Jumat, 08 November 2013

Hukum menunda Qadha puasa hingga tiba Ramadhan Berikutnya



Menunda qadha puasa hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya tidak terlepas dari tiga kondisi:
1.       Sengaja

Jika seseorang mengetahui hukum, namun sengaja mengulur-ulur waktu hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya, yang harus ia lakukan adalah:
a.       Segera bertaubat kepada Allah, tidak mengulangilagi dikemudian hari, karena ia dengan sengaja bermaksiat dengan  meremehkan perintah Allah.

Firman Allah:
“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…” (Ali ‘Imrân: 133)
b.      Ia wajib mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berakhir

2.       Tidak sengaja
Dua keadaan orang yang tidak mampu berpuasa sehingga ia menunda qadha puasa adalah:
a.       Sementara
Jika ia sudah memiliki kemampuan untuk mengganti ( sehat ) maka ia segera mengganti puasa tersebut. Berdasarkan firman Allah:

Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)

b.      Permanen
Jika ketidakmampuannya bersifat permanen, tidak bisa hilang dan tidak bisa sembuh, maka baginya harus memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya sebanyak 1 sha’ sehari ( 1 sha’= kira-kira 1,5 kg beras ).

Dan jika ia meninggal dunia maka keluarganyalah yang menanggung  fidyah tersebut (I'laamul Muwaqqi'iin ,3/554)

3.       Tidak tahu
Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan agama , belum baligh, hilang akal dan ia tidak mengetahui jumlah hari yang ditinggalkan.
Apabila seseorang tidak tahu dan sulit untuk mendapatkan pengetahuan agama, karena tinggal di pedalaman, maka tidak ada beban apapun kepadanya, namun jika ia ragu, hendaklah meyakinkan dirinya semampu mungkin akan jumlah hari yang ia tinggalkan.
Firman Allah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dan firman Allah:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (Qs. At-Taghâbun: 16)


Kamis, 07 November 2013

Bolehkah menimbun barang ?



Menimbun barang  dengan maksud dijual  kembali  pada saat harga naik untuk mendapatkan keuntungan yang besar hukumnya haram.  Karena menimbun barang menunjukkan sikap tamak dan moral yang buruk. 

Sabda Rasulullah saw:
مَنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Siapa yang menimbun, ia telah bersalah ( Muslim,13 )
Maksud bersalah dalam hadits ini adalah menyimpang dari prinsip jual beli yang berdasarkan syariat. 

Sabda Nabi:
Seburuk-buruk hamba adalah penimbun, jika mendengar harga murah ia murka, jika barang mahal ia bersuka cita. (Musnad Ahmad ,351 )

Sabda Nabi:
Orang yang menyediakan barang, ia akan mendapat rezeki, orang yang menimbun  akan dilaknat ( Tirmidzi,40 )

Para ulama fikih menyimpulkan, penimbunan barang yang diharamkan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.       Barang yang ditimbun merupakan kelebihan kebutuhan dari tanggungan selama setahun. Karena seseorang memiliki tanggungan  untuk persediaan nafkah diri dan keluarganya dalam tenggang waktu setahun.
b.      Tujuan penimbunan adalah materi semata, agar barang tersebut dapat dijual kembali saat harga naik.
c.        Kondisi konsumen sangat membutuhkan barang tersebut.
d.      Yang ditimbun adalah segala jenis barang yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi masyarakat luas.        ( Al Fikh Al Islami al Muqarin alal Madzahib 71-72)



Adakah Uang Haram?



Uang haram adalah uang yang diperoleh melalui jalan atau pekerjaan yang dilarang oleh agama Islam. Seperti mencuri, suap, merampok, korupsi, manipulasi, hasil judi, hasil mucikari dan sejenisnya.  Dalam hukum islam, benda tidak dapat dihukumi halal atau haram kecuali yang sudah disebutkan secara nash syar’i. Secara spesifik uang haram terkait dengan perbuatan atau cara memperolehnya melalui jalur yang diharamkan.

 Oleh karena itu Ibnu Abidin menyebutkan,” Harta atau uang orang lain yang diambil melalui jalan haram hukumnya  haram lighairihiI  ( karena faktor lain ) dan bukan haram li dzatihi   ( karena bendanya ), meski demikian  status keharaman harta atau uang tersebut tetap bersifat qath’i ( mutlak ).( Ibnu Abidin, Radd Mukhtar 11/292 )

Bagaimanakah jika seseorang memiliki uang haram?
1.       Tidak sah untuk ibadah apapun, dan ibadahnya tidak akan diterima Allah,
Misalnya: uang haram untuk naik haji, maka ibadah hajinya tidak akan diterima Allah.
 seperti disebutkan dalam sabda nabi Muhammad saw:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَ طَيِّباً
Sesungguhnya Allah  Maha Bersih dan tidak menerima amal kecuali yang bersih    ( HR. Muslim )

