Arba'un An Nawawiyah adalah sebuah kitab kecil yang berisi
kumpulan hadits sebanyak empat puluh dua
hadits yang disusun oleh seorang imam fiqih dan hadits, zahid, wira'i, dan
pemberani yakni Imam An Nawawi Rahimahullah. Walaupun kitab ini bernama Arba'in
(empat puluh) tetapi jumlah hadits yang terdapat di dalamnya adalah empat puluh
dua hadits, bukan empat puluh.
Syaikh
Muhammad bin Shalih 'Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan tentang kitab
tersebut:
وقد ألف مؤلفات كثيرة من أحسنها
هذا الكتاب: الأربعون النووية، وهي ليست أربعين،بل هي اثنان وأربعون، لكن العرب يحذفون
الكسر في الأعداد فيقولون: أربعون. وإن زاد واحداً أو اثنين، أونقص واحداً أواثنين.
"Beliau (Imam An
Nawawi) telah banyak menyusun karya tulis, yang terbaik di antaranya adalah
kitab ini: Al Arba'un An Nawawiyah. Buku tersebut bukan empat puluh
hadits (arba'in), tetapi empat puluh dua hadits (itsnan wa arba'un),
namun orang Arab menghilangkan kasrah dalam bilangan, maka mereka menyebut: arba'un
(empat puluh), walaupun ditambahkan satu atau dua, atau dikurangi satu atau
dua." (Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Syarh Al Arba'in An
Nawawiyah, Hal. 2. Mawqi' Ruh Al Islam) .
Sebelum
Imam An Nawawi, sudah banyak para imam kaum muslimin menyusun kitab serupa
seperti yang diceritakan oleh Imam An Nawawi sendiri dalam mukadimah kitab ini,
mereka adalah Abdullah bin Mubarak,
Muhammad bin Aslam Ath Thusi, Hasan bin Sufyan An Nasa'i, Abu Bakr Al Ajuri,
Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim Al Ashfahani, Daruquthni, Al Hakim, Abu Nu'aim, Abu
Abdurrahman A Sulami, Abu Said Al Malini, Abu Utsman Ash Shabuni, Abdullah bin
Muhammad Al Anshari, Al Baihaqi, dan ulama lain yang tak terhitung jumlahnya.
Besarnya
perhatian para imam kaum muslimin terhadap upaya pengumpulan 'empat puluh
hadits' ini karena didasari berbagai riwayat yang menunjukkan keutamaannya.
Hanya saja, sebagaimana kata Imam An Nawawi sendiri, semua riwayat tersebut
adalah dhaif (lemah) menurut kesepakatan ahli hadits. Imam An Nawawi
mengatakan:
فقد روينا عن علي بن أبي طالب،
وعبد الله بن مسعود، ومعاذ بن جبل، وأبي الدرداء، وابن عمر، وابن عباس، وأنس بن مالك،
وأبي هريرة، وأبي سعيد الخدري رضي الله تعالى عنهم من طرق كثيرات بروايات متنوعات:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "من حفظ على أمتي أربعين حديثاً من أمر
دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء" وفي رواية: "بعثه
الله فقيها عالما".
وفي رواية أبي الدرداء:
"وكنت له يوم القيامة شافعا وشهيدا".وفي رواية ابن مسعود: قيل له:
"ادخل من أي أبوب الجنة شئت" وفي رواية ابن عمر "كُتِب في زمرة العلماء
وحشر في زمرة الشهداء". واتفق الحفاظ على أنه حديث ضعيف وإن كثرت طرقه.
"Kami
telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin
Jabal, Abu Ad Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan
Abu Sa'id Al Khudri Radhiallahu 'Anhum dari banyat jalan dan riwayat
yang berbeda: bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa di antara umatku menghapal empat puluh hadits berupa perkara
agamanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama rombongan
fuqaha dan ulama." Dalam riwayat lain: "Allah akan membangkitkannya
sebagai seorang yang faqih (ahli fiqih) dan 'alim."
Dalam
riwayat Abu Ad Darda: "Maka aku (nabi) pada hari kaimat nanti sebagai
syafaat dan saksi baginya." Dalam riwayat Ibnu Mas'ud: "Dikatakan
kepadanya: masuklah kau ke surga melalui pintu mana saja yang kamu
kehendaki." Dalam riwayat Ibnu Umar: "Dia dicatat termasuk golongan
ulama dan dikumpulkan pada golongan syuhada."
Para huffazh (ahli hadits) sepakat bahwa hadits-hadits
ini dhaif walaupun diriwayatkan dari
banyak jalan." (Imam Ibnu
Daqiq Al 'Id, Muqadiimah Syarh Al Arbai'in an Nawawiyah, Hal.
16-17. Maktabah Al Misykat)
Hanya
saja memang, jumhur (mayoritas) ulama – Imam An Nawawi mengatakan kesepakatan
ulama- membolehkan menggunakan hadits dhaif (seperti hadits-hadits di
atas) hanya untuk tema-tema fadhailul a'mal, targhib wat tarhib,
dan hal-hal semisal demi mengalakan amal shalih dan kelembutan hati dan akhlak.
