Senin, 18 Mei 2015
Sudahkah Anda Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya perkataan yang baik.” (Q.S. Al Isrā:23 )
Secara biologis orang tua adalah
orang yang telah melahirkan kita ke dunia. Mencukupi kebutuhan, biaya sekolah.
Mereka tempat berlindung saat kita dirundung masalah, mereka tempat terbaik
kita menumpahkan keluh kesah, kasih sayang mereka selalu tercurah saat kita
gundah, doa-doa mereka selalu mengiringi kita setiap langkah, ridha mereka
mengiringi kita gapai bahagia dunia hattal akhirah.
Allah memerintahkan manusia untuk
berbuat baik kepada orang tua, bahkan perintah itu diawali dengan perintah
untuk menjauhi syirik, dan kita tahu bahwa satu-satunya dosa yang tak kan
terampuni adalah dosa syirik.
Firman Allah:
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu
bapak. ( Al Isra:23)
Bayangkan saat ayah berangkat
bekerja di pagi buta, menerobos dinginnya pagi, memeras keringat dan membanting
tulang, memenuhi kebutuhan keluarga. Bayangkan pula wajah ibu, wajah itu selalu
tersenyum ditengah kelelahan mengurus rumah,
dia telah mengandung kita dalam kondisi wahnan ala wahnin
( kesusahan diatas kesusahan ) dialah sosok yang rela berjuang antara hidup dan
mati untuk melahirkan kita, mendidik dengan kasih sayangnya. Lalu setelah kita
besar seenaknya kita membantah perintahnya, durhaka kepadanya tidak
mengindahkan petuahnya, oh sungguh celaka orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya.
Rasulullah
SAW bersabda dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyalahuanhu
menuturkan, “Seorang pria datang kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah,
siapakah orang yang paling patut saya perlakukan dengan baik didunia ini?”
Tanya pria itu. Beliau menjawab, “Ibumu." “Siapa lagi?” Tanyanya
kembali. “Ibumu,” jawab beliau. “Siapa lagi?” Tanyanya. “Ibumu,”
jawab beliau. “Terus siapa lagi?” Tanyanya. Beliau pun menjawab, “Ayahmu.”
(HR.Bukhari, 5514 dan Muslim, 4621)
Sejarah telah bercerita saat
Rasulullah memerintahkan kepada Umar bin Khattab RA,” Wahai Umar, jika engkau
bertemu dengan seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni, ia berasal dari Yaman,
maka mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun atas dosa-dosamu kepada Allah.
Jika kita cermati bagaimana
mungkin tokoh sekaliber Umar bin Khattab, manusia mulia nan pemberani, adil dan
bersahaja diperintahkan untuk meminta doa kepada Uwais Al Qarni, keheranan ini
kemudian mendorong Umar untuk mencari tahu siapakah Uwais Al Qarni, ternyata ia
adalah seorang anak yang shalih, yang rela menggendong ibunya dari Yaman ke
Mekkah utnuk menunaikan ibadah haji, subhanallah. Jarak Yaman- Mekkah
adalah 820 km selama 16 hari berjalan kaki, bayangkan! Bakti kepada ibu inilah
rupanya yang menyebabkan doa Uwais Al Qarni langsung dikabulkan oleh Allah jika
ia berdoa.
Itulah kenapa Rasulullah pun
bersabda:
رِضَى
الله فيِ رِضَى الوَالِدَين وَسُخْطُ الله فيِ سُخْطِ الوَالِدَين"
Riha Allah ada pada ridha kedua
orangtua, dan murka Allah ada pada murka keduanya” ( HR. Tirmidzi )
Kisah
yang cukup melegenda di negeri kita adalah kisah Maling Kundang, anak durhaka
yang dikutuk oleh ibunya menjadi batu, karena kedurhakaannya, atau kisah Al
Qamah yang sulit dalam menghadapi sakaratul maut karena ia lebih mencintai
istrinya disbanding ibunya yang tinggal sebatang kara.
Kisah-kisah diatas hendaknya
membuka mata hati kita betapa kedua orang tua wajib kita taati dan muliakan.
Lalu bagaimanakah cara berbakti
kepada kedua orang tua
Pertama, saat orang tua
masih hidup, kita sudah seharusnya berlaku baik dan memuliakan mereka didunia.
Mendengarkan arahannya, tidak membantah dan berkata-kata kasar kepada keduanya.
Allah SWT berfirman:
إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Jika salah seorang di antara
keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik.” (Q.S. Al Isrā:23 )
Kedua, jika mereka telah
meninggal dunia maka kita wajib meneruskan kebaikannya, menyambung tali silaturahim
dengan saudara dan teman mereka serta melaksanakan wasiatnya.
Kesimpulan,
berbakti kepada kedua orang tua adalah perintah mulia didalam Al Qur’an, dan
durhaka kepada keduanya merupakan dosa besar
Demikianlah pidato yang bisa saya
sampaikan, kurang lebihnya kami mohon maaf dan terimakasih
Selasa, 07 April 2015
Tunjukkan Keindahan Islam Via Medsos
Ustaz Yusuf Mansur menggunakan media
sosial seperti Twitter untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Kali ini,
ia meminta agar netizen menunjukkan sisi-sisi keindahan dalam Islam
dalam kuliah di Twitter (kultwit), Show the Beauty of Islam.
"Show the beauty of Islam... hidup bersih, ga nyampah, bahkan suka bebersih. sebar salam, ksh manfaat, bnyk senyum, pake wewangian," kata Yusuf Mansur dalam akun Twitter pribadinya, @Yusuf_Mansur, Selasa (7/4).
Ia menambahkan menunjukkan keindahan Islam juga dengan membawa buku-buku yang bermanfaat dan aktifitasnya bermanfaat. Saat bertemu dengan siapapun juga harus memasang muka ramah dan penuh senyum.
Pikiran dan perasaan juga harus positif serta tidak gibah. Jangan juga berteriak-teriak atau memaki, bersabarlah dan perbanyak istighfar. Cara berpakaian juga harus diperhatikan. Tidak harus bagus dan mahal, melainkan bersih dan rapi.
"if there is no beauty... it's not about Islam. but it's about us. we didn't show good akhlak. orang liatnya, liat kita. Islamnya dah yg jelek," ujarnya.
Nabi Muhammad SAW, lanjutnya, mengajarkan berbuat baik terhadap siapa saja, bahkan terhadap musuh, alam dan binatang. Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
"show the beauty of Islam... ada gereja di lingkunganmu, ada wihara, sinagog, bersihin selalu sampah2 di sekitarnya. why? sbb qt muslim," imbaunya. Republika.co.id
"Show the beauty of Islam... hidup bersih, ga nyampah, bahkan suka bebersih. sebar salam, ksh manfaat, bnyk senyum, pake wewangian," kata Yusuf Mansur dalam akun Twitter pribadinya, @Yusuf_Mansur, Selasa (7/4).
Ia menambahkan menunjukkan keindahan Islam juga dengan membawa buku-buku yang bermanfaat dan aktifitasnya bermanfaat. Saat bertemu dengan siapapun juga harus memasang muka ramah dan penuh senyum.
Pikiran dan perasaan juga harus positif serta tidak gibah. Jangan juga berteriak-teriak atau memaki, bersabarlah dan perbanyak istighfar. Cara berpakaian juga harus diperhatikan. Tidak harus bagus dan mahal, melainkan bersih dan rapi.
"if there is no beauty... it's not about Islam. but it's about us. we didn't show good akhlak. orang liatnya, liat kita. Islamnya dah yg jelek," ujarnya.
Nabi Muhammad SAW, lanjutnya, mengajarkan berbuat baik terhadap siapa saja, bahkan terhadap musuh, alam dan binatang. Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
"show the beauty of Islam... ada gereja di lingkunganmu, ada wihara, sinagog, bersihin selalu sampah2 di sekitarnya. why? sbb qt muslim," imbaunya. Republika.co.id
Minggu, 05 April 2015
Imam Nawawi Al Bantani Al Jawi
Eksistensi
Imam Nawawi al-Jawi mendapat pengakuan hingga mancanegara. Setidaknya
ada tiga rujukan buku biografi besutan cendekiawan Timur Tengah yang
mengulas secara singkat biografi tokoh asli Banten tersebut.
Pertama, karya Ismail Pasha
al-Baghdadi. Sastrawan kelahiran Bagdhad itu menulis sekelumit tentang
riwayat Imam Nawawi. Melalui karyanya yang tersohor Hadiyat al-Arifin fi Asma’ al-Muallifin wa atsar al-Mushanifin,
Ismail yang dikenal juga sebagai sejarawan di akhir-akhir masa
runtuhnya pemerintahan Dinasti Ottoman tersebut, mengulas sedikit
biografi Nawawi.
Ismail yang wafat pada 1920 M itu
menulis bahwa pemilik nama lengkap Muhammad Nuri bin Umar bin Arabi bin
Ali an-Nawawi Abu Abd al-Mu’thi al-Jawi, adalah seorang yang terkenal
kepakarannya di bidang fikih. Ia pernah singgah dan belajar di Mesir,
lalu pindah ke Makkah dan meninggal di sana pada 1315.Jumlah karya yang
berhasil dikarang oleh Imam Nawawi sebanyak 315 kitab. Dalam kitab Hadiyaat al-Arifin ini, Nawawi masuk dengan kata entri awal al-Jawi.
Kedua, adalah karya sastrawan dan penulis asal Damaskus, Yusuf Ilyan Sarkis, menulis dalam kitabnya yang bertajuk Mu’jam al-Mathbu’at al-Arabiyyah wa al-Mu’rabah,
sekelumit tentang Nawawi yang ditulis demikian, bahwa Imam Nawawi
merupakan salah satu ulama yang berpengaruh pada abad ke-14. Karya tulis
yang dihasilkan cukup banyak. Lagi-lagi, Yusuf yang wafat pada 1932 M
itu, hanya menaruhkan kata al-Jawi, sebagai identitas akhir.
Sementara itu, rujukan yang ketiga karangan Khair ad-Din az-Zirikli. Dalam kitab ensiklopedi tokoh yang ia tulis dengan judul al-A’lam, nama Imam Nanawi kembali disebut dengan entri Nawawi al-Jawi, sesuai sistematika penyusunan alfabetik yang khas pada kitab al-A’lam.
Az-Zirikli menulis demikian, al-bantani iqlimiyyan, at-tanari baladan.
Nawawi berasal dari wilayah Banten, tepatnya desa Tanara, seorang ahli
tafsir, sufi dan bermazhab Syafi’i. Ia terkenal di kawasan Hijaz dan
sekitarnya. Kitab “al-’Alam” merupakan karya az-Zirikli yang paling
fenomenal.
Tokoh kelahiran Beirut, Libanon 1893 M
itu memasukkan entri nama-nama baru. Kriterianya harus sosok terkenal
lewat karya tulisnya, atau tokoh berpengaruh di masanya, seperti raja
atau khalifah. Dari ketiga referensi itu, ada setidaknya tiga informasi
pokok perihal imam Nawawi, yakni asal usul kelahiran, karakter dan corak
pemikiran, serta dokumentasi atas deretan karyanya.
Nu'aim Bin Mas'ud Al Asyja'i ( Pemecah Belah Pasukan Kafir Pada Perang Ahzab )
Nuaim Bin Mas’ud
Dia adalah Nu’aim bin Mas’ud bin ‘Amir bin Anif Al Asyja’i
Al Ghathafani, dikenal dengan Abu Salamah berasal dari suku Gahtafan.
Dia masuk islam pada saat peristiwa perang Ahzab, namun ia
menyembunyikan ihwal keislamannya hingga menghadap kepada Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wasallam, Beliau bersabda,” Ada maksud apa engkau kemari wahai Nu’aim?”.
Lalu Nuaim berkata,”Maksud kedatanganku untuk membenarkan agama yang engkau
bawa dan mengikuti ajaranmu, kaumku tidak mengetahui hal ini wahai Rasulullah,
untuk itu perintahkanlah apa saja kepadaku aku akan melaksanakannya.
Lalu Rasulullah berkata:
إنما أنت فينا رجل واحد، فاذهب إلى قومك وخذّل
عنا إن استطعت فإن الحرب خدعة
Pergilah seorang diri kepada
kaummu, lalu pecah belah mereka, karena perang adalah tipu muslihat.
Nabi SAW amat gembira mendengar
pengakuan Nu'aim ini. Seolah-olah Allah mengirimkan Nu'aim sebagai jalan keluar
bagi suasana kritis dan sulit yang dialami oleh kaum muslimin. Setelah
memba'iatnya, beliau bersabda, "Engkau adalah orang satu-satunya, berilah
pertolongan kepada kami menurut kesanggupanmu, karena sesungguhnya perang itu
adalah tipu muslihat!!"
Nu'aim mengerti apa yang
dimaksudkan Nabi SAW. Ia pamit kepada beliau dan pergi kepada kaum Yahudi Bani
Quraizhah yang tinggal di Madinah. Mereka adalah kawan karibnya semasa
jahiliah. Setelah bertemu mereka, ia
berkata, "Kalian tahu cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku
dengan kalian!!"
"Engkau benar!!" Kata
mereka.
Nu'aim mulai melancarkan
strateginya memecah-belah musuh dengan memanfaatkan kemampuannya dalam
diplomasi dan negosiasi, ia berkata, "Orang-orang Quraisy tidak bisa
disamakan dengan kalian. Negeri ini milik kalian, di sini ada harta benda,
istri dan anak-anak kalian. Tidak mudah bagi kalian meninggalkan negeri ini
untuk pindah ke tempat lain. Sementara
Quraisy dan Ghathafan datang memerangi Muhammad, dan kalian menampakkan
dukungan kepada mereka, padahal negeri, harta benda, istri dan anak-anak mereka
berada di tempat lain. Jika mereka kalah, dengan mudah pulang ke negeri mereka
sendiri, sedangkan kalian akan menghadapi Muhammad, yang akan melampiaskan
dendam kepada kalian…."
Tampaknya kaum Yahudi tersebut
terpengaruh oleh penjelasan yang disampaikannya, yang memang sangat logis.
Karena itu mereka berkata, "Lalu, bagaimana baiknya wahai Nu'aim?"
"Kalian jangan terjun ke
pertempuran dan berperang bersama mereka sebelum mereka memberikan jaminan,
yakni mintalah salah seorang pemimpin mereka untuk tinggal bersama
kalian….!!" Kata Nu'aim.
"Engkau memberikan pendapat
yang sangat tepat!!"
Mereka berterima-kasih atas saran
yang diberikan Nu'aim, setelah itu ia berpamitan dan diam-diam menuju tempat
berkumpulnya pasukan Quraisy. Setelah bertemu Abu Sufyan dan tokoh-tokoh
Quraisy lainnya, ia menyebut dan
menceritakan tentang hubungan harmonis mereka yang telah terjalin selama ini,
kemudian ia berkata, "Kalian semua tahu bagaimana kadar kecintaanku kepada
kalian dan nasehat-nasehat yang pernah kusampaikan selama ini. Dan aku
mempunyai informasi sangat penting untuk kalian, tetapi kalian harus
merahasiakannya bahwa itu berasal dari aku!!"
"Baiklah, kami akan
melakukannya..!!"
"Sesungguhnya kaum Yahudi
(Bani Quraizhah) merasa menyesal telah melanggar perjanjiannya dengan Muhammad.
Ia telah mengirim utusan kepada Muhammad untuk memperbaharui kesepakatan dan
berjanji akan mengirimkan seorang tokoh Quraisy sebagai tebusannya. Karena itu,
jika mereka meminta jaminan salah seorang pemimpin kalian, janganlah kalian
memberikannya…!!"
Kaum Quraisy amat berterima kasih
dengan informasi tersebut, kemudian Nu'aim "pulang" ke kaumnya
sendiri, Ghathafan. Ia berkata kepada mereka, "Wahai orang Ghathafan,
kalian semua adalah keluargaku, dan orang-orang yang paling kucintai. Kulihat
kalian selalu mempercayaiku!!"
Mereka membenarkannya. Kemudian
Nu'aim berkata kepada mereka seperti perkataannya kepada kaum Quraisy, dan
mereka dengan senang hati akan melaksanakan nasehatnya tersebut.
Beberapa hari berlalu, di suatu
hari jum'at, di bulan Syawal tahun 5 hijriah, para pemimpin Quraisy dan
Ghathafan mengirim Ikrimah bin Abu Jahal sebagai utusan kepada Bani Quraizhah.
Pesannya adalah mereka akan menyerang keesokan harinya, dan diminta Bani
Quraizhah untuk menyerang dari arah belakang kaum muslimin, yakni dari dalam kota
Madinah sendiri. Dengan begitu mereka dengan mudah bisa menghancurkan kaum
muslimin.
Setelah utusan Quraisy pulang, kaum
Yahudi Bani Quraizhah ganti mengirim utusan kepada mereka. Pesan yang
disampaikannya adalah sbb, "Besok adalah hari sabtu, dan kami tidak boleh
mengerjakan apa-apa pada hari itu. Lagipula, kami tidak akan memerangi Muhammad
bersama kalian, kecuali kalian mengirimkan beberapa pemimpin kalian bersama
kami, karena kami khawatir jika pertempuran telah berkobar, kalian pulang ke
negeri kalian begitu saja dan membiarkan kami sendirian menghadapi
Muhammad…!!"
Setelah utusan tersebut pulang,
orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, "Demi Allah, sungguh benar apa
yang dikatakan oleh Nu'aim bin Mas'ud…!!"
Setelah itu mereka mengirimkan
utusan lagi ke Bani Quraizhah, dengan menyampaikan pesan, "Demi Allah,
kami tidak akan menyerahkan seorang pun dari pemuka-pemuka kami. Kalau kami
ingin berperang, kami akan berperang sendiri. Kalau kalian ingin berperang,
berangkatlah dan berperanglah sendiri…!!"
Setelah utusan tersebut
menyampaikan pesan ini kepada Bani Quraizhah, mereka berkata, "Demi Allah,
sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nu'aim bin Mas'ud, mereka hanya ingin
mengambil kesempatan untuk kepentingannya sendiri, tidak memperdulikan kita
sama sekali…!!"
Begitulah, kekacauan terjadi di
antara pasukan sekutu yang mengepung Madinah. Quraisy dan Ghathafan tidak lagi
bersemangat seperti sebelumnya dalam menyerang kaum muslimin. Di samping
halangan parit yang cukup merepotkan, mereka juga khawatir kalau kaum Yahudi
Bani Quraizhah ternyata benar bergabung dengan pasukan muslimin, sehingga
hampir tidak mungkin mereka mengalahkannya.
Tidak lama kemudian, Allah SWT
melengkapi kekacauan itu dengan mengirimkan angin topan yang
memporak-porandakan perkemahan mereka, sehingga mereka bergegas meninggalkan
pinggiran kota
Madinah.
Kamis, 02 April 2015
Tindakan BNPT Bertentangan Dengan HAM
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Ulama Umat Islam (FUUI), KH Athian Ali menilai kriteria situs radikal yang disebutkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tak jelas. Apalagi BNPT tanpa konsultasi dengan MUI dan para tokoh agama langsung menutup situs-situs Islam.
"Tindakan BNPT menutup situs-situs Islam sama saja dengan meneror umat Islam. Sekarang umat Islam jadi takut ngomong jihad karena takut disangka teroris," katanya, Kamis, (2/4),
Menurut Athian, tidak ada yang mendukung keputusan BNPT yang dinilai ngawur. "Kalau memang ada berita situs Islam yang dinilai salah, harusnya diberi bimbingan kalau beritanya tak tepat lalu diberi contoh berita yang tepat," ujarnya.
Situs-situs Islam, terang dia, seharusnya diberi peringatan dulu kalau misal melanggar hukum. Namun, upaya BNPT tanpa proses hukum dengan memblokir sepihak sudah menodai nilai hukum.
Dalam Islam, kata dia, jihad itu luas. Istri yang mendidik anak dengan baik, istri yang ikhlas melayani suami, suami yang mencari nafkah secara halal, termasuk dalam kategori jihad. "Saya khawatir umat Islam jadi takut dinilai sebagai teroris kalau bicara jihad."
Rabu, 01 April 2015
Bercita-cita Besarlah…
Suatu hari Umar Bin Khattab berkumpul dengan para sahabat,
wajah tenangnya terpancar, jernih dan teduh. Tiba-tiba ia berkata,”
Berangan-anganlah kalian”. Salah seorang sahabat lalu berkata,”Aku ingin
memiliki uang dirham yang banyak, memenuhi rumah ini, lalu aku infakkan dijalan
Allah.
Kemudian Umar berkata,” Berangan-anganlah
Kemudian salah seorang sahabat berkata,” Aku ingin memiliki
emas banyak, yang memenuhi rumah ini, lalu aku infak kan dijalan Allah.
Kemudian Umar berkata,” Namun aku ingin rumah ini dipenuhi
sosok-sosok seperti Abu Ubaidah Al Jarrah.
Lalu para sahabatpun terdiam, tak bersuara.
Siapakah Abu Ubaidah bin Al Jarrah? Sehingga Umar begitu
ingin memiliki sosok-sosok generasi islam seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah.
Nasabnya
Dia adalah Amir bin Abdillah Al Jarrah Al Qurasy Al Fihri,
terkenal dengan panggilan Abu Ubaidah. Al Jarrah adalah nama kakeknya. Nama ibunya
adalah Umaimah Binti Ghanam. Ia lahir pada tahun 40 sebelum hijrah atau 584 M.
Abdullah bin Umar pernah berkata tentang orang-orang yang
mulia. "Ada tiga orang Quraiys yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi
akhlaknya dan sangat pemalu. Bila berbicara mereka tidak pernah dusta. Dan
apabila orang berbicara, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin
Jarrah."
Abu Ubaidah termasuk kelompok pertama sahabat yang masuk Islam. Dia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Waktu menemui Rasulullah SAW, dia bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Oleh sebab itu, mereka tercatat sebagai pilar pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.
Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.
Dalam Perang Badar, Abu Ubaidah berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Kemana pun ia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Abu Ubaidah menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan pengejarnya. Ketika si pengejar bertambah dekat, dan merasa posisinya strategis, Abu Ubaidah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.
Siapakah lawan Abu Ubaidah yang sangat beringas itu? Tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri! Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya.
Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman: "Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (QS Al-Mujaadalah: 23)
Ayat di atas tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang mendapatkan gelar "kepercayaan umat Muhammad" ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.
Pada suatu ketika, utusan kaum Nasrani datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Abu Qasim, kirimlah kepada kami seorang sahabat anda yang pintar menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum Muslimin."
"Datanglah sore nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian 'orang kuat yang terpercaya'," kata Rasulullah SAW.
Umar bin Al-Khathab berujar, "Aku ingin tugas itu tidak diserahkan kepada orang lain, karena aku ingin mendapatkan gelar 'orang kuat yang terpercaya'."
Selesai shalat, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Umar sengaja menonjolkan diri agar dilihat Rasulullah. Namun beliau tidak menunjuknya. Ketika melihat Abu Ubaidah, beliau memanggilnya dan berkata, "Pergilah kau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan!"
Abu Ubaidah berangkat bersama para utusan tersebut dengan menyandang gelar "orang kuat yang terpercaya".
Abu Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam tiap peperangan yang beliau pimpin, hingga beliau wafat.
Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Al-Khathab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, "Aku memilihmu dan bersumpah setia, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang paling dipercaya dari umat ini adalah engkau."
Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup—Abu Bakar Ash-Shiddiq. Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia."
Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.
Setelah Abu Bakar wafat, jabatan khalifah pindah ke tangan Umar bin Al-Khathab. Abu Ubaidah selalu dekat dengan Umar dan tidak pernah menolak perintahnya. Pada masa pemerintahan Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara Muslimin menaklukkan wilayah Syam (Suriah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk di bawah kekuasaan Islam, dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia kecil di sebelah utara.
Abu Ubaidah meninggal dunia karena terkena penyakit menular yang mewabah di Syam. Menjelang wafatnya, ia berwasiat kepada seluruh prajuritnya, "Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini."
Abu Ubaidah termasuk kelompok pertama sahabat yang masuk Islam. Dia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Waktu menemui Rasulullah SAW, dia bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Oleh sebab itu, mereka tercatat sebagai pilar pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.
Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.
Dalam Perang Badar, Abu Ubaidah berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Kemana pun ia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Abu Ubaidah menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan pengejarnya. Ketika si pengejar bertambah dekat, dan merasa posisinya strategis, Abu Ubaidah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.
Siapakah lawan Abu Ubaidah yang sangat beringas itu? Tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri! Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya.
Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman: "Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung." (QS Al-Mujaadalah: 23)
Ayat di atas tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang mendapatkan gelar "kepercayaan umat Muhammad" ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.
Pada suatu ketika, utusan kaum Nasrani datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Abu Qasim, kirimlah kepada kami seorang sahabat anda yang pintar menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum Muslimin."
"Datanglah sore nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian 'orang kuat yang terpercaya'," kata Rasulullah SAW.
Umar bin Al-Khathab berujar, "Aku ingin tugas itu tidak diserahkan kepada orang lain, karena aku ingin mendapatkan gelar 'orang kuat yang terpercaya'."
Selesai shalat, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Umar sengaja menonjolkan diri agar dilihat Rasulullah. Namun beliau tidak menunjuknya. Ketika melihat Abu Ubaidah, beliau memanggilnya dan berkata, "Pergilah kau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan!"
Abu Ubaidah berangkat bersama para utusan tersebut dengan menyandang gelar "orang kuat yang terpercaya".
Abu Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam tiap peperangan yang beliau pimpin, hingga beliau wafat.
Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Al-Khathab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, "Aku memilihmu dan bersumpah setia, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang paling dipercaya dari umat ini adalah engkau."
Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup—Abu Bakar Ash-Shiddiq. Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia."
Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.
Setelah Abu Bakar wafat, jabatan khalifah pindah ke tangan Umar bin Al-Khathab. Abu Ubaidah selalu dekat dengan Umar dan tidak pernah menolak perintahnya. Pada masa pemerintahan Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara Muslimin menaklukkan wilayah Syam (Suriah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk di bawah kekuasaan Islam, dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia kecil di sebelah utara.
Abu Ubaidah meninggal dunia karena terkena penyakit menular yang mewabah di Syam. Menjelang wafatnya, ia berwasiat kepada seluruh prajuritnya, "Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini."
Mendapat Berita Gembira Syurga
Rasulullah bersabda:
- Abu bakar masuk syurga
- Umar masuk surga
- Ali masuk surga
- Utsman masuk surga
- Talhah bin Ubaidillah masuk syurga
- Zubair bin Awwam masuk syurga
- Abdurrahman bin Auf masuk syurga
- Saad bin Abi Waqas masuk syurga
- Said bin Zaid masuk syurga
- Amr bin Nufai masuk syurga
- Abu Ubaidah bin Al Jarrah masuk syurga
Senin, 30 Maret 2015
Lintasan Hati
Mencermati perkembangan berita era presiden Jokowi, sepertinya ada yang aneh, belum genap seumur jagung masa pemerintahannya, harga BBM terus berubah-ubah seolah tanpa kendali, naik turun semaunya tanpa standar baku, harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak mengikuti kenaikan harga BBM.
Belum lagi tarif dasar listrik dan tarif angkutan umum, terus mengalami kenaikan signifikan, dalam hati saya berfikir, akan dibawa kemanakah negara ini? kasus korupsi yang tak ada ujung pangkalnya, carut marut parpol berebut massa dan kekuasaan, ditambah dengan isu ISIS dan situs-situs islam yang 'dikebiri'. Sementara situs porno nyaris bebas, seolah Islam lebih berbahaya dari situs maksiat, padahal islam membawa kebaikan, sedangkan situs maksiat membawa keburukan dan kejahatan, akan kemanakah republik ini?
Senin, 05 Januari 2015
MENYIKAPI PERBEDAAN FIKIH
Perbedaan
pandangan dalam masalah-masalah fiqih di kalangan para ulama terjadi karena
beberapa alasan dan beberapa kondisi. Sikap terbaik dalam menghadapi
perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti
diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa
maksudnya?
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan:
قَالَ
مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ: أَيْ: إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَسَنَةِ
رَسُولِهِ
(وَهَذَا
أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، بِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ تَنَازَعَ النَّاسُ
فِيهِ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ أَنْ يَرُدَّ التَّنَازُعَ فِي ذَلِكَ
إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ
مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ (الشُّورَى:10
فَمَا
حَكَمَ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ وَشَهِدَا لَهُ بِالصِّحَّةِ
فَهُوَ الْحَقُّ، وَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
Mujahid dan lebih dari satu orang
salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Ini
adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan
manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya
perselisihan itu dikembalikan menurut keterangan Alquran dan As-Sunnah.
Sebagaimana firman-Nya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka
putusannya (terserah) kepada Allah. (Syura:10) Maka, apa-apa yang dihukumi
oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh
keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir
Alquran Al-‘Azhim, 2/345)
Ini yang pertama. Kemudian, jika
kedua pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Alquran dan
As-Sunnah dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka
hendaknya mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari
pendapat saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu nampaknya kita
perhatikan nasihat dan contoh baik dari para imam terdahulu dalam menyikapi
perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam
Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
سفيان
الثوري يقول إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه
“Jika engkau melihat seorang
melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat
lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul
Auliya’, 3/133)
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا
يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا
لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا
يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار
فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا
هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ .
وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا
، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah
ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak
boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya
mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang
masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena
berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap
yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan
lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu
secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al-Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah
yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona
ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan lapang dada dan tidak saling
mengingkari.
Imam As-Suyuthi Rahimahullah berkata
dalam kitab Al-Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada
pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya
pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’
(kesepakatan) para ulama.” (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair,
1/285)
Berkata Asy Syaikh Dr. Umar bin
Abdullah Kamil:
فالاجتهاد
إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار
عليه ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى
فتنة
“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai
dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan
hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan
sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari
mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari
muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin
Abdullah Kamil, Adab Al-Hiwar wal Qawaid Al-Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’
Al-Islam)
Al-Ustadz Hasan Al-Banna Rahimahullah
menjelaskan -setelah Beliau menerangkan sebab-sebab perselisihan fiqih di
antara umat Islam:
كل
هذه أسباب جعلتنا نعتقد أن الإجماع على أمر واحد في فروع الدين مطلب مستحيل بل هو
يتنافى مع طبيعة الدين وإنما يريد الله
لهذا الدين أن يبقى ويخلد ويساير العصور
ويماشي الأزمان وهو لهذا سهل مرن هين لين لا جمود فيه ولا تشديد
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita
berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan
mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar
agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dapat mengiringi kemajuan zaman. Untuk
itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak
jumud atau keras.” (Majmu’ah Ar Rasa-il, hal. 26)
Dalam Risalah Al-Khamis beliau
juga berkata:
أن
الخلاف في الفرعيات أمر ضروري لابد منه، إذ إن أصول الإسلام آيات وأحاديث وأعمال
تختلف في فهمها وتصورها العقول و الأفهام لهذا كان الخلاف واقعاً بين الصحابة
أنفسهم ومازال كذلك وسيظل إلى يوم القيامة وما أحكم الإمام مالك رضي الله عنه حين
قال لأبي جعفر وقد أراد أن يحمل الناس على الموطأ إن أصحاب رسول الله ص تفرقوا في
الأمصار وعند كل قوم علم فإذا حملتهم على رأي واحد تكون فتنة وليس العيب في الخلاف
ولكن العيب في التعصب للرأي والحجر على عقول الناس وآرائهم هذه النظرة إلى الأمور
الخلافية جمعت القلوب المتفرقة على الفكرة الواحدة وحسب الناس أن يجتمعوا على ما
يصير به المسلم مسلماً كما قال زيد رضي الله عنه
“Bahwa perselisihan dalam masalah furu’
(cabang) merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar
Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang dipahami
beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat pun tetap
terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi
sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu
Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al-Muwatha’
(himpunan hadits karya Imam Malik), “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah
telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu.
Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah
fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala kita
berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub)
dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia.
Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai
berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang
menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid radhiallahu
‘anhu. (Ibid, hal. 187) (usb/dakwatuna)
Langganan:
Postingan (Atom)