Minggu, 27 Agustus 2017

WANITA, SEKALI LAGI WANITA



Dahsyatnya wanita, begitulah Muhammad Al Ghazali (1917-1996) berkisah dalam kitabnya ‘Al Mar’atu Fi al-Islam, saat pasukan Persia bergerak menyerang Jazirah Arab dengan pasukan berjumlah besar, bersiap-siaplah para pemimpin Arab menjemput mereka bersama pasukan kiriman dari kabilah-kabilah yang ada.

Sejarah berbicara, pemimpin Arab saat itu adalah Hanzalah bin Tsa’labah, sosok yang sigap. Segera memerintahkan kaum wanita yang turut perang agar turun dari Haudaj (gubuk  kecil diatas punggung unta) berjalan kaki bersama suami-suami mereka. Lalu Ia berkata lantang,”Hendaklah kalian wahai kaum lelaki, berperang didepan istri-istri kalian!”

Tak pelak lagi, teriakan itu membakar semangat kaum lelaki, jiwa ksatria mereka bangkit, yang semula terbetik gentar di dada, sontak lenyap berubah menjadi kobaran yang siap melahap apa saja. Apalagi dibelakang mereka ada istri-istri dan kaum wanita yang secara tak langsung memberi kekuatan. Lelaki manapun akan berusaha terlihat gagah perkasa nan pemberani di depan wanita.

Akhir yang bahagia, merekapun menang dengan suka cita, dengan kemenangan besar tak di nyana-nyana. Berpuluh tahun kemudian, saat bukit Uhud menjadi saksi, pertempuran besar yang menggetarkan hati, Perang Uhud. Wanita – wanita Kafir Quraisy berteriak lantang kepada suami-suami mereka:


إن تقبلوا نعانق                      ونفرش النمارق
أو تدبرو نفارق                          فراق غير وامق

Jika kalian maju kehadapan perang, pelukan kami tuk kalian diatas kasur  nan empuk
Tapi, jika kalian mundur pengecut, kita kan berpisah selamanya 

Takdir tak dapat ditolak, kaum Musliminpun menelan kekalahan dalam Perang Uhud, saat pasukan tak mendengarkan arahan sang Baginda Rasulullah. Itulah wanita, dahsyatnya menggelorakan pria. 

Banyak pria jaya karena wanita, banyak juga terhina karena wanita. Banyak pria bahagia dengan wanita, jua sebaliknya, banyak masalah gara-gara berurusan dengan wanita, so,hati-hati dengan wanita.



1 Dzulhijjah 1438H

HUKUM BERHAJI DENGAN GAJI DARI BANK KONVENSIONAL MENURUT SYEKH YUSUF AL-QARADHAWI.



 Seseorang bertanya kepada Syekh Yusuf Al Qaradhawi dalam laman pribadi beliau:

TANYA:
Saya pernah bekerja di bank konvensional dalam waktu yang cukup lama. Lalu aku menunaikan ibadah haji bersama istri, sekarang saya sudah pindah dari pekerjaan lama ke pekerjaan baru bukan di perbankan. Pertanyaan saya: Apakah wajib bagi saya untuk berhaji lagi atau tidak? Mengingat dahulu gaji saya bersumber dari bank konvensional.

JAWAB:
Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam atas Rasulullah, para sahabat, pengikutnya hingga akhir nanti. Jika saudara pernah berkerja di bank konvensional (ribawi) karena ia belum menemukan pekerjaan lain sebagai sumber nafkah hidupnya, sehingga ia terpaksa bekerja disana, maka hukum darurat membolehkan larangan-larangan. Seperti dalam kaidah:

الضرورات تبيح المحظورات، والحاجة تنزل منزلة الضرورة
“Kondisi darurat menyebabkan kebolehan larangan-larangan, dan hajat (kebutuhan) turun menempati posisi darurat”.

Bekerjanya ia di bank hukumnya mubah karena kondisi khusus tersebut, alasan ia bekerja di bank karena fatwa dari seorang ‘Alim terpercaya dalam bidang keilmuan dan agama yang menyarankan kebolehan bekerja di bank ribawi tersebut merupakan tahapan profesinya, yang pada kemudian hari ia baktikan keahlian tersebut pada bank islam.

Namun, Syekh Dr. Yusuf Al Qaradhawi menyarankan sebagai kehati-hatian agar hajinya diulang kembali jika memiliki keluasan baik waktu dan biaya.

