Kamis, 14 September 2017

TESIS JUDUL STATUS ANAK DARI PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN


Silahkan  download karya Tesis  S2, saya Fauzan Sugiyono kala kuliah di Pasca Sarjana Institute Ilmu Ilmu Al Qur'an Jakarta tahun 2016, pada link dibawah ini, semoga bermanfaat

https://blogpaidepok.wordpress.com/karya-tesis-pascasarjanaku/

Rabu, 13 September 2017

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DAN STATUS ANAKNYA




Assalaamu'alaikum ustadz, 

Bagaimana hukumnya jika seorang perempuan hamil di luar pernikahan, kedua orang tuanya malu, lalu bagaimanakah hukum pernikahan dan status anaknya?

J di Jawa Barat


Waalaikum salam,

Islam mengatur pergaulan antara lain jenis, dengan melarang pergaulan bebas dan mendekati zina. perbuatan zina terjadi karena lemahnya pemahaman agama Islam, atau keluarga yang broken home, ketika kepala keluarga tidak mendidik dengan akhlak Islam.
 
A.     Hukum perkawinan wanita hamil diluar nikah sah, menurut para ulama:

a.       Pendapat yang mengharamkan
Mazhab Maliki dan Hambali mengharamkan
Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud termasuk di antara Sahabat yang mengharamkan pria menikahi wanita yang dizinainya. Dan karena itu, mereka tidak menganggap sah pernikahan semacam ini.

b.      Pendapat yang membolehkan
Mazhab Syafii dan Mazhab Hanafi membolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina, tanpa harus menunggu anak lahir.
وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا لأَنَّ حَمْلَهَا لاَيَلْحَقُ بِأَحَدٍ فَكَانَ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ

Boleh menikahi wanita hamil dari perzinaan, karena sesungguhnya kehamilannya itu tidak dapat ditujukan kepada seseorang, sehingga wujud dari kehamilan tersebut adalah seperti ketiadaannya.( Al Muhazzab, 2/113)

 (مَسْأَلَةُ ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحَامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءُ الزَّانِى وَغَيْرِهِ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَع الكَرَاهَةِ

Boleh menikahi wanita yang hamil dari perzinaan, baik oleh laki-laki yang menzinainya atau oleh lainnya dan menyetubuhi wanita pada waktu hamil dari zina tersebut adalah makruh. (Bughyatul Musytarsyidin hlm. 201)

أَمَّا وَطْءِ الزِّنَا فَإنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءِهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحِّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعِى

Adapun hubungan seksual dari perzinaan, maka sesungguhnya tidak ada 'iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari perzinaan dan halal menyetubuhinya sedangkan wanita tersebut dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat.( Al-Fiqh ala Madzahibil Arba’ah juz 4/533)

B.      Tinjauan Kompilasi hukum Islam Indonesia

Disebutkan dalam (Bab VIII) tentang  Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :

a.      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
b.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
c.       Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

C.      Status Anaknya

status anak yang dilahirkan tetap sebagai anak zina. Dan karena itu dinasabkan pada ibunya. Bukan pada pria yang menikahi ibunya karena faktanya ia bukan ayah biologisnya. Apabila anak tadi terlahir perempuan, maka yang menjadi walinya adalah wali hakim atau pejabat KUA (Kantor Urusan Agama).
Dalilnya:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الحجَرُ

Anak itu dinasabkan kepada suami yang sah sedangkan laki-laki yang berzina itu tidak dapat apa-apa (HR Bukhari no 6760 dan Muslim no 1457)

Maksudnya, ayah biologis hubungan perzinaan bukanlah ayah si anak. Dan tidak berhak menjadi wali pernikahannya.

Tidak berhak mendapat warisan

Dalam Islam, anak zina juga tidak berhak mendapat harta warisan dari orang tua angkatnya. Berdasarkan pada hadits:

مَنْ عَهِرَ بِامْرَأةٍ حُرَةِ أو أَمَةِ قَومٍ فَالوَلَدُ وَلَدُ زِنا ، لا يَرِثُ وَلا يُوْرَثُ
Barangsiapa yang berzina dengan seorang perempuan maka status anaknya adalah anak zina. Dia tidak mewarisi dan tidak menerima warisan (dari ayah biologisnya).

