Jalalah adalah hewan-hewan yang mengkonsumi kotoran dalam
mayoritas makanannya, hewan tersebut bisa sapi, unta, kambing, ayam atau hewan
lain hingga berubah baunya.[1]
bisa juga ikan lele dan sejenis.
Larangan tersebut tercantum dalam hadits:
عن ابن عباس رضي الله
عنهما قال: " نهى رسول الله، صلى الله عليه وسلم، عن شرب لبن الجلالة ".
رواه الخمسة إلا ابن ماجه.
وصححه الترمذي. وفي رواية
" نهى عن ركوب الجلالة " رواه أبو داود
Dari
Ibnu Abbas Radhiyallah Anhuma berkata,” Rasulullah melarang minum susu dari
Jalalah, (riwayat Lima Imam kecuali Ibnu Majah disahihkan oleh Tirmizi dalam
riwayat lain,”Dilarang mengendarai Jalalah” (Riwayat Abu Daud)
Kondisi
hewan yang mengkonsumsi kotoran
1.
Hewan yang mengkonsumi sedikit saja kotoran, sedang mayoritas
makanannya adalah makanan yang biasa dikonsumi (bukan kotoran). Maka hewan ini
tidak dihukumi Jalalah
فأما إذا
رعت الكلأ ، واعتلفت الحَبَّ ، وكانت تنال مع ذلك شيئاً من الجِلَّة ، فليست
بجلالة ، وإنما هي كالدجاج ونحوها من الحيوان الذي ربما نال الشيء منها ، وغالب
غذائه وعلفه من غيرها : فلا يكره أكله .
Adapun jika digembalakan di padang rumput, mengkonsumsi
biji-bijian, dan bersama itu mengkonsumsi sedikit kotoran, maka tidak
dihukumi al Jalalah, namun hukumnya
seperti ayam dan sejenisnya yang mengkonsumsi sedikit kotoran, dan mayoritas
makananya bukan, dan hukum memakan hewan ini tidaklah makruh.[2]
Syekh Al Utsaimin berkata:
فإذا
كانت تأكل الطيب والقبيح ، وأكثر علفها الطيب ، فإنها ليست جلالة ، بل هي مباحة
“Jika memakan makanan yang baik dan kotor juga, dan sebagian
besar makanannya adalah baik, maka ia bukan termasuk Al Jalalah, dan hukumnya
mubah.[3]
2.
Hewan yang mayoritas makanannya adalah kotor, dan hanya sedikit saja
mengkonsumsi yang bersih. Sehingga bau dagingnya. Hukumnya haram dikonsumsi,
air susunya haram diminum dan dilarang ditunggangi.
Hewan ini jika bau dan pengaruh kotorannya sudah
hilang maka hukumnya menjadi halal.[4]
3.
Hewan yang mayoritas
mengkonsumsi kotoran, namun tidak berpengaruh terhadap bau dan dagingnya. Maka para
ulama berselisih pendapat tentang hukumnya.
Menurut Hanabilah termasuk jalalah, karena menurut
kalangan ini yang dimaksud dengan jalalah adalah hewan yang mayoritas
mengkonsumsi kotoran, baik memiliki pengaruh terhadap dangingnya atau tidak.
Menurut Hanafiyah dan Syafiiyah, tidak termasuk jalalah,
karena menurut kalangan ini meski mengkonsumis mayoritas kotoran namun tak
berbekas pengaruh dalam dagingnya maka hukumnya halal.[5]
Menurut Imam Nawawi:
لَا
اعْتِبَارَ بِالْكَثْرَةِ ، وَإِنَّمَا الِاعْتِبَارُ بِالرَّائِحَةِ وَالنَّتْنِ
، فَإِنْ وُجِدَ فِي عَرَقِهَا وَغَيْرِهِ رِيحُ النَّجَاسَةِ فَجَلَّالَةٌ ،
وَإِلَّا فَلَا
Banyak bukanlah ukuran, akan tetapi ukurannya adalah bau busuk
jika keringat dan lainnya tercium bau busuk
najis maka ia termasuk jalalah, jika tidak maka bukan. ( Majmu Syarh Muhazab,
9/28)
Berapa lama Karantina Jalalah?
Menurut Ibnu Hajar,
jalalah bisa halal dikonsumsi jika baud an pengaruhnya sudah hilang.( Fathul
bari, 9/648)
Sebagian ulama menetapkan waktu tertentu dalam karantina
jalalah hingga bersih, dan sebagian lagi tidak, artinya dikembalikan kepada
lumrahnya kebersihan.
·
Untuk sapi dan unta 40 hari
·
Kambing 7 hari
·
Ayam
3 hari ( Fathul Bari, 9/648)