Tetapi pembolehan ini pun bersyarat, yakni: tidak terlalu dhaif, tidak
bertentangan dengan tabiat umum agama Islam, dan jangan menyandarkan atau
memastikan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika
mengamalkannya. Mereka yang membolehkan di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Al
Hakim, Imam Yahya Al Qaththan, Imam Abdurrahman bin Al Mahdi, Imam Sufyan Ats
Tsauri, Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi, Imam 'Izzuddin bin Abdissalam, Imam
Ibnu Daqiq Al 'Id, dan lainnya.
Sedangkan
yang menolak adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma'in, Imam Ibnu
Hazm, Imam Ibnul 'Arabi, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Nashiruddin Al
Albani dan lainnya dari kalangan hambaliyah
kontemporer.
Khusus
untuk Al Arba'un An Nawawiyahi ini, telah banyak ulama yang memberikan perhatian terhadapnya
yakni dengan memberikan syarah (penjelasan) terhadap seluruh hadits yang
ada di dalamnya, mereka adalah Imam Ibnu Daqiq Al 'Id, Al 'Allamah Ismail bin Muhammad Al
Anshari, Al 'Allamah Muhammad bin Shalih
Al 'Utsaimin, dan lainnya. Juga diantara ulama, ada yang mentakhrij dan mentahqiq
(meneliti) kualitas validitas hadits-hadits dalam kitab ini, yakni Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah. Hal ini lantaran betapa
lengkapnya muatan dan tema yang dihimpun
oleh Imam An Nawawi, yakni berupa dasar-dasar agama, hukum, ibadah, muamalah,
dan akhlak. Sedangkan ulama lain, ada yang menyusun empat puluh hadits tentang
persoalan tertentu saja, ada yang akhlak saja, atau jihad, atau adab, atau
zuhud. Inilah letak keistimewaan kitab ini.
Boleh dikatakan, kitab ini -dan kitab Beliau
lainnya yakni Riyadhus Shalihin- adalah kitab Beliau yang paling luas
peredarannya dan paling besar perhatian
umat Islam terhadapnya baik kalangan ulama, dosen, mahasiswa, dan orang umum. Ini merupakan petunjuk atas
keikhlasan penulisnya sehingga Allah Ta'ala mengabadikan karya-karyanya di
tengah manusia walau dirinya telah wafat berabad-abad lamanya.
Semoga
kita semua bisa mengikuti jejak langkah para ulama rabbani dan mengambil banyak
manfaat dari karya dan keteteladanan kehidupan mereka. Amin.
Hadits Pertama
1- عن
أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله
تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول: "إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى،
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها
أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه". رواه إماما المحدثين: أبو عبد الله
محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج
بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة.
Dari
Amirul Mu'minin, Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu Ta'ala 'Anhu,
dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: "Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap
manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya
itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan
itu." (Diriwayatkan oleh Imamul
Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al
Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab hadits
paling shahih)
Takhrij Hadits:
-
Imam Bukhari, Jami'ush Shahih,
No. 45, 163, 2392, 3685, 4783, 6311, 6553
-
Imam Muslim, Jami'ush Shahih,
No. 1907
-
Imam At Tirmidzi, As Sunan, No.
1698
-
Imam Abu Daud, As Sunan, No. 2201
-
Imam Ibnu Majah, As Sunan, No.
4227
-
Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,
No.181, 2087, 12686, 14773
-
Imam Ibnu Hibban, Ash Shahih,
No. 388, 4868
Semuanya melalui
jalur sahabat nabi yang sama yakni Umar bin Al Khathab Radhiallahu 'Anhu.
Beliau menggunakan kata sami'tu (Aku mendengar) yang menunjukkan bahwa Beliau
mendengar hadits ini secara langsung dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam tanpa perantara.
Makna Hadits:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر
بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال
"Dari
Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khathab Radhiallahu 'Anhu, dia
berkata:"
Amirul
Mu'minin artinya pemimpin orang-orang beriman, yakni orang yang mengurus
berbagai urusan (Al Umur) kaum beriman yang berada dalam jangkauan
wilayah kekuasaannya. Umar bin Al Khathab Radhiallahu 'Anhu adalah orang
pertama yang dipanggil dengan sebutan gelar ini. Orang pertama yang
memanggilnya dengan sebutan ini adalah Abdullah bin Jahsy, dan menurut riwayat
lainnya adalah Amr bin Al 'Ash dan Mughirah bin Syu'bah. Sejak itu panggilan Amirul
Mu'minin menjadi panggilan baku
bagi khalifah selanjutnya.
Bahkan
pada masa selanjutnya, istilah tersebut juga dipakai oleh para ulama hadits
yakni Amirul Mu'minin fil Hadits (pemimpin orang beriman dalam hadits)
sebuah gelar tertinggi yang diberikan kepada ahli hadits. Di antara ahli hadits
yang menyandang gelar ini pada masanya masing-masing adalah Imam Al Bukhari dan
Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani.
