Jumat, 28 Juli 2017

Kelak, Yang Buruk Diangkat Yang Baik Dihinakan




Ketahuilah, membaca hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, melahirkan kecintaan, ilmu dan ilustrasi prediksi sebuah zaman, baik prediksi kejayaan, kemenangan atau sebaliknya, keruntuhan, kezaliman dan penindasan. Yang terakhir ini, diungkap oleh Imam Al Hakim dalam Kitab Al Mustadraknya, dua-duanya bersumber dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, ajaibnya  hadits ini berdampingan, beliau ungkap kekacauan zaman terlebih dahulu, baru kejayaan Islam dan Penaklukkan Konstantinopel, Kotanya Heraclius. Prediksi semakin dekatnya hari kiamat, dan kondisi masyarakatnya jelas tergambar dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata, ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:

إن مِن أشراط السَّاعَةِ أَنْ تُرْفَعَ الْأَشْرَارُ وَتُوضَعَ الْأَخْيَارُ، وَيُفْتَحَ الْقَوْلُ وَيُخْزَنَ الْعَمَلُ، وَيُقْرَأَ بِالْقَوْمِ الْمُثَنَّاةُ لَيْسَ فِيهِمْ أَحَدٌ يُنْكِرُهَا» قِيلَ: وَمَا الْمُثَنَّاةُ؟ قَالَ: «مَا اكْتُتِبَتْ سِوَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

”Sesungguhnya tanda  hari kiamat, akan diangkat kaum yang buruk perangai dan akan dihinakan kaum  baik perangainya, akan muncul banyak ucapan (komentar) dan tersimpan (sedikitnya)  amal, orang-orang banyak membaca “Al Mutsanah” tak seorangpun yang mampu mengingkarinya, seseorang bertanya” Apakah “Al-Mutsannah itu”? ia adalah segala yang ditulis selain dari Kitabullah Azza Wa Jalla". (Imam Al-Hakim, Al Mustadrak no. 8661, Al Baihaqi dalam Syuabul Iman no. 4834, Sunan Ad Darimi no. 493, dan Ath Thabrani, no.482)


1. Yang Buruk Diangkat, Yang Baik Dihinakan

Aku tak tahu, kapankan zaman itu,mungkin kini,  saat orang-orang berperangai buruk diangkat menjadi pemangku kekuasaan, kebijakan yang menderitakan sebagian besar, dan membahagiakan segelintir. Saat keadilan begitu mahal, mahal ongkosnya dan mahal didapat, keadilan hanya cerita, saat orang-orang baik dituduh, dengan beragam rekayasa bukti. Sedangkan sang pelapor menjadi tersangka. Inikah zaman itu?
Kegaduhan tak kunjung usai, payung hukum begitu cepat dibuat dan di sahkan untuk melindungi golongan tertentu, menyisakan daftar-daftar target. Umat dikotak-kotakkan, Islam diadu domba, inikah zaman itu?

2. Banyaknya Ucapan, Sedikit Amal

Disadari atau tidak inilah zamannya, saat orang lebih pandai mengomentari sebuah kebaikan atau pekerjaan, sedang dirinya belum tentu bisa melakukan prestasi kebaikan seperti orang lain. Saat pengamat lebih banyak dari pada pelaku-pelaku kebaikan, penonton sok pandai dari pemain di lapangan. Terkait Masjid Al Aqsha misalnya, masih saja ada pihak yang berkomentar, urusan Palestina adalah urusan bangsa Palestina sendiri, jika kaum Zionis merampas rumah atau tanah, warga Palestina sebaiknya mengalah dan memberikan kepada Yahudi, atau hijrah. Apakah komentator itu tidak berfikir, jika rumah mereka dirampok, Apakah mereka juga akan memberikan isi rumahnya dengan Cuma-Cuma?

Atau muncul golongan yang hanya pandai menyuruh kebaikan, menshare peluang-peluang kebaikan, ini bagus. Namun ia sendiri tak melakukan, ia sudah nyaman dengan jumlah share-share di grup medsos terkadang tanpa validasi sumber, yang terakhir ini instrospeksi buat saya pribadi. Mungkin inikah zamannya.

