Rabu, 20 November 2013

Sepenggal Perjalanan

Tak terasa usiaku sudah menginjak kepala tiga, usia yang sudah tidak lagi muda, uban dikepalaku pun mulai berani  menampakkan jatidirinya perlahan-lahan namun pasti. Sementara rambutku perlahan-lahan pamit tak kembali lagi terutama garda terdepan.

Tak terasa, sudah banyak hal yang aku kerjakan, sebagian masih berproses, sebagian masih jalan ditempat.
namun itulah manusia, selalu merasa kurang dan memang tidak mungkin sempurna.

Banyak hal yang belum ku raih untuk membahagiaan orang-orang yang aku cintai, ortu, mertua dan keluarga kecilku dengan dua bidadari imut, cantik nan shalihah semoga menjadi qurrata a'yun dunia akheratku.

Hidup begitu singkat, kemarin seolah aku masih kanak-kanak, bermain bola, mandi di kali, mencari rumput untuk kambing rama ku ke sawah dan ladang. sekarang aku sudah jadi bapak-bapak.

Syukur,  Alhamdulillah itulah ungkapan yang paling indah aku ungkapkan kepada Allah. yang telah membimbingku hingga kini, semoga hidanyah  Nya tidak terputus kepadaku hingga akhir hayatku kelak. Amiin

Selasa, 12 November 2013

Konsep Khiyar ( pilihan ) Dalam Transaksi Ekonomi Syari'ah



Pengertian khiyar

Menurut bahasa khiyar adalah memilih yang terbaik diantara dua hal atau lebih.
Secara istilah khiyar adalah hak bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi tersebut sesuai dengan syarat dan sebab tertentu ( al fikh al al Islami madkhal lidirasatihi,458)

Tujuan khiyar
Tujuannya adalah memberikan hak kepada para pihak yang bertransaksi adar tidak rugi dan menyesal dikemudian hari. Selain untuk menjamin akad atas dasar kerelaan kedua belah pihak.

Macam-macam khiyar
a.       Khiyar Majlis ( pilihan berdasarkan tempat )
Yaitu hak para pihak yang bertransaksi untuk melakukan akad atau membatalkannya selama masih berada ditempat akad akad dan belum berpisah. Khiyar ini hanya dikenal oleh kalangan Syafiiyah dan Hanabilah.
Dalilnya adalah:
البَيِّعَانِ بِالِخيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Dua orang yang melakukan akad jual beli masing masing pihak memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah badan ( Bukhâri Muslim )

Makna ‘berpisah badan menurut ulama Syafiiyah diserahkan kepada kebiasaan setempat.
b.      Khiyar syarat ( pilihan berdasarkan syarat )

Sesuai dengan namanya, kedua belah pihak yang bertransaksi menyepakati syarat yang mereka kemukakan dalam transaksi. Misal:  Saya akan membeli barang ini dengan syarat saya berhak meneruskan atau membatalkannya setelah lima hari. 

Selama tenggang waktu tersebut, kedua belah pihak tidak boleh melakukan transaksi dengan barang yang sama kepada orang lain.

c.       Khiyar ta’yin ( pilihan  berdasarkan penentuan barang )
Jika transaksi yang dilakukan dalam banyak jenis barang, kemudian penjual meminta kepada pembeli untuk memilih jenis barang  yang disenangi.( Al fikhul Islami wa Adillatuhu,525 )

d.      Khiyar aib
Transaksi dapat dibatalkan jika terdapat cacat  ( aib ) pada objek transaksi.

e.      Khiyar ru’yah
Merupakan pilihan bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batalnya jual beli yang dilakukan terhadap satu objek yang belum dilihat ketika akad.

Hadits nabi:
من اشترى شيئا لم يره فالبيع جائز وله الخيار إذا رآه ، إن شاء أخذه بجميع الثمن وإن شاء رده
Barangsiapa membeli sesuatu yang belum dilihatnya, jual belinya boleh, dan ia berhak memilih jika telah melihatnya, antara mengambil atau menolak ( Nashbur Rayah, 441 )

Jumat, 08 November 2013

Hukum menunda Qadha puasa hingga tiba Ramadhan Berikutnya



Menunda qadha puasa hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya tidak terlepas dari tiga kondisi:
1.       Sengaja

Jika seseorang mengetahui hukum, namun sengaja mengulur-ulur waktu hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya, yang harus ia lakukan adalah:
a.       Segera bertaubat kepada Allah, tidak mengulangilagi dikemudian hari, karena ia dengan sengaja bermaksiat dengan  meremehkan perintah Allah.

Firman Allah:
“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…” (Ali ‘Imrân: 133)
b.      Ia wajib mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berakhir

2.       Tidak sengaja
Dua keadaan orang yang tidak mampu berpuasa sehingga ia menunda qadha puasa adalah:
a.       Sementara
Jika ia sudah memiliki kemampuan untuk mengganti ( sehat ) maka ia segera mengganti puasa tersebut. Berdasarkan firman Allah:

Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)

b.      Permanen
Jika ketidakmampuannya bersifat permanen, tidak bisa hilang dan tidak bisa sembuh, maka baginya harus memberi makan orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkannya sebanyak 1 sha’ sehari ( 1 sha’= kira-kira 1,5 kg beras ).