Abu
Hafsh Umar bin Al Khathab adalah -sebagaimana keterangan Imam As Suyuthi dalam Tarikhul
Khulafa':
Beliau adalah Umar
bin Al Khathab bin Nufail bin Abdil 'Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin
'Adi bin Ka'ab bin Lu'ai. Dialah Amirul Mu'minin, Abu Hafsh Al Qursyi Al 'Adawi
Al Faruq.
Masuk
Islam tahun keenam masa kenabian, saat usianya 27 tahun sebagaimana kata Imam
Adz Dzahabi. Imam An Nawawi mengatakan Umar bin Al Khathab dilahirkan 13 tahun
setelah peristiwa gajah (tahun gajah). Dia berasal dari suku Quraisy yang
paling mulia. Masuk Islam termasuk generasi awal setelah 40 laki-laki dan 11
wanita. Ada juga yang mengatakan setelah
39 laki-laki dan 23 wanita, dan ada juga yang mengatakan setelah 45
laki-laki dan 11 wanita. Setelah
keislaman Umar, kaum muslimin di Mekkah senantiasa berjaya dan mereka amat
berbahagia dengan keislamannya.
Dia
adalah salah seorang sahabat nabi yang paling utama, salah seorang yang
dikabarkan dijamin masuk surga, dan salah seorang khalifatur rasyidin. Beliau
meriwayatkan hadits dari nabi 539 buah. (Imam As Suyuthi, Tarikhul
Khulafa', Hal. 89. Cet. 1. 2004M-1425H. Maktabah Nazar Mushthafa Al Baz)
سمعت رسول الله صلى الله تعالى
عليه وعلى آله وسلم يقول
"Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa 'Ala Aalihi Sallam bersabda:"
Ucapan Umar, Sami'tu (Aku Mendengar)
menunjukkan bahwa hadits ini didengarnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam tanpa perantara orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Al
'Allamah Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
وفي قوله سَمِعْتُ دليل على
أنه أخذه من النبي صلى الله عليه وسلم بلا واسطة. والعجب أن هذا الحديث لم يروه عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا عمر رضي الله عنه مع أهميته، لكن له شواهد في القرآن
والسنة.
"Ucapannya
'Aku Mendengar' merupakan dalil bahwa Beliau mengambil hadits ini dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan tanpa perantara.
Mengagumkannya adalah bahwa hadits sepenting ini tidak ada sahabat yang
meriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kecuali
Umar Radhiallahu 'Anhu. Tetapi hadits ini memiliki syawahid
(banyak saksi/penguat) dalam Al Quran dan As Sunnah." (Syaikh Muhammad
bin Shalih Al 'Utsaimin, Syarh Arba'in An Nawawiyah Hal. 3. Mawqi' Ruh
Al Islam)
إنما الأعمال بالنيات
"Sesungguhnya
amal itu hanyalah beserta niat"
Kata
innama adalah –sebagaimana kata para ulama muhaqqiq (peneliti)- Lil Hashr للحصر))
yakni sebagai pembatas, sehingga dia
bermakna 'Sesungguhnya hanyalah' . Sebagai itsbat (penetap) dari
hukum dari hal yang disebutkan setelahnya.
Dengan
kata lain tidak ada amal kecuali dengan niat. Jika dikatakan: Zaidun Qaaimun
(Zaid sedang berdiri). Maka ini tidak ada pembatasan, bisa saja Zaid berdiri
sambil makan, bersandar, atau aktiftas lainnya. Tetapi jika dikatakan Innama
Zaidun Qaaimun (Sesungguhnya Zaid hanyalah sedang berdiri), maka ini sudah
ada pembatasan bahwa aktifitas zaid cuma berdiri, tidak yang lainnya.
Al
A'mal adalah jamak (plural) dari 'amal (perbuatan), sebagai kelanjutan dan ikrar dari niat. Al
A'mal mencakup berbagai bentuk perbuatan, baik perbutan hati, lisan, dan jawarih
(anggota badan). Amal hati seperti tawakkal kepada Allah, kembali dan takut
kepadaNya. Amal lisan seperti berbicara dan makan. Amal jawarih seperti
perbuatan tangan dan kaki dan yang semisalnya.
Imam
Ibnu Daqiq Al 'Id mengatakan:
والمراد بالأعمال: الأعمال الشرعية.
ومعناه: لا يعتد بالأعمال بدون النية مثل الوضوء والغسل والتيمم وكذلك الصلاة والزكاة
والصوم والحج والاعتكاف وسائر العبادات، فأما إزالة النجاسة فلا تحتاج إلى نية لأنها
من باب الترك والترك لا يحتاج إلى نية، وذهب جماعة إلى صحة الوضوء والغسل بغير نية.