3. Kesibukan Yang Memalingkan dari Al Qur'an

Tak ada yang tak sibuk, baik pekerja ataupun yang tidak bekerja, semuanya sibuk. Kesibukan yang memalingkan dari agama dan Al Qur’an. Untuk urusan dunia dilakukan dengan persiapan sekuat tenaga, namun saat urusan agama, persiapannya tak ada. Agama hanya hiasan saja, tidak berakar pada sanubari. Inikah zaman itu?
Ibnu Hazm memaknai “Al Mutsannah” sebagai buku-buku atau tulisan yang bersumber dari Ahlul Kitab, di dalamnya banyak kebathilan, menyebabkan manusia tersibukkan dengannya, jika manusia sudah tersibukkan, mereka akan meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah, itulah tanda hari kiamat. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/341)



Senin, 24 Juli 2017

KETENARAN KITAB TA’LIM MUTA’ALIM


Tak banyak sumber yang mengangkat tentang Burhanul Islam Al Zarnuji, selain karyanya yang begitu tenar dikalangan pesantren, kitab Ta’lim Muta’alim Thariq At Ta’allum. Kitab yang sangat masyhur tersebut akrab dikalangan para santri dan pendidik di pesantren.  Meski selain beliau, ada banyak ulama yang menulis tentang bab ilmu.

Diantara ulama lain yang menyebut tentang bab ilmu adalah Imam Al-Bukhari, beliau menyebut dalam Kitab Shahih Al- Bukhari khusus Kitab Al Ilmu, didalamnya disebutkan hadits-hadits tentang ilmu tak kurang dari lima puluh satu bab tentang ilmu dan korelasinya, juga Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juga membahas Kitab Al-Ilmi, menarik jika dibahas.

Selain itu Imam Al Ghazali juga membahas tentang ilmu dalam Al Ihya, khusus kitab Al Ilmu ada tujuh bab ilmu yang beliau bahas. Juga Ibnu Rajab Al-Hambali menulis kitab dengan judul Jami’ul Ulum wal Hikam, meski tidak menyebut bab khusu tentang ilmu namun didalam berisi lima puluh hadits-hadits yang sarat ilmu. Namun tetap saja nisbat ketenaran tentang ilmu dan pendidik tersebut belum beranjak dari  Al-Zarnuji.

Burhanul Islam Al-Zarnuji sendiri lahir di daerah yang disebut dengan Al Zarnuj, wilayah Khurasan, Afghanistan sekarang .  Beliau  hidup sekitar abad ke enam atau ke tujuh  (591H) seperti disebutkan oleh Al Ahwani  (Kitab tarbiyah Islamiyah, hal. 339),  Al-Zarnuji adalah seorang Fakih bermazhab Hanafi,  sangat sedikit memang sumber yang menyebutkannya.

Didalam Kitab Ta’lim Al Muta’alim ini dibahas sebanyak tiga belas bab  tentang keutamaan ilmu, niat dalam menuntut ilmu, , memilih guru panutan, serta adab dan akhlaq dalam menuntut ilmu. Teknik penulisan dengan gaya syair-syair, yang sarat makna dan dalam hikmah.
Misalnya, beliau menyebutkan, salah satu keutamaan ilmu adalah sarana untuk mencapai kebaikan-kebaikan, takwa, kemuliaan, dan kebahagiaan abadi. Seraya menukil syair Muhammad bin Al Hasan:

تعلم فإن العلم زين لأهله                وفضل وعنوان لكل المحامد
وكن مستفيدا كل يوم زيادة             من العلم واسبح في بحور الفوئد  
 
Belajarlah, karena ilmu adalah perhiasan bagi pemiliknya, juga keutamaan dan alamat bagi setiap keterpujian. Pergunakanlah setiap hari dengan bertambah, dari ilmu dan berenanglah dalam lautan keutamaan.

Dalam bait yang lain beliau melanjutkan                :          

تفقه فإن الفقه أفضل قائد        إلى البر والتقوى وأعدل قاصد
فإن فقيها واحدا متورعا                   أشد على الشيطان من ألف عابد

Perdalamlah fikih, karena fikih pemimpin utama, kepada kebaikan, takwa dan tujuan utama. Karena satu orang faqih yang wara’ lebih dahsyat untuk syetan dari seribu orang ahli ibadah

 (Burhanul Islam Al Zarnuji, Ta’lim Mutaalim, (Beirut:Maktabah Al Islami, 1401 H,hal. 61, tahqiq Marwan Al Qubbani)

Salah satu syair yang terkenal tentang syarat bagi penuntut ilmu seperti diungkap dalam syair, berikut. Meski ada beda  pendapat apakah ini bersumber dari Ali Bin Abi Thalib atau bersumber dari Imam Asy Syafi’i.