Ayah Biologis zina tidak berhak menjadi wali

فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah. (Kitab Al Mustadrok 'alas Sahihain)


Oleh; Ust. Fauzan Sugiyono, Lc, M.Ag
(Pengasuh Yayasan Amal Robbani Insan Sejahtera Depok)

Tafsir Surat Al Masad Bagian Tiga



KELAK ABU LAHAB DAN ISTRINYA MASUK NERAKA 

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5) 

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (3) Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (4) Yang di lehernya ada tali dari sabut (5) (QS. Al-Masad [111]:3-5)

Tinjauan bahasa


حَمَّالَة
pembawa
الْحَطَب
Kayu bakar

مسد
Tali sabut

Setelah Allah kabarkan dalam ayat sebelumnya, bahwa Abu Lahab benar-benar akan celaka, dan tak kan berguna anak, harta dan segala daya upayanya dalam mencelakakan Rasulullah dan dakwah pada saat itu, kemudian Allah mengabarkan kejadian pada masa mendatang tentang nasib Abu Lahab. Kelak ia akan masuk neraka yang apinya bergejolak dahsyat.

Kandungan Ayat Ayat ke 3:

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (QS. Al Masad:3)

Menurut Fakhruddin Ar Razi [606H] dalam kitabnya Mafatihul Ghaib, ayat ini mengandung tiga petunjuk kejadian:

a.       Berita buruk akan kerugian dan celaka Abu Lahab
b.      Berita buruk bahwa anak dan hartanya tak kan berguna
c.       Berita buruk bahwa Abu Lahab kelak termasuk penghuni neraka, dan ia mati dalam kekafirannya.( Ar Razi, Mafatihul Ghaib,32/353)

Objek Dakwah Pada Keluarga Rasulullah

Menurut Syekh Shalih bin Utsaimin dalam tafsir Juz Amma, ada tiga objek dakwah dalam keluarga Nabi Muhammad:

1.      Beriman dan berjihad di jalan dakwah Nabi Muhammad mereka adalah Abbas bin Abdul Muthalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib
2.      Mendukung dakwah Nabi, namun mati tetap dalam kekafiran, ia adalah Abu Thalib
3.      Menghambat dakwah Nabi sejak hidup hingga mati, mereka adala Abu Jahal dan Abu Lahab. (Syekh Shalih bin Ustaimin, Tafsir Juz Amma, 274)


Potret Keluarga Calon Penghuni Neraka

Keluarga dalam Islam merupakan sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Di dalamnya bukan hanya berisi kegiatan keduniawian saja, namun juga harus memiliki rencana-rencana ibadah dan aktifitas ukhrawi agar mendapatkan keberkahan didunia dan akherat. Potret keluarga Abu Lahab merupakan miniatur keluarga calon penghuni neraka. Saat mereka memusuhi Rasulullah dengan permusuhan yang mendalam, bahkan aktifitas memusuhi dakwah Nabi Muhammad menyebabkan kebencian yang luar biasa dalam keseharian mereka. Abu Lahab gemar menghasut orang-orang Quraisy agar memusuhi Nabi, begitupula istrinya gemar mengadu domba untuk mencelakakan Nabi. Sehingga Allah mengancam keluarga tersebut dengan neraka yang berkobar di akherat kelak, nauzubillah min zalik.


 Kandungan Ayat ke empat

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar

      Menurut Ibnu Jarir At Thabari, makna ayat ini adalah:
a.       Istri Abu Lahab melakukan rencana buruk untuk mencelakakan Rasulullah dengan meletakkan duri-duri kayu pada malam hari dijalan yang dilalui beliau.
b.      Istri Abu Lahab gemar mengadu domba (namimah). (Tafsir At Thabari, 24/680)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya:
وَكَانَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ سَادَاتِ نِسَاءِ قُرَيْشٍ، وَهِيَ: أُمُّ جَمِيلٍ، وَاسْمُهَا أَرْوَى بنتُ حَرْبِ بْنِ أُمَيَّةَ، وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سُفْيَانَ. وَكَانَتْ عَوْنًا لِزَوْجِهَا عَلَى كُفْرِهِ وَجُحُودِهِ وَعِنَادِهِ؛ فَلِهَذَا تَكُونُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَونًا عَلَيْهِ فِي عَذَابِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

Istri Abu Lahab adalah tokoh wanita kaum Quraisy, dialah Ummu Jamil, namanya Arwa binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sofyan. Ia membatu suaminya, Abu Lahab dalam kekafiran, ingkar dan pembangkangan. Oleh karenanya pada hari kiamat kelak, ia turut menjerumuskan suaminya ke neraka Jahannam.(Tafsir Ibnu Katsir, 8/515)

Menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa istri Abu Lahab membawa kayu bakar dan duri-duri lalu disebarkan pada malam hari di jalan yang dilalui Rasulullah, agar beliau celaka. ( Tafsir Al Maraghi,30/263)