Dan jika ia meninggal dunia maka keluarganyalah yang menanggung  fidyah tersebut (I'laamul Muwaqqi'iin ,3/554)

3.       Tidak tahu
Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan agama , belum baligh, hilang akal dan ia tidak mengetahui jumlah hari yang ditinggalkan.
Apabila seseorang tidak tahu dan sulit untuk mendapatkan pengetahuan agama, karena tinggal di pedalaman, maka tidak ada beban apapun kepadanya, namun jika ia ragu, hendaklah meyakinkan dirinya semampu mungkin akan jumlah hari yang ia tinggalkan.
Firman Allah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dan firman Allah:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (Qs. At-Taghâbun: 16)


Kamis, 07 November 2013

Bolehkah menimbun barang ?



Menimbun barang  dengan maksud dijual  kembali  pada saat harga naik untuk mendapatkan keuntungan yang besar hukumnya haram.  Karena menimbun barang menunjukkan sikap tamak dan moral yang buruk. 

Sabda Rasulullah saw:
مَنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Siapa yang menimbun, ia telah bersalah ( Muslim,13 )
Maksud bersalah dalam hadits ini adalah menyimpang dari prinsip jual beli yang berdasarkan syariat. 

Sabda Nabi:
Seburuk-buruk hamba adalah penimbun, jika mendengar harga murah ia murka, jika barang mahal ia bersuka cita. (Musnad Ahmad ,351 )

Sabda Nabi:
Orang yang menyediakan barang, ia akan mendapat rezeki, orang yang menimbun  akan dilaknat ( Tirmidzi,40 )

Para ulama fikih menyimpulkan, penimbunan barang yang diharamkan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.       Barang yang ditimbun merupakan kelebihan kebutuhan dari tanggungan selama setahun. Karena seseorang memiliki tanggungan  untuk persediaan nafkah diri dan keluarganya dalam tenggang waktu setahun.
b.      Tujuan penimbunan adalah materi semata, agar barang tersebut dapat dijual kembali saat harga naik.
c.        Kondisi konsumen sangat membutuhkan barang tersebut.
d.      Yang ditimbun adalah segala jenis barang yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi masyarakat luas.        ( Al Fikh Al Islami al Muqarin alal Madzahib 71-72)



Adakah Uang Haram?



Uang haram adalah uang yang diperoleh melalui jalan atau pekerjaan yang dilarang oleh agama Islam. Seperti mencuri, suap, merampok, korupsi, manipulasi, hasil judi, hasil mucikari dan sejenisnya.  Dalam hukum islam, benda tidak dapat dihukumi halal atau haram kecuali yang sudah disebutkan secara nash syar’i. Secara spesifik uang haram terkait dengan perbuatan atau cara memperolehnya melalui jalur yang diharamkan.

 Oleh karena itu Ibnu Abidin menyebutkan,” Harta atau uang orang lain yang diambil melalui jalan haram hukumnya  haram lighairihiI  ( karena faktor lain ) dan bukan haram li dzatihi   ( karena bendanya ), meski demikian  status keharaman harta atau uang tersebut tetap bersifat qath’i ( mutlak ).( Ibnu Abidin, Radd Mukhtar 11/292 )

Bagaimanakah jika seseorang memiliki uang haram?
1.       Tidak sah untuk ibadah apapun, dan ibadahnya tidak akan diterima Allah,
Misalnya: uang haram untuk naik haji, maka ibadah hajinya tidak akan diterima Allah.
 seperti disebutkan dalam sabda nabi Muhammad saw:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَ طَيِّباً
Sesungguhnya Allah  Maha Bersih dan tidak menerima amal kecuali yang bersih    ( HR. Muslim )

2.       Tidak sah untuk zakat atau shadaqah.

Salah satu syarat wajib zakat adalah harta yang milku at tam ( kepemilikan sempurna ). Uang yang diperoleh dari jalan haram pada dasarnya bukanlah miliknya akan tetapi milik orang lain  atau lembaga tertentu. Ia tidak berhak menggunakannya untuk apapun.
Sabda nabi saw menyebutkan:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ

Allah tidak menerima zakat atau sedekah dari harta yang diperoleh dari jalan khianat ( Muslim)

3.       Jika uang haram berasal dari mengambil hak orang lain secara tidak benar ( mencuri, merampok ), maka uang tersebut harus dikembalikan kembali kepada pihak yang terzalimi. Ia harus bertaubat secara sungguh-sungguh dan tidak mengulangi kembali.

4.       Para ulama memberikan kelonggaran untuk memanfaatkan uang haram bagi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi, yang dipergunakan untuk  membangun sarana umum, seperti:  Jalan, jembatan, lembaga pendidikan umum, rumah sakit dan sejenisnya. Alasan kebolehan ini adalah kaidah sad az Zari’ah ( menutup kemungkinan buruk ) maksudnya: Jika uang haram tersebut tidak dipergunakan untuk kepentingan umum, maka kemungkinan besar akan kembali digunakan untuk kemaksiatan. ( Abu Zahrah, Ushul Fikh, Dar al Fikr 292-297 )