ألا لن تنال العلم إلا بستة                        سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة                    وإرشاد أستاذ وطول زمان

Tak kan didapatkan ilmu melainkan dengan enam syarat , aku akan kabarkan kepadamu dengan jelas. Cerdas, bersungguh-sungguh, ekstra sabar, biaya, guru yang pilihan, dan waktu yang lama.


#AyoBelajar
Gang Haji Sairi,
24 Juli 2017



Selasa, 18 Juli 2017

TAFSIR SURAT AL IKHLAS (BAG.2)


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah,’ Dialah Allah Tuhan yang Esa”

Islam memiliki konsep Ketuhanan yang sempurna, tidak seperti penganut agama dan kepercayaan lain, yang memiliki beragam asumsi terhadap “Tuhan”.  Ada yang meyakini benda sebagai sesembahan, ada juga yang, Buktinya ayat pertama ini menjelaskan  bahwa Allah merupakan Illah, sesembahan yang tunggal. Tidak seperti keyakinan Nasrani dengan ajaran Trinitas, juga tidak seperi keyakinan kaum musyrikin yang menganggap banyak sesembahan (Politheis). Tidak juga seperti kaum yang anti Tuhan (Atheis). Tiada sekutu bagi Allah,  dan Dia adalah Dzat yang paling berhak disembah.

1.      Sabab Nuzul Ayat

Sebab turun ayat ini seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, pendapat dari Ikrimah:
Saat kaum Yahudi mengatakan, “Kami menyembah  Uzair anak Allah, kaum Nashrani  mengatakan,”Kami menyembah Al Masih anak Allah, lalu kaum Majusi  mengatakan,”Kami menyembah matahari dan bulan, dan orang-orang musyrik mengatakan,” Kami menyembah patung”, kemudian Allah menurunkan ayat ini kepada Rasulullah Shalallah alaihi wasallam.[1]

2.      Makna Illah

Secara bahasa illah berasal dari kata:

اَلَهَ - يَأْلَهُ –اِلَاهًا و آلـِهَةً

Bentuk dasar الإله menjadi الله  artinya sesembahan.[2] Artinya Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah.

Perbedaan al-Illah dan Rabb

Menurut Ibnu Taiymiyah perbedaan antara Illah dan Rabb terkait pada:

 الإله - يتضمن غاية العبد ومصيره ومنتهاه وما خلق له وما فيه صلاحه وكماله وهو عبادة الله والاسم الثاني – 

الرب - يتضمن خلق العبد ومبتداه وهو أنه يربه ويتولاه

Makna Al illah, mencakup esensi penghambaan yang paripurna, apa yang diciptakan-Nya terdapat kebaikan dan kesempurnaan, yaitu penyembahan kepada Allah. Sedangkan makna Ar-Rabb, mencakup makna penciptaan makhluk dan permulaannya, dan Allah mengatur. [3]

Artinya, jika disebut kata Al Ilah atau Allah, maknanya adalah Allah saja yang berhak dijadikan sesembahan. Sedangkan jika disebut makna Ar-Rabb, maka Allah saja yang mengatur, menciptakan dan mencukupi seluruh kebutuhan makhluk-Nya.

3.      Makna Ahad ( لأحد ا)

Menurut Ibnu Asyur, kata Ahad ( احد ) adalah isim (kata benda) yang bermakna Wahid (واحد).


قُلِبَتِ الْوَاوُ هَمْزَةً عَلَى غَيْرِ قِيَاسٍ لِأَنَّهَا مَفْتُوحَةٌ وَمَعْنَاهُ مُنْفَرِدٌ

“Berubah Wawu (و ) menjadi al-Hamzah (ا ) tanpa Qiyas karena berharakat Fathah, artinya tunggal (munfarid).[4]

فَوَصْفُ اللَّهِ بِأَنَّهُ أَحَدٌ مَعْنَاهُ: أَنَّهُ مُنْفَرِدٌ بِالْحَقِيقَةِ الَّتِي لُوحِظَتْ فِي اسْمِهِ الْعَلَمِ وَهِيَ الْإِلَهِيَّةُ الْمَعْرُوفَةُ
وَإِذَا قِيلَ: اللَّهُ وَاحِدٌ، فَالْمُرَادُ أَنَّهُ وَاحِدٌ لَا مُتَعَدِّدٌ فَمَنْ دُونَهُ لَيْسَ بِإِلَهٍ. وَمَآلُ الْوَصْفَيْنِ إِلَى مَعْنَى نَفْيِ الشَّرِيكِ لَهُ تَعَالَى 
فِي إِلَهِيَّتِهِ.