"Yang
dimaksud Al A'mal adalah amal-amal syar'i. artinya amal perbuatan tersebut tidaklah cukup dengan tanpa niat, seperti
wudhu, mandi junub, tayammum, demikian juga shalat, zakat, puasa, haji,
I'tikaf, dan semua ibadah. Sedangkan menghilangkan najis tidaklah membutuhkan
niat, karena itu merupakan pembahasan at tarku
(meninggalkan perbuatan), dan meninggalkan perbuatan tidaklah
membutuhkan niat. Segolongan manusia berpendapat sahnya wudhu dan mandi junub walau tanpa niat." Demikian dari Imam Ibnu Daqiq Al 'Id.
An
Niyyat –dengan huruf Ya' ditasydidkan- adalah jamak dari niyyah
yang bermakna 'azmul qalbi (tekad di hati). Di juga bermakna Al
Qashdu (maksud).
Secara syariat
menurut Syaikh Ibnu Al 'Utsaimin niat bermakna:
العزم على فعل العبادة تقرّباً
إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها
Tekad (keinginan
kuat) untuk melaksanakan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta'la,
letaknya di hati, dan dia termasuk amal hati yang tidak tergantung dengan
perbuatan anggota badan. ( Syaikh
Ibnu Al 'Utsaimin, Syarh Al Arba'in An Nawawiyah hal. 4-5. Lihat juga Syaikh
Ismail bin Muhammad Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah Syarh Al Arba'in An
Nawawiyah, Hal. 2. Maktabah Al
Misykah.
Juga Imam Ibnu Daqiq Al 'Id, Syarh Al Arba'in An nawawiyah,
Hal. 26. Maktabah Al Misykah)
Maka, amal perbuatan dikatakan SAH sebagai
perbuatan, jika dibarengi niat untuk melaksanakannya. Tanpa niat, itu dinamakan
ketidaksengajaan, rekayasa atau sandiwara, walau secara lahiriyah juga nampak
adanya perbuatan tersebut.
Tidak
dinamakan shalat orang yang melakukannya tanpa niat, walau lahiriyahnya
menampakkan dia sedang shalat. Tidak dinamakan masuk Islam bagi orang kafir
yang mengucapkan dua kalimat syahadat, jika melaksanakannya tanpa niat untuk
itu, melainkan sekedar tuntutan skenario di film.
وإنما لكل امرئ ما نوى
"dan setiap
manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya."
Maksudnya,
hasil akhir yang didapatkan seseorang dari perbuatannya tergantung niat apa dibalik perbuatannya itu,
dia tidak akan mendapatkan selain yang diniatkannya.
Syaikh
Abdul Muhsin Al 'Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
"Barangsiapa
yang datang ke masjid untuk shalat, atau untuk menghadiri shalat berjamaah,
atau mencari pahala dengan berdzikir dan membaca Al Quran, maka dengan ini dia
akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Ada pun yang masuk ke
masjid untuk melakukan amal yang tidak
ada kaitan dengan perkara agama dan ketaatan, maka dia mendapatkan sesuai apa
yang diinginkannya itu, dan tidak mendapatkan
pahala." (Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi
Daud, No. 066. Maktabah Al Misykah)
Para ulama berbeda pendapat, apakah kalimat ' wa innama likullimri'in maa nawa'
memiliki makna yang sama dengan innamal a'malu bin niyyat, ataukah dia
merupakan kalimat penegas (taukid) dari kalimat tersebut?
Dan,
Syaikh Ibnu Al 'Utsaimin lebih menguatkan bahwa maknanya adalah sebagai kalimat
penegas. Sebab, pengulangan (repetition) biasanya memang berfungsi
sebagai penegas, penguat dan penjelas dari kalimat sebelumnya.
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله
فهجرته إلى الله ورسوله
"Maka, barang
siapa yang hijrahnya kepada Allah dan
RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya"
Kalimat 'faman'
(Maka barang siapa), secara khusus yang dimaksud dalam hadits ini adalah
seorang laki-laki yang berhijrah dari
mekkah ke Madinah bukan karena mencari keutamaan hijrah tetapi karena mengincar
seorang wanita yang ingin dinikahinya. Berkata Imam Ibnu Daqiq Al 'Id:
نقلوا أن رجلا هاجر من مكة إلى المدينة لا
يريد بذلك فضيلة الهجرة، وإنما هاجر ليتزوج امرأة تسمى أم قيس
"Mereka
meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang berhijrah dari Mekkah menuju
Madinah, dengan hijrahnya itu dia tidak menghendaki keutamaan hijrah. Dia hanya menghendaki agar
dapat menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais." (Imam Ibnu Daqiq
Al 'Id, Syarh Al Arba'in An Nawawiyah, Hal. 27. Maktabah Al Misykah. Imam
Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/10. Darul Fikr)
Sehingga di dalam sejarah, laki-laki tersebut
dikenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais.