من باب الاحتياط، أنا أقترح على الأخ أن يحج مرة أخرى بنفقة طيبة تماما لأن من شروط الحج المبرور أن تكون النفقة طيبة لا شبهة فيها، ولا شك أن المال من بنك ربوي فيه شبهات، فلكي يطمئن الأخ تماما على قبول حجته

“Sebagai bentuk kehati-hatian (al ihtiyath) agar hajinya diulang kembali  dengan biaya sempurna sendiri, juga syarat haji mabrur adalah dengan nafkah yang halal tidak ada keragu-raguan didalamnya, dan nafkah dari bank ribawi terdapat syubhat didalamnya. Juga agar saudara lebih tenang  hajinya diterima Allah.


HARI-HARI ALLAH DALAM AL QUR’AN




Ayyama Allah (hari-hari Allah) أيام الله , terlihat ada yang istimewa dari kalimat ini. Al Qur’an pun sedikit menyebutkannya khusus dengan idhafah (kata majemuk) kepada lafaz Allah. Dua kata yang berbeda lalu disatukan membentuk sebuah makna. Sisa nya dengan kata lain, seperti sab’ah ayyam (tujuh hari) sittata ayyam (enam hari) yaumain (dua hari) atau tsalatsata ayyam( tiga hari) dan lainnya. Lalu, apakah rahasianya sehingga Allah sendiri menyebut ungkapan hari-hari Allah (Ayyamallah) dalam Al Qur’an?.

Pertama, Hari Izin Berperang Untuk Membela Kehormatan Islam

 Ayat pertama yang mengungkap khusus tentang lafaz Ayyamallah adalah  firman Allah:


قُلْ لِلَّذِينَ آمَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لَا يَرْجُونَ أَيَّامَ اللَّهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al Jatsiyah [45]:14

Menurut Al Mawardi dalam tafsirnya,”Ayat ini turun berkaitan dengan Umar bin Khattab yang dicaci maki oleh seorang lelaki dari kaum musyrikin, kemudian Umar hendak memukulnya, lalu turunlah ayat ini melarang perbuatan Umar tersebut”(Tafsir Al Mawardi, 5/262).

Imam Al Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya,  bahwa saat itu Umar sudah menghunus pedangnya untuk memenggal kepada seorang Yahudi yang menghina Allah subhanahu wata’ala, kemudian Rasulullah melarangnya. Kemudian Umar terheran-herang mengapa Nabi melarang seraya berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، صَدَقْتَ. أَشْهَدُ أَنَّكَ أُرْسِلْتَ بِالْحَقِّ

Wahai rasulullah, benarkah? Sungguh aku bersaksi bahwa engkau diutus membawa kebenaran”. Lalu Nabi membaca ayat:

قُلْ لِلَّذِينَ آمَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لَا يَرْجُونَ أَيَّامَ اللَّهِ لِيَجْزِيَ قَوْمًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al Jatsiyah [45]:14

Makna Ayyamallah dalam ayat diatas adalah, balasan Allah dan azab-Nya (Tafsir Al Qurthubi,16/161)

Namun para ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini telah mansukh ( dihapus) hukumnya  oleh dua ayat berikut yaitu:

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. (QS. At Taubah [9]:5)

Menurut Ibnu Jarir At Thabari maksud ayat ini adalah,” Jikalau bulan-bulan Haram telah berlalu (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) maka dibolehkan memerangi kaum musyrikin yg tidak ada ikatan perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau kaum musyrikin yang engingkari 
perjanjian dengan kaum muslimin.(Tafsir At Thabari, 14/134).

Ayat keduanya yang menasakhkan surat diatas adalah:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah 

dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (QS. Al Hajj 

[22]:39)

Ibnu Abbas mengatakan, inilah ayat pertama kali izin berperang melawan orang-orang kafir karena 
mereka telah menzalimi kaum muslimin. Sampa- sampai Abu Bakar Ash Shiddik yang berjiwa lembut dan berperangai halus berkata,” Wahai kaum musyrikin, kalian telah mengusir Nabi Muhammad dari Mekkah, Innalillah wainna ilaihi raji’un,sungguh kalian akan binasa!” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/434).
Ini merupakan restu dari Allah kepada kaum muslimin di Madinah pasca hijrah, untuk membela dirinya, mempertahankan kehormatan agamanya dari kaum yang menghalangi dakwah Islam dan kemuliaan kaum muslimin.