Sifat Allah dengan kata Ahad (احد ) maknanya,” Dia tunggal dalam hakikat, yang artinya Sesembahan yang diketahui, jika sifat Allah Wahid ( (واحد, maka maksudnya adalah tunggal, tidak berbilang tiada Tuhan selain Allah, kedua makna diatas menafikan sekutu bagi-Nya dalam penyembahan.[5]

Imam As Syaukani menukil pendapat Al-Azhari,”Tidaklah disifati dengan Ke-Esa-an melainkan hanya Allah saja.[6]

4.      Pendapat para Mufassirin

a.      Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi
Beliau menyebutkan dalam tafsirnya, Tafsir Al-Maraghi:

قل لمن سألك عن صفة ربك: الله هو الواحد المنزه عن التركيب والتعدّد، لأن التعدد فى الذات مستلزم لافتقار المجموع إلى تلك الأجزاء والله لا يفتقر إلى شىء
“Katakanlah bagi siapa saja yang bertanya tentang sifat Tuhan-mu ( Muhammad),”Allah Dia-lah yang Esa, suci dari gabungan dan penjumlahan, karena penjumlahan dalam Dzat yang Pasti tidak menerima gabungan pada bagian-bagian tersebut, dan Allah tak kurang apapun”.[7]

b.      Syekh Wahbah Az-Zuhaily

Beliau menyebutkan dalam tafsir Al-Munir:

واحد في ذاته وصفاته، لا شريك له، ولا نظير ولا عديل. وهذا وصف بالوحدانية ونفي الشركاء. والمعنى: هو اللَّه الذي تعرفونه وتقرّون بأنه خالق السموات والأرض وخالقكم، وهو واحد متوحد بالألوهية، لا يشارك فيها

Allah adalah Tunggal dalam Zat dan Sifat-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, tiada yang setara dengan-Nya. Inilah sifat Wahdaniyah (Ke-Esaan) yang menafikan sekutu-sekutu. Maknanya Dialah Allah yang kau ketahui, kau yakini, Dia-lah Pencipta langit dan bumi, Dia-lah Esa dalam penyembahan, tiada sekutu didalamnya.[8]

c.       Menurut Ats Tsa’labi

وَاحدٌ فَرْدٌ مِنْ جميعِ جِهَاتِ الوَحْدَانِيَّة، ليس كمثله شيء
Allah Maha Esa, Yang Tunggal dalam segala kondisi Ke-Esaannya, tiada yang serupa dengan-Nya. [9]

5.      Kesimpulan

a.      Konsep Ketuhanan dalam Islam sangat sempurna tidak seperti penganut kepercayaan lain.
b.      Allah Maha Esa, dalam segala hal dan tiada sekutu bagi Allah
c.       Makhluk tiada yang serupa dan setara dengan Al Khaliq.


والله أعلم



[1] Tafsir Ibnu Katsir, 8/527
[2]  Al Jauhari, Mukhtarus Shihah, 6/2223
[3] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 14/12
[4] Ibnu Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, 30/613
[5]  Ibnu Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, 30/614

[6] As Syaukani, Fathul Qadir, 5/633
[7] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Mesir: Syarikah Musthafa Al Halbi, 1365H), 30/265
[8] Syekh Wahbah Az-Zuhaily, ( Tafsir Al Munir, (Damaskus:Dar Al-Fikr Al Muashir, 1418H), 30/465
[9] Ats-Tsa’labi, Al Jawahirul Hisan, 5/638

Jumat, 14 Juli 2017

Makna "Al-Fasad"(Kerusakan) Di Dalam Al-Qur’an


Makna Fasad

Ibnu al-Faris dalam Mu’jam Maqayis Al Lughah mendefinisikan kata  al Fasad adalah

  ضد الصلاح

lawan dari ash shalah (perbaikan).[1]

Juga bermakna as salamah min al ‘aib (selamat dari kekurangan.
Sedangkan secara Istilah, kata al-Fasad

 خروج الشيء عن الاعتدال، قليلًا كان الخروج أو كثيراً

Keluarnya sesuatu dari keseimbangannya sedikit atau banyak.[2]