Walaupun
sababul wurud hadits ini karena laki-laki tersebut, namun nilai dan
hukum yang terkandung di dalamnya juga berlaku
bagi manusia lain secara umum. Hal ini sesuai kaidah: Al 'Ibrah bi
'umum al lafzhi laa bi khushush as sabab (Pelajaran bukanlah diambil dari sebabnya yang spesifik, tetapi dari makna
lafaznya secara umum).
Kalimat
'Kanat hijratuhu' (yang hijrahnya),
yakni hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah tiga belas tahun da'wah di Mekkah
mengalami penindasan. Dahulu Madinah dinamakan Yatsrib, dan hijrah
tersebut adalah yang kedua, setelah hijrah pertama ke Habasyah
(Etiopia). Peristiwa ini menjadi titik tolak awal penanggalan tahun
Hijriyah.
Perintah
hijrah ini langsung datangnya dari Allah Ta'ala, bahkan orang yang tidak mau
ikut hijrah padahal mereka sanggup, oleh Allah Ta'ala disebut sebagai orang
yang menganiaya dirinya sendiri.
Allah
Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat
dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya :
"Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah
Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para Malaikat berkata:
"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisa (4): 97)
Yang
dimaksud dengan orang yang Menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang
muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup.
mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke
perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
Imam Adh Dhahak mengatakan mereka adalah orang-orang munafiq yang memang
berselisih dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, justru mereka ikut bersama kaum musyrikin
ketika perang Badar. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al 'Azhim,
2/389. Dar An Nasyr wat Tauzi')
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam pun mencela mereka, dari Samurah bin Jundub Radhiallahu 'Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
من جامع المشرك وسكن معه فإنه مثله
"Barang siapa yang berkumpul
dan tinggal bersama orang musyrik maka dia adalah semisal dengannya." (HR.
Abu Daud No. 2787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif
Sunan Abi Daud No. 2787)
Hijrah secara bahasa artinya At Tarku
(meninggalkan). Secara syariat, hijrah adalah Al Intiqal min baladil Kufri
ilaa baladil Islam, wa min dar asy syirki ilaa dar at tauhid, wa min dar al khauf ilaa dar al amn (pindah
dari negeri kufur menuju negeri Islam, dan dari negeri syirik menuju negeri
tauhid, dan dari negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman).
Para
ulama berbeda pendapat, apakah hijrah itu wajib atau sunah? Namun pendapat yang
lebih kuat adalah hijrah dari sebuah tempat
di mana seorang muslim yang tidak dapat menjalankan agamanya secara sempurna
adalah wajib. Hal ini sesuai kaidah :
ما لايتم الواجب إلا به فهوواجب
Kewajiban yang tidak sempurna kecuali
oleh sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.
Menjalankan agama adalah kewajiban,
tetapi baru bisa sempurna menjalankannya dengan hijrah dari daerah kufur tersebut, maka hijrah adalah wajib.
Hijrah ada dua model. Pertama, hijrah makani (pindah
wilayah) yaitu dari negeri kafir ke negeri tauhid. Bisa juga pindah tempat dari
daerah buruk, daerah maksiat dan kejahatan, yang tidak kondusif bagi agama dan
akhlak, menuju daerah yang shalih dan aman buat agama. Kedua, hijrah
ma'nawi (pindah secara nilai) yaitu berubahnya seseorang yang tadinya
kafir menjadi muslim, ahli maksiat menjadi ahli tha'at, jahil (bodoh)
menjadi 'alim (berilmu) dan
lainnya.
"kepada Allah
dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya"
Makna
'kepada Allah' adalah orang yang hijrahnya karena Allah Ta'ala, untuk
mencari balasan kebaikan dariNya, untuk mendapatkan ridhaNya, dan untuk membela
syariatNya. Allah Ta'ala berfirman:
وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
"dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya." (QS. Al Ahzab
(33): 29).
Imam Asy Syaukani mengatakan: "yaitu
(menginginkan) surga dan kenikmatannya." (Imam Asy Syaukani, Fathul
Qadir, 6/37. Mawqi' Ruh Al Islam)
Syaikh Ibnu Al 'Utsaimin mengatakan:
"yaitu menginginkan wajahNya dan menolong agamaNya. Ini adalah keinginan
yang baik." (Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Syarh Al
Arba'in An Nawawiyah, Hal. 9. Mawqi' Ruh Al Islam)
Makna 'dan RasulNya' adalah
orang yang berhijrah untuk memperoleh keberuntungan bersahabat dengannya,
menjalankan sunahnya, membelanya, dan mengajak manusia kepadanya, serta menyebarkan
agamanya. (Ibid)
Makna 'maka
hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya' yaitu dia akan mendapatkan apa yang diniatkan itu
yakni pahala dari Allah Ta'laa, ridhaNya, kemenangan dunia dan akhirat,
sebagaimana yang dia niatkan sebelumnya.
Berkata Syaikh Ismail
bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:
إلى الله ورسوله : بأن يكون
قصده بالهجرة طاعة الله عز وجل ورسوله صلى الله عليه وسلم .
فهجرته إلى الله ورسوله : ثوابا
وأجرا .
