Rabu, 08 Februari 2017

PUASA TAPI GHIBAH, APAKAH PUASANYA HARUS DI BATALKAN ATAU DILANJUTKAN?



Pertanyaan:

Mhn maaf saya seorang ibu umur 42 tahun. Jika kita menjalankan puasa sunnah lalu melakukan perbuatanmarah atau ghibah (yg pernah saya dengar hal tersebut menyebabkan gugurnya pahala puasa) apakah puasanya dibatalkan saja ustaz?

Jawaban:

Puasa merupakan ibadah lahir dan bathin yang hanya Allah yang menilainya. Puasa memiliki syarat wajib dan syarat sah yaitu: Islam, berakal, baligh dan suci dari haid dan nifas. ( Wahbah Zuhaily, Al Fikhul Islami Waadillatuhu, 3/1670)
Ibadah puasa memiliki kedudukan yang mulia serta pahala yang berlipat ganda, sampai-sampai Allah sendiri yang berjanji untuk membalasnya.

Rasulullah bersabda:

عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata,”Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,”Allah berfirman,” Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya”. (HR. Bukhari, No. 1761, Muslim, No. 1946)

Namun demikian, untuk mencapai derajat puasa yang luhur, banyak sekali tantangannya, diantaranya adalah perbuatan maksiat, kata-kata kotor, caci maki dan sejenisnya yang dapat mengurangi keutamaan pahala puasa tersebut.

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنَّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

“Jika salah seorang di antara kalian melaksanakan ibadah puasa, maka janganlah ia mengucapkan perkataan kotor dan jangan berteriak-teriak. Jika ia dicaci oleh orang atau hendak diajak berkelahi, maka hendaknya ia mengatakan ‘Aku sedang puasa.'” (HR. Bukhari, No.1904 & Muslim, No. 1151)
Dan betapa berat menggapai pahala puasa ini, sehingga Rasulullah bersabda,” Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tak mendapatkan selain lapar dan haus”. ( Sahihul Jami’, 3490)

Terkait dengan perbuatan marah dan ghibah, Perbuatan seperti ini tidak membatalkan puasanya, namun mengurangi pahalanya. Karenanya, wajib atas seorang muslim untuk menahan diri dan menjaga lidahnya dari perbuatan mencela, ghibah (mengunjing), menebar fitnah dan berbagai perbuatan yang diharamkan Allah pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya ( Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyah Wal Ifta’, 10/333)

Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ menyebutkan,”Orang yang melakukan ghibah saat berpuasa, ia sudah bermaksiat kepada Allah, namun hal tersebut tidak membatalkan puasa, pendapat ini juga dianut oleh Imam Malik, Ahmad, Abu Hanifah dan ulama lainnya, kecuali Al Uza’ie. Dan kesempurnaan puasa seharusnya dijaga dengan menjaga panca indera dari melakukan kemaksiatan. (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Muhazab, 6/398)

Kesimpulan:

  • Marah dan ghibah tidaklah membatalkan puasa, namun mengurangi pahala puasa dan kesempurnaannya disisi Allah
  • Bagi yang melakukan ghibah atau marah tidak perlu membatalkan puasanya pada hari itu, namun terus dilanjutkan hingga waktu berbuka. 
  •  Orang yang berpuasa memiliki keutamaan dibanding orang yang tidak berpuasa, meskipun puasa sunnah, jika puasa tersebut dibatalkan karena marah atau ghibah, maka ia kehilangan kesempatan beramal shalih pada waktu-waktu ia sedang berpuasa.
  • Perbanyak istighfar dan bertaubat atas dosa ghibah dan marah tersebut, ikuti perbuatan maksiat dengan ketaatan, semoga perbuatan baik itu menghapus perbuatan buruk.


إن الحسنات يذهبن السيئات

Firman Allah:

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk ( QS. Hud: 114)

والله أعلم

 














Rabu, 01 Februari 2017

Asal Muasal Kata Depok




Ada beberapa perbedaan pendapat terkait dengan  apa makna kata depok dan siapa yang pertama kali mempopulerkannya.  Pendapat-pendapat tersebut adalah:

1.       Depok merupakan akronim (singkatan) dari De Earste Protestante Organisatie van Kristenen.
2.       Depok adalah singkatan dari Deze Emheid Predikt On Kristus
3.       Depok adalah singkatan De Earste Proteatanche Onderdan Kristen
4.       Dewan Ekonomi Orang-orang Kristen (Depok)
5.       Depok berasal dari kata ‘Pa-depok-an” yang artinya tempat belajar dan menimba ilmu.

Pada tahun 1947 J.W De Vrries bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan penelitian terhadap orang-orang Kristen Depok. Tujuannya ingin mengetahui sejauh mana penggunaan bahasa Belanda di Depok setelah Indonesia merdeka. Metode yang digunakan adalah wawancara. Namun sayang, yang diwawancarai adalah orang Kristen Depok saja. Sehingga kesimpulannya warga Depok asli adalah Kristen sebagai ahli waris dari Cornelis Chastelein.
Namun kesimpulan itu lemah dari beberapa sisi, yaitu:

1.      Sisi akronim, untuk nama Depok, seharusnya memiliki arti tertentu misal Persatuan Catur Seluruh Indonesia PERCASI, sedang Depok tidak seperti itu.
2.      Ada daerah lain yang menggunakan nama Depok, seperti di Nusa Tenggara, Sumedang, Sleman, Semarang dan lain-lain. Dan itu tidak ada kepanjangannya.
3.      Penggunaan akronim baru dikenal abad -19 sedang kedatangan Chastelein datang abad-16, jelas penggunaan akronim tidaklah lazim.
4.      Pendidikan zaman dulu dinamakan padepokan, karena kebiasaan seorang guru dengan murid-murid duduk bersila melakukan kegiatan belajar mengajar. Sehingga lama-lama dikenal dengan istilah Depok.

