Rabu, 10 Mei 2017

MERAWAT NIKMAT HIDAYAH


Petunjuk Allah, itulah hidayah. Petunjuk kepada kebenaran, keimanan, ketaatan, keselamatan, kebaikan dan kebahagiaan dunia akherat. Banyak orang bertanya bagaimana mendapat hidayah? Jawabannya adalah mendekat kepada Sang Pemberi Hidayah.

Terkadang ada orang berkelit saat ditanya, mengapa anda tidak shalat, ia menjawab ringan saja,”Aku belum mendapat hidayah”.
 

Atau seorang wanita muslimah, namun belum berbusana muslimah, saat dinasehati mengapa belum menutup aurat layaknya muslimah, ia menjawab,”Belum siap, belum mendapat hidayah, katanya”.
Karena hidayah tidaklah datang dengan sendirinya, ia datang karena ada sebab. Sebab dalam diri adalah dengan berfikir, merenung atas tindakan yang sudah jauh menyimpang, mengaitkan peristiwa apapun dengan Allah Sang Maha Pengatur.

Ketika seseorang mendapatkan cahaya itu, sontak kenikmatan bermaksiat akan lenyap, teringat telah jauh diri melangkah, jauh dari Allah. Lihatlah bagaimana kisah sang pembunuh 100 jiwa, ia terus mencari hidayah itu, hingga Allah wafatkan dia dalam mencari petunjuk-Nya. Syurga Allah janjikan untuknya, meski ia belum beramal shalih.
Ketika seseorang mendapat hidayah, perlahan ia akan menjauhi bisikan-bisikan keburukan, dan akan membiasakan dengan bisikan-bisikan keimanan, dekat dengan ketaatan dan orang-orang yang shalih, tenang hidupnya.

Rawatlah hidayah itu, dengan terus mendekat kepada Allah, karena jika ia terkotori dengan noda dosa, perlahan cahayanya akan redup, terhalang bisikan hawa nafsu lawamah. Ingatlah usiamu dihadapan Allah.

Firman Allah:

اهدنا الصراط المستقيم

Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS. Al-Fatihah: 6)


Gang Haji Sairi
11 Mei 2017

Selasa, 21 Maret 2017

Berlindunglah Dari Kejahatan Makhluk Allah



مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ 

Dari kejahatan makhluk-Nya ( QS. Al Falaq [113]: 2)

Makna kalimat “Syarr”  (شرّ)

Inilah hal pertama yang Allah perintahkan kepada manusia, yaitu memohon  perlindungan kepada Allah dari kejahatan makhluk ciptaan-Nya. Kalimat “Syarr” mengandung pengertian bahaya (Ad-Dharar) atau penyakit (al-adza) atau sakit atau kerusakan (al-fasad).[1]
Berlindunglah dari kejahatan yang tampak terasa secara fisik, seperti telah disebutkan diatas, atau kejahatan secara maknawi, seperti kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Bisa juga berupa penyimpangan pemikiran, kerusakan akhlak yang menimpa pribadi dan berkembang luas di masyarakat.
Lawan kata dari ‘Asy Syarr” adalah “Al-Khair” (kebaikan). Yang mencakup segala kebaikan dan nikmat baik fisik maupun maknawi yang dirasakan oleh manusia.

Mengapa Allah Menciptakan Keburukan?

Timbul pertanyaan, mengapa Allah menciptakan keburukan atau kejahatan?. Bukankah kejahatan dan keburukan itu berbahaya bagi manusia? Mengapa Allah tidak melenyapkan saja keburukan diatas muka bumi ini sekaligus dan membiarkan kebaikan abadi tanpa harus bersusah payah mengejar dan membelanya? Syekh Yusuf Al-Qaradhawi menjawab pertanyaan tersebut dalam beberapa poin:

a.       Allah tidak menciptakan keburukan atau kejahatan yang bersifat mutlaq, dengan maksud kejahatan secara dzatnya, namun disisi keburukan dan kejahatan itu terdapat sumber-sumber kebaikan. Allah menghadirkan kekuatan dan kelemahan dengan izin –Nya. 