Kedua, Hari Saat Allah Memenangkan Hamba-Nya dan Menghinakan musuh-Nya
Al Quran menyebutkan Ayyamallah, saat Allah mengutus Nabi Musa kepada kaumnya, mengajak 

hanya menyembah Allah dan meng-Esakan. Hingga datang penolakan keras dari Fir’aun, kemudian 
Allah selamatkan Nabi Musa dari  kekejaman Fir’aun.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur (QS Ibrahim 
[14]:5)


Maksud dari Ayyamallah dalam ayat diatas, menurut Syaikh Ibnu Asyur dalam tafsirnya adalah:
الْأَيَّامُ الَّتِي أَنْجَى اللَّهُ فِيهَا بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ أَعْدَائِهِمْ وَنَصَرَهُمْ وَسَخَّرَ لَهُمْ أَسْبَابَ الْفَوْزِ

“Hari-hari saat Allah menyelamatkan nabi Musa dari musuh-musuhnya, dan menundukkan kepadanya sebab-sebab kemenangan dan pertolongan (Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, 13/190)

Kesimpulan Makna Ayyamallah:

1.      Nikmat Allah yang diturunkan untuk hamba-hambanya sehingga sudah sewajarnya bersyukur atas segala karunia tersebut.

2.      Kejadian-kejadian besar yang agung, yang pantas diingat dan dijadikan pelajaran didalamnya karena semua satua waktu dan hari adalah milik Allah yang Maha Sempurna.

Mari pergunakan hari-hari istimewa khususnya sepuluh hari pertaman bulan Dzul Hijjah ini dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah.

والله أعلم


KEBINASAAN UNTUK ABU LAHAB DAN TIPU DAYANYA

Tafsir Surat Al Masad Bagian 2

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. (QS. AL MASAD [111]:1-2)

ü  TINJAUAN LUGHAWIYAH (BAHASA)

Para ulama tafsir menyebutkan makna kata تبت berarti خسر   (rugi) atau هلك  (kebinasaan).[1]

Ini adalah firman Allah yang langsung kepasa Abu Lahab, maknanya,”Kebinasaan dan kehancuran bagi Abu Lahab dan apa yang ia usahakan dalam kebinasaan yang nyata”.[2]
Sedangkan menurut Ar Raghib al Asfahani menyebutkan:

تبَّ-تباًّ- و تبّْ

Maknanya,” Kerugian yang berkelanjutan dan tak ada putus-putusnya”.[3]

Seperti disebutkan dalam firman Allah:

فَمَا تَزِيدُونَنِي غَيْرَ تَخْسِيرٍ

Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian (QS Hud [11]:63

Juga dalam firman Allah yang lain

وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ

Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka (QS. Hud [11]:101)

Jika kita perhatikan secara seksama, makna bahasa ayat diatas, maka makna kata Tabbat adalah kebinasaan yang bukan hanya sebentar, namun kebinasaan yang berkelanjutan hingga terputuslah dari rahmat Allah, dan kebinasaan tersebut tak mungkin bisa diperbaiki seperti semula. Begitulah masa depan Abu Jahal dan istrinya, kebinasaan yang akan mereka rasakan adalah abadi, harta, dunia dan akherat.


ü  MAKNA “Celakalah kedua tangan Abu Lahab”

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (QS. AL Masad:1)

Beberapa pendapat ulama tafsir terkait makna “Kedua Tangan” Abu Lahab adalah:

1.      Ar Razi menyebutkan bahwa maknanya adalah,”Celaka dalam dua sisi; dunia dan akherat) ( Ar Razi, Mafatihul Ghaib, 32/152)

2.      Menurut Az Zamakhsyari maknanya adalah sebagai Majaz Mursal (perumpamaan) yang kaitannya dengan sebagian, maksudnya kedua tangan berfungsi  sebagai penunjuk sebagian anggota tubuh,  bahwa Abu Lahab yang binasa ( Az-Zamakhsyari, Al Kasyaf, 4/808)

3.      Menurut An Nuhas menunjukkan makna hakikat, bukan majaz (perumpamaan), artinya benar-benar kedua tangan Abu Lahab akan binasa.(Abu Ja’far An Nuhas, I’rab Al Qur’an, 1/1421)

4.      Menurut Asy Syinkithi,” Penyebutan kedua tangan Abu Lahab merupakan Ziyadatu Ikhtishash (penambahan kekhusususan makna). Artinya jika kebinasaan menimpa seluruh tubuh, maka tangan memiliki makna khusus dalam penyebutan tersebut. (Asy Syinqithi, Adhwaul Bayan, 9/144)

ü  Tiada Guna Apa Yang Ia Usahakan

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan (QS. Al Masad:2)

Ketika Allah sudah menyatakan binasa bagi Abu Lahab, semakin diperkuat kembali dengan ayat ini, bahwa apa yang dimiliki oleh Abu Lahab, dari harta benda, keluarga, kekuasaan dan lainnya tak akan merubah apapun dan tiada guna sama sekali segala perbuatannya.

