Senin, 07 Agustus 2017

Wanita, antara Imra’ah dan Zaujah




Imra’ah (امرأة ) dalam bahasa Arab maknanya wanita, atau perempuan, dalam bentuk tunggal, sedang bentuk jamaknya adalah An Nisa (النساء )  yang bermakna wanita.  

Sedangkan Zaujah (زوجة )  bermakna pasangan dalam konteks keluarga berarti Istri bagi suaminya. Sedangkan untuk suami dengan sebutan zauj (زوج ). Keduanya bisa memiliki kesamaan.
Dalam terminology Al Qur’an, ada sejumlah ayat saat berkisah tentang keluarga dan pasangan hidup, Al Qur’an menyebut dengan rekadsi Imra’ah, sebagian lain ada juga dengan redaksi Zaujah. 

Misalnya:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ 

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing).. (QS. At tahrim [66]:10)

 Juga ayat tentang perilaku Istri Abu Lahab:
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (QS. Al Lahab:4)

Sedangkan ungkapan Zaujah tertera dalam ayat:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ 

Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (QS. Al Anbiya [21]:90

Jika kita perhatikan ada perbedaan mencolok antara dua ungkapan dalam ayat diatas


·         Kata Imra’ah digunakan Al Qur’an untuk makna wanita atau istri dalam sebuah keluarga, namun mayoritas keluarga tersebut tak merasakan ketenangan dan kedamaian. Dimana kedua pasangan tidak harmonis salah satu diantaranya beriman dan yang lain berkhianat, tak  ada ketenangan ataupun kedamaian didalamnya.
·         Kata Zaujah atau jamaknya Azwaj, digunakan Al Qur’an untuk mendiskripsikan pasangan dalam keluarga yang didalamnya hadir sakinah, ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan, kedua pihak baik suami dan istri saling bahu membahu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.


Itulah rahasia Al Qur’an yang diungkap oleh Dr. Eng. Ali Manshour Al Kayyali dalam bahasanya Al Qur’an ‘ilmun wa Bayan. So, cintai dan bimbinglah Istri dan keluargamu agar hadir kedamaian dalam rumahmu.

Gang H. Sairi
08/08/2017


Rabu, 02 Agustus 2017

Allah Tak Berketurunan, dan Tak Seorangpun Yang Setara dengan-Nya





لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  (3 (  وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ( 4 (
Dia tidak beranak dan tidakpula diperanakkan  (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (4)

A.      Makna Mufradat

ولد 

Anak


لَمْ يَلِدْ

Tidak beranak


كُفُوًا

Setara, sepadan

Allah Maha Ada, Dia bukan berasal dari yang makhluk. Dia Maha Suci dari sifat-sifat makhluk yang terlahir, Dia juga tidak memiliki keturunan, Dia ada sejak awal (qadim)  tak ada yang lebih awal dari Allah, dan Dia Maha Kekal selamanya, sampai kapanpun.[1]

1.       Menurut Abu Bakar Al-Jazairi

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

لم يلد: أي لا يفنى إذ لا شيء يلد إلا وهو فان بائد لا محالة. ولم يولد: أي ليس بمحدث بأن لم يكن فكان هو كائن أولا وأبدا.
Makna “Lam Yalid” yaitu, tidak fana (binasa) karena jika sesuatu berasal dari dilahirkan, maka ia bisa rusak binasa. Dan “wa lam yulad”,”Allah bukanlah baru karena Dia adalah Zat yang ada sejak awal dan selamanya”.[2]

2.       Syekh Wahbah Zuhaili
Terkait makna ayat
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَد
Dia tidak beranak dan tidakpula diperanakkan                       
Beliau menyebutkan:
وهذا نفي للشبه والمجانسة، ووصف بالقدم والأولية، ونفي الحدوث
Penafian dalam ayat ini berfungsi sebagai perumpamaan dan penyetaraan (Allah tiada setara dengan serupa) penyifatan dengan awal mula bermakna menafikan sesuatu yang baru.[3]

3.        Thahir Ibnu Asyur

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

وَلِأَنَّهُ لَوْ تَوَلَّدَ عَنِ اللَّهِ مَوْجُودٌ آخَرُ لَلَزِمَ انْفِصَالُ جُزْءٍ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ مُنَافٍ لِلْأَحَدِيَّةِ
Karena jika terlahir keturunan dari Allah,berarti ada wujud lain pecahan dari Allah dan inilah yang menafikan sifat Ahad (tungga) Allah. [4]

            Sesuai dengan firman Allah:
وَقالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمنُ وَلَداً سُبْحانَهُ بَلْ عِبادٌ مُكْرَمُون

Dan mereka berkata,”Tuhan Yang Maha Pemurah telah memiliki anak, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan” (QS. Al Anbiya[21]:26

4.       Menurut Ibrahim Al Qattan (1404H)
Beliau menyebutkan dalam Taysir At Tafsir:

لم يتَّخِذ ولداً ولا زوجة، ولم يولَد من أبٍ ولا أُم. . فهو قَديمٌ ليس بحادِثٍ، ولو كان مولُودا لكان حادِثا. إنه ليس له بدايةٌ ولا نهاية.