"Kepada
Allah dan RasulNya: yaitu menjadikan maksud hijrahnya adalah demi ketaatan
kepada Allah dan RasulNya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. 'Maka hijrahnya
itu kepada Allah dan RasulNya: yaitu (mendapat) balasan dan pahala." (At
Tuhfah Ar Rabbaniyah Hal. 2)
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها
أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
"dan
barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan
itu."
Makna
'dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya' yakni menginginkan
kenikmatan kehidupan dunia seperti kekayaan,
pangkat, perniagaan, jabatan, perhiasan, dan godaan dunia lainnya.
Secara
bahasa dunia diambil dari kata danaa yang artinya dekat (Al Qarbu).
Ini sekaligus menunjukkan singkatnya kehidupan dunia. Dinamakan Ad Dun-ya karena lebih
dahulu dibanding akhirat, atau sangat dekat dengan zawal (tergelincirnya
waktu). Kehidupan ini adalah di atas
bumi yang di dalamnya terdapat udara dan
angin dan apa pun yang ada sebelum
datangnya kiamat. (Ibid)
Makna 'atau wanita'
yakni Ummu Qais. ' yang ingin dinikahinya' yakni dikawininya dan
dijadikannya isteri Dan, pengkhususan
wanita di sini, padahal wanita adalah bagian dari kenikmatan dunia juga,
merupakan keistimewaannya sekaligus 'daya goda'-nya yang seringkali lebih kuat
terhadap laki-laki dibanding godaan lainnya.
Makna
'maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu' yakni dia akan mendapatkan dunia yang
diinginkannya itu, tetapi dia tidak mendapatkan Allah dan RasulNya.
Oleh
karena itu Allah Ta'alla berfirman:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ
مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
"Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi
Balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran (3): 145)
Ucapan Imam An Nawawi: Diriwayatkan oleh
Imamul Muhadditsin, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al
Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin
Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, dalam kitab shahih mereka yang merupakan kitab
hadits paling shahih. Yaitu hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari
dan Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka, yang berjudul sama, Jami'ush
Shahih. Bukan kitab karya mereka yang lain.
Berkata
Imam An Nawawi dalam kitab At Taqrib:
أول مصنف في الصحيح المجرد،
صحيح البخاري، ثم مسلم، وهما أصح الكتب بعد القرآن، والبخاري أصحهما وأكثرهما فوائد،
وقيل مسلم أصح، والصواب الأول
"Kitab
pertama yang paling shahih adalah Shahih Al Bukhari, kemudian Shahih Muslim.
Keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran. Dan Shahih Al Bukhari
paling shahih di antara keduanya dan paling banyak manfaatnya. Ada yang mengatakan Shahih
Muslim paling shahih, tapi yang benar adalah yang pertama." (Imam An
Nawawi, At Taqrib wat Taisir, Hal. 1. Mawqi' Ruh Al Islam)
Beliau
menambahkan:
الصحيح أقسام: أعلاها ما اتفق
عليه البخاري ومسلم، ثم ما انفرد به البخاري، ثم مسلم، ثم ما على شرطهما، ثم على شرط
البخاري، ثم مسلم، ثم صحيح عند غيرهما، وإذا قاولوا صحيح متفق عليه أو على صحته فمرادهم
اتفاق الشيخين
"Ash
Shahih itu terbagi-bagi, paling tinggi adalah yang disepakati oleh Al
Bukhari dan Muslim, kemudian Al Bukhari saja, kemudian Muslim, kemudian hadits
yang sesuai syarat keduanya, kemudian yang sesuai syarat Al Bukhari, kemudian
Muslim, kemudian shahih menurut selain keduanya. Jika mereka mengatakan: Shahih
Muttafaq 'Alaih atau 'Ala
Shihatihi maksudnya adalah disepakati oleh Syaikhain (dua syaikh
yakni Al Bukhari dan Muslim)." (Ibid)
Namun,
tidak ada kitab yang melebihi kesempurnaan Al Quran. Oleh karena itu kitab
mereka berdua pun juga tidak selamat dari kritik para ulama hadits. Ditengarai
dalam kitab mereka berdua terdapat 210 hadits yang dikritik. Imam Al Bukhari
kurang dari 80, sisanya adalah Imam Muslim. Ini sekaligus menujukkan kebenaran
bahwa Shahih Bukhari lebih baik dibanding Shahih Muslim.
Kedudukan, Faidah, dan Makna Hadits
Secara Global
Pertama. Hadits ini berisikan
sesuatu yang amat penting dalam Islam yakni niat dan ikhlas. Amal harus ada
niat, sedangkan niat harus ada keikhlasan agar dia diterima. Oleh karena itu
para ulama menganjurkan agar siapa saja yang hendak menyusun kitab, agar
mencantumkan hadits ini di permulaan kitabnya sebagai renungan bagi pembanya
untuk meluruskan niatnya.