Firman Allah:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah,” Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imran [3]:26)

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda saat berdoa kepada Allah:

الخير بيدك والشر ليس إليك

“Kebaikan ada di tangan-Mu, keburukan bukan kembali kepada-Mu”.[2]
(HR. Muslim Bab Shalat Musafir, No. 771, Abu Daud No. 760, At Tirmizi dalam Kitab Ad Da’awat, No. 3422, dari Ali Bin Abi Thalib).

b.      Setiap kita melihat keburukan dalam ciptaan Allah di atas muka bumi ini, sesungguhnya itu adalah keburukan yang bersifat parsial, nisbi dan khusus, sedangkan secara umum adalah kebaikan.
Sebagai contohnya, penciptaan manusia didunia merupakan kebaikan, mereka akan menjadi khalifah di bumi, diberi amanah dan akal untuk berfikir, begitupula Allah menurunkan kebaikan dengan diutusnya Rasulullah, diturunkan kitab-kitab Allah dan Allah memberikan pilihan jalan takwa dan jalan fujur (keburukan). Namun demikian masih ada orang-orang yang enggan menyembah Allah, dan kafir kepada para Rasul-Rasul Allah. Kemudian Allah akan memberikan balasan bagi orang yang takwa dan orang yang berbuat keburukan.
Firman Allah:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (atom) pun, niscaya ia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah (atom) pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS. Al Zalzalah [99]: 7-8)

Oleh karena itu Abu Hamid Al Ghazali dalam Al Ihya menyebutkan:
وكلُّ ما قسم الله تعالى بين عباده من رزق وأجل، وسرور وحزن، وعجز وقدرة، وايمان وكفر،
وطاعة ومعصية، فكلُّه عدل محض لا جور فيه، وحق صرف لا ظلم فيه، بل هو على الترتيب
الواجب الحق على ما ينبغي، وكما ينبغي، وبالقدر الذي ينبغي، وليس في الإمكان أصلا أحسن
منه، ولا أتمَّ ، ولا أكمل، ولو كان ادخره مع القدرة ولم يتفضل به لكان بخلا يناقض الجود،
وظلما يناقض العدل، ولو لم يكن قادار ا لكان عجزا يناقض الإلهية

Setiap yang dibagikan Allah kepada hamba-Nya dari rezeki, maut, bahagia, sedih, kelemahan dan kemampuan, iman dan kafir, taat dan maksiat, semuanya merupakan keadilan yang tak ada ketimpangan didalamnya. Semua Allah distribusikan, tak ada kezaliman, sesuai urutan hak dan kewajibannya, dan dengan ukuran takdir yang semestinya, bukan secara asal lebih baik dari semestinya, atau lebih sempurna dari sebenarnya. Jika Allah menyimpan takdir dan tidak memberikan kepada hamba-Nya, maka sifat tersebut membatalkan sifat-Nya yang Maha Pemurah, sifat Zalim yang menafikan sifat Adil-Nya, jika Allah tidak Mampu maka sifat Lemah tersebut menafikan sifat Ilahiyah-Nya. [3](Ihya Ulumuddin, 4/258)

Saat seorang mukmin mengetahui hikmah dibalik penciptaan makhluk, dan rahasia-rahasia Allah yang berlaku atas makhluk, sungguh itu sebuah kebaikan untuknya agar semakin mengenal dan dekat dengan Rabbnya. Namun ketika ia luput dari memahami hikmah dan rahasia tersebut, dan pasti tidak semua hikmah dan rahasia ia ketahui, maka sikapnya adalah mengembalikan semuanya kepada Allah Sang Maha Pencipta. Sebagaimana firman Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran [3]:191)

Pandangan Para Ulama Mufassirin

Berikut berapa pandangan para ulama tafsir terkait ayat kedua dari surat Al Falaq


مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2)
“Dari kejahatan makhluk-Nya”

1.      Imam Ibnu Katsir
Beliau menyebutkan, bahwa manusia diperintahkan untuk berlindung dari segala kejahatan.[4]

مِنْ شَرِّ جَمِيعِ الْمَخْلُوقَاتِ. وَقَالَ ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: جَهَنَّمُ وَإِبْلِيسُ وَذُرِّيَّتُهُ مِمَّا خَلَقَ
Berlindunglah dari kejahatan semua jenis makhluk, Tsabit Al Bunany dan Hasan Al Bashri berpendapat: Jahannam, iblis dan keturunannya yang Allah ciptakan.