2.       Tidak sah untuk zakat atau shadaqah.

Salah satu syarat wajib zakat adalah harta yang milku at tam ( kepemilikan sempurna ). Uang yang diperoleh dari jalan haram pada dasarnya bukanlah miliknya akan tetapi milik orang lain  atau lembaga tertentu. Ia tidak berhak menggunakannya untuk apapun.
Sabda nabi saw menyebutkan:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ

Allah tidak menerima zakat atau sedekah dari harta yang diperoleh dari jalan khianat ( Muslim)

3.       Jika uang haram berasal dari mengambil hak orang lain secara tidak benar ( mencuri, merampok ), maka uang tersebut harus dikembalikan kembali kepada pihak yang terzalimi. Ia harus bertaubat secara sungguh-sungguh dan tidak mengulangi kembali.

4.       Para ulama memberikan kelonggaran untuk memanfaatkan uang haram bagi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi, yang dipergunakan untuk  membangun sarana umum, seperti:  Jalan, jembatan, lembaga pendidikan umum, rumah sakit dan sejenisnya. Alasan kebolehan ini adalah kaidah sad az Zari’ah ( menutup kemungkinan buruk ) maksudnya: Jika uang haram tersebut tidak dipergunakan untuk kepentingan umum, maka kemungkinan besar akan kembali digunakan untuk kemaksiatan. ( Abu Zahrah, Ushul Fikh, Dar al Fikr 292-297 )

Siapakah Yang paling berhak menjadi Imam ?



Rasulullah saw  telah menjelaskan mengenai siapa saja orang yang berhak dan lebih utama untuk menjadi imam dalam shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Mas’ud Al Anshary radhiallahu’anhu, Nabi bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلماً

“Yang menjadi imam dari suatu kaum adalah orang yang paling banyak hafalan terhadap Kitab Allah (Al Qur’an), jika diantara mereka ada yang memiliki hafalan sama maka yang menjadi imam mereka adalah orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits) jika diantara mereka masih sama maka yang paling dahulu hijrah, jika mereka dalam masalah hijrah sama maka yang lebih dahulu masuk islam.” (HR. Muslim no. 673)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa urutan orang yang lebih utama dan berhak menjadi imam diantaranya:

1.      Orang yang paling banyak hafalan dan paling bagus bacaan Al Qur’annya.

Yaitu orang yang paling ahli dalam membaca Al Qur’an dan yang paling sempurna bacaannya. Dalam hal ini, ada pula ulama yang mengatakan orang yang ahli dalam Al Qur’an adalah orang yang banyak hafalannya dan sempurna dalam bacannya. Selain itu, orang yang bacaan Al Qur’annya bagus juga harus lebih menguasai fiqh dalam shalat.  Jika terjadi kasus ketika terkumpul beberapa orang yang baik bacaannya dan banyak hafalannya, kemudian orang yang lain lebih sedikit hafalannya namun dia lebih paham masalah fiqh maka yang didahulukan adalah orang yang lebih paham tentang masalah fiqh. Alasannya adalah karena kebutuhan dalam memahami fiqh dan hukum-hukum dalam shalat lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan dalam baiknya atau banyaknya hafalan surat yang dibaca dalam shalat.

2.      Orang yang lebih mengerti tentang sunnah.

Orang yang mengerti tentang sunnah (hadits) lebih diutamakan. Apabila terjadi ada beberapa orang yang sama bagus dalam hafalan dan bacaan Al Qur’annya, maka dilihat pemahamannya tentang sunnah.  

3.       Orang yang lebih dahulu berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam.

Hijrah dalam hal ini, tidak hanya dibatasi dengan hijrah yang terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun juga berlaku bagi hijrahnya seseorang yang berhijrah dalam rangka ketaatan untuk menyelamatkan agamanya dari negeri kafir ke negeri Islam.

4.       Orang yang lebih dahulu masuk Islam.

Hal ini terjadi jika ketiga urutan di atas masih sepadan. Kemudian dilihat siapa yang lebih dahulu masuk Islam jika sebelumnya dia bukan pemeluk agama Islam.

5.      Orang yang lebih tua usianya.
Jika keempat syarat di atas masih juga seimbang maka yang terakhir adalah mempertimbangkan faktor usia. 

Cara di atas adalah cara memilih imam (tetap) yg baik dan benar secara syari’at, namun bila telah terpilih imam tetap di daerahnya, maka urutannya adalah:
  • Imam tetap suatu masjid 

  • Tuan rumah (misal shalat jamaah di rumah karena ada udzur, karena pemilik rumah lebih utama daripada tamu, meski tamu lebih bagus bacaannya)
Berdasarkan hadits:
Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain  di tempat kekuasaannya dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya. ( HR. Muslim 673 , kitab masajid wa mawadhius shalah )
  • Paling baik bacaannyaPaling mengerti sunnahLebih dahulu hijrah
  • Lebih dahulu masuk islam
  • Usia lebih tua