Berkata
Imam Ibnu Daqiq Al 'Id:
قال الإمام أحمد والشافعي رحمهما
الله: "يدخل في حديث الأعمال بالنيات ثلث العلم" قاله البيهقي، وغيره. وسبب
ذلك أن كسب العبد يكون بقلبه ولسانه وجوارحه والنية أحد الأقسام الثلاثة.
Imam Ahmad dan Imam
Asy Syafi'i Rahimahumallah berkata: 'Hadits ini mencakup sepertiga
ilmu' , hal itu dikatakan juga oleh Al Baihaqi dan lainnya. Sebabnya adalah
perbuatan hamba terdiri atas hati, lisan, dan anggota badannya. Dan niat adalah
salah satu bagian dari tiga itu. (Imam Ibnu Daqiq Al 'Id, Syarh Al
Arba'in An Nawawiyah, Hal. 24)
Diriwayatkan dari
Imam Asy Syafi'i, bahwa katanya: hadits ini mencakup 70 bab tentang fiqih.
Segolongan ulama mengatakan hadits ini
merupakan sepertiganya Islam.
Berkata
Imam Abdurrahman bin Al Mahdi Radhiallahu 'Anhu:
ينبغي لكل من صنف كتاباً أن
يبتدئ فيه بهذا الحديث تنبيهاً للطالب على تصحيح النية.
"Hendaknya
bagi setiap orang yang menyusun kitab agar mengawali kitabnya dengan hadits
ini, sebagai peringatan bagi penuntut ilmu untuk meluruskan niatnya." (Ibid
Hal. 25)
Kedua.
Hadits ini pula yang dijadikan oleh para ulama sebagai parameter untuk
membedakan (tamyiz) status hukum amal seseorang; antara adat dan ibadah,
dan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Jika
seseorang makan demi memenuhi kebutuhan perutnya, ini adalah adat, tetapi jika
makan demi menjaga kekuatan untuk ibadah dan ketaatan kepadaNya maka makan
seperti itu dinilai ibadah.
Niat
juga yang membedakan antara nilai puasa yang satu dan yang lainnya. Seseorang
yang berpuasa pada hari senin tetapi saat itu dia sedang berniat puasa syawal,
maka kesunahan puasa senin kamis baginya telah gugur. Artinya dalam syariat dia
dinilai sedang puasa syawal bukan puasa senin kamis. Sedangkan menggabungkan
berbagai niat puasa dalam satu hari, tidak ada dasarnya dalam syariat, walau
ada ulama yang membolehkannya. Hal ini sama halnya dengan seorang yang masuk ke
masjid langsung bergabung dengan jamaah shalat fardhu, maka kesunahan shalat
tahiyatul masjid baginya telah gugur.
Hadits
ini telah melahirkan sebuah kaidah fiqih yang sangat terkenal, dan Imam As
Suyuthi telah memasukkannya dalam kaidah pertama dalam kitab Al Asybah wan
Nazhair, yakni:
الأمور بمقاصدها
"Urusan/perkara
tergantung maksud-maksudnya." (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan
Nazhair, Hal. 8. Mawqi' Ruh Al Islam)
Oleh
karena itu, syariat menghargai orang yang berniat ingin shalat malam, tetapi
dia ketiduran, maka dia tetap mendapatkan pahala shalat malam. Hal ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiallahu 'Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم
يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى
"Barang
siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat
malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang
diniatkannya." (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa'i No. 1787.
Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah
No. 1344)
Begitu pula orang
yang berniat ingin shalat berjamaah di masjid, tetapi sesampainya di sana dia tertinggal
jamaah, maka Allah Ta'ala tetap memberikannya nilai pahala berjamaah. Hal ini
dengan syarat dia tidak menyengaja untuk berlambat-lambat menuju masjid.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wa Sallam bersada:
مَنْ
تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا
أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ
ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا
“Barang
siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke mesjid (untuk
berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan
seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala
mereka sedikit pun.” (HR.
An Nasa'i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katany
shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami' No. 6163)
Berkata
Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah:
ظَاهِره أَنَّ إِدْرَاك فَضْل
الْجَمَاعَة يَتَوَقَّف عَلَى أَنْ يَسْعَى لَهَا بِوَجْهِهِ وَلَا يُقَصِّر فِي
ذَلِكَ سَوَاء أَدْرَكَهَا أَمْ لَا فَمَنْ أَدْرَكَ جُزْء مِنْهَا وَلَوْ فِي
التَّشَهُّد فَهُوَ مُدْرِك بِالْأَوْلَى وَلَيْسَ الْفَضْل وَالْأَجْر مِمَّا
يُعْرَف بِالِاجْتِهَادِ فَلَا عِبْرَة بِقَوْلِ مَنْ يُخَالِف قَوْله الْحَدِيث
فِي هَذَا الْبَاب أَصْلًا .