2.      Sayid Qutub Rahimahullah meyebutkan dalam tafsirnya:
مِنْ شَرِّ ما خَلَقَ أي من شر خلقه إطلاقا وإجمالا,  وللخلائق شرور في حالات اتصال بعضها ببعض.
كما أن لها خيرا ونفعا في حالات أخرى. والاستعاذة بالله هنا من شرها ليبقى خيرها. والله الذي خلقها قادر على توجيهها وتدبير الحالات التي يتضح فيها خيرها لا شرها
“Manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan makhluk-Nya mutlak dan umum, karena setiap makhluk memiliki potensi keburukan dan kebaikan  saat saling berinteraksi satu dan lainnya. Maksud meminta perlindungan disini agar kebaikan-kebaikan tersebut semakin kekal adanya, dan Allah Maha Pencipta Maha Mampu untuk mengarahkan da mengatur kondisi mana yang baik dari yang buruk.[5]
Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi juga menukil hal yang sama saat  menafsirkan ayat ini[6]

3.       Az Zamakhsyari menyebutkan kejahatan terbagi dua, kejahatan mukallafin (manusia dan jin)  dan ghaira mukallafin (hewan, tumbuhan dan benda mati). Kejahatan yang dilakukan oleh mukallafin seperti dosa, kezaliman, membahayakan orang lain, membunuh, merampas hak dan sebaginya. Sedangkan kejahatan yang dilakukan oleh ghaira mukallafin seperti memakan, menyengat. Atau sesuatu zat-zat berbahaya seperti racun pada hewan dan tumbuhan.[7]




Doa-doa agar dijauhkan dari kejahatan makhluk
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu menyebutkan hadits terkait dengan doa-doa agar manusia diselamatkan dari kejahatan atau keburukan makhluk Allah yaitu:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ! مَا لَقِيتُ مِنْ عَقْرَبٍ لَدَغَتْنِي البَارِحَةَ، قَالَ : أَمَا لَوْ قُلْتَ حِينَ أَمْسَيْتَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ تَضُرَّكَ
“Seseorang menemui Rasulullah dan berkata,” Wahai Rasulullah apa yang aku lakukan, aku semalam disengat kelabang”. Rasulullah bersabda,”Jika kau mengatakan saat sore,” Aku berlindung dengan kalimat Allah yang Maha Sempurna dari kejahatan ciptaan-Nya, maka kelabang tersebut tidak akan membahayakanmu”. (HR. Muslim, No. 2709 dari Abu Hurairah)
Begitu juga Imam At Tirmizi menyebutkan hadits:
مَنْ قَالَ حِينَ يُمْسِي ثَلاَثَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ حُمَةٌ تِلْكَ اللَّيْلَةِ
“Barangsiapa yang membaca pada sore hari sebanyak tiga kali,” A’uzubikalimatillah tamat min syarri ma khalaq, ( aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan) maka tak ada yang membahayakannya pada malam itu”. (HR. At Tirmizi, No. 3604)

والله أعلم


[1] Yusuf Al Qaradhawi, Tafsir Juz ‘Amma, h.566
[2] HR. Muslim Bab Shalat Musafir, No. 771, Abu Daud No. 760, At Tirmizi dalam Kitab Ad Da’awat, No. 3422, dari Ali Bin Abi Thalib
[3] Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, 4/256
[4] Tafsir Ibnu Katsir, 8/535
[5] Sayid Qutub (1385H), Fi Dzilalil Qur’an, (Kairo: Dar Syuruq, 1412H) 6/4006
[6] Syekh Mutawalli Asy Sya’rawi, Tafsir Juz Amma, ( Mesir: Dar Ar Rayah, 1428H) h. 665
[7] Az Zamakhsyari, Al Kasyaf, (Beirut: Dar al Kitab Al Arabi, 1407H) h. 4/820

Rabu, 01 Maret 2017

TAFSIR SURAT AN-NAS BERLINDUNG DARI KEJAHATAN SYETAN (BAG-2)






      Kandungan Ayat

Ini adalah surat yang agung, yang mengandung tiga sifat dari sifat-sifat Allah, yaitu Rububiyah, al Mulk dan Al Ilahiyah. Rububiyah adalah sifat Allah sebagai Pengatur segala sesuatu baik di langit maupun di bumi. Dan Al Mulk adalah Raja, yang memiliki manusia dan makhluk lainnya. Serta Al Ilahiyah yaitu Sesembahan, hanya Allah yang berhak disembah oleh makhluk-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Manusia diperintahkan untuk berlindung dari bisikan (al waswas) yang di hembuskan kepada manusia agar melakukan kejahatan dan kemaksiatan


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1)