Dia (Allah) tidak mengambil anak juga istri, tidak berketurunan dari ayah maupun ibu, Dia qadim (terdahulu) bukan hadits (baru). Karena jika Allah terlahir, maka Dia adalah makhluk baru, padahal Dia tak bermula dan tak berakhir”.[5]

Allah Maha Suci dari segala tuduhan kaum kafir dan musyrik terhadap Allah yang berketurunan. Tuduhan yang sangat tidak pantas ditujukan kepada Allah.
Penegasian dalam ayat ini merupakan jawaban atas tuduhan kaum Nashrani yang menyangka bahwa Nabi Isa adalah anak Allah, dan orang Yahudi yang berkata bahwa Uzair adalah anak Allah, juga tuduhan sebagian orang Arab yang menyangka bahwa para malaikat adalah puteri-puteri Allah, dan sangkaan orang-orang Hindu yang menyatakan  Tuhan-Tuhan lain kepada Allah dan Allah memiliki keturunan. [6]

Firman Allah:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ 

Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. Taubah [9]:30)

 B.      Tiada yang Setara Dengan Allah

Firman Allah:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  ( 4 (
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (4)
Terkait dengan ayat ini Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi menyebutkan dalam tafsirnya:
لم يوجد له مماثل أو مكافئ لا في حقيقة الوجود ولا في حقيقة الفاعلية ولا في أية صفة من الصفات الذاتية
Tiada yang serupa atau setara dengan Allah, tidak pada hakikat keberadaan maupun kenyataan, begitupula pada sifat  Zat-Nya.[7]

Disebutkan dalam hadits Rasulullah riwayat Imam al Hakim:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّ الْمُشْرِكِينَ، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ} قال: الصمد: الذي لم يلد، {وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}  لِأَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ يُولَدُ إِلَّا سَيَمُوتُ، وَلَيْسَ شَيْءٌ يَمُوتُ إِلَّا سَيُورَثُ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمُوتُ وَلَا يُورَثُ {وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} قَالَ: لَمْ يَكُنْ لَهُ شَبِيهٌ، وَلَا عَدْلٌ وَلَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ .
Dari Ubay Bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu,” Bahwa orang-orang Musyrik berkata,”Wahai Muhammad beritahu nasab Tuhanmu kepada kami, lalu Allah menurunkan ayat:
{قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ}
Katakanlah, Dia –lah Allah, yang Maha Esa,Dia Allah tempat bergantung segala sesuatu).

Ash Shamad adalah,”Dia yang tak beranak,

{وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}
Tiada diperanakkan dan tidak ada yang setara dengan-Nya,

Karena setiap yang di lahirkan, ia akan mati, dan dan setiap yang mati akan mewarisi, dan Allah tak mati dan tak mewarisi,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}
Tiada sesuatupun yang setara dengan Allah

Allah tak serupa dengan apapun dan tak ada yang sesuatu yang sebanding dengan Allah. (HR. Al Hakim, no. 3897)


والله أعلم


[1] Tafsir At Thabari, 24/693
[2] Al Jazairi, Aisar At Tafasir, 5/628
[3] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, 30/465
[4] Thahir bin Asyur, At Tahrir wa Tanwir, 30/618
[5] Ibrahim Al Qattan, Taysir At Tafsir, 3/458
[6] Yusuf Al Qaradhawi, Tafsir Juz Amma, h. 560
[7] Syekh Mutawalli Asy Sya’rawi, Tafsir Juz Amma,  661

Sabtu, 29 Juli 2017

Hukum Patungan Qurban, Bolehkah?

Patungan qurban, boleh saja yaitu dengan ketentuan 7 orang berpatungan 1 ekor Sapi atau 7 orang patungan 1 ekor Unta. Inilah pendapat jumhur ulama, kecuali Malikiyah.

Dalam fatwa Islamweb.com no. 29438 tertulis:

وأما الاشتراك في ثمنها -إن كانت بدنة أو بقرة- فهو مجزئ عند الجمهور في الجملة، وذهب المالكية إلى أنه غير مجزئ، ومذهب الجمهور راجح

Ada pun patungan dalam pendanaan -jika Unta atau Sapi- maka hal itu sah menurut mayoritas ulama secara umum, ada pun Malikiyah mengatakan tidak boleh, dan madzhab mayoritas adalah lebih kuat. (Selesai)

Hal ini berdasarkan hadits:

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhuma dia berkata: "Kami menyembelih bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah yaitu seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang." (HR. Muslim No. 1318)

Jika seseorang memiliki rezeki yang lapang, sehingga dia mampu membeli seorang diri seekor sapi atau lebih, tentu ini bagus. Atau hanya berpatungan dengan seorang atau dua orang lain, ini tidak masalah sebab Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah seorang diri berqurban 100 ekor Unta.

Disebutkan dalam riwayat berikut:

عَنْ جَابِر أَنَّ الْبُدْنَ الَّتِي نَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ مِائَةَ بَدَنَةٍ نَحَرَ بِيَدِهِ ثَلَاثًا وَسِتِّينَ وَنَحَرَ عَلِيٌّ مَا غَبَرَ وَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كُلِّ بَدَنَةٍ بِبَضْعَةٍ فَجُعِلَتْ فِي قِدْرٍ ثُمَّ شَرِبَا مِنْ مَرَقِهَا

Dari Jabir, bahwasanya Unta yang disembelih Rasulullah shallallahu 'Alaihi wa Sallam berjumlah seratus ekor, beliau menyembelihnya sendiri sampai enam puluh tiga ekor dan 'Ali sisanya. Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyuruh agar untuk setiap satu Unta untuk beberapa orang lalu dimasukkan ke dalam ke periuk lalu mereka berdua minum kuahnya. (HR. Ahmad, shahih)

Sedangkan dalam Shahih Al Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah juga menyembelih 7 ekor Unta.

Artinya, tidak masalah kurang dari tujuh orang, misal satu orang berqurban 1, 2 Sapi atau lebih, atau dia patungan dengan beberapa orang sampai maksimal 7 orang, untuk 1 ekor Sapi atau Unta.

Dalam fatwa no. 189873:

فلا حرج في أن يشترك شخصان أو ثلاثة.. أو أكثر في الأضحية ببقرة أو بدنة ما لم يتجاوزوا سبعة. كما يجوز أن يضحي شخص واحد ببقرة أو بدنة.

Tidak apa-apa patungan dua orang atau tiga .. Atau lebih dalam qurban Sapi atau Unta selama tidak melebih tujuh orang. Sebagaimana bolehnya seseorang berqurban dengan seekor Sapi atau Unta. (Selesai)

📌 Bagaimana dengan patungan untuk kambing ?

Patungan pendanaan untuk qurban kambing tidak ada dalam sunnah nabi dan para sahabatnya, oleh karena itu Imam An Nawawi dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan tidak boleh bahkan ketidakbolehan itu merupakan ijma'.

Beliau berkata:

فِي هَذِهِ الأَحَادِيث دَلالَة لِجَوَازِ الِاشْتِرَاك فِي الْهَدْي , وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الشَّاة لا يَجُوز الاشْتِرَاك فِيهَا . وَفِي هَذِهِ الأَحَادِيث أَنَّ الْبَدَنَة تُجْزِئ عَنْ سَبْعَة , وَالْبَقَرَة عَنْ سَبْعَة

Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bolehnya patungan dalam Qurban, dan mereka IJMA' bahwa untuk kambing tidak boleh patungan. Dan pada hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Unta sah untuk 7 orang dan Sapi untuk 7 orang. (Selesai)

🌠Solusi:

Disekolah sekolah sering diadakan patungan qurban untuk kambing, sebenarnya ini bagus untuk pendidikan.

Agar qurban ini tidak sia-sia, maka sebaiknya kambing itu dihadiahkan kepada salah satu guru, penjaga sekolah, atau siswa, sehingga itu menjadi milik dia. Lalu boleh dia qurban atas nama dirinya atau keluarganya. Sebab kambing itu telah menjadi miliknya, dan dia bebas memanfaatkannya, tentunya qurban sangat layak dia berqurban dengannya.

sumber: Ust Farid Nu'man, S.S

Jumat, 28 Juli 2017

Benarkah Go-Food Haram?





A. Pendahuluan

Transaski Go-Food sempat menjadi perbincangan dan perdebatan di kalangan masyarakat terkait keabsahannya dilihat dari sisi hukum syariah. Ada sebagian kalangan yang mengharamkan transaksi tersebut dengan alasan bahwa Go-Food mengandung multi akad (menggabungkan beberapa akad dalam satu transaksi), yang mana hal tersebut dilarang oleh Rasulullah dalam beberapa hadits.

Penulis akan mengkaji tinjauan hukum terhadap transaksi tersebut berlandaskan kepada hadits-hadits larangan multi akad dan bagaimana para ulama memahami hadits-hadits tersebut.

B. Hadits-hadits Multi Akad

Ada beberapa hadits yang menunjukkan keharaman multi akad (Shafqatain fi Shafqah/Ba’iatain fi Ba’iah), di antaranya adalah hadits-hadits berikut:

1. Hadits Pertama

عن عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود، عن أبيه، قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة  (رواه أحمد)
“Dari Abdurrahman dari Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad) [1]

Status hadits: Hasan Lighairihi [2]

2. Hadits Kedua

عن أبي هريرة، قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة (رواه أحمد)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi.” (HR. Ahmad)[3]

Status hadits: sanad-nya hasan [4]

3. Hadits Ketiga

عن أبي هريرة، قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: من باع بيعتين في بيعة، فله أوكسهما أو الربا (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan dua jual beli dalam satu kali transaksi maka pilihan baginya nilai yang paling sedikit atau riba.” (HR. Abu Daud).[5]

Status hadits: sanad-nya dha’if (lemah) [6]

C. Fiqhul Hadits

Sekedar mengetahui hadits-hadits di atas beserta status keshahihannya masing-masing, belum bisa dijadikan modal untuk menyimpulkan hukum. Diperlukan kajian lebih mendalam terhadap pemahaman para ulama dalam menafsirkan hadits-hadits tersebut agar kita tidak salah memamahami isi kandungannya.

1. Pengertian Bai'atain fi Bai'ah Menurut Para Ulama

Para ulama secara umum sepakat bahwa hukum Ba’iatain fi Bai’ah adalah dilarang [7] berdasarkan hadits-hadits yang sudah dijelaskan di atas yang secara eksplisit menyatakan larangan terhadap hal tersebut. Namun mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud dari istilah Ba’iatain fi Bai’ah itu sendiri. Setidaknya ada tujuh penafsiran istilah Ba’iatain fi Bai’ah menurut para ulama : [8]

a. Penafsiran Pertama

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ba’iatain fi Bai’ah adalah jual beli barang dengan dua pilihan harga, harga tunai dan harga kredit di mana harga kredit lebih mahal dari pada harga tunai. Di antara yang berpendapat demikian ialah Sammak, perawi hadits larangan Ba’iatain fi Bai’ah. Menurut tafsiran ini, menjual barang dengan harga kredit yang lebih mahal dari harga tunai adalah terlarang.

b. Penafsiran Kedua

Tafsiran kedua ini hampir mirip dengan yang pertama hanya saja dalam penafsiran kedua ini penjual dan pembeli sama-sama tidak menentukan harga mana yang diambil, apakah harga tunai atau harga kredit kemudian keduanya berpisah begitu saja padahal akad jual beli sudah terjadi. Di antara ulama yang berpendapat dengan tafsiran kedua ini di antaranya Abu ‘Ubaid, ats-Tsauri, Ishaq, ulama malikiyyah dan hanabilah.

c. Penafsiran Ketiga

Yang dimaksud Ba’iatain fi Bai’ah menurut penafsiran ketiga adalah jual beli satu barang dengan dua harga (contoh: saya jual barang ini dengan salah satu dari dua harga: satu dinar atau seekor kambing), atau menawarkan salah satu dari dua barang dengan satu harga (contoh: saya jual seekor kambing atau sepotong pakaian dengan harga satu dinar). Hal ini dilarang karena ada ketidakjelasan harga mana atau barang mana yang akan diambil. Penafsiran ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Baji.

d. Penafsiran Keempat

Menurut Ibnu al-Qayyim yang dimaksud dengan Ba’iatain fi Bai’ah adalah bai’ al-‘inah, yaitu jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman berbunga. Contohnya, A menjual barang kepada B seharga seratus ribu dicicil selama sebulan, dengan syarat setelah itu barang tersebut langsung dijual kembali kepada A dengan harga delapan puluh ribu secara tunai.

e. Penafsiran Kelima

Imam Syafi’i juga menafsirkan makna bai’atain fi bai’ah maksudnya adalah mensyaratkan jual beli dalam jual beli (contoh: saya jual mobil ini kepada bapak, dengan syarat bapak jual motor bapak kepada saya dengan harga sekian).

f. Penafsiran Keenam

Penafsiran ini mirip dengan yang kelima, hanya saja yang disyaratkan bukan hanya jual beli saja tapi termasuk hal-hal lain seperti pemanfaatan barang (contoh: saya jual rumah ini sekarang dengan syarat saya tempati dulu rumahnya selama sebulan). Penafsiran ini adalah pendapat kalangan hanafiyyah.

g. Penafsiran Ketujuh

Bai’atain fi ba’iah menurut penafsiran ketujuh adalah dua jual beli dalam satu akad salam. Contohnya A memesan barang kepada B dengan pembayaran di muka seharga seratus ribu, barang tersebut akan diserahkan minggu depan. Setelah seminggu, B tidak bisa menyerahkan barang yang dipesan A, sehingga B kemudian berkata kepada A, “Saya beli kembali barang pesanan kamu yang belum bisa saya berikan sekarang seharga seratus lima puluh ribu, dibayar selama dua minggu.” Pendapat ini adalah pendapat al-Khattabi.

Dari ketujuh penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama menafsirkan bai’atain fi ba’iah bahwa maksudnya adalah jual beli satu barang dengan dua harga sekaligus yaitu harga tunai dan harga kredit, di mana harga kredit lebih mahal dari harga tunainya. Namun jika terjadi tawar-menawar sehingga pembeli menentukan harga mana yang dia ambil –apakah harga tunai atau harga kredit—maka tidak termasuk ke dalam kategori bai’atain fi ba’iah.[9]  Jual-beli semacam ini dilarang karena ada unsur gharar (Ketidakjelasan) dalam harga barang.

Pendapat mayoritas ulama inilah yang kemudian dipilih oleh ulama-ulama kontemporer seperti Dr. Nazih Hammad dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura dan Dr. Ali Muhyiddin dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Fakultas Syariah & Qanun Universitas Qatar dan juga pakar fiqih dan ekonomi Islam Majma’ al-Fiqh al-Islami di Mekkah dan Jeddah Arab Saudi.

Dr. Ali Muhyiddin memilih pendapat mayoritas ulama dalam menafsirkan bai’atain fi bai’ah dengan alasan bahwa salah satu yang menafsirkan demikian adalah Ibnu Mas’ud rahiyallahuanhu, seorang sahabat Nabi yang secara langsung meriwayatkan hadits tentang larangan bai’atain fi bai’ah ini dari Nabi Muhammad SAW. Sehingga menurutnya, tafsir Ibnu Mas’ud lebih diutamakan daripada tafsir yang lainnya sebab perawi hadits lebih memahami apa yang diriwayatkannya dibanding orang lain. [10]

Selain itu pendapat ini juga lebih dikuatkan oleh salah seorang tabi’in yang bernama Sammak yang juga merupakan perawi hadits larangan bai’atain fi bai’ah. Sehingga penafsirannya juga lebih diutamakan daripada tafsir yang lainnya ketika terjadi perbedaan. Di antara ulama salaf yang mendukung penafsiran ini adalah ats-Tsauri, Masruq, Abu Sulaiman, Ibnu Sirin, Thawus, al-Auza’i, Imam an-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu al-Atsir, Abu ‘Ubaid dan lain-lain. [11]

Sedangkan Dr. Nazih Hammad berpendapat bahwa di antara penafsiran yang ada, hanya ada dua penafsiran yang menurut beliau paling relevan dengan hadits larangan bai’atain fi bai’ah. Keduanya itu adalah penafsiran jumhur seperti yang dikemukakan di atas dan penafsiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim bahwa yang dimaksud dengan bai’atain fi bai’ah adalah bai’ al-‘inah (jual beli kamuflase dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman berbunga). Sedangkan penafsiran-penafsiran yang lain dianggap kurang relevan untuk merepresentasikan makna bai’atain fi bai’ah. [12]

Menurutnya, penafsiran mayoritas ulama dianggap tepat masuk ke dalam kategori transaksi yang dilarang karena ada ‘illah (alasan hukum)-nya yaitu gharar (ketidakjelasan) dalam nilai/harga barang. sedangkan penafsiran Ibnu Taimiyyah juga dianggap relevan karena memiliki ‘illah riba yang jelas dilarang dalam syariah. [13]

2. Ketentuan-ketentuan Hukum Multi akad

Hukum multi akad (melakukan dua akad dalam satu kali transaksi) tidak semua dilarang dan haram tergantung kepada jenis akadnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan hukum mua’amalat di dunia pada dasarnya adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang haram kecuali apa yang Allah haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang Allah syariatkan.[14] Ibnu al-Qayyim juga mengatakan, “Hukum asal dalam akad (perikatan) dan persyaratan adalah sah kecuali apa yang dianggap batal dan dilarang oleh syari’.” [15]

Maka dari itu para ulama kemudian mencari dalil pengecualian untuk menentukan keharaman multi akad lalu kemudian merumuskan ketentuan-ketentuan untuk membedakan mana multiakad yang halal dan mana yang haram.

Dr. Nazih Hammad merangkum setidaknya ada tiga ketentuan yang dirumuskan oleh para ulama untk memberikan batasan terhadap hukum multi akad.[16]

a. Tidak Ada Nash Syar’i Yang Melarang

Multi akad yang boleh adalah yang tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan keharamannya. Setidaknya ada tiga nash hadits yang menyatakan larangan multi akad, pertama larangan bai’atain fi bai’ah, kedua larangan shafqatain fi shafqah dan ketiga larangan bai’ wa salaf.

Hadits larangan pertama dan kedua tentang bai’atain fi bai’ah dan shafqatain fi shafqah sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya. Di mana penafsiran yang paling kuat bahwa yang dimaksud dengan keduanya adalah jual beli dengan dua harga sekaligus yang mengakibatkan timbulnya gharar atau jual beli ‘inah yang mempunyai ‘illat riba.

Sedangkan larangan yang ketiga yaitu larangan bai’ wa salaf (menggabungkan jual-beli dan hutang) barsumber dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang gabungan jual-beli dan hutang. Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. [17]

Ishaq bin Manshur –sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Ali Muhyiddin—bertanya kepada Imam Ahmad tentang makna dari menggabungkan jual beli dan hutang, kemudian Imam Ahmad menjawab, “Seseorang memberi pinjaman kepada orang lain sekaligus menjual sesuatu kepadanya dengan harga yang dilebihkan. Atau dia memberinya pinjaman sekaligus mengambil barangnya (sebagai jaminan) dengan perjanjian kalau dia tidak bisa membayar maka barang tersebut otomatis dia beli seharga uang yang dia pinjamkan.”[18]

Dr. Ali Muhyiddin kemudian menjelaskan maksud dari penafsiran Imam Ahmad yang pertama adalah adanya rekayasa ke arah riba, di mana orang yang diberi pinjaman disyaratkan oleh pemberi pinjaman untuk membeli barangnya dengan harga yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut dilarang karena termasuk ke dalam nilai tambah yang diambil oleh pemberi pinjaman atas hutang yang dia berikan. Sedangkan penafsiran kedua, dilarang karena adanya unsur ketidakjelasan status akad antara jual beli atau hutang.[19]

b. Tidak Mengarah Kepada Hal Yang Dilarang

Termasuk multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang pada dasarnya jika berdiri sendiri hukumnya boleh, tetapi kemudian direkayasa untuk mengarah kepada hal yang dilarang. Contohnya jual beli ‘inah (menjual barang secara kredit lalu dibeli kembali secara tunai dengan harga yang lebih murah). yang mana jika akad jual beli-nya berdiri sendiri hukumnya boleh namun ketika digabung, mengarah kepada hal yang dilarang yaitu riba.

c. Tidak Memiliki Konsekuensi Hukum Yang Bertolak-belakang

Dr. Nazih Hammad mengutip pendapat jumhur ulama bahwa akad-akad yang digabung walaupun memiliki perbedaan syarat atau hukum pada dasarnya boleh sebab hukum asal dalam muamalah adalah boleh dan halal kecuali jika ada dalil yang melarang.

Akan tetapi jika akad-akad yang digabung tersebut memiliki konsekuensi yang saling bertolak belakang maka hukumnya haram. Contohnya, menjual barang sekaligus menghibahkannya, atau menghibahkan sesuatu sekaligus menyewakannya.[20]

D. Hukum Transaksi Go-Food

Di atas sudah  kita jelaskan secara rinci hadits tentang larangan multi akad, baik yang memakai redaksi bai’atain fi bai’ah, shafqatain fi shafqah, maupun bai’ wa salaf dan bagaimana penafsiran para ulama terhadap hadits-hadits tersebut. Di samping itu, di atas juga sudah dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan multi akad dalam perspektif ilmu fiqih.

Permasalahan kita kemudian adalah apakah larangan-larangan dalam hadits tersebut relevan untuk kita terapkan pada transaksi GO-FOOD di mana sebagian kalangan mengharamkan transaksi tersebut karena dianggap termasuk ke dalam kategori multi akad yang dilarang. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita harus perjelas terlebih dahulu bagaimana skema yang terjadi pada transaksi tersebu

1. Prosedur Pemesanan Makanan Dengan go-Food

Cara melakukan pemesanan makanan melalui Go-Food adalah dengan mengklik fitur Go-Food pada aplikasi GO-JEK. Nantinya akan muncul berbagai macam restoran dan rumah makan yang terlacak sesuai dengan lokasi disekitar pengguna. Selanjutnya pengguna mulai bisa memilih menu makanan yang akan dipesan. Setelah menyetujui pesanan, maka pengguna tinggal menunggu makanan diantar pihak GO-JEK.

Saat menunggu pesanan datang, pengguna bisa melacak keberadaan kurir dan menghubunginya jika pesanan belum juga datang dalam waktu lama. Mengenai pembayaran, menu makanan yang telah dipesan akan dibayar dulu (ditalangi sementara) oleh pihak GO-JEK. Ketika makanan telah sampai, barulah pengguna membayar dengan uang tunai atau melalui GO-JEK Kredit. [21]

Mengenai ketentuan pembayaran, disebutkan dalam website resmi go-jek.com sebagai berikut : [22]

Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai dengan tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan oleh Penyedia Layanan kepada Anda dalam menggunakan layanan Pengiriman Makanan dan Pembelanjaan Pribadi.
Makanan atau barang yang dipesan dengan layanan Pengiriman Makanan dan Pembelanjaan Pribadi harus dibayar tunai pada saat penyerahan makanan atau barang jika nilai makanan atau barang di bawah Rp1.000.000 (satu juta Rupiah).
Setiap pemesanan layanan Pengiriman Makanan atau layanan Pembelanjaan Pribadi untuk barang atau makanan dengan total harga lebih dari Rp1.000.000, - (satu juta rupiah) harus dibayar tunai dimuka kepada Penyedia Layanan sebelum pelaksanaan Layanan.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan skema pembelian makanan dengan GO-FOOD adalah sebagai berikut:

Pelanggan memesan makanan tertentu kepada driver (pengemudi GO-JEK) dengan menggunakan aplikasi di smartphone.
Driver menerima pesanan tersebut kemudian membelikannya di tempat yang diminta.
Driver menalangi pembayaran pesanan dengan uang pribadinya.
Driver mengantar pesanan tersbut kepada pelanggan.
Pelanggan membayar biaya antar
Pelanggan mengganti biaya pembelian pesanan kepada driver.
2. Tinjauan Fiqih Terhadap Skema Transaksi Go-Food

Dari skema yang telah dipaparkan di atas, dipahami bahwa ada dua akad yang terjadi dalam transaksi tersebut, yaitu akad ijarah dan akad qardh.

Akad ijarah (sewa) terjadi pada saat pelanggan meminta driver untuk mengantarkan makanan pesanannya ke tempatnya, lalu kemudian pelanggan membayar ongkos kirim kepada driver tersebut. Pelanggan, di sini berlaku sebagai mu’jir (penyewa jasa), sedangkan driver sebagai ajir (penyedia jasa), dan ongkos kirim yang dibayarkan sebagai ujrah (upah)nya.

Sedangkan akad qardh (hutang) terjadi ketika driver menalangi pembayaran pesanan dari pelanggan yang kemudian diganti oleh pelanggan pada saat driver mengantarkan pesanan tersebut. Maka driver berlaku sebagai muqridh (pemberi pinjaman) dan pelanggan sebagai muqtaridh (peminjam).

Maka dalam hal ini transaksi Go-Food menggabungkan dua akad sekaligus yaitu ijarah dan qardh. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah gabungan dua akad ini masuk ke dalam kategori gabungan akad yang diharamkan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan coba mencocokkan skema transaksi Go-Food dengan ketentuan multi akad yang sudah dibahas di pembahasan sebelumnya.

Pada ketentuan pertama, multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah/shafqatain fi shafqah atau bai’ wa salaf. Penafsiran bai’atain fi bai’ah paling kuat menurut mayoritas ulama adalah jual beli dengan dua harga tanpa ditentukan harga mana yang diambil. Jika mengacu pada penafsiran ini, jelas transaksi Go-Food tidak masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena harga makanan yang ditagihkan kepada pelanggan adalah harga pasti yang sesuai dengan harga toko di mana makanan itu dijual. [23]

Sedangkan penafsiran lain dari bai’atain fi bai’ah yang dianggap relevan oleh Dr. Nazih Hammad adalah penafsiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim yaitu jual beli ‘inah (jual beli kamuflase untuk mendapatkan pinjaman berbunga). Dengan penafsiran ini pun transaksi Go-Food tidak masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena praktek jual beli ‘inah sama sekali tidak terjadi dalam skema transaksinya.

Kemudian apakah transaksi Go-Food termasuk ke dalam kategori bai wa salaf (gabungan akad jual beli dan hutang)? Sekilas memang sepertinya transaksi di dalam Go-Food menggabungkan antara jual beli dan hutang, karena ijarah termasuk ke dalam jual beli jasa/manfaat. Tetapi tentu saja hadits larangan bai wa salaf tidak dipahami oleh para ulama secara tekstual.

Jika kita merujuk kepada penafsiran Imam Ahmad, yang juga dipilih oleh Dr. Ali Muhyiddin, bahwa yang dimaksud menggabungkan jual beli dan hutang adalah yang sifatnya mengarah kepada riba yaitu jika si pemberi pinjaman mensyaratkan kepada peminjam untuk membeli barang darinya dengan harga yang dilebihkan.

Artinya di sini si pemberi pinjaman mengeksploitasi si peminjam dengan mengambil manfaat darinya berupa pembelian barang dengan harga mahal, dan dengan terpaksa si peminjam menerima hal itu karena kebutuhan akan pinjaman tersebut. Dengan kata lain si pemberi pinjaman di sini menjadi pihak yang dominan.

Dalam transaksi Go-Food hal tersebut tidak terjadi karena driver sebagai pemberi pinjaman (muqridh) tidak menjadi pihak yang dominan dan tidak menerima manfaat dari pelanggan berupa mark-up  harga makanan yang dipesan oleh pelanggan, melainkan harga yang dibayarkan adalah harga yang sama dengan harga normal yang dijual di toko atau restoran.

Sehingga ‘illat riba di sini tidak ada karena pinjaman yang diberikan oleh driver hanya karena alasan kepraktisan semata, bukan dengan tujuan ingin mendapatkan nilai tambah atas pinjaman tersebut.

Kemudian jika melihat ketentuan hukum multi akad yang kedua di mana yang diharamkan adalah multi akad yang direkayasa untuk mengarah kepada hal yang dilarang, maka transaksi Go-Food juga tidak memenuhi kriteria tersebut. Karena akad ijarah dan akad qardh di dalamnya tidak dilakukan untuk rekayasa kepada hal yang dilarang melainkan akad qardh terjadi karena sekedar ‘efek samping’ dari transaksi tersebut.

Begitu juga dalam ketentuan ketiga disebutkan bahwa multi akad yang dilarang adalah jika akad-akad yang digabung menghasilkan konsekuensi hukum yang saling bertolak belakang. Sedangkan akad ijarah dan qardh dalam transaksi Go-Food sama sekali tidak bertolak belakang, melainkan justru saling menopang dan memudahkan.

Sebab jika driver tidak menalangi pembayaran, pemesan akan kesulitan karena harus mentransfer uang terlebih dahulu ke rekening driver. Maka untuk alasan kemudahan itulah kemudian driver melakukan akad qardh dengan menalangi pembelian makanan yang dipesan oleh pelanggan. Dan pelanggan tinggal menggantinya ketika driver telah sampai ke tempatnya.

E. Kesimpulan

Setelah melihat ketiga ketentuan hukum tentang multi akad seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa transaksi pemesanan makanan dengan Go-Food sama sekali tidak termasuk ke dalam kategori multi akad yang diharamkan. Dengan demikian transaksi Go-Food hukumnya boleh dan tidak melanggar ketentuan syariah.

Ditambah lagi, transaksi jual-beli secara online belakangan ini menjadi kebutuhan, khususnya bagi masyarakat perkotaan yang biasanya memiliki tingkat kesibukan yang tinggi, sehingga dengan adanya fitur jual beli atau jasa antar online seperti Go-Food, bisa membantu dan memudahkan mereka agar tidak perlu repot-repot mencari barang atau makanan yang ingin dibeli keluar rumah atau kantor yang mana akan menghabiskan waktu dan tenaga ekstra mengingat kondisi jalanan di perkotaan yang biasanya macet.

Wallahu Ta’ala A’lam.

[1] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, hadits No. 3783 (Muassasah Ar-Risalah, 2001), juz 6, hlm. 324.
[2] DR. Hamam Abdurrahman Sa’ide & DR. Muhammad Hamam Abdurrahim, Mausu’ah Ahadits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah (Saudi, Dar al-Kautsar cet. I, 1431 H), hlm. 233.
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, hadits No. 9584, juz 15, hlm. 358.
[4] Dr. Hamam Abdurrahman Sa’id & Dr. Muhammad Hamam Abdurrahim, Mausu’ah Ahadaits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah, hlm. 232-233.
[5] Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadits No. 3461 (Beirut, al-Maktabah al-‘Ashriyyah), juz 3, hlm. 274.
[6] Mausu’ah Ahadaits Ahkam al-Mu’amalat al-Maliyyah, hlm. 231.
[7] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 173.
[8] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait, Dar as-Salasil cet. II, 1404-1427 H) juz 9, hlm. 264.
[9] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah (Beirut, Darul Basyair al-Islamiyyah, cet. I tahun 2001), hlm. 366.
[10] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 372.
[11] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 372.
[12] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 180.
[13] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 180
[14] Ibnu Taimiyyah, Jami’ ar-Rasail (Riyadh, Darul ‘Atha cet. 1 tahun 2001), juz 2, hlm. 317.
[15] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (Saudi, Dar Ibnul Jauzi cet. 1 tahun 1423 H), juz 3, hlm. 107.
[16] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 252.
[17] Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi (Mesir, Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, cet. II tahun 1975), juz 3, hlm. 527.
[18] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.
[19] Lihat: Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.
[20] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 269.
[21] Lihat: https://www.maxmanroe.com/go-food-layanan-delivery-makanan-terbaru-dari-go-jek.html diakses pada tanggal 3 Juni 2017 pukul 11.37 WIB.
[22] Lihat: https://www.go-jek.com/terms diakses pada tanggal 3 Juni 2017 pukul 13.30.
[23] Hal ini sebagaimana yang tertera dalam syarat dan ketentuan transaksi GO-JEK di website resminya (www.go-jek.com/terms) yang berbunyi: “Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai dengan tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan oleh Penyedia Layanan kepada Anda




Oleh Muhammad Abdul Wahab, Lc
Sumber www.rumahfiqih.com