Sumber: Jejak Langkah Islam di Depok, MUI 2007


Jumat, 27 Januari 2017

Hukum Mengkonsumsi Jalalah




Jalalah adalah hewan-hewan yang mengkonsumi kotoran dalam mayoritas makanannya, hewan tersebut bisa sapi, unta, kambing, ayam atau hewan lain hingga berubah baunya.[1]
bisa juga ikan lele dan sejenis.
Larangan tersebut tercantum dalam hadits:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: " نهى رسول الله، صلى الله عليه وسلم، عن شرب لبن الجلالة ". رواه الخمسة إلا ابن ماجه.
وصححه الترمذي. وفي رواية " نهى عن ركوب الجلالة " رواه أبو داود

Dari Ibnu Abbas Radhiyallah Anhuma berkata,” Rasulullah melarang minum susu dari Jalalah, (riwayat Lima Imam kecuali Ibnu Majah disahihkan oleh Tirmizi dalam riwayat lain,”Dilarang mengendarai Jalalah” (Riwayat Abu Daud)

Kondisi hewan yang mengkonsumsi kotoran

1.      Hewan yang mengkonsumi sedikit saja kotoran, sedang mayoritas makanannya adalah makanan yang biasa dikonsumi (bukan kotoran). Maka hewan ini tidak dihukumi Jalalah

فأما إذا رعت الكلأ ، واعتلفت الحَبَّ ، وكانت تنال مع ذلك شيئاً من الجِلَّة ، فليست بجلالة ، وإنما هي كالدجاج ونحوها من الحيوان الذي ربما نال الشيء منها ، وغالب غذائه وعلفه من غيرها : فلا يكره أكله .

Adapun jika digembalakan di padang rumput, mengkonsumsi biji-bijian, dan bersama itu mengkonsumsi sedikit kotoran, maka tidak dihukumi  al Jalalah, namun hukumnya seperti ayam dan sejenisnya yang mengkonsumsi sedikit kotoran, dan mayoritas makananya bukan, dan hukum memakan hewan ini tidaklah makruh.[2]

Syekh Al Utsaimin berkata:

فإذا كانت تأكل الطيب والقبيح ، وأكثر علفها الطيب ، فإنها ليست جلالة ، بل هي مباحة

“Jika memakan makanan yang baik dan kotor juga, dan sebagian besar makanannya adalah baik, maka ia bukan termasuk Al Jalalah, dan hukumnya mubah.[3]


2.      Hewan yang mayoritas makanannya adalah kotor, dan hanya sedikit saja mengkonsumsi yang bersih. Sehingga bau dagingnya. Hukumnya haram dikonsumsi, air susunya haram diminum dan dilarang ditunggangi.

Hewan ini jika bau dan pengaruh kotorannya sudah hilang maka hukumnya menjadi halal.[4]

3.       Hewan yang mayoritas mengkonsumsi kotoran, namun tidak berpengaruh terhadap bau dan dagingnya. Maka para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya.

Menurut Hanabilah termasuk jalalah, karena menurut kalangan ini yang dimaksud dengan jalalah adalah hewan yang mayoritas mengkonsumsi kotoran, baik memiliki pengaruh terhadap dangingnya atau tidak.

Menurut Hanafiyah dan Syafiiyah, tidak termasuk jalalah, karena menurut kalangan ini meski mengkonsumis mayoritas kotoran namun tak berbekas pengaruh dalam dagingnya maka hukumnya halal.[5]

Menurut Imam Nawawi:

لَا اعْتِبَارَ بِالْكَثْرَةِ ، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ بِالرَّائِحَةِ وَالنَّتْنِ ، فَإِنْ وُجِدَ فِي عَرَقِهَا وَغَيْرِهِ رِيحُ النَّجَاسَةِ فَجَلَّالَةٌ ، وَإِلَّا فَلَا

Banyak bukanlah ukuran, akan tetapi ukurannya adalah bau busuk jika keringat dan lainnya tercium bau busuk  najis maka ia termasuk jalalah, jika tidak maka bukan. ( Majmu Syarh Muhazab, 9/28)

Berapa lama Karantina Jalalah?

 Menurut Ibnu Hajar, jalalah bisa halal dikonsumsi jika baud an pengaruhnya sudah hilang.( Fathul bari, 9/648)

Sebagian ulama menetapkan waktu tertentu dalam karantina jalalah hingga bersih, dan sebagian lagi tidak, artinya dikembalikan kepada lumrahnya kebersihan.

·         Untuk sapi dan unta 40 hari
·         Kambing 7 hari
·         Ayam 3 hari ( Fathul Bari, 9/648)


[1] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, 3/285
[2] Al Khattabi, Ma’alim Sunan, 4/244
[3] Syarah Riyadhus Shalihin, 6/4343
[4] Ibrahim Al Harbi, Gharib al Hadits, 1/115
[5] As Sarakhsi, Al Mabsuth, 11/255