Senin, 07 Agustus 2017

Al Qur’an Berbicara Tentang Kebahagiaan




يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ (105) وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ 
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)

(105)   Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.
(108)   Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Beragam definisi tentang “kebahagiaan”:


  1. Ketenangan jiwa dan perasaan
  2. Terkumpulnya iman dan ridha kepada Allah
  3. Keamanan hidup
  4. Kesuksesan dan kekayaan
  5. Kelezatan terus menerus
  6. Kenyang dan tak kelaparan selamanya


f.        Kebahagiaan dunia dengan segala perangkatnya, kebahagiaan aherat dengan syurga dan kenikmatannya.

1.      Kebahagiaan didalam Al Qur’an secara spesifik disebutkan dalam surat Hud ayat 105 dan 108 sedang pada ayat lain, Al Qur’an banyak menyebut tentang sebab-sebab kebahagiaan.

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ 

Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً 

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (QS. An Naba:38)

2.      Kebahagiaan didalam Al Qur’an erat kaitannya dengan syurga dan neraka

Menurut Said Hawwa, kebahagiaan manusia di akherat kelak terkategori menjadi dua; masuk syurga lebih dahulu atau masuk syurga belakangan, ia bahagia setelah diselamatkan Allah dari azab neraka. (Al Asas Fi Tafsir, Said Hawwa, 5/2604)

3.      Kebahagiaan didalam Al Qur’an datang dengan bentuk pasif, artinya kebahagiaan itu bukan manusia yang menciptakan, melainkan datang dari Allah.

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)

Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS. Hud:108)



Wanita, antara Imra’ah dan Zaujah




Imra’ah (امرأة ) dalam bahasa Arab maknanya wanita, atau perempuan, dalam bentuk tunggal, sedang bentuk jamaknya adalah An Nisa (النساء )  yang bermakna wanita.  

Sedangkan Zaujah (زوجة )  bermakna pasangan dalam konteks keluarga berarti Istri bagi suaminya. Sedangkan untuk suami dengan sebutan zauj (زوج ). Keduanya bisa memiliki kesamaan.
Dalam terminology Al Qur’an, ada sejumlah ayat saat berkisah tentang keluarga dan pasangan hidup, Al Qur’an menyebut dengan rekadsi Imra’ah, sebagian lain ada juga dengan redaksi Zaujah. 

Misalnya:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ 

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing).. (QS. At tahrim [66]:10)

 Juga ayat tentang perilaku Istri Abu Lahab:
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (QS. Al Lahab:4)

Sedangkan ungkapan Zaujah tertera dalam ayat:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ 

Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (QS. Al Anbiya [21]:90

Jika kita perhatikan ada perbedaan mencolok antara dua ungkapan dalam ayat diatas


·         Kata Imra’ah digunakan Al Qur’an untuk makna wanita atau istri dalam sebuah keluarga, namun mayoritas keluarga tersebut tak merasakan ketenangan dan kedamaian. Dimana kedua pasangan tidak harmonis salah satu diantaranya beriman dan yang lain berkhianat, tak  ada ketenangan ataupun kedamaian didalamnya.
·         Kata Zaujah atau jamaknya Azwaj, digunakan Al Qur’an untuk mendiskripsikan pasangan dalam keluarga yang didalamnya hadir sakinah, ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan, kedua pihak baik suami dan istri saling bahu membahu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.


Itulah rahasia Al Qur’an yang diungkap oleh Dr. Eng. Ali Manshour Al Kayyali dalam bahasanya Al Qur’an ‘ilmun wa Bayan. So, cintai dan bimbinglah Istri dan keluargamu agar hadir kedamaian dalam rumahmu.

Gang H. Sairi
08/08/2017


Rabu, 02 Agustus 2017

Allah Tak Berketurunan, dan Tak Seorangpun Yang Setara dengan-Nya





لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  (3 (  وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ( 4 (
Dia tidak beranak dan tidakpula diperanakkan  (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (4)

A.      Makna Mufradat

ولد 

Anak


لَمْ يَلِدْ

Tidak beranak


كُفُوًا

Setara, sepadan

Allah Maha Ada, Dia bukan berasal dari yang makhluk. Dia Maha Suci dari sifat-sifat makhluk yang terlahir, Dia juga tidak memiliki keturunan, Dia ada sejak awal (qadim)  tak ada yang lebih awal dari Allah, dan Dia Maha Kekal selamanya, sampai kapanpun.[1]

1.       Menurut Abu Bakar Al-Jazairi

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

لم يلد: أي لا يفنى إذ لا شيء يلد إلا وهو فان بائد لا محالة. ولم يولد: أي ليس بمحدث بأن لم يكن فكان هو كائن أولا وأبدا.
Makna “Lam Yalid” yaitu, tidak fana (binasa) karena jika sesuatu berasal dari dilahirkan, maka ia bisa rusak binasa. Dan “wa lam yulad”,”Allah bukanlah baru karena Dia adalah Zat yang ada sejak awal dan selamanya”.[2]

