Selasa, 04 Oktober 2016

JANGAN MERENDAHKAN ORANG LAIN





يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. ( QS. Al Hujurat [49]: 11)

Tinjauan Bahasa


يَسْخَر
Merendahkan, menghina

Menurut Imam Al Qurthubi:


وَالسُّخْرِيَةُ الِاسْتِهْزَاءُ

Makna Sukhriyah adalah istihza (menghina)[1]

تَلْمِزُوا

Kalian mencela

تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ

Memangggil dengan panggilan (gelar) buruk

Sabab Nuzul Ayat

نَزَلَتْ فِي عِكْرِمَةِ بْنِ أَبِي جَهْلٌ حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مُسْلِمًا، وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَأَوْهُ قَالُوا ابْنَ فِرْعَوْنِ هَذِهِ الْأُمَّةِ. فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ

Ayat ini turun pada Ikrimah bin Abu Jahl saat tiba di Madinah sebagai seoran muslim, adalah kaum muslimin ketika melihatnya berkata,”Dia anak Fir’aun umat ini, kemudian Ikrimah mengadu kepada Rasulullah, lalu turunlah ayat ini.[2]

Sedangkan Ibnu Abbas menyebutkan turunnya ayat ini seperti tercatum dalam tafsirnya:

نزلت هَذِه الْآيَة فى ثَابت ابْن قيس بن شماس حَيْثُ ذكر رجلا من الْأَنْصَار بِسوء ذكر أما كَانَت لَهُ يعير بهَا فِي الْجَاهِلِيَّة فَنَهَاهُ الله عَن ذَلِك

Ayat ini turun pada Tsabit bin Qais bin Syamas, saat seorang lelaki dari kalangan Anshar menyebut buruk dan membuka aib ibunya saat masih jahiliyah. Lalu Allah melarang hal tersebut.[3]

Kandungan Ayat

Ayat ini mengandung pelajaran adab terhadap manusia, baik individu maupun sosial. Larangan Allah bagi kaum muslimin untuk merendahkan dan menghina orang lain. Karena kita tidak tahu kedudukan seseorang di sisi Allah. Boleh jadi orang yang direndahkan dan dihina memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, dan ia lebih baik dari pihak yang menghina dan merendahkan. Orang yang gemar merendahkan orang lain, sungguh ia telah terjatuh dalam sifat sombong. Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam bersabda:

وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ، جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ، قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى: حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ، عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin al Mutsanna, dan Muhammad bin Basyar dan Ibrahim bin Dinar, semuanya dari jalur Yahya bin Hammad, berkata Ibnu Mutsanna,”Telah mennceritakan kepadaku Yahya bin Hammad, telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Aban bin Taghlab, dari Fudhail Al Fukaimi, dari Ibrahim An Nakha’i, dari ‘Alqamah, dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, bersabda,”Tak akan masuk syurga barangsiapa yang di hatinya ada sebiji kecil dari sombong, lalu seorang laki-laki berkata,” Ya Rasulullah sesungguhnya ada seseorang yang menyukai pakaian dan alas kaki yang bagus.” Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim, No.91)[4]  

Dari hadits di atas dapat diketahui, bahwa sifat sombong memiliki dua unsur:

a.       Menolak kebenaran
b.      Merendahkan manusia
Adapun jika seseorang menyukai life style dari pakaian, alas kaki, kendaraan, rumah dan lainnya, selama tidak menyebabkan kesombongan dan akhirnya menolak kebenaran dan merendahkan manusia maka itu bukan sombong.

Imam Ibnu Katsir memaknai “ Ghamtu An Nas” adalah merendahkan dan mengecilkan manusia, karena orang yang dihina boleh jadi memiliki kedudukan mulia disisi Allah dibanding orang yang menghina.[5]

Imam At Thabari menjelaskan bahwa larangan ini bersifat umum:

إن الله عمّ بنهيه المؤمنين عن أن يسخر بعضهم من بعض جميع معاني السخرية، فلا يحلّ لمؤمن أن يسخر من مؤمن لا لفقره، ولا لذنب ركبه، ولا لغير ذلك

Menurut At Thabari, larangan ini bersifat umum, tidak boleh bagi kaum mukminin menghina sebagian dengan sebagian lain dalam segala makna, tidak halal bagi seorang mukmin menghina mukmin lainnya karena kemiskinan, dosa, dan lainnya.[6]

(وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ)
janganlah suka mencela dirimu sendiri

Seorang muslim ibarat satu tubuh, jika ia mencela mukmin yang lain berarti ia seperti mencela dirinya sendiri.

