Rabu, 23 Mei 2018

Bagaimana Hukum Berwudhu yang airnya tertelan?


Tanya:

Pak ustaz, saya berwudhu, nah kan ada sisa air wudhu yang masih ada di mulut, bagaimana hukumnya jika tertelan, terimakasih?

Jawab:

Ada dua kondisi jika air tertelan, sengaja dan tidak sengaja. 

Pertama, Jika sengaja maka hukumnya jelas batal karena dengan kesengajaan untuk membatalkan puasanya misalnya karena haus saat siang hari. 

Kedua, jika tertelan tidak sengaja maka tidak batal, seperti air sisa kumur kumur, berdasarkan hadits:

فقال رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت صائم؟ قلت: لا بأس بذلك

Rasulullah SAW berkata, "Tidakkah kamu tahu hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?" Aku menjawab, "Tidak membatalkan puasa” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Juga disebutkan dalam hadits lain:

وَعَنْ لَقِيطِ بْنُ صَبْرَةَ, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ أَسْبِغْ اَلْوُضُوءَ, وَخَلِّلْ بَيْنَ اَلْأَصَابِعِ, وَبَالِغْ فِي اَلِاسْتِنْشَاقِ, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة

Dari Laqith bin Shabrah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sempurnakanlah wudhu’, dan basahi sela jari-jari, perbanyaklah dalam istinsyak (memasukkan air ke hidung), kecuali bila sedang berpuasa." (HR. Ibnu Khuzaemah- Shahih).

Kesimpulan: 

Sejauh mungkin menjaga diri agar air sisa wudhu agar tidak tertelan dan berhati-hati, kemudian karena sulit kondisi ini karena air pasti bercampur denga air liur, maka berdasarkan hadits diatas, tidak batal.

Wallahu A’lam


Kamis, 19 April 2018

Keutamaan Bulan Sya’ban


وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ
 .
“Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan. Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban.

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ 
عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Bulan Sya’ban –bulan antara Rajab dan Ramadhan- adalah bulan di saat manusia lalai. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2359. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Apa saja amalan pada bulan Sya’ban:
1.       
Segera melunasi hutang puasa

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

2.      Perbanyak amal dengan membaca Al Qur’an

كَانَ عَمْرٌو بْنِ قَيْسٍ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ شَعْبَانَ أَغْلَقَ حَانَوَتَهُ وَتَفْرُغُ لِقِرَاءَةِ القُرْآنِ

‘Amr bin Qois ketika memasuki bulan Sya’ban, beliau menutup tokonya dan lebih menyibukkan diri dengan Al Qur’an.

3.      Perbanyak amal shalih

Abu Bakr Al Balkhi berkata,

شَهْرُ رَجَبٍ شَهْرُ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سَقْيِ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حِصَادِ الزَّرْعِ

“Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadhan saatnya menuai hasil.

4.       Bertaubat dari syirik dan permusuhan

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.

Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin

Selasa, 10 April 2018

Tiga Perkataan Imam Asy-Syafi’i Yang Belum Pernah diucapkan oleh Ulama Sebelumnya















 1.       Jika hadits itu Shahih maka ambillah, dan tinggalkan perkataanku

Ini perkataan Imam asy-Syafi’i yang dinukil oleh Abu Hatim Ibnu Hibban dari Ibnu Khuzaimah dan dari Al Muzani, “Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata:

إِذَا صَحَّ لَكُمُ الْحَدِيثُ، فَخُذُوا بِهِ، وَدَعُوا قَوْلِي

“Jika hadits itu Shahih maka ambillah, dan tinggalkan perkataanku”.

Ini adalah ucapan beliau yang sangat terkenal, sering digunakan sebagai hujjah, baik bagi pendukung atau kelompok lain yang memusuhi beliau. Ucapan yang cerdas bernas dan sarat dengan makna agung mulia, artinya hadits Nabi kedudukannya lebih tinggi dibanding dengan perkataan beliau.