Kandungan Ayat kelima

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

Yang di lehernya ada tali dari sabut

Ilustrasi yang Allah deskripsikan untuk istri Abu Lahab adalah sosok wanita yang begitu kepayahan membawa kayu bakar dan tali temali. Ini gambaran hina bagi wanita yang begitu gigihnya memerangi dakwah Nabi Muhammad, kelak dineraka, istri Abu Lahab ini akan memikul kayu bakar neraka dan lehernya terkalungkan tali dari api neraka, seperti saat dahulu di dunia. ( Tafsir Al Maraghi, 30/263)

Hikmah

·         Abu Lahab dan istrinya potret orang atau golongan yang menghalangi, membenci bahkan mengharap padamnya Islam dan dakwah, type keluarga seperti mereka aka nada setiap zaman.
·         Ancaman neraka kepada Abu Lahab dan istrinya pasti terjadi bahwa keduanya akan disiksa dengan siksaan yang sangat pedih kelak.
·         Keluarga merupakan objek dakwah yang penting, maka jangan tinggalkan keluarga dalam proses taqarrub kepada Allah.


Oleh: Ust. Fauzan Sugiyono, Lc, M.Ag

(Pembina Yayasan Amal Rabbani Insan Sejahtera (YARIS) Depok-Jawa Barat

Sabtu, 02 September 2017

APAKAH YANG BERKURBAN HARUS DISEBUT NAMANYA SEBELUM HEWAN DISEMBELIH?




Ada dua perkara terkait penyembelihan hewan qurban diantaranya:

a.     Menyebut Nama Allah

Allah SWT. berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُ‌وا اسْمَ اللَّـهِ عَلَىٰ مَا رَ‌زَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا  وَبَشِّرِ‌ الْمُخْبِتِينَ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (QS. Al-Hajj [22]: 34).

Dan ketika hendak menyembelih hewan kurban hendaklah membaca basmallah dan takbir sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Nabi SAW.

عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : ” ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا ، يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

Dari Anas, ia berkata, “Nabi SAW. pernah berqurban (pada Idul Adha) dengan dua kambing yang gemuk. Aku melihat beliau menginjakkan kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya dengan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafadz Bukhari)

Berdasarkan keterangan diatas maka menyembelih hewan wajibnya adalah menyebut nama Allah, sedangkan bacaan selebihnya adalah mustahab (disukai) bukan wajib. (Syekh Shalih Al Munajid, Mauqi Islamqa, 36733)
b.    Disamping membaca basmalah dan takbir, disunnahkan juga untuk menyebutkan nama orang yang berkurban dan keluarganya, sebagaimana dicontohkan Nabi SAW.

عَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ الله , قَالَ : شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى , فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ , فَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ , وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ , وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Aku ikut bersama Rasulullah SAW. pada hari ‘Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah SAW. turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya seraya berkata,”Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban.” (HR. Tirmizi)

 عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ ، وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ ، فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ ، فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ : ” هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ” ، ثُمَّ قَالَ : ” اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ” ، فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ، ثُمَّ ذَبَحَهُ ، ثُمَّ قَالَ : ” بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ” ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

Aisyah ra. meriwayatkan bahwa bahwa Rasulullah SAW. menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang di kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan sekitar matanya hitam. Kemudian domba tersebut di serahkan kepada beliau untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda: “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan: “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.” Kemudian beliau berkurban dengannya.” (H.R.Muslim).

Imam An Nawawi menyebutkan dalam Al Majmu’:

ويستحب أن يسمى الله تعالى لحديث أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (سمى وكبر) ويستحب أن يقول (اللهم تقبل منى) لما روي عن ابن عباس انه قال (ليجعل احدكم ذبيحته بينه وبين القبلة ثم يقول من الله والى الله والله اكبر اللهم منك ولك اللهم تقبل) وعن ابن عمر انه كان إذا ضحى قال (من الله والله اكبر اللهم منك ولك اللهم تقبل منى)

Dan disukai untuk menyebut nama Allah berdasarkan hadits Anas bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wasallam (menyebut nama Allah dan bertakbir) dan disukai mengucapkan (Allahumma Taqabbal Minni Ya Allah terimalah dariku”. Juga seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda,”Hendaklah ia meletakkan hewan kurban menghadap kiblat, lalu membaca,” Dari Allah, Kepada Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah,  ini dari-Mu, kepada-Mu maka terimalah”( Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarh Muhazab, 8/807)


Namun jika terlupa atau kondisi tidak memungkinkan, maka sesuai niat yang berqurban maka sembelihan tersebut sah, dan Allah Maha Mengetahui niat masing-masing yang berqurban jika keadaan terpaksa atau tidak mungkin menyebut nama pekurban tersebut.
 Wallahu a’lam