2.       Syekh Wahbah Zuhaili
Terkait makna ayat
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَد
Dia tidak beranak dan tidakpula diperanakkan                       
Beliau menyebutkan:
وهذا نفي للشبه والمجانسة، ووصف بالقدم والأولية، ونفي الحدوث
Penafian dalam ayat ini berfungsi sebagai perumpamaan dan penyetaraan (Allah tiada setara dengan serupa) penyifatan dengan awal mula bermakna menafikan sesuatu yang baru.[3]

3.        Thahir Ibnu Asyur

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

وَلِأَنَّهُ لَوْ تَوَلَّدَ عَنِ اللَّهِ مَوْجُودٌ آخَرُ لَلَزِمَ انْفِصَالُ جُزْءٍ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ مُنَافٍ لِلْأَحَدِيَّةِ
Karena jika terlahir keturunan dari Allah,berarti ada wujud lain pecahan dari Allah dan inilah yang menafikan sifat Ahad (tungga) Allah. [4]

            Sesuai dengan firman Allah:
وَقالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَداً سُبْحانَهُ بَلْ عِبادٌ مُكْرَمُون

Dan mereka berkata,”Tuhan Yang Maha Pemurah telah memiliki anak, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan” (QS. Al Anbiya[21]:26

4.       Menurut Ibrahim Al Qattan (1404H)
Beliau menyebutkan dalam Taysir At Tafsir:

لم يتَّخِذ ولداً ولا زوجة، ولم يولَد من أبٍ ولا أُم. . فهو قَديمٌ ليس بحادِثٍ، ولو كان مولُودا لكان حادِثا. إنه ليس له بدايةٌ ولا نهاية.

Dia (Allah) tidak mengambil anak juga istri, tidak berketurunan dari ayah maupun ibu, Dia qadim (terdahulu) bukan hadits (baru). Karena jika Allah terlahir, maka Dia adalah makhluk baru, padahal Dia tak bermula dan tak berakhir”.[5]

Allah Maha Suci dari segala tuduhan kaum kafir dan musyrik terhadap Allah yang berketurunan. Tuduhan yang sangat tidak pantas ditujukan kepada Allah.
Penegasian dalam ayat ini merupakan jawaban atas tuduhan kaum Nashrani yang menyangka bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan orang Yahudi yang berkata bahwa Uzair adalah anak Allah, juga tuduhan sebagian orang Arab yang menyangka bahwa para malaikat adalah puteri-puteri Allah, dan sangkaan orang-orang Hindu yang menyatakan  Tuhan-Tuhan lain kepada Allah dan Allah memiliki keturunan. [6]

Firman Allah:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ 

Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. Taubah [9]:30)

 B.      Tiada yang Setara Dengan Allah

Firman Allah:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ( 4 (
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (4)
Terkait dengan ayat ini Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi menyebutkan dalam tafsirnya:
لم يوجد له مماثل أو مكافئ لا في حقيقة الوجود ولا في حقيقة الفاعلية ولا في أية صفة من الصفات الذاتية
Tiada yang serupa atau setara dengan Allah, tidak pada hakikat keberadaan maupun kenyataan, begitupula pada sifat  Zat-Nya.[7]

Disebutkan dalam hadits Rasulullah riwayat Imam al Hakim:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ} قال: الصمد: الذي لم يلد، {وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}  لِأَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُولَدُ إِلَّا سَيَمُوتُ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَمُوتُ إِلَّا سَيُورَثُ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمُوتُ وَلَا يُورَثُ {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} قَالَ: لَمْ يَكُنْ لَهُ شَبِيهٌ، وَلَا عَدْلٌ وَلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ .
Dari Ubay Bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu,” Bahwa orang-orang Musyrik berkata,”Wahai Muhammad beritahu nasab Tuhanmu kepada kami, lalu Allah menurunkan ayat:
{قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ}
Katakanlah, Dia –lah Allah, yang Maha Esa,Dia Allah tempat bergantung segala sesuatu).

Ash Shamad adalah,”Dia yang tak beranak,

{وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}
Tiada diperanakkan dan tidak ada yang setara dengan-Nya,

Karena setiap yang di lahirkan, ia akan mati, dan dan setiap yang mati akan mewarisi, dan Allah tak mati dan tak mewarisi,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}
Tiada sesuatupun yang setara dengan Allah

Allah tak serupa dengan apapun dan tak ada yang sesuatu yang sebanding dengan Allah. (HR. Al Hakim, no. 3897)


والله أعلم


[1] Tafsir At Thabari, 24/693
[2] Al Jazairi, Aisar At Tafasir, 5/628
[3] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, 30/465
[4] Thahir bin Asyur, At Tahrir wa Tanwir, 30/618
[5] Ibrahim Al Qattan, Taysir At Tafsir, 3/458
[6] Yusuf Al Qaradhawi, Tafsir Juz Amma, h. 560
[7] Syekh Mutawalli Asy Sya’rawi, Tafsir Juz Amma,  661