Katakanlah,”Aku berlindung kepada Tuhan manusia
Asy Syaukani menyebutkan, dalam ayat Rabbinnas (Rabb Manusia). Disebutkan kalimat an Nas (manusia) sebagai bentuk kemuliaan manusia, padahal Allah memiliki makhluk-makhluk lain selain manusia. Pengulangan penyebutan an Nas, juga menunjukkan mazid asy syaraf (pertambahan kemuliaan)[1]

Ketika manusia berlindung kepada Rabbnya, sesungguhnya ia sedang berlindung kepada Dzat yang mengatur seluruh sendi kehidupannya, sekaligus Pemilik Alam, satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Sehingga bentuk-bentuk perlindungan, penyembahan dan pemilikan selain kepada Allah, maka hal tersebut bathil adanya.


ü  Apa perbedaan Malik (مَلِك ) dan Mâlik (مَالِك )?
مَلِكِ النَّاسِ(2)
Raja Manusia

Secara umum makna kata Malik (مَلِك ) (dengan vokal A pendek) dan Mâlik (مَالِك ) (dengan vokal A dipanjangkan) memiliki arti Menguasai atau Raja. Namun menurut Syekh Nawawi Al-Bantani perbedaan keduanya bahwa Malik (مَلِك ) dengan vokal A pendek mengandung pengertian bahwa Allah Maha Raja dan Maha Menguasai  Manusia dan segala Makhluknya di dunia, Allah Pemilik Mutlak manusia dan makhluk lainnya . Sedangkan kata Malik (مَالِك ) (dengan vokal A Panjang) khusus untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi di akherat.[2]

Sesembahan manusia

إِلَهِ النَّاسِ (3)

Sembahan manusia (3)
Menurut Ali Ash Shabuni, surat ini memiliki urutan yang menakjubkan yaitu:[3]
·         Dimulai dengan permohonan perlindungan kepada Allah dari segala godaan syetan, kembali kepada Allah, bukan kepada raja dan penguasa selain Allah. Ayat ini mengajarkan manusia agar mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, sebagai Rabb (pengatur) segala aktivitas manusia yang mengatur segala urursan manusia.

·         Setelah itu dilanjutkan dengan mengetahui bahwa Allah adalah Raja yang menguasai manusia, Allah tidak butuh manusia, manusialah yang butuh Allah.
·         Kemudian setelah manusia mengetahui Allah sebagai  Dzat yang menguasai manusia dan makhluk-Nya, setelah manusia mengetahui hakikat Allah yang sebenarnya, maka ia akan mempersembahkan penyembahan dan ibadah hanya kepada Allah.

 Apakah Waswasil Khannas?

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4)

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan waswasil khannas adalah:

وَهُوَ الشَّيْطَانُ الْمُوَكَّلُ بِالْإِنْسَانِ، فَإِنَّهُ مَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ إِلَّا وَلَهُ قَرِينٌ يُزَين لَهُ الْفَوَاحِشَ، وَلَا يَأْلُوهُ جُهْدًا فِي الْخَبَالِ. وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَم اللَّه

Dia adalah syetan yang bertugas mengikuti manusia, maka tak seorangpun dari Anak Adam melainkan ada qarin yang mengikuti dan menghiasinya dengan amal-amal keburukan Setan itu juga tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkannya melalui bisikan dan godaannya, dan orang yang terhindar dari bisikannya hanyalah orang yang dipelihara oleh Allah Swt.[4]

Rasulullah bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا قَدْ وُكِل بِهِ قَرِينَةٌ". قَالُوا: وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ، إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ، فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ"

Tidak seorangpun diantara kalian melainkan didampingi oleh qarin. Mereka bertanya,”Apakah Engkau juga begitu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,” Ya, akan tetapi sungguh Allah menolongku atasnya, dan qarin itu masuk Islam, dan ia tak menyuruhku melainkan kebaikan”.[5]( Sahih Muslim, No. 2814 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Dalam Kitab Shahihain juga disebutkan hadits yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik saat Shafiyyah istri Nabi Muhammad mengunjungi Beliau yang sedang beritikaf, kemudian Rasulullah keluar masjid untuk mengantarkan Shafiyah kembali kerumahnya pada malam hari, lalu Rasulullah berpapasan dengan dua orang Anshar, ketika mereka melihat Nabi,  mereka langsung bergegas pergi, kemudian Rasulullah memanggil:

عَلَى رِسْلِكُمَا، إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيي". فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ، يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ: "إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ  مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا، أَوْ قَالَ: شَرًّا" 

Aku adalah Rasul kalian, sesungguhnya wanita yang bersamaku adalah istriku Shafiyyah binti Huyay. Lalu mereka berkata,” Maha Suci Allah wahai Rasulullah. Lalu nabi bersabda,” Sesungguhnya syetan mengalir dalam diri anak Adam mengikuti aliran darah, dan aku khawatir ia membisikkan sesuatu dihati kalian, atau mengatakan suatu keburukan.[6] (Sahih Muslim, No. 2174, Sahih Bukhari, No. 7171, 6219, 2035)

Ibnu Abbas menyebutkan yang dimaksud dengan waswasil khannas adalah syetan yang menetap di hati anak Adam, jika ia terlena maka syetan akan membisikkan kejahatan, dan jika ia ingat Allah maka syetan akan lenyap.[7]

Syetan tak akan lelah dan bosan menyesatkan manusia dari Allah, dengan segala cara. Sejenak ia menggoda manusia, sejenak ia menjauh, sejenak kemudian ia menggoda manusia lagi, hingga benar-benar manusia tergelincir dari jalan Allah.

Syetan menggoda hati manusia

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5)

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia

Syetan membuat keraguan di hati manusia dengan membisikkan hal-hal yang membuatnya resah. Mengarah kepada hawa nafsu dan keyakinannya terhadap Allah, serta ajakan-ajakan melakukan keburukan.

Bisikan syetan dihati manusia adalah ajakan mengikuti perintahnya, tentang suatu perkara yang diluar akal dan  atau hal-hal yang tidak jelas.[8]
 Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, perbedaan antara bisikan syetan dan ilham dari Allah adalah yang terpuji (ilham al Mahmud) adalah, jika ajakan dalam hati mengarah kepada kemaksiatan dan kejahatan itu dari syetan, dan jika mengarah kepada kebaikan dan takwa itu ilham yang terpuji. [9]


 Dari golongan jin dan manusia

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6
Dari golongan jin dan manusia

Apakah yang dimaksud dengan, iblis, Jin dan syetan? Jin adalah makhluk Allah yang diberikan kewajiban beribadah dan taat kepada Allah.
Firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku (QS. Adz Zariyat: 56)

Jin ada yang muslim dan ada pula yang kafir, seperti juga manusia, ada yang muslim dan yang kafir. Adapun Syetan adalah termasuk dalam jenis Jin yang kafir kafir.
Iblis adalah nenek moyang jin dan keturunannya, ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah dan Hasan Al Bashri. [10]
  Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa iblis adalah bapaknya jin.[11]
Menurut Al Hafiz Ibnu Katsir, Syetan secara bahasa artinya jauh, atau yang jauh dari rahmat Allah, sehingga setiap pihak yang memiliki sifat membangkan dari jenis jin, manusia dan hewan disebut syetan. (Tafsir Ibnu Katsir,1/16)

Kesimpulan

§  Surat An Nas merupakan surat yang termasuk Al Mu’awizatain bersama surat Al-Falaq, yang berisi perlindungan kepada Allah atas bisikan dan tipudaya syetan.
§  Sifat syetan selalu mengganggu manusia sampai terjerumus kedalam perangkapnya dan jauh dari Allah.
§  Syetan dari jenis jin membisikkan kekufuran dan kemaksiatan di dalam hati manusia, syetan dari jenis manusia bekerja dengan menghalangi manusia dengan segala cara agar semakin jauh dari Allah.

والله أعلم


[1] Asy Syaukani, Fathul Qadir, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1414 H), 5/642
[2] Syekh An-Nawawi Al Bantani, Marah Labid, 2/683
[3] Muhammad Ali Ash Shabuni, Shafwat at Tafasir, 3/600
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adzhim, 8/539
[5] Sahih Muslim, No. 2814 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
[6] Sahih Muslim, No. 2174, Sahih Bukhari, No. 7171, 6219, 2035 dari hadits Shafiyyah
[7] Tafsir At Thabari, 24/710, Tafsir Ibnu Katsir, 8/540,
[8] Al Mawardi, Tafsir Al Mawardi, 6/379
[9] Muhammad Jamaludin Muhammad Said, Mahasin Ta’wil, 9/581
[10] Tafsir At Thabari, 1/507, Dur Mantsur, 5/402
[11] Majmu’ Fatawa,4/235