ü  Makna أغنى  ما ( Tiada berfaedah)

Maksudnya (tidaklah berfaedah) apa yang diusahakan oleh Abu Lahab. Dalam ayat lain Allah menggambarkan:

وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

 dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS: Luqman [31]:12)

Allah Maha Kaya, tidak berguna segala yang dimiliki manusia, karena pada hakikatnya semua dari Allah dan milik Allah semata.

ü  Abu Lahab Mati mengenaskan

Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi Ulama tafsir asal Mesir dalam tafsirnya menyebut akhir hayat Abu Lahab yang mengenaskan. “Abu Lahab mengidap penyakit yang disebut ‘Adasah’ (sejenis Kusta), bangsa Arab mengenal penyakit tersebut efeknya lebih dahsyat dari Kusta. Karena jika ada orang sehat berinteraksi dengan penderita ‘Adasah’ akan tertular. Saat Abu Lahab menemui ajalnya, tiga hari lamanya jasadnya dibiarkan, tak ada orang yang mau mendekat, apalagi mengurus jenazahnya. Hingga mendekati busuk. Kemudian orang-orang menggali lubang besar, dan menarik jasad Abu Lahab dengan kayu kea rah lubang tersebut dari kejauhan takut tertular, setelah masuk kedalamnya, jasad tersebut lalu dilempari batu dari jauh untuk menutupinya dari bau “.  Begitulah nasib orang  jika Allah sudah hinakan di dunia dan akherat. ( Tafsir Asy Sya’rawi, Surat Al-Lahab, H. 659)[4]

Syaikh An Nawawi Al Bantani meenyebutkan bahwa Abu Lahab mati tujuh hari setelah peristiwa perang Badar menderita Kusta yang mematikan.[5]


·         HIKMAH AYAT

ü  Abu Lahab memiliki rencana dan tipu daya untuk mencelakakan Nabi Muhammad dan menghalangi dakwah.

ü  Kebencian Abu Lahab sangatlah berlebihan hanya karena egoisme sebagai tokoh Quraiys, namun usaha dan perbuatannya sia-sia.

ü  Allah memberi balasan bagi orang yang menghalangi dakwah, ia akan mati mengenaskan sia-sia di dunia dan sengsara akherat jika tak bertobat.


 والله أعلم



[1] Imam At Thabari (310 H) Tafsir at Thabari, 24/675
[2] Tafsir at Thabari, 24/574
[3] Ar Raghib Al Asfahani, Mufradat Al Faz Al Qur’an, 1/140
[4] Kisah ini juga diceritakan oleh Imam Al hakim dalam Kitab Al Mustadrak bersumber dari Abi Rafi’, 12/335, juga At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, 1/393.
[5] Syekh Nawawi Al Bantani, Murah Labid, 2/677

Senin, 07 Agustus 2017

Al Qur’an Berbicara Tentang Kebahagiaan




يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ (105) وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ 
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)

(105)   Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.
(108)   Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Beragam definisi tentang “kebahagiaan”:


  1. Ketenangan jiwa dan perasaan
  2. Terkumpulnya iman dan ridha kepada Allah
  3. Keamanan hidup
  4. Kesuksesan dan kekayaan
  5. Kelezatan terus menerus
  6. Kenyang dan tak kelaparan selamanya


f.        Kebahagiaan dunia dengan segala perangkatnya, kebahagiaan aherat dengan syurga dan kenikmatannya.

1.      Kebahagiaan didalam Al Qur’an secara spesifik disebutkan dalam surat Hud ayat 105 dan 108 sedang pada ayat lain, Al Qur’an banyak menyebut tentang sebab-sebab kebahagiaan.

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ 

Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً 

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (QS. An Naba:38)

2.      Kebahagiaan didalam Al Qur’an erat kaitannya dengan syurga dan neraka

Menurut Said Hawwa, kebahagiaan manusia di akherat kelak terkategori menjadi dua; masuk syurga lebih dahulu atau masuk syurga belakangan, ia bahagia setelah diselamatkan Allah dari azab neraka. (Al Asas Fi Tafsir, Said Hawwa, 5/2604)

3.      Kebahagiaan didalam Al Qur’an datang dengan bentuk pasif, artinya kebahagiaan itu bukan manusia yang menciptakan, melainkan datang dari Allah.

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)

Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (QS. Hud:108)