2.       Aku tidaklah berdebat dengan seseorang hanya untuk menyalahkannya

Bersumber dari Ibnu Munzir, aku mendengar Al Hasan bin Muhammad Az Za’farani berkata, ia mendengar Imam As Syafi’fi berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا فَأَحْبَبْتُ أَنْ يُخْطِئَ

“Aku tidaklah berdebat dengan seseorang hanya untuk menyalahkannya”

Ini ucapan yang luar biasa, saat seorang yang berilmu lalu berdialog dan berdebat dengan lawan pendapat apalagi levelnya dibawah,  tentu akan sangat mudah mengalahkan dan menyalahkannya. Namun Imam Asy Syafi’I tidak lakukan itu, Itulah akhlak ulama yang sesungguhnya. Lihatlah sekarang, tidak sedikit orang berdebat dengan maksud menyalahkan orang lain dan menganggap pendapatnya paling benar.

3.      Aku ingin jika manusia tahu kitab-kitab ini, mereka tidak menisbatkannya kepadaku.

Perkataan ini dari Rabi’ bin Salman, ia mendengar Imam Syafi’i berkata:

وَدِدْتُ أَنَّ النَّاسَ لَوْ تَعَلَّمُوا هَذِهِ الْكُتُبَ، وَلَمْ يَنْسُبُوهَا إِلَيَّ

      “Aku ingin jika manusia tahu kitab-kitab ini, mereka tidak menisbatkannya kepadaku”
Itulah akhlak ulama yang patut diteladani, jadi belajarlah terus, cari guru yang banyak, jangan sombong, jangan pernah puas terhadap ilmu.

(Ibnu Abi Hatim, Adabu Asy Syafi’i wa Manaqibuhu, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyah, th 2003, Juz 1/ 248)

Menjelang Ashar, 10/04/2018

ANTARA MAAF, AMPUNAN DAN RAHMAT




وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ 

…Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir" (QS. Al Baqarah: 286)

Bahasa Arab Al A’fwu  (العفو  ), wa’fu ana  adalah permohonan maaf, karena ayat ini berupa perintah seseorang yang lebih rendah kedudukannya, karena ia bersalah  kepada Dzat  yang lebih tinggi kedudukannya dalam hal ini adalah Allah maka dimaknai sebagai doa. Agar 


Allah tidak mengazabnya karena lalai dalam urusan dan terbatas dalam melakukan perintah. Dalam konteks manusiawi  meminta maaf terjadi jika salah satu pihak melakukan kesalahan, baik ringan atau fatal, sehingga pihak yang bersalah meminta agar kesalahanya tersebut tidak naik ke proses lanjut.

Maghfirah adalah ampunanan, waghfirlana (ampuni kami) lebih kepada doa agar Allah menutup rapat-rapat dosa, aib dan kesalahan kita. 

Permohonan agar Allah tidak membuka aib-aib secara terang-terangan dihadapan manusia, saat masih didunia atau kelak saat Yaumul Hisab. 

Rahmat adalah kasih sayang Allah, warhamna ( rahmati kami, kasihi kami) rahmat yang meliputi ampunan dan maghfirah-Nya. Karena seseorang tidak masuk surga dengan sendirinya, atau mengandalkan amal-amalnya saja, namun Allah-lah yang menurunkan rahmat-Nya, hingga Dia memasukkan hamba-hamba-Nya ke surga.

Ketiga hal diataslah yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bersalah pada saat yang bersamaan, ia butuh meminta maaf dan pemaafan sebagai manusia yang tak luput dari salah dosa, agar Allah tidak memproses lebih lanjut dan mengazabnya. Ia juga butuh agar Allah menutupi kesalahan-kesalahannya, tidak disebarkan ke khalayak, karena fitrah orang yang bertaubat ia pasti punya malu. Dan yang ketiga ia butuh kasih sayang Allah, saat didunia, saat menghadapi mau, saat di alam kubur dan saat Hari Perhitungan kelak.

 Akhir ayat ini tidak menyebut lafaz ربنا  (Ya Tuhan kami) tidak seperti di awalnya, mengapa? Karena seruan biasanya untuk sesuatu yang jauh. Sedangkan seorang hamba yang disiplin dalam melaksanakan perintah Allah, tunduk dan taat kepada-Nya, memohon ampun, segera bertaubat jika ia bersalah, maka Allah akan dekat dengannya,  ia tak perlu berlantang suara dalam memohon, cukup lirih saja, Allah pasti mendengar karena ia sudah dekat dengan-Nya

(Imam Ar Razi, Abu Abdillah bin Umar bin al Hasan bin Husaini At Taimy (606H), Mafatihul Ghaib, Beirut, Dar Ihya Turats, 1420H, Juz 7, h. 124)

Menjelang Dini 

0.29
06/04/2018