“Secara zhahir, hakikat keutamaan
jamaah adalah dilihat dari kesungguhan dia untuk melaksanakannya, tanpa
memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika demikian, ia tetap dapat pahala
jamaah, baik sempat bergabung dengan jamaah atau tidak. Maka, barang siapa
yang mendapatkan jamaah sedang tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut
sejak rakat pertama. Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui
dengan ijtihad. Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang
bertentangan dengan hadits-hadits di atas.” (Syarh
Sunan An Nasa'i, 2/113. Syamilah)
Begitu pula dengan
kesalahan yang tidak diniatkan untuk dilakukan dan juga karena terpaksa,
seperti membunuh tidak sengaja (peluru nyasar), terpaksa mengaku kafir demi
menjaga jiwa seperti yang dilakukan oleh sahabat nabi, Amr bin Yasir, dan contoh lainnya. Hal ini berdasarkan pada ayat:
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ
نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
"Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah." (QS. Al Baqarah (2): 286)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:
إن الله تعالى تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان
وما استكرهوا عليه
"Sesungguhnya
Allah Ta'ala melewatkan saja bagi umatku; kesalahan tidak sengaja, lupa, dan orang
yang dipaksa." (HR. Ibnu Majah No. 2043, 2045. Al Baihaqi, As
Sunan Al Kubra, No. 14871. Shahih Al Jami' Ash Shaghir wa Ziyadatuhu,
1/358, No. 1731. Al Maktab Al Islami. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa
sahabat yakni Abu Dzar, Ibnu Abbas, dan Tsauban)
Dalam
kehidupan suami isteri juga demikian, tidak dikatakan zhihar bagi
seorang suami yang memanggil isterinya dengan panggilan Ummi (ibuku),
sebab dia maksudkan dengan panggilan itu adalah sebagai bimbingan bagi
anak-anaknya agar terbiasa memanggil Ummi kepada ibunya. Bukan berarti
dia menganggap isterinya sama dengan ibunya.
Thalak
pun tidak jatuh bagi isteri yang
dithalak suaminya yang sedang mabuk, tidak sadar, atau marah yang membuatnya
tidak terkendali, sebab ia tidak meniatkannya secara sadar. Inilah pandangan jumhur
(mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya’ tsa’, Atha’, Thawus,
Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Laits bin Sa’ad, Al Muzani, Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa thalak baru jatuh ketika sadar, akal
normal, dan sengaja.
Ada juga ulama yang
berkata, thalak orang mabuk adalah sah seperti Said bin Al Musayyib, Hasan Al
Bashri, Az Zuhri, Asy Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu hanifah, dan Asy
Syafi’i.
Begitu
pula kaum yang mencela negara penjajah Zionis Israel, kaum
tersebut bukan sedang mencela Nabi Ya'qub yang memiliki nama lain Israil.
Tidak benar bahwa mereka dianggap sedang menghina Nabi Ya'qub 'Alaihis Salam
sebagaimana tuduhan sekelompok orang. Sebab, yang mereka maksudkan dengan nama
'Israel' adalah bangsa Yahudi yang mencaplok Palestina, bukan Nabi Ya'qub.
Begitu pula ketika ramai manusia membicarakan seorang koruptor bernama Al
Amin. Tidaklah itu bermakna bahwa manusia sedang menggunjingkan Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam yang memiliki gelar Al Amin.
Demikianlah, betapa
pentingnya kedudukan niat dalam menentukan status hukum sebuah amal perbuatan
manusia. Tetapi, ada ketetapan lain yang tidak bisa dirubah oleh niat, yakni
perkara keharaman yang telah pasti dan jelas, tidaklah menjadi halal walau
diniatkan dengan niat yang baik.
Berjudi tetaplah haram
walau si pemainnya berniat untuk menjadikan judi sebagai sarana silaturahim.
Zina tetaplah haram walau pelakunya meniatkannya sebagai sarana untuk
mendakwahi pelacur. Mencuri tetaplah haram walau berniat untuk disedekahkan.
Menggunakan jimat tetaplah haram walau berniat demi kemenangan jihad melawan
musuh dan masih banyak contoh lainnya.
Ketiga. Hadits
ini juga menegaskan betapa pentingnya ikhlashun niyyah. Sebab keikhlasan
merupakan syarat diterimanya amal shalih sebagaimana yang telah diketahui.
Bahkan amal yang tidak dilaksanakan dengan hati yang ikhlas, baik karena ingin
dipuji, ingin ketenaran, ingin harta dunia, dan semisalnya, akan membuat
pelakunya celaka.
Allah Ta'ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا
يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ
مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
"Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Hud (11): 15-16)
Dari Abu
Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ
يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
“Barangsiapa
yang menuntut ilmu yang dengannya dia seharusnya menginginkan wajah Allah,
(tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia
tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu Majah
No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain,
No. 288, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani
mengatakan shahih lighairih. Shahih Targhib wat Tarhib No. 105. Shahih
wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 3664, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah,
No. 252)
Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam:
فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ
لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ
“Barangsiapa diantara
mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan
bagian apa-apa di akhirat.” (HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No. 405, Al
Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya shahih.
Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari
berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid
10/220. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
FARID NU'MAN