Abu Zaid Ats Tsa’alibi menyebutkan:[7]


وتَلْمِزُوا معناه: يطعن بعضُكم على بعض بذكر النقائص ونحوه، وقد يكون اللَّمْزُ بالقول وبالإشارة ونحوه مِمَّا يفهمه آخر، والهَمْزُ لا يكون إلاَّ باللسان، وحكى الثعلبيُّ أَنَّ اللمز ما كان في المشهد، والهَمْزَ ما كان في المغيب

·         Talmizu maknanya adalah melukai sebagian dengan sebagian yang lain dengan menyebut kekurangan-kekurangan dan sejenisnya,
·         Al Lamzu dilakukan dengan ucapan dan isyarat yang dipahami orang lain.
·         Al Hamz tidak dilakukan kecuali dengan lisan,
·         Ats Tsa’alibi menyebutkan bahwa Al Lamz dilakukan saat pihak tersebut hadir terlihat, sedangkan Al Hamz dilakukan saat pihak yang dibicarakan tidak hadir.

Meski beragam pendapat tentang Al Hamz dan Al Lamz mengerucut pada makna perbuatan mencela, mengejek orang lain baik secara langsung, maupun tidak, baik didepan objek maupun dibelakang objek yang dibicarakan.

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan”

 Abu Bakar Al Jazairi menegasakan makna ayat tersebut:[8]

لا يدعو بعضكم بعضا بلقب يكرهه نحو يا فاسق يا جاهل

Janganlah memanggil sebagian kalian kepada sebagian lain, dengan gelar (panggilan) yang ia tidak sukai, seperti ,” Wahai fasiq, Wahai Bodoh”.

Seburuk-buruk panggilan adalah, panggilan yang menuduh seseorang fasik tanpa bukti setelah orang tersebut masuk Islam. Dan jika ia tidak bertaubat dengan perbuatan tersebut diatas maka ia termasuk orang zalim.

Kesimpulan:

·         Ayat ini mengandung adab-adab kepada individu dan kelompok, yaitu larangan sombong, merendahkan, menghina, memanggil dengan panggilan buruk.

·         Berhari-hatilah dalam menilai orang lain, apalagi merendahkannya baik dengan kata-kata atau isyarat panca indera, karena boleh jadi mereka yang direndahkan kedudukannya lebih mulia di sisi Allah, dibanding orang yang merendahkan.

والله أعلام


[1] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Kairo: Dal Al Kutub Al Islamiyah,1964) J.16 h. 324
[2] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Kairo: Dal Al Kutub Al Islamiyah,1964) J.16 h. 325

[3] Al Fairuz Abasi, Tanwirul Miqbas Fi Tafsir Ibni Abbas, (Libanon: Dar Kutub Al Ilmiyah) J. 1. H. 436
[4] Imam Muslim bin Hajjaj Abul Hasan al QushairiAn Naisaburi, Shahih Muslim, ( Beirut: Dar Ihya Turats) J. 1 h. 93
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, (Dar Thaybah Lin Nasyr,1420 H) j. 7 h, 376
[6] At Thabari, Tafsir At Thabari,  22/ 298
[7] Abu Zaid Ats Tsa’alibi, Tafsir Ats Tsa’alibi, Al Jawahir al Hassan Fi Tafsir al Qur’an, (Beirut: Dar Ihya Turats, 1418H) j. 5 h. 272
[8] Jabir Abu Bakar al Jazairi, Aisar Tafasir, (Saudi: Maktabah Al Ulum Wal Hikam, 1424H) 5/127

Kamis, 29 September 2016

KETIKA IMAM GHAZALI BERCERITA TENTANG IMAM SYAFI’I




Ihya Ulumuddin, sebuah karya Magnum Opus[1] dari ulama terkenal Mazhab Syafi’i, dialah Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H), terkenal dengan sebutan Imam Al Ghazali, sang Hujjatul Islam (Pembela Islam). 

Kitab yang agung mengupas sisi-sisi unik kehidupan, meski tak sedikit kalangan yang mencibir tentang kitab al Ihya, namun sungguh bagi orang yang berakal sehat, tentu ia akan berfikir bahwa titik noda hitam kecil dalam selembar kain putih, tentu tak sontak merubah warna kain tersebut menjadi hitam.

Lihatlah betapa keluhuran ilmu akhlak seorang ulama,Imam Asy Syafi’I, bukan dirinya yang menceritakan namun seorang ulama besar setelahnya, menceritakan dengan runut dalam kitabnya Ihya Ulumuddin.

Al Ghazali berkata,”Kami menceritakan ulama Islam, kalian tahu bahwa apa yang kami sebutkan ini bukanlah untuk membuat noda bagi mereka, namun  pada ulama-ulama seperti Imam Malik,  Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Sufyan Tasuri terkumpul pada diri mereka sifat-sifat mulia; abid ( ahli ibadah) Zahid (zuhud terhadap dunia) ‘Alim ( berilmu), ikhlas karena Allah  dan Faqih (paham).[2]
Imam Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.

Berkata Ar Rabi’,” Imam Syafi’i khatam Al Qur’an sebanyak 60 kali pada bulan Ramadhan, semuanya dikhatamkan di dalam shalat.

Imam Syafi’i berkata,” Aku tak pernah kenyang sejak enam belas tahun lalu, karena kekenyangan dapat  menambah berat badan, mengurangi kecerdasan,  membuat hati keras dan malas beribadah.
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang suatu permasalahan, namun ia diam tak menjawab, lalu seseorang berkata,” Wahai Imam, mengapa anda tidak menjawab?”. Lalu ia berkata,” Hinga aku tahu keutamaan itu dalam jawaban, atau diamku.”

Imam Syafi’i berkata,” Seorang ahli hikmah menasehati ahli hikmah lainnya,” Engaku telah diberikan ilmu, jangan engkau kotori ilmumu dengan gelapnya dosa, dan engkau tetap dalam kegelapan itu, saat ahli ilmu sedang berjalan dengan cahaya ilmunya”.

Sedangkan sifat zuhudnya terlihat saat Imam Syafi’I berkata,” Barang siapa yang terkumpul dalam dirinya cinta dunia dan cinta sang Pencipta, sungguh ia pendusta”.  Suatu hari Imam Syafi’I menuju Yaman dengan beberapa tokoh, lalu ia kembali menuju Mekkah dengan membawa sepuluh ribu dirham yang dibagi-gabikan kepada manusia, hingga tak tersisa sama sekali. Pernah suatu kali, cemeti yang ada ditangannya terjatuh. Lalu seseorang mengambilkannya dan ia memberikan lima puluh dinar atas perbuatan orang tersebut. karena menurut beliau zuhud adalah, barangsiapa yang mencintai sesuatu ia akan menahannya,taka da orang yang enggan berpisah dengan harta melainkan orang yang merasakan dunia itu kecil dihatinya.   

Telah meriwayatkan Abdullah bin Muhammad al Balwi, ia berkata,”Aku bersama Umar bin Nabatah sedang duduk mengingat seorang hamba ahli ibadah lagi zuhud. Lalu Umar bin Nabarah berkata,”AKu tak melihat orang yang lebih wara’ dan fasih selain Muhammad bin Idris  Asy Syafi’i”.
Suatu hari  Al Harits bin Labid pergi ke Shafa, ia adalah murid Shalih al Mari, ia dikaruniai suara yang indah, saat sedang shalat ia membaca ayat Al Qur’an:

هَذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُونَ (35) وَلَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ (36)

Inilah hari saat mereka tidak bisa berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan”. (QS. Al Mursalat: 35-36)

Aku melihat Imam Syafi’I setelah mendengar ayat itu, memucat warna kulitnya, bergetar hebat dan akhirnya terjatuh pingsan. Saat terjaga ia berdoa:

“Aku berlindung dari termasuk golongan pendusta dan pembangkang”. Ya Allah Engkaulah tempat tunduknya hati-hati orang-orang yang arif dan merindukan-Mu, ya Allah berikanlah kemurahanmu dan pengampunanmu untuk mengampuni kelemahan dan kekurangan ku dengan kemuliaan wajah-Mu ya Allah”.

Obat dari Riya

Imam Syaf’i pernah ditanya tentang sifat riya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau bangga dengan amalmu , lihatlah keridhaan Allah, pahala apa yang kau harapkan, azab apa yang kau takuti, nikmat apa yang kau syukuri, ujian apa yang kau ingat, jika engkau berfikir satu saja dari sifat tersebut, maka amalmu akan terasa kecil.

Imam Syafi’I berkata

من لم يصن نفسه لم ينفع علمه, من أطاع الله تعالى بالعلم نفعه سره ,ما من أحد إلا له محب ومبغض ,فإذا ان كذالك فكن مع أهل طاعة الله عز وجل

Barangsiapa yang tidak bisa menjaga dirinya, maka ilmunya sia-sia, barangsiapa yang menaati Allah dengan ilmunya, Allah akan memberi manfaat secara diam-diam, taka da seorangpun melainkan ia memiliki yang dicinta dan dibenci, hendaklah kalian bersama ahli taat kepada Allah.[3]

 Imam Ahmad berkata,”Aku shalat selama 40 tahun lalu, aku selalu mendoakan Imam Syafi’I . lihatlah betapa akhlaq para ulama terdahulu keluhuran budi pekertinya. Itulah sekelumit yang diceritakan Al Ghazali. Ia berkata,”Aku menukilkan kisah tersebut dari kitab Manaqib As Syafi’i Syaikh Nasr bin Ibrahim Al Maqdisi, semoga Allah merahmati beliau semuanya.


[1] Fenomenal, karya besar
[2] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1971) j. 1h. 41
[3] Ihya Ulumuddin hal. 44
 

BAGAIMANAKAH HUKUM DOA AWAL TAHUN BARU ISLAM?




Tanya:
Assalamualaikum
Ustadz adakah dalil dan syariat dari doa awal tahun atau doa akhir tahun, mohon penjelasannya, terimakasih ustaz.

 Widodo (Depok)
Wassalamualaikum
Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim Bapak Widodo di Depok, semoga selalu dalam lindungan Allah. 

Fenomena awal tahun baru masehi yang sarat dengan hingar bingar pemborosan dan hura-hura, bahkan maksiat, membuat sebagian orang untuk membuat "perimbangan" dengan memperingati tahun baru Islam dengan doa dan amalan-amalan khusus. Kemudian berkembang di tengah masyarakat ritual-ritual tambahan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam terutama terkait dengan tahun Baru Islam di Bulan Muharram.

Sejarah Penanggalan Hijriyah
 
Penanggalan hijriyah dalam sejarah dikenal pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Pada tahun ketiga beliau memerintah, mendapat sepucuk surat dari  Abu Musa Al Asy’ari yang isinya kerancuan tanggal dari perintah Umar bin Khatab saat Umar menulis bulan Sya’ban. Namun Abu Musa Al Asy’ari sebagai gubernur Bashrah ragu untuk menindak lanjuti surat tersebut,  apakah bulan Sya’ban tahun ini atau tahun depan.

Lalu Umar mengumpulkan sahabat dan meminta pendapat. Ada diantara mereka yang mengusulkan menggunakan penanggalan Romawi. Sampai kepada Ali bin Abi Thalib yang mengusulkan penanggalan islam yang diawali dengan hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Lalu Umar bin Khattab menerima usul tersebut dan menetapkan sebagai tahun pertama Hijriyah di Bulan Muharram.[1]

Sedangkan Ibnu Hajar Al Atsqalani menyebutkan dalam Al Fath:

أَنَّ أَبَا مُوسَى كَتَبَ إِلَى عُمَرَ إِنَّهُ يَأْتِينَا مِنْكَ كُتُبٌ لَيْسَ لَهَا تَارِيخٌ فَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْمَبْعَثِ وَبَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْهِجْرَةِ فَقَالَ عُمَرُ الْهِجْرَةُ فَرَّقَتْ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ فَأَرِّخُوا بِهَا وَذَلِكَ سَنَةَ سَبْعَ عَشْرَةَ

 Abu Musa menulis kepada Umar,”Telah datang kepada kami surat darimu tanpa tanggal. Lalu Umar mengumpulkan sahabat, dan sebagian mereka berkata,”Tulis tanggal dengan  pedoman diutusnya Nabi”. Dan sebagian  berkata,” Tuis dengan pedoman hijrah. Lalu Umar berkata,” Tulislah dengan pedoman hijrah untuk membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dan akhirnya dituliskan pada tahun ke 17 Hijriyah.[2]

Adakah Amalan Khusus Malam Tahun Baru Muharram?

Tidak ditemukan dalil khusus tentang amalan-amalan khusus pada malam tahun baru (Muharram). Sebagian dalil baik doa maupun ibadah memiliki kelemahan dari sisi periwayatan.

Misal:

Dalil yang digunakan adalah berikut ini.


مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kaffarot/tertutup dosanya selama 50 tahun.”

Lalu bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
  1. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (181)  mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
  2. Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perawi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
  3. Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits

 Namun secara umum ada dalil yang menyatakan tentang keutamaan bulan Muharram, yaitu sebagai bagian dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan haram).

Firman Allah:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9]: 36)

Menurut As Sa’di dalam tafsirnya bahwa pelarangan kezaliman khusus pada empat bulan haram yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab. 

ويحتمل أن الضمير يعود إلى الأربعة الحرم، وأن هذا نهي لهم عن الظلم فيها، خصوصا مع النهي عن الظلم كل وقت، لزيادة تحريمها، وكون الظلم فيها أشد منه في غيرها

“Kata ganti pada ayat tersebut mengacu pada empat bulan haram, begitu pula pelarangan kezaliman, namun secara khusus pelarangan tersebut berlaku setiap saat. Namun kezaliman pada empat bulan tersebut lebih besar, dan keharaman pada empat bulan tersebut lebih besar dibanding bulan-bulan lain.[3]

Keharaman tersebut terbagi menjadi dua, keharaman melakukan qital (peperangan, pembunuhan). Dan keharaman berbuat dosa.

Adapun keutamaan puasa muharram seperti disebutkan dalam hadits:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. HR. Muslim no. 2812


Kesimpulannya: 


  1. Dalil-dalil amalan khusus pada awal tahun baru Islam ( Doa awal dan akhir tahun, zikir khusus, puasa khusus), tidak memiliki dasar yang kuat. Sehingga dikembalikan kepada ibadah-ibadah umum yang nilai keutamaannya mengikuti kemuliaan bulan Muharram. Demikian seperti disebutkan Oleh Muhammad Jamaluddin al Qashimi,”Bahwa amalan pada malam tahun baru secara khusus tidak ada ketentuan dari Nabi atau sahabat maupun Tabiin.[4]
  2. Tidak dilarang ibadah-ibadah umum seperti shalat tahajud, membaca Al Qur'an, zikir, doa dan sejenisnya menurut keumuman dalil ibadah, tanpa ada pengkhususan.


Wallahu A’lam













[1] Muhammad as Shalabi, Fashlul Khitab Fi Sirah Umar Bin Khattab, 1/150
[2] Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fath al Bari, (Beirut: Dar Ma’rifah, 1379) J.7/268
[3]  Abdurrahman Nashir As Sa’di, Taisir al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam al Mannan, (Muassasah Ar Risalah, 1420H) J.1/336.
[4] Muhammad Jamaluddin Al Qashimi, Ishlahul Masajid, (Beirut, al Maktab Al Islami, 1399H)  h. 10