Al Qur’an banyak menyebut kata al Fasad seperti disebutkan dalam ayat:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar Rum:41)

Imam Al Qurthubi menukilkan pendapat Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan al fasad dalam ayat ini adalah:

نُقْصَانُ الْبَرَكَةِ بِأَعْمَالِ الْعِبَادِ

Berkurangnya keberkahan karena perbuatan manusia.[3] Sedangkan menurut Ali Ash Shabuni menukil pendapat Imam Al Baidhawi yang dimaksud dengan al fasad adalah:

الجدب وكثرة الحرق والغرق، ومحق البركات، وكثرةُ المضار بشؤم معاصي الناس

Kekeringan, banyaknya kebakaran dan banjir, hilangnya keberkahan, banyakknya bahaya karena maksiat yang manusia lakukan. [4]

Dan menariknya, ketika dikaitkan dengan lafaz Allah maka Al Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai kerusakan. Sepeti tertera dalam ayat.

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. ( QS. Al Baqarah:205)

 إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ 
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al Qashas:77)


Dahulu sesaat setelah Allah mengutarakan menyampaikan kepada para Malaikat bahwa Dia akan menciptakan manusia diatas muka bumi ini, sontak malaikat menolak, karena manusia hanya akan 
berbuat kerusakan dan menumpahkan darah sesama.
Firman Allah:

 وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة، قالوا: أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك. قال إني أعلم مالا تعلمون

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. Al-Baqarah:30) 

Urutan kerusakan:

1.       Kerusakan diri (pribadi) dengan terus menerus dalam maksiat


وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ 

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. ( QS. Al A’raf:56)



2.       Kerusakan keluarga, keturunan dan pengikut setelahnya


إنك إن تذرهم يضلوا عبادك ولا يلدوا إلا فاجراً كفاراً

Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. ( QS. Nuh:27)

3.       Rusaknya masyarakat

 (وإذا قيل لهم لا تفسدوا في الأرض قالوا إنما نحن مصلحون. ألا إنهم هم المفسدون ولكن لا يشعرون

Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan" ( QS. Al Baqarah:11)

4.       Rusaknya hukum dan penguasa

إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوها وجعلوا أعزة أهلها أذلة، وكذلك يفعلون)

Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (QS. An Naml:34)



[1] Ibnu Al Faris, Mu’jam Maqayis Al Lughah, 4/503
[2]  Ar Raghib Al Asfahani, Al Mufradat 2/192

[3] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 14/40
[4] Imam Ali Ashabuni, Shafwat Tafasir, 2/442

Rabu, 05 Juli 2017

Bagaimanakah Hukum Bersalaman Setelah Shalat Wajib?


Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya tentang hukum bersalaman setelah shalat, seperti tercantum dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibn Baz, sebagai berikut:

س: بعض المصلين وبعد أداء تحية المسجد يلتفت ويصافح من على يمينه ومن على شماله، فما حكم ذلك؟ وهل هي سنة؟ جزاكم الله خيرا.
ج: بسم الله والحمد لله. . السنة أن يصافح من عن يمينه وعن شماله إذا فرغ من صلاته، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا التقى بصحابته صافحهم، وكان الصحابة رضوان الله عليهم إذا التقوا تصافحوا، فإذا جاء المصلي إلى المسجد ووصل إلى الصف فليسلم قبل الصلاة، ثم بعد الصلاة يصافح من على يمينه وشماله إذا كان لم يصافحهم قبل الصلاة لما في ذلك من التأسي بالنبي
Pertanyaan:

Sebagian orang yang shalat, dan setelah melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid ia menoleh kekanan dan bersalaman dengan orang yang ada dikanan dan kirinya, apakah hukumnya?apakah termasuk sunnah? Jazakumullah khairan.

Jawaban:

Bismillah, Wal hamdulillah, SUNNAH hukumnya bersalaman dengan orang yang berada di kanan dan kiri setelah shalat. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam ketika bertemu dengan para sahabatnya bersalaman dengan mereka, ketika para sahabat bertemu, mereka juga bersalaman. Apabila orang datang ke masjid, ia sampai di shaf, hendaklah ia mengucapkan salam sebelum shalat, setelah selesai shalat (Tahiyatul Masjid) bersalaman dengan orang yang ada di kanan dan kiri jika ia belum bersalaman dengan mereka sebelum shalat itu mengikuti perbuatan Nabi.            

    ( Syekh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Juz 30/68)