya perceraian. Akan tetapi harus disadari bahwa tidak mungkin perceraian sama sekali untuk dihindarkan dalam lingkup kehidupan berkeluarga,  demi alasan-alasan khusus Islam  menerima kemungkinan terjadinya perceraian. [18]  Perceraian juga merupakan sarana untuk menterapi kondisi rumah tangga yang sudah tidak ada kecocokan, salah satu pihak melalaikan hak dan kewajiban, tidak memiliki keturunan, menderita sakit menahun, salah seorang dari suami atau istri pergi tak tau dimana rimbanya dan lain-lain.

Jenis-Jenis Talaq
a.      Ditinjau dari kondisi istri
1.      Talaq Sunni/  سني
Talaq sunni adalah yaitu talaq yang sesuai dengan ketentuan sunnah. Dalam hal talaq Sunni Rosulullah telah memberi tauladan yaitu:
-          Talaq yang diucapkan satu kali dan istri digauli ketika suci dari  haid. Tidak dalam kondisi hamil, anak kecil atau wanita menopause.
-          Talak yang diucapkan berturut-turut sebanyak tiga kali diwaktu berbeda dan istri dalam keadaan suci dari haid, dua kali dari talaq itu
dapat diruju’, sedangkan yang ketiga kalinya tidak dapat diruju’ lagi.[19]

2.      Talaq Bid’i / بدعي 
 yaitu talaq yang menyalahi ketentuan agama, atau talaq yang diucapkan tiga kali talaq pada waktu yang bersamaan atau talaq yang diucapkan dengan talaq tiga, atau mentalaq istri dalam keadaan haid atau mentalaq istri dalam keadaan satu suci.[20]

b.      Ditinjau dari kondisi suami

1.      Thalaq Raj’i / رجعي
Para ulama sepakat bahwa yang dinamakan talaq raj’i ialah talaq dimana suami memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (ruju’). Syaratnya adalah  istri sudah dicampuri (madkhul biha ) .[21] Sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa idah, baik istri tersebut bersedia ruju’ atau pun tidak.Semua jenis talak seperti ini dapat kembali kepada istrinya dalam masa iddah tanpa melakukan nikah baru, yaitu pada talaq pertama dan kedua, sebagaimana firman Allah SWT[22]:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Artinya; Talak yang bisa diruju’ itu dua kali, setelah itu boleh ruju’ lagi dengan cara yang ma’ruf dan boleh melepas dengan cara yang baik pula. (Q.S. Al Baqarah: 229)

2.      Talaq Bain / بائن  adalah talaq yang  suami tidak boleh ruju’ kepadanya (  (istri belum di campur ) Suami boleh melaksanakan akad nikah baru  istrinya itu dengan membayar mahar baru dengan menggunakan rukun dan syarat yang baru pula.  Talaq bain ini terbagi menjadi dua:
a.      Bain Shugro
Talak bain sugro adalah talak yang menghilangkan hak hak ruju’ dari mantan suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru mantan istrinya . sehingga ketika masa iddahnya selesai maka harus dengan akad nikah baru dengan mahar yang baru juga.[23]  Pada kasus ini hukum yang berlaku adalah:
-          Hilangnya kepemilikan kecuali setelah rujuk dengan akad yang baru
-          Berkurangnya jumlah bilangan talaq setelah rujuk.
-          Tidak mewarisi kedua belah pihak, bila salah seorang meninggal pada saat iddah, pendapat ini menurut Syafiiyah, sedangkan menurut Jumhur mewarisi masing-masing. Adapun menurut malikiyah setelah iddah mewarisi.[24]

b.      Bain Kubro
Talak bain kubro adalah talaq yang menghilangkan hak suami untuk nikah kembali kepada istrinya, kecuali kalau mantan istrinya itu telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul sebagai suami istri secara nyata dan sah. Disamping itu istri tersebut telah menjalankan iddahnya dan iddahnya itu telah habis pula. Allah telah berfirman dalam Al Qur’an:[25]

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya; Kemudian jika suami menalaqnya, sesudah talaq yang kedua maka perempuan itu tidak halal baginya sampai dia kawin dengan suami yang lain.(Q.S. Al Baqarah: 230)
Hukum yang terjadi akibat talaq bain kubro adalah[26]:
-                 Menghilangkan kepemilikan seketika
-                 Tidak mewarisi kedua belah pihak
-                 Menghilangkan ikatan suami istri hingga mantan istri menikah dengan laki-laki lain.

c.              Ditinjau dari sighat ( ungkapan )
Talaq terbagi menjadi tiga
a.                  Munjiz ( منجز )
Talaq Munjiz adalah:
هو ما قصد به الحال، كأن يقول رجل لامرأته: أنت طالق، أو مطلقة، أو طلقتك. وحكمه: وقوعه في الحال وترتب آثاره عليه بمجرد صدوره[27]
“ Talaq yang bermaksud seketika, seperti seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “ Kamu saya cerai atau aku ceraikan kamu” .
Hukumnya adalah: jatuh talaq dan hukum yang diakibatkannya ketika diucapkan

b.                 Mualaq ( معلق )
Talaq mualaq adalah:
هو ما رتب وقوعه على حصول أمر في المستقبل، بأداة من أدوات الشرط أي التعليق، مثل إن، وإذا ، ومتى، ولو ونحوها، كأن يقول الرجل لزوجته: إن دخلت دار فلان فأنت طالق، أو إذا سافرت إلى بلدك فأنت طالق، أو إن خرجت من المنزل بغير إذني فأنتي طالق[28]
“ Yaitu talak yang hukumnya terjadi pada saat kemudian, dengan salah satu dari perangkat-perangkat syarat, seperti jika, apabila, kapan, atau sejenisnya.seperti perkataan seorang kepada istrinya: “ bila kamu masuk rumah maka kau saya cerai”,. Kalau kamu pulang kampong maka saya cerai.” Kalau kamu keluar tanpa seizin saya maka kamu saya cerai”.
Hukumnya:
-          Jumhur berpendapat hukum talaq mualaq adalah sah, bila hal yang disyaratkan terjadi.
Dalilnya menurut firman Allah: {الطلاق مرتان}[29]
Dalam ayat ini talaq secara umum, tidak ada pemishan munjiz. Mualaq dll jadi hukumnya sah. Juga berdasarkan dengan hadits Rasulullah SAW: [30]
المسلمون عند شروطهم
-          Dhohiriyah dan Syiah berpendapat tidak sah
Dalilnya adalah:  bahwa talaq dengan syarat hukumnya adalah yamin( sumpah ) dan sumpah bila tidak dengan nama Allah hukumnya tidak sah. Haditsnya:[31]
من كان حالفاً فلا يحلف إلا بالله
Hal ini di bantah oleh Jumhur bahwa yang dimaksud sumpah disini hanya majaz kiasan saja, yang intinya adalah bersumpah dengan makna atas nama Allah sehingga hukumnya adalah sama seperti mualaq yaitu al hatsu alal fi’li ( menyegerakan perbuatan ) , larangan atau penguatan kabar ( ta’kidul khabar )
-          Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim berpendapat seperti Jumhur akan tetapi mereka mensyaratkan sumpah yang benar sedangkan bila sumpahnya tidak benar maka talaqnya tidak sah.
Dalilnya firman Allah SWT:[32]
  قد فرض الله لكم تحلة أيمانكم    



c.                  Mudhaf ( مضاف )
هو ما أضيف حصوله إلى وقت في المستقبل، كأن يقول الرجل لزوجته: أنت طالق غداً، أو أول الشهر الفلاني أو أول سنة كذا.
وحكمه: وقوع الطلاق عند مجيء أول جزء من أجزاء الزمن الذي أضيف

“Yaitu talaq yang disandarkan kepada waktu yang akan datang,  seperti seseorangberkata kepada istrinya: “Kamu saya ceraikan besok “. Atau awal bulan atau tahun, hukumnya: Jatuh talaq padabagian awal dari waktu yang disandarkan”.[33]

Hukum Talaq Dalam Tinjauan Islam
Islam memakruhkan talak pada awal hukumnya, hal ini bersandar kepada firman Allah:
وأخذن منكم ميثاقا غليظا  ".
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.[34]

Sehingga bila ikatan yang seharusnya di jaga dan dipelihara, kemudian di rusak tanpa ada alasan yang di benarkan maka hukumnya tercela.[35] Karena kedua belah pihak tidak dapat mengambil manfaat dari keberadaan masing-masing. Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah bersumber dari Tsauban:

عن ثوبان أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما امرأة سألت زوجها طلاقا من غير بأس، فحرام عليها رائحة الجنة  ".[36]

Dari Tsauban RA, Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang wanita meminta cerai dari suaminya tanpa alasan , maka diharamkan surga atasnya” ( HR. Tirmidzi )





 Namun para ulama berbeda pandangan dalam hukum talaq [37]; secara umum terbagi menjadi lima hukum yaitu:[38]
a.      Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri lalu tidak ada jalan yang ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduaya. maka kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah menjadi wajib, jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan, pertengkaran, bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka saat itu talak adalah wajib baginya.
b.      Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan.
c.       Mubah
Yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
d.      Sunnah
Sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak Allah SWT yang telah diwajibkan kepadanya, maisalnya salat,puasa dan kewajiban lainnya, sedangkan suami sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi, karena memang wanita itu mempunyai kekurangan dalm hal Agama, sehingga mungkin saja ia berbuat selingkuh dan menghasilkan anak dari perselingkuhan dengan laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya. Sebagaimana firman Allah[39]
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, tidak dibolehkan bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya kecuali jika mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”. (QS an-Nisa': 19)
e.      Makruh (terlarang)
 yaitu talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid. Talak ini juga dikenal dengan talak bid'i.

Hukum Talak Tiga dalam satu ucapan
 Para ulama berbeda pendapat tentang talak yang diucapkan tiga kali berturut turut dalam satu kali ucapan, apakah hukumnya talak tiga atau tidak. Secara umum pendapatnya adalah:
1.      Jumhur Ulama berpendapat bahwa talak itu termasuk talak tiga, dalilnya adalah:
Dalilnya adalah: عن ابن عباس قال: كان الطلاق على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وسنتين من خلافة عمر طلاق الثلاث واحدة فأمضاه عليهم عمر
Dari Ibnu Abbas berkata: “ Talaq pada masa Rasulullah SAW , Abu Bakar dan dua tahun setelah pemerintahan Umar Talaq tiga dalam satu”[40]







2.      Dhzahiriyah dan Syiah
واحتجوا أيضا بما رواه ابن إسحاق عن عكرمة عن ابن عباس قال " طلق ركانة زوجه ثلاثا في مجلس واحد فحزن عليها حزنا شديدا فسأله رسول الله صلى الله عليه وسلم: كيف طلقتها؟ قال: طلقتها ثلاثا في مجلس واحد قال: إنما تلك طلقة واحدة فارتجعها"
Mereka berhujah dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, berkata: “ Rukanah mentalak istrinya tiga kali ddlam satu majelis, lalu ia sangat bersedih, kemudian ia bertanya kepada Rasulullah, Beliau bersabda: “ Bagaimana engkau cerai dia”? Rukanah Berkata: “ Aku cerai dia tiga kali dalam satu majelis.” Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya ia adalah talaq satu maka rujuklah engkau dengan istrimu”[41]

Sebab khilaf mereka adalah: apakah Talaq itu sama syarat dan hukumnya dengan Sumpah, jual beli dan nikah?
Jumhur ternyata terlalu memberatkan dalam hukum, sedangkan sebagian Malikiyah dan Syafiiyah menghukumi talak tersebut bukan talak tiga, karena talak tiga adalah talak terakhir yang sebelumnya taak dua dilalui proses rujuk. [42]

Alasan diperbolehkannya Perceraian
a. Tinjauan Hukum Islam
Dalam hukum Islam secara tegas telah disebutkan, alasan-alasan yang harus terdapat dalam setiap perceraian.
1.      Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat diartikan menentang kehendak suami tanpa ada alasan yang dapat diterima oleh hukum syara’.[43] Tindakan-tindakan itu dapat berupa meninggalkan rumah tanpa ijin, tidak melaksanakan perintah dan lain-lain.
2.      Syiqaq atau perselisihan, jika terjadi perselisihan antara suami istri hendalah mereka menunjuk hakamain dari masing-masing pihak untuk mendamaikan keduanya. Jikalau hakamain itu tidak dapat mendamaikan, maka tidaklah mengapa perceraian itu dilakukan. Karena jika perselisihan itu terus terjadi tentu akan memberi dampak negatif bagi perkembangan anak.
3.      Shighat Ta’lik adalah shighat yang diucapkan oleh suami dengan digantungkan pada suatu peristiwa atau keadaan yang akan mungkin terjadi dikemudian hari. Jika keadaan ini benar-benar terjadi maka istri telah tertalaq satu.[44]
4.       Dzihâr adalah kalau seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Anti ‘alaiyya kadzahri ummi”, artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah mengdzihar istrinya. Mendzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.
Firman Allah : [45]
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Al Mujadalah: 2)

Bentuk kafarat sebagaimana yang disebutkan Al-qur'an surat Al- Mujadalah ayat 3 adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurutan menurut kesanggupan dari suami yang bersangkutan, yaitu sebagaimana berikut:
a.      Memerdekakan seorang budak,  jika tidak mampu
b.      Berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu
c.       Memberi makan 60 orang miskin
5.      Riddah adalah perpindahannya seseorang dari agama Islam keagama lain
6.       Khulu’ adalah masdar dari khala’ seperti khala’a, artinya menanggalkan.
7.       Ila menurut bahasa berarti sumpah. Ila adalah masdar dari ala, yakli,  ilaan, berarti sumpah akan mencampuri isterinya dan menahan diri selama empat  bulan
Seperti dalam firman Allah yang berbunyi:[46]
Artinya; Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

b. Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974
Undang-undang perkawinan mengartikan perceraian adalah perceraian yang tercantum dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Th 1974 di awal bab bahwa ketentuan perceraian diawali dengan putusnya perkawinan, penjelasan ini dapat dibaca pada bab VIII (Putusnya Perkawinan dan Akibatnya) dalam pasal disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena;
1. Kematian,
2. Perceraian,
 3. Atas keputusan pengadilan
Sedangkan dalam pasal 39 dijelaskan:
1.      Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diakui peraturan perundangan sendiri.

c. Tinjauan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Berkaitan dengan perceraian Inpres No/91 Kompilasi Hukum Islam,secara umum membahas pada Bab XVI yang didalamnya mencakup tentang definisi perceraian sebagaimana telah dijelaskan pada:
 Pasal: 117
"Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan."
Pasal :129
Yaitu seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal Isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. “
Pasal 130:
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.”
 Pasal131:
Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.”

KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Begitupula yang tertera dalam  UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada pasal 66 ayat(1) yang berbunyi:
"Seseorang yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.
Dengan demikian talak merupakan ikrar suami yang harus dilakukan di lembaga Pengadilan Agama, dengan kata lain talak yang dilakukan diluar sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.[47]

Putusnya Perkawinan Menurut KHI
KHI menjelaskan tentang putusnya perkawinan yang diatur secara rinci dalam Bab XVI. Pasal 113 di nyatakan: Perkawinan dapat putus karena
1. Kematian,
2. Perceraian, dan
3. Atas putusan Pengadilan.


Jenis - Jenis perceraian Menurut KHI
 Secara keseluruhan telah diterangkan dalam
Pasal : 118
 "Talak raj'i adalah talak yang kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah, dan
Pasal : 119
1.      Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2.      Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
·          talak yang terjadi qabla al dukhul    
·          talak dengan tebusan atau khulu’
·         talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal : 120
 "Talak ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas[48] isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da-al dukhul dan telah habis masa iddahnya,"
Pasal : 121
 Menjelaskan tentang talak di tinjau dari waktu dijatuhkannya,
” Talak sunni adalah talak yang dibolehkan dengan arti lain talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”.



Pasal:  122
Kedua, talak bid'i " Talaq bid'i adalah talak yang dilarang, dengan arti lain talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut."

Alasan-alasan perceraian menurut KHI
Pasal : 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.      Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.         Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.      Suami melanggar taklik talak;
h.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Pencatatan Rujuk
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam  BAB XVIII berkaitan dengan rujuk.
Bagian kesatu
Pasal 163 :
1.      Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masa iddah.
2.      Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a.      Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul; P
b.      Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Pasal 164:
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 165:
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166:
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.





Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167
1.      Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
2.      Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3.      Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
4.      Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksi saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5.      Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168:
1.      Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksisaksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
2.      Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
3.      Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Penutup
Kesimpulan
Setelah mengungkap materi yang terkit dengan nikah, talak dan rujuk, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Dalam tinjauan hukum islam klasik, talaq sudah dibagi sedemikian rupa oleh para ulama melalui kajian yang mendalam dan berbagai ikhtilafat pendapatnya.
2.      Dalam tinjauan hukum  Islam di Indonesia talak ( perceraian ) dan rujuk                   ( kembalinya kedua belah pihak ) baru dinyatakan sah setelah melalui pengadilan agama yang sah dan ditunjuk, meskipun sudah sah secara agama.
3.      Menurut hemat penulis, hukum islam di Indonesia terkait dengan pencatatannikah dan rujuk secara spesifik di dasarkan kepada maslahah mursala     ( kemaslahatan umum ) dan di kaitkan dengan kaidah fiqhiyah :
الخلاف حكم الحاكم الزام ويرفع
“ Keputusan Hakim ( pemimpin ) sifatnya mengikat dan meminimalisir pengaruh perbedaan “








Daftar Pustaka
1.      Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,


[1] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Jogjakarta : Liberti, 1999), 103.
[1] Fathul Wahhab Bisyarhi Minhaji Tullab, Zakarya Bin Muhammad bin Ahmad Bin Zakarya Al Anshari Abu Yahya, darul Kutub Al Ilmiyah, 1418 H, Beirut Juz 2 hal 124
[1] Lihat Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Penerbit  Sayyid Sabiq, tahun 1988 M/1409 H Jilid 2 hal 206
[1] روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 3 / ص 108) . تأليف: النووي، دار النشر: المكتب الإسلامي - بيروت - 1405، الطبعة: الثانية
[1] QS. An Nisaa; 130
[1] Q.S. Al-Baqarah: 231

[1]  Al Asybah wan An Nadzaair, Imam Syafi’i
[1] Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind Hillco, 1986), 105.
[1] Al Bahjah Fi Syarhi At Tuhfah, Abu Al hasan Ali bin Abdus Salam At tasuli, Darul Kutub Ilmiyah, Libanon, 1418 H 1/536
[1] الشرح الكبير للشيخ الدردير - (ج 2 / ص 378) تأليف: سيدي أحمد الدردير أبو البركات، دار النشر: دار الفكر - بيروت، تحقيق: محمد عليش .

[1] Al Mabsuth, Imam As Sarakhsi, 7/127
[1]  Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyyah, 1976), 377.
الإنصاف للمرداوي ج8/ص462 ، تأليف: علي بن سليمان المرداوي أبو الحسن، دار النشر: دار إحياء التراث العربي - بيروت، تحقيق:14  محمد حامد الفقي
[1]  Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam,Muhammad bin Imaill al amir Al Kahlani As Shon’ani 1182 H,Maktabah Musthafa Al bani Al Halbi,1479 H 1/14



[1] Lihat Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Penerbit  Sayyid Sabiq, tahun 1988 M/1409 H Jilid 2 hal 206
[2]  QS. An Nisaa: 21
[3] HR. Abu Daud dan Hakim ( ia mengatakan ini hadits shahih )
[4] Lihat  Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq 2/ 241
[5] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Jogjakarta : Liberti, 1999), 103.
[6] Fathul Wahhab Bisyarhi Minhaji Tullab, Zakarya Bin Muhammad bin Ahmad Bin Zakarya Al Anshari Abu Yahya, darul Kutub Al Ilmiyah, 1418 H, Beirut Juz 2 hal 124
[7] روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 3 / ص 108) . تأليف: النووي، دار النشر: المكتب الإسلامي - بيروت - 1405، الطبعة: الثانية
[8] QS. An Nisaa; 130
[9] Q.S. Al-Baqarah: 231

[10]  Al Asybah wan An Nadzaair, Imam Syafi’i
[11] Al Bahjah Fi Syarhi At Tuhfah, Abu Al hasan Ali bin Abdus Salam At tasuli, Darul Kutub Ilmiyah, Libanon, 1418 H 1/536
[12] الشرح الكبير للشيخ الدردير - (ج 2 / ص 378) تأليف: سيدي أحمد الدردير أبو البركات، دار النشر: دار الفكر - بيروت، تحقيق: محمد عليش .

[13] Al Mabsuth, Imam As Sarakhsi, 7/127
  شرح فتح القدير ج3/ص46312

[15] Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajih minal Khilaaf, Alauddin Abu Hasan Ali Bin Sulaiman Al Mardawi,maktabah Syamilah 13/ 318
  الإنصاف للمرداوي ج8/ص462 ، تأليف: علي بن سليمان المرداوي أبو الحسن، دار النشر: دار إحياء التراث العربي - بيروت، تحقيق:14  محمد حامد الفقي

[17] Lihat fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq 2/254
[18] Masdar Mas’udi, Islam dan Hak Reproduksi Perempuan, (Bandung : Mizan, 1999), 162-163.

[19]  Al Iqna’ fi hal Al fadz Abi Suja’. Muhammad Syarbini Al Khatiib. Darul fikr Beirut,thn 1415 H
[20] Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaily, Darul Fikr Damaskus tt 9/402
[21]  Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd al Hafiid w 595 H, Maktabah Mustafa Al Bani Al Halby, Mesir th 1495 H  jilid 2/ 60
[22] QS Al Baqarah:229
[23]  Fiqul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/407
[24] Fiqul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/415
[25] QS. Al Baqarah: 230
[26] Fiqhul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/416
[27] Fiqhul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/416

[28] Fiqul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/418
[29] Qs. Al Baqarah 229
[30] HR. Bukhari
[31] HR. Abu Ubaidah dari Ibnu Umar
[32] QS. At Tahrim:2
[33] Fiqul Islamy waadillatuhu, DR. Wahbah Az Zuhaily 9/418
[34] QS. An Nisa:21
[35] Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq 2/241
[36] HR. Tirmidzi ia berkata ini hadits Hasan
[37] Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq 2/243
[38]  Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam,Muhammad bin Imaill al amir Al Kahlani As Shon’ani 1182 H,Maktabah Musthafa Al bani Al Halbi,1479 H 1/14
[39] surat An-Nisa' :19
[40]  HR. Bukhari Muslim
[41]  HR. Bukhari Muslim
[42] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd 2/62
[43]  Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyyah, 1976), 377.
[44] Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind Hillco, 1986), 105.

[45] QS. Al Mujadilah : 2
[46]  (Q.S. Al  Baqarah: 226-227)


[47]  Hal ini lebih didasarkan kepada maslahah, padahal secara hukum islam talaq itu telah jatuh bila diucapkan dengan niat meskipun tidak dihadapan pengadilan (penulis )
[48]  Pendapat penulis: penggunaan kata BEKAS dalam KHI kurang tepat, alasannya: “ Kata bekas hanya cocok digunakan untuk benda yang tidak berakal seperti benda mati, mobil, kaleng dll, sementara suami dan istri lebih cocok menggunakan kata MANTAN, karena itu lebih diterima dengan